Keenan harus mengakui kemampuan bela diri Yoshiro. Karena laki-laki muda itu berhasil membuat kedua anak buah kepercayaannya terkapar di tanah, setelah melakukan pertarungan sengit.
Yoshiro mendapatkan luka lebam akibat pertarungan itu. Namun Yoshiro terlihat masih memiliki tenaga untuk bertarung melawan Keenan. "Haruskah kita menyelesaikan ini?" tanya Yoshiro dengan tatapan tajam ke arah Keenan. "Bukankah semua yang sudah dimulai harus diselesaikan?" tanya Keenan melepaskan jas hitam miliknya. Menyisakan kemeja putih. Keenan menerjang maju. Dengan kecepatan yang sangat cepat. Selama ini tidak ada orang yang bisa memperhitungkan kapan Keenan akan mendaratkan kakinya dan di mana Keenan akan muncul setelah bergerak dengan kecepatan tinggi seperti itu. Namun Yoshiro bisa. Tinju keras Keenan yang seharusnya mengenai kepala Yoshiro, melenggang begitu saja karena Yoshiro menggeser kepalanya menjauh dari jalur lintas kepalan tangan Keenan. "Di mana kamu belajar ilmu bela diri?" tanya Keenan dengan kondisi belum menarik tangannya kembali. "Aku tidak pernah belajar," balas Yoshiro menarik tangannya dan mulai menyerang Keenan. Keenan yang tadinya mengambil posisi menyerang, kini berubah menjadi posisi bertahan. Menahan segala pukulan Yoshiro yang mengarah pada tubuhnya. Cukup keras. Namun sama sekali tidak menghasilkan apa pun. Yoshiro yang menyadari itu pun menghentikan pergerakannya dan melangkah mundur satu langkah. "Pergerakanmu tadi membuktikan perkataanmu. Jika kamu memang belajar bela diri, kamu pasti tidak akan menyerang seperti itu. Membuang banyak tenaga saat kamu sendiri tau bahwa tenagamu hanya tersisa sedikit," balas Keenan menatap ke arah bagian pergelangan tangannya yang terlihat mulai memerah. "Apakah memang semua mafia banyak bicara sepertimu? Bukankah seharusnya mereka diam dan bergerak secepat mungkin untuk menyingkirkan musuhnya?" tanya Yoshiro. "Aku tidak menyelesaikan ini dengan cepat. Karena aku tau kamu tidak akan pergi dari tempat ini. Bukan karena kamu tidak bisa melarikan diri. Kamu bisa saja pergi daritadi. Tapi kamu memilih untuk tetap berada di sini. Bertarung. Untuk melindungi orang yang ada di rumah sakit itu. Kamu khawatir bahwa aku akan menyeret ibumu dalam masalah bukan?" "Benar-benar merepotkan. Bagaimana orang sepintar dirimu bisa berada di organisasi kotor seperti itu?" "Kita sama. Hanya saja kamu belum mengerti saja betapa mengerikannya dunia ini. Jika kamu tumbuh lebih besar sedikit lagi, kamu pasti akan mengerti bahwa tindakanku kali ini adalah hal yang benar." Pertarungan kembali terjadi. Yoshiro dan Keenan saling menyerang satu sama lain. Keenan benar-benar terlihat mendominasi. Walau Yoshiro memiliki beberapa kali kesempatan untuk menyerang, semua serangan Yoshiro benar-benar tidak memberikan luka yang berarti. Berbanding terbalik dengan Keenan yang bisa langsung memberikan rasa sakit yang benar-benar tak tertahankan hanya dengan sekali pukulan. Yoshiro ambruk ke tanah. Keenan menggunakan kesempatan itu untuk menekan dada Yoshiro menggunakan kakinya. Hanya saja Yoshiro sempat menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sehingga menghalangi kaki Keenan menyentuh dadanya. "Jangan berpikir kamu bisa mengalahkan ku anak kecil. Aku sudah berada di jalanan sebelum kamu lahir. Kamu tidak akan bisa mengalahkan ku dengan kemampuan selemah itu," ujar Keenan menguatkan pijakan kaki kanannya. "Bodoh sekali. Aku tidak peduli kapan kamu mulai bertarung di jalan. Aku akan tetap melawan siapa pun orang yang harus aku lawan," balas Yoshiro memperkuat kedua tangannya. "Lihatlah kenyataannya baik-baik. Tidak peduli seberapa banyak pekerjaan yang kamu ambil. Tidak peduli seberapa lama kamu habiskan waktumu untuk bekerja. Kamu tidak akan mendapatkan apa pun. Uang yang kamu kumpulkan tidak akan bisa membayar biaya rumah sakit ibumu." "Benar. Aku tau itu. Maka dari itu, aku berusaha. Setidaknya dengan begini, aku bisa terlihat hebat di depan ibuku. Kalau pun dia memang harus pergi setelah ini, setidaknya aku bisa menghadiri pemakamannya tanpa ada rasa penyesalan." Keenan tersenyum mendengar itu. Ia mengubah posisi kakinya. Yang tadinya menginjak kini menendang. Berhasil. Membuat tubuh Yoshiro terpental sampai ke membentur tembok. Lalu seperti dugaannya, Yoshiro kembali berdiri. Ya, laki-laki itu akan selalu kembali berdiri bagaimana pun kondisi tubuhnya. Sebelum jantungnya berhenti berdetak, laki-laki itu akan tetap bertarung. "Apakah kamu rela masa depanmu rusak hanya untuk masa depan ibumu yang sudah pasti akan tiada? Bahkan jika memang dia bisa disembuhkan, pasti suatu saat nanti dia akan tiada karena umurnya. Berbeda denganmu yang masih muda. Kamu akan hancur dengan kondisimu yang seperti ini," tanya Keenan menggenggam tangannya di balik badan. "Aku tidak peduli dengan masa depanku. Aku hanya ingin melakukan segala hal yang aku bisa. Apa pun yang terjadi padaku di masa depan, itu adalah takdir. Yang terpenting adalah masa sekarang," balas Yoshiro. Keenan kembali menerjang Yoshiro. Mengarahkan pukulan ke arah kepala Yoshiro. Yoshiro pun melakukan hal yang sama. Ia berlari ke arah Keenan dengan tangan bersiap memukul bagian perut Keenan. Keenan unggul salam kekuatan dan kecepatan. Keenan bisa mudah dalam adu pukulan itu. Hanya saja Keenan melakukan kesalahan. Keenan menutup matanya tidak lama setelah melepaskan pukulannya. Membuat pukulan Keenan tidak mengenai tubuh Yoshiro. Dan pukulan Yoshiro mengenai perut Keenan. Dengan segala kekuatan yang tersisa membuat Keenan berlutut dan ambruk di tanah.Brian berdiri di dalam kelas XI-A. Kelas yang memang diisi oleh murid-murid yang berasal dari keluarga kolongmerat. Tidak ada satu pun murid miskin di sana. Semua yang masuk ke sana sudah dipastikan memiliki uang jajan harian yang melebihi gaji para guru yang ada di sekolah. Brian menatap bingung Yoshiro yang sedang terlihat mendorong kursi roda Serena. Dan sepertinya ingin membawa perempuan itu ke ruang makan. Tidak lama pandangan Brian beralih menatap ke seorang wanita yang tiba-tiba saja datang dan berdiri di sisinya. Mingzu. "Apakah kamu sudah makan? Kebetulan keluargaku membeli sebuah restoran besar di pusat kota. Maukah kamu ke sana bersamaku? Aku ingin meminta penilaianmu terhadap rasa makanan di restoran keluargaku," tanya Mingzu dengan penuh semangat. "Tidak bisa. Temanku sudah menyewa sirkuit dan kami akan berlomba di sana. Aku ingin mencoba seberapa kencang mobil baruku," tolak Brian. "Bagaimana kalau setelah itu?" "Aku akan memikirkannya nanti." Mingzu sangat tero
Serena menatap segala hidangan yang ada di meja makannya. Meja makan mewah dengan taplak berwarna putih dengan corak emas. Pelayan yang membawakan hidangan itu ke meja Serena. Lalu pandangan Serena beralih menatap seorang laki-laki yang duduk di hadapannya. Seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan kotak makan kecil yang berisikan telur goreng serta nasi.Berbanding terbalik dengan makanan milik Serena."Aku dengar kamu juga bekerja di sebuah cafe," tanya Serena mengambil garpu dan pisau."Benar. Aku bekerja di cafe malam hari," balas Yoshiro setelah membuka tutup kotak makannya."Apakah kamu tidak belajar?""Aku belajar hanya saat aku ingin belajar."Serena diam. Menurut data yang ia terima dan baca, seluruh nilai laki-laki itu selalu sempurna. Tidak ada satu pun kesalahan saat ujian diadakan. Menandakan bahwa memang otak laki-laki itu bekerja dengan benar. "Aku dengar kamu pintar memainkan piano," tanya Yoshiro menatap ke arah Serena."Sedikit," balas Serena."Bagaimana caranya m
Yoshiro yang sedang sibuk membersihkan meja pun langsung berdiri tegap untuk menyapa orang yang baru saja memasuki cafe tempatnya bekerja."Selamat malam," ujar Yoshiro dengan ragu menatap ke arah seorang gadis yang terlihat sangat elegan itu.jas, jam tangan, dan tas kecil. Semua barang-barang itu saja sudah menunjukkan betapa kayanya perempuan itu."Bisakah aku memesan sesuatu?" tanya tanya perempuan itu duduk di salah satu meja kosong."Silahkan," balas Yoshiro menaruh buku menu pada meja perempuan itu."Apakah memang selalu seperti ini? Sepi.""Selalunya tempat ini ramai. Kebetulan Anda datang lima menit sebelum cafe tutup. Jadi kondisinya memang hanya tersisa saya sekarang.""Di mana teman-temanmu?""Mereka sudah pulang duluan. Saya diminta untuk membuang sampah dan mengunci beberapa pintu.""Ah, begitu."Suasana hening. Yoshiro menatap secara saksama perempuan itu. Yoshiro mengetahui siapa perempuan itu.Ivona Olivia. Atau lebih sering dipanggil dengan sebutan Olivia. Pendiri se
Kelas XI-A. Hanya berisi sebelas murid saja. Murid-murid di sana adalah murid istimewa yang memang memiliki keluarga terpandang. Atau lebih tepatnya, murid-murid yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan. Brian, Mingzu, dan Serena adalah sedikit contohnya. Lalu juga ada salah satu laki-laki berambut pirang. Berbadan kekar. Bernama Ven Cloris. Sama seperti Mingzu, ayah Ven memiliki kursi di dewan perwakilan rakyat pada periode sekarang. Membuat Ven bisa melakukan segala hal yang ia inginkan tanpa harus mengkhawatirkan apa pun. Berbanding terbalik dengan Brian yang tidak terlalu banyak berinteraksi. Ven selalu berinteraksi. Hanya saja dengan para wanita. Dengan tujuan untuk meniduri wanita itu. Sudah lebih dari seratus wanita yang sudah ditiduri oleh Ven. Lalu dibuang begitu saja. "Apakah kamu membutuhkan bantuan?" tanya Ven berdiri di samping kursi roda Serena. "Tidak. Terima kasih," balas Serena menutup seluruh buku yang ada di meja belajarnya. Percakapan antara Ve
Serena telah selesai memeriksakan kondisi kakinya di rumah sakit. Dokter yang menangani kakinya, mengatakan bahwa hanya butuh waktu sekitar satu bulan lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya.Serena menunggu di ruang tunggu obat. Bersama dengan Yoshiro. Mereka masih sama-sama menggunakan almamater High School Scarlt. Mereka tidak menunggu obat. Tanpa perlu ditunggu pun Serena bisa mendapatkan obatnya. Itu sudah diurus oleh anak buah ayahnya. Yang Serena tunggu adalah ayahnya yang akan datang menjemputnya."Pergi saja," usir Serena."Aku tidak menunggumu. Aku memang ingin berada di sini," jawab Yoshiro menyandarkan punggungnya pada kursi."Untuk apa kamu di sini? Ibumu saja tidak dirawat di sini. Tidak ada alasan untukmu tetap berada di sini.""Berbicaralah sesukamu. Tugasku sebagai pengawalmu hanya saat berada di sekolah. Saat di luar sekolah, aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Tanpa harus menuruti kemauanmu."Serena melirik ke arah Yoshiro. Laki-laki itu hanya diam. Me
Serena kembali dengan Honpil menggunakan mobil sport milik Honpil. Sedangkan Yoshiro kembali ke cafe untuk menjadi pelayan di sana. Honpil cukup senang saat mendengar laporan dari dokter bahwasannya keadaan kaki Serena mulai membaik. Hanya butuh sedikit waktu lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya."Bagaimana di sekolah? Apakah kamu mulai bisa terbiasa dengan kondisi yang sekarang?" tanya Honpil masih fokus dengan kondisi jalan di depannya."Baik-baik saja. Tapi akan lebih baik jika Ayah memperingati laki-laki bodoh itu untuk tidak menyerang semua orang yang dia lihat," balas Serena menatap ke arah luar kaca mobil di sampingnya."Yoshiro? Apakah dia melakukan sesuatu yang di luar perjanjian?""Dia menyerang Mingzu dan Ven. Dua orang yang jelas-jelas anak dari dewan perwakilan rakyat. Jika saja kedua orang itu ingin melaporkan kejadian itu kepada kedua orang tuanya, maka kita juga akan terlibat dalam masalah.""Benarkah? Apakah dia benar-benar melakukan itu? Kenapa tidak ada
Yoshiro berada di dalam mobil sport mewah. Keluaran terbaru. Berwarna putih. Yang terparkir jelas di depan cafe tempatnya bekerja.Tentu saja itu bukanlah miliknya. Melainkan milik seorang laki-laki yang satu sekolah dengannya. Seorang laki-laki yang tidak pernah ia sangka akan menemuinya dan mengajaknya untuk berbicara empat mata.Brain Mcknight. "Bukankah sangat aneh? Murid dari sekolah paling mahal di negeri ini bekerja paruh di cafe kecil seperti ini?" tanya Brain menatap secara saksama cafe tempat Yoshiro bekerja."Jangan samakan aku denganmu. Aku bukan anak pejabat atau anak pemilik perusahaan besar," balas Yoshiro."Lalu bagaimana bisa kamu masuk ke sana? Apakah ada orang yang mendaftarkanmu menggunakan nama keluarganya? Keluarga Mith contohnya?""Bukankah itu sudah sangat jelas? Lalu untuk apa kamu menanyakan itu padaku?""Begitu, 'ya? Mereka memintamu untuk menjaga Serena. Sebagai gantinya, mereka membayarmu untuk hal itu."Alasan yang sudah sangat jelas. Membuat Yoshiro tid
Kazue menghadap ke arah sebuah dermaga pelabuhan yang sudah dikosongkan. Bersama beberapa polisi khusus yang sudah berada di titik-titik persembunyian siap dengan sniper mereka.Kazue memiliki firasat bahwa dermaga itu adalah tempat di mana Honpil dan Serena dibawa. Kazue menatap ke arah sebelah kiri. Memandang sebuah mobil sport yang baru saja berhenti di sana. Lalu muncul dua orang yang Kazue cukup kenal. Yoshiro dan Brain."Anak kecil tidak boleh ke sini. Pergilah dan bermain bersama dengan orang yang seusia kalian," usir Kazue takut jika kedua orang itu akan merepotkannya."Saya anak dari perdana menteri. Saya datang karena melihat berita tentang teman satu kelas saya yang terlibat penculikan dan kemungkinan berada di sini," jawab Brain."Lalu? Kenapa kamu berada di sini? Ini sudah sepenuhnya urusan kepolisian. Yang tidak berkepentingan tidak boleh mendekat ke area ini," balas Kazue."Kamu pun sama. Pergilah. