Keenan harus mengakui kemampuan bela diri Yoshiro. Karena laki-laki muda itu berhasil membuat kedua anak buah kepercayaannya terkapar di tanah, setelah melakukan pertarungan sengit.
Yoshiro mendapatkan luka lebam akibat pertarungan itu. Namun Yoshiro terlihat masih memiliki tenaga untuk bertarung melawan Keenan. "Haruskah kita menyelesaikan ini?" tanya Yoshiro dengan tatapan tajam ke arah Keenan. "Bukankah semua yang sudah dimulai harus diselesaikan?" tanya Keenan melepaskan jas hitam miliknya. Menyisakan kemeja putih. Keenan menerjang maju. Dengan kecepatan yang sangat cepat. Selama ini tidak ada orang yang bisa memperhitungkan kapan Keenan akan mendaratkan kakinya dan di mana Keenan akan muncul setelah bergerak dengan kecepatan tinggi seperti itu. Namun Yoshiro bisa. Tinju keras Keenan yang seharusnya mengenai kepala Yoshiro, melenggang begitu saja karena Yoshiro menggeser kepalanya menjauh dari jalur lintas kepalan tangan Keenan. "Di mana kamu belajar ilmu bela diri?" tanya Keenan dengan kondisi belum menarik tangannya kembali. "Aku tidak pernah belajar," balas Yoshiro menarik tangannya dan mulai menyerang Keenan. Keenan yang tadinya mengambil posisi menyerang, kini berubah menjadi posisi bertahan. Menahan segala pukulan Yoshiro yang mengarah pada tubuhnya. Cukup keras. Namun sama sekali tidak menghasilkan apa pun. Yoshiro yang menyadari itu pun menghentikan pergerakannya dan melangkah mundur satu langkah. "Pergerakanmu tadi membuktikan perkataanmu. Jika kamu memang belajar bela diri, kamu pasti tidak akan menyerang seperti itu. Membuang banyak tenaga saat kamu sendiri tau bahwa tenagamu hanya tersisa sedikit," balas Keenan menatap ke arah bagian pergelangan tangannya yang terlihat mulai memerah. "Apakah memang semua mafia banyak bicara sepertimu? Bukankah seharusnya mereka diam dan bergerak secepat mungkin untuk menyingkirkan musuhnya?" tanya Yoshiro. "Aku tidak menyelesaikan ini dengan cepat. Karena aku tau kamu tidak akan pergi dari tempat ini. Bukan karena kamu tidak bisa melarikan diri. Kamu bisa saja pergi daritadi. Tapi kamu memilih untuk tetap berada di sini. Bertarung. Untuk melindungi orang yang ada di rumah sakit itu. Kamu khawatir bahwa aku akan menyeret ibumu dalam masalah bukan?" "Benar-benar merepotkan. Bagaimana orang sepintar dirimu bisa berada di organisasi kotor seperti itu?" "Kita sama. Hanya saja kamu belum mengerti saja betapa mengerikannya dunia ini. Jika kamu tumbuh lebih besar sedikit lagi, kamu pasti akan mengerti bahwa tindakanku kali ini adalah hal yang benar." Pertarungan kembali terjadi. Yoshiro dan Keenan saling menyerang satu sama lain. Keenan benar-benar terlihat mendominasi. Walau Yoshiro memiliki beberapa kali kesempatan untuk menyerang, semua serangan Yoshiro benar-benar tidak memberikan luka yang berarti. Berbanding terbalik dengan Keenan yang bisa langsung memberikan rasa sakit yang benar-benar tak tertahankan hanya dengan sekali pukulan. Yoshiro ambruk ke tanah. Keenan menggunakan kesempatan itu untuk menekan dada Yoshiro menggunakan kakinya. Hanya saja Yoshiro sempat menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sehingga menghalangi kaki Keenan menyentuh dadanya. "Jangan berpikir kamu bisa mengalahkan ku anak kecil. Aku sudah berada di jalanan sebelum kamu lahir. Kamu tidak akan bisa mengalahkan ku dengan kemampuan selemah itu," ujar Keenan menguatkan pijakan kaki kanannya. "Bodoh sekali. Aku tidak peduli kapan kamu mulai bertarung di jalan. Aku akan tetap melawan siapa pun orang yang harus aku lawan," balas Yoshiro memperkuat kedua tangannya. "Lihatlah kenyataannya baik-baik. Tidak peduli seberapa banyak pekerjaan yang kamu ambil. Tidak peduli seberapa lama kamu habiskan waktumu untuk bekerja. Kamu tidak akan mendapatkan apa pun. Uang yang kamu kumpulkan tidak akan bisa membayar biaya rumah sakit ibumu." "Benar. Aku tau itu. Maka dari itu, aku berusaha. Setidaknya dengan begini, aku bisa terlihat hebat di depan ibuku. Kalau pun dia memang harus pergi setelah ini, setidaknya aku bisa menghadiri pemakamannya tanpa ada rasa penyesalan." Keenan tersenyum mendengar itu. Ia mengubah posisi kakinya. Yang tadinya menginjak kini menendang. Berhasil. Membuat tubuh Yoshiro terpental sampai ke membentur tembok. Lalu seperti dugaannya, Yoshiro kembali berdiri. Ya, laki-laki itu akan selalu kembali berdiri bagaimana pun kondisi tubuhnya. Sebelum jantungnya berhenti berdetak, laki-laki itu akan tetap bertarung. "Apakah kamu rela masa depanmu rusak hanya untuk masa depan ibumu yang sudah pasti akan tiada? Bahkan jika memang dia bisa disembuhkan, pasti suatu saat nanti dia akan tiada karena umurnya. Berbeda denganmu yang masih muda. Kamu akan hancur dengan kondisimu yang seperti ini," tanya Keenan menggenggam tangannya di balik badan. "Aku tidak peduli dengan masa depanku. Aku hanya ingin melakukan segala hal yang aku bisa. Apa pun yang terjadi padaku di masa depan, itu adalah takdir. Yang terpenting adalah masa sekarang," balas Yoshiro. Keenan kembali menerjang Yoshiro. Mengarahkan pukulan ke arah kepala Yoshiro. Yoshiro pun melakukan hal yang sama. Ia berlari ke arah Keenan dengan tangan bersiap memukul bagian perut Keenan. Keenan unggul salam kekuatan dan kecepatan. Keenan bisa mudah dalam adu pukulan itu. Hanya saja Keenan melakukan kesalahan. Keenan menutup matanya tidak lama setelah melepaskan pukulannya. Membuat pukulan Keenan tidak mengenai tubuh Yoshiro. Dan pukulan Yoshiro mengenai perut Keenan. Dengan segala kekuatan yang tersisa membuat Keenan berlutut dan ambruk di tanah.Brian berdiri di dalam kelas XI-A. Kelas yang memang diisi oleh murid-murid yang berasal dari keluarga kolongmerat. Tidak ada satu pun murid miskin di sana. Semua yang masuk ke sana sudah dipastikan memiliki uang jajan harian yang melebihi gaji para guru yang ada di sekolah. Brian menatap bingung Yoshiro yang sedang terlihat mendorong kursi roda Serena. Dan sepertinya ingin membawa perempuan itu ke ruang makan. Tidak lama pandangan Brian beralih menatap ke seorang wanita yang tiba-tiba saja datang dan berdiri di sisinya. Mingzu. "Apakah kamu sudah makan? Kebetulan keluargaku membeli sebuah restoran besar di pusat kota. Maukah kamu ke sana bersamaku? Aku ingin meminta penilaianmu terhadap rasa makanan di restoran keluargaku," tanya Mingzu dengan penuh semangat. "Tidak bisa. Temanku sudah menyewa sirkuit dan kami akan berlomba di sana. Aku ingin mencoba seberapa kencang mobil baruku," tolak Brian. "Bagaimana kalau setelah itu?" "Aku akan memikirkannya nanti." Mingzu sangat tero
Serena menatap segala hidangan yang ada di meja makannya. Meja makan mewah dengan taplak berwarna putih dengan corak emas. Pelayan yang membawakan hidangan itu ke meja Serena. Lalu pandangan Serena beralih menatap seorang laki-laki yang duduk di hadapannya. Seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan kotak makan kecil yang berisikan telur goreng serta nasi.Berbanding terbalik dengan makanan milik Serena."Aku dengar kamu juga bekerja di sebuah cafe," tanya Serena mengambil garpu dan pisau."Benar. Aku bekerja di cafe malam hari," balas Yoshiro setelah membuka tutup kotak makannya."Apakah kamu tidak belajar?""Aku belajar hanya saat aku ingin belajar."Serena diam. Menurut data yang ia terima dan baca, seluruh nilai laki-laki itu selalu sempurna. Tidak ada satu pun kesalahan saat ujian diadakan. Menandakan bahwa memang otak laki-laki itu bekerja dengan benar. "Aku dengar kamu pintar memainkan piano," tanya Yoshiro menatap ke arah Serena."Sedikit," balas Serena."Bagaimana caranya m
Yoshiro yang sedang sibuk membersihkan meja pun langsung berdiri tegap untuk menyapa orang yang baru saja memasuki cafe tempatnya bekerja."Selamat malam," ujar Yoshiro dengan ragu menatap ke arah seorang gadis yang terlihat sangat elegan itu.jas, jam tangan, dan tas kecil. Semua barang-barang itu saja sudah menunjukkan betapa kayanya perempuan itu."Bisakah aku memesan sesuatu?" tanya tanya perempuan itu duduk di salah satu meja kosong."Silahkan," balas Yoshiro menaruh buku menu pada meja perempuan itu."Apakah memang selalu seperti ini? Sepi.""Selalunya tempat ini ramai. Kebetulan Anda datang lima menit sebelum cafe tutup. Jadi kondisinya memang hanya tersisa saya sekarang.""Di mana teman-temanmu?""Mereka sudah pulang duluan. Saya diminta untuk membuang sampah dan mengunci beberapa pintu.""Ah, begitu."Suasana hening. Yoshiro menatap secara saksama perempuan itu. Yoshiro mengetahui siapa perempuan itu.Ivona Olivia. Atau lebih sering dipanggil dengan sebutan Olivia. Pendiri se
Kelas XI-A. Hanya berisi sebelas murid saja. Murid-muriddi sana adalah murid istimewa yang memang memiliki keluarga terpandang. Atau lebih tepatnya, murid-murid yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan.Brian, Mingzu, dan Serena adalah sedikit contohnya. Lalu juga ada salah satu laki-laki berambut pirang. Berbadan kekar. Bernama Ven Cloris. Sama seperti Mingzu, ayah Ven memiliki kursi di dewan perwakilan rakyat pada periode sekarang. Membuat Ven bisa melakukan segala hal yang ia inginkan tanpa harus mengkhawatirkan apa pun. Berbanding terbalik dengan Brian yang tidak terlalu banyak berinteraksi. Ven selalu berinteraksi. Hanya saja dengan para wanita. Dengan tujuan untuk meniduri wanita itu.Sudah lebih dari seratus wanita yang sudah ditiduri oleh Ven. Lalu dibuang begitu saja. "Apakah kamu membutuhkan bantuan?" tanya Ven berdiri di samping kursi roda Serena."Tidak. Terima kasih," balas Serena menutup seluruh buku yang ada di meja belajarnya.Percakapan antara Ven dan Serena
Serena telah selesai memeriksakan kondisi kakinya di rumah sakit. Dokter yang menangani kakinya, mengatakan bahwa hanya butuh waktu sekitar satu bulan lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya.Serena menunggu di ruang tunggu obat. Bersama dengan Yoshiro. Mereka masih sama-sama menggunakan almamater High School Scarlt. Mereka tidak menunggu obat. Tanpa perlu ditunggu pun Serena bisa mendapatkan obatnya. Itu sudah diurus oleh anak buah ayahnya. Yang Serena tunggu adalah ayahnya yang akan datang menjemputnya."Pergi saja," usir Serena."Aku tidak menunggumu. Aku memang ingin berada di sini," jawab Yoshiro menyandarkan punggungnya pada kursi."Untuk apa kamu di sini? Ibumu saja tidak dirawat di sini. Tidak ada alasan untukmu tetap berada di sini.""Berbicaralah sesukamu. Tugasku sebagai pengawalmu hanya saat berada di sekolah. Saat di luar sekolah, aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Tanpa harus menuruti kemauanmu."Serena melirik ke arah Yoshiro. Laki-laki itu hanya diam. Me
Serena kembali dengan Honpil menggunakan mobil sport milik Honpil. Sedangkan Yoshiro kembali ke cafe untuk menjadi pelayan di sana. Honpil cukup senang saat mendengar laporan dari dokter bahwasannya keadaan kaki Serena mulai membaik. Hanya butuh sedikit waktu lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya."Bagaimana di sekolah? Apakah kamu mulai bisa terbiasa dengan kondisi yang sekarang?" tanya Honpil masih fokus dengan kondisi jalan di depannya."Baik-baik saja. Tapi akan lebih baik jika Ayah memperingati laki-laki bodoh itu untuk tidak menyerang semua orang yang dia lihat," balas Serena menatap ke arah luar kaca mobil di sampingnya."Yoshiro? Apakah dia melakukan sesuatu yang di luar perjanjian?""Dia menyerang Mingzu dan Ven. Dua orang yang jelas-jelas anak dari dewan perwakilan rakyat. Jika saja kedua orang itu ingin melaporkan kejadian itu kepada kedua orang tuanya, maka kita juga akan terlibat dalam masalah.""Benarkah? Apakah dia benar-benar melakukan itu? Kenapa tidak ada
Yoshiro berada di dalam mobil sport mewah. Keluaran terbaru. Berwarna putih. Yang terparkir jelas di depan cafe tempatnya bekerja.Tentu saja itu bukanlah miliknya. Melainkan milik seorang laki-laki yang satu sekolah dengannya. Seorang laki-laki yang tidak pernah ia sangka akan menemuinya dan mengajaknya untuk berbicara empat mata.Brain Mcknight. "Bukankah sangat aneh? Murid dari sekolah paling mahal di negeri ini bekerja paruh di cafe kecil seperti ini?" tanya Brain menatap secara saksama cafe tempat Yoshiro bekerja."Jangan samakan aku denganmu. Aku bukan anak pejabat atau anak pemilik perusahaan besar," balas Yoshiro."Lalu bagaimana bisa kamu masuk ke sana? Apakah ada orang yang mendaftarkanmu menggunakan nama keluarganya? Keluarga Mith contohnya?""Bukankah itu sudah sangat jelas? Lalu untuk apa kamu menanyakan itu padaku?""Begitu, 'ya? Mereka memintamu untuk menjaga Serena. Sebagai gantinya, mereka membayarmu untuk hal itu."Alasan yang sudah sangat jelas. Membuat Yoshiro tid
Kazue menghadap ke arah sebuah dermaga pelabuhan yang sudah dikosongkan. Bersama beberapa polisi khusus yang sudah berada di titik-titik persembunyian siap dengan sniper mereka.Kazue memiliki firasat bahwa dermaga itu adalah tempat di mana Honpil dan Serena dibawa. Kazue menatap ke arah sebelah kiri. Memandang sebuah mobil sport yang baru saja berhenti di sana. Lalu muncul dua orang yang Kazue cukup kenal. Yoshiro dan Brain."Anak kecil tidak boleh ke sini. Pergilah dan bermain bersama dengan orang yang seusia kalian," usir Kazue takut jika kedua orang itu akan merepotkannya."Saya anak dari perdana menteri. Saya datang karena melihat berita tentang teman satu kelas saya yang terlibat penculikan dan kemungkinan berada di sini," jawab Brain."Lalu? Kenapa kamu berada di sini? Ini sudah sepenuhnya urusan kepolisian. Yang tidak berkepentingan tidak boleh mendekat ke area ini," balas Kazue."Kamu pun sama. Pergilah. Ini bukan tugasmu," balas Kazue menatap ke arah Yoshiro. "Siapa kamu?"
Ven berada di luar balkon dengan ukuran cukup luas dengan posisi bisa melihat secara utuh area gerbang masuk sampai seluruh taman yang ada di depan rumah.Itu adalah rumah pribadinya. Yang tentu saja ia beli menggunakan uang ayahnya baru-baru ini. Dan ia membeli rumah itu memang untuk merencanakan penculikan itu.Ia berada di luar sana bersama dengan Yuki Yamazaki. Seorang Yakuza terkenal berdarah dingin yang tak pernah membiarkan lawannya hidup setelah melihat keberadaannya.Dan ada Serena yang pingsan di atas kursi roda bersama mereka berdua di balkon."Bukankah ini personil kita terlalu banyak kalau hanya untuk mengurus satu orang saja?" tanya Yuki menatap segala anak buahnya yang berjaga di halaman."Lebih baik sedia payung sebelum hujan bukan?" tanya Ven balik."Tapi saya rasa satu anggota saya saja cukup untuk mengalahkan anak itu.""Entah kenapa aku meragukan hal itu. Aku sempat melawan laki-laki itu dan kemampuannya benar-benar di luar pemikiran manusia.""Hee, aku jadi penasa
Ivona Olivia. Seorang pendiri Partai Unity yang sering mendapatkan gelar sebagai Gadis Es. Seorang perempuan yang dikelilingi oleh banyak perempuan. Dan tak pernah sekali pun terlihat berdua bersama laki-laki. Bahkan ketika harus berurusan dengan para kader atau politisi dari partai pun, Ivona lebih sering mengirim asisten kepercayaannya untuk berbicara dengan mereka.Ivona hanya datang saat pertemuan besar. Dan tak ingin terlihat berdua bersama seorang laki-laki. Tidak peduli apa pun status laki-laki itu serta sepenting apakah laki-laki itu di sistem kenegaraan.Ivona menatap secara saksama asisten kepercayaannya yang tiba-tiba saja memasuki ruangannya tanpa ia hubungi lebih dulu. Elaine Yuri. "Maaf jika saya mengganggu waktu Anda. Namun saya rasa Anda harus melihat berita ini," ujar Yuri menyodorkan tablet miliknya."Berita? Apakah ada yang penting?" tanya Ivona mengambil tablet itu."Komisaris polisi dan anak perempuannya diculik."Ivona membaca berita itu. Keningnya mengkerut. Be
Kazue menghadap ke arah sebuah dermaga pelabuhan yang sudah dikosongkan. Bersama beberapa polisi khusus yang sudah berada di titik-titik persembunyian siap dengan sniper mereka.Kazue memiliki firasat bahwa dermaga itu adalah tempat di mana Honpil dan Serena dibawa. Kazue menatap ke arah sebelah kiri. Memandang sebuah mobil sport yang baru saja berhenti di sana. Lalu muncul dua orang yang Kazue cukup kenal. Yoshiro dan Brain."Anak kecil tidak boleh ke sini. Pergilah dan bermain bersama dengan orang yang seusia kalian," usir Kazue takut jika kedua orang itu akan merepotkannya."Saya anak dari perdana menteri. Saya datang karena melihat berita tentang teman satu kelas saya yang terlibat penculikan dan kemungkinan berada di sini," jawab Brain."Lalu? Kenapa kamu berada di sini? Ini sudah sepenuhnya urusan kepolisian. Yang tidak berkepentingan tidak boleh mendekat ke area ini," balas Kazue."Kamu pun sama. Pergilah. Ini bukan tugasmu," balas Kazue menatap ke arah Yoshiro. "Siapa kamu?"
Yoshiro berada di dalam mobil sport mewah. Keluaran terbaru. Berwarna putih. Yang terparkir jelas di depan cafe tempatnya bekerja.Tentu saja itu bukanlah miliknya. Melainkan milik seorang laki-laki yang satu sekolah dengannya. Seorang laki-laki yang tidak pernah ia sangka akan menemuinya dan mengajaknya untuk berbicara empat mata.Brain Mcknight. "Bukankah sangat aneh? Murid dari sekolah paling mahal di negeri ini bekerja paruh di cafe kecil seperti ini?" tanya Brain menatap secara saksama cafe tempat Yoshiro bekerja."Jangan samakan aku denganmu. Aku bukan anak pejabat atau anak pemilik perusahaan besar," balas Yoshiro."Lalu bagaimana bisa kamu masuk ke sana? Apakah ada orang yang mendaftarkanmu menggunakan nama keluarganya? Keluarga Mith contohnya?""Bukankah itu sudah sangat jelas? Lalu untuk apa kamu menanyakan itu padaku?""Begitu, 'ya? Mereka memintamu untuk menjaga Serena. Sebagai gantinya, mereka membayarmu untuk hal itu."Alasan yang sudah sangat jelas. Membuat Yoshiro tid
Serena kembali dengan Honpil menggunakan mobil sport milik Honpil. Sedangkan Yoshiro kembali ke cafe untuk menjadi pelayan di sana. Honpil cukup senang saat mendengar laporan dari dokter bahwasannya keadaan kaki Serena mulai membaik. Hanya butuh sedikit waktu lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya."Bagaimana di sekolah? Apakah kamu mulai bisa terbiasa dengan kondisi yang sekarang?" tanya Honpil masih fokus dengan kondisi jalan di depannya."Baik-baik saja. Tapi akan lebih baik jika Ayah memperingati laki-laki bodoh itu untuk tidak menyerang semua orang yang dia lihat," balas Serena menatap ke arah luar kaca mobil di sampingnya."Yoshiro? Apakah dia melakukan sesuatu yang di luar perjanjian?""Dia menyerang Mingzu dan Ven. Dua orang yang jelas-jelas anak dari dewan perwakilan rakyat. Jika saja kedua orang itu ingin melaporkan kejadian itu kepada kedua orang tuanya, maka kita juga akan terlibat dalam masalah.""Benarkah? Apakah dia benar-benar melakukan itu? Kenapa tidak ada
Serena telah selesai memeriksakan kondisi kakinya di rumah sakit. Dokter yang menangani kakinya, mengatakan bahwa hanya butuh waktu sekitar satu bulan lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya.Serena menunggu di ruang tunggu obat. Bersama dengan Yoshiro. Mereka masih sama-sama menggunakan almamater High School Scarlt. Mereka tidak menunggu obat. Tanpa perlu ditunggu pun Serena bisa mendapatkan obatnya. Itu sudah diurus oleh anak buah ayahnya. Yang Serena tunggu adalah ayahnya yang akan datang menjemputnya."Pergi saja," usir Serena."Aku tidak menunggumu. Aku memang ingin berada di sini," jawab Yoshiro menyandarkan punggungnya pada kursi."Untuk apa kamu di sini? Ibumu saja tidak dirawat di sini. Tidak ada alasan untukmu tetap berada di sini.""Berbicaralah sesukamu. Tugasku sebagai pengawalmu hanya saat berada di sekolah. Saat di luar sekolah, aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Tanpa harus menuruti kemauanmu."Serena melirik ke arah Yoshiro. Laki-laki itu hanya diam. Me
Kelas XI-A. Hanya berisi sebelas murid saja. Murid-muriddi sana adalah murid istimewa yang memang memiliki keluarga terpandang. Atau lebih tepatnya, murid-murid yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan.Brian, Mingzu, dan Serena adalah sedikit contohnya. Lalu juga ada salah satu laki-laki berambut pirang. Berbadan kekar. Bernama Ven Cloris. Sama seperti Mingzu, ayah Ven memiliki kursi di dewan perwakilan rakyat pada periode sekarang. Membuat Ven bisa melakukan segala hal yang ia inginkan tanpa harus mengkhawatirkan apa pun. Berbanding terbalik dengan Brian yang tidak terlalu banyak berinteraksi. Ven selalu berinteraksi. Hanya saja dengan para wanita. Dengan tujuan untuk meniduri wanita itu.Sudah lebih dari seratus wanita yang sudah ditiduri oleh Ven. Lalu dibuang begitu saja. "Apakah kamu membutuhkan bantuan?" tanya Ven berdiri di samping kursi roda Serena."Tidak. Terima kasih," balas Serena menutup seluruh buku yang ada di meja belajarnya.Percakapan antara Ven dan Serena
Yoshiro yang sedang sibuk membersihkan meja pun langsung berdiri tegap untuk menyapa orang yang baru saja memasuki cafe tempatnya bekerja."Selamat malam," ujar Yoshiro dengan ragu menatap ke arah seorang gadis yang terlihat sangat elegan itu.jas, jam tangan, dan tas kecil. Semua barang-barang itu saja sudah menunjukkan betapa kayanya perempuan itu."Bisakah aku memesan sesuatu?" tanya tanya perempuan itu duduk di salah satu meja kosong."Silahkan," balas Yoshiro menaruh buku menu pada meja perempuan itu."Apakah memang selalu seperti ini? Sepi.""Selalunya tempat ini ramai. Kebetulan Anda datang lima menit sebelum cafe tutup. Jadi kondisinya memang hanya tersisa saya sekarang.""Di mana teman-temanmu?""Mereka sudah pulang duluan. Saya diminta untuk membuang sampah dan mengunci beberapa pintu.""Ah, begitu."Suasana hening. Yoshiro menatap secara saksama perempuan itu. Yoshiro mengetahui siapa perempuan itu.Ivona Olivia. Atau lebih sering dipanggil dengan sebutan Olivia. Pendiri se
Serena menatap segala hidangan yang ada di meja makannya. Meja makan mewah dengan taplak berwarna putih dengan corak emas. Pelayan yang membawakan hidangan itu ke meja Serena. Lalu pandangan Serena beralih menatap seorang laki-laki yang duduk di hadapannya. Seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan kotak makan kecil yang berisikan telur goreng serta nasi.Berbanding terbalik dengan makanan milik Serena."Aku dengar kamu juga bekerja di sebuah cafe," tanya Serena mengambil garpu dan pisau."Benar. Aku bekerja di cafe malam hari," balas Yoshiro setelah membuka tutup kotak makannya."Apakah kamu tidak belajar?""Aku belajar hanya saat aku ingin belajar."Serena diam. Menurut data yang ia terima dan baca, seluruh nilai laki-laki itu selalu sempurna. Tidak ada satu pun kesalahan saat ujian diadakan. Menandakan bahwa memang otak laki-laki itu bekerja dengan benar. "Aku dengar kamu pintar memainkan piano," tanya Yoshiro menatap ke arah Serena."Sedikit," balas Serena."Bagaimana caranya m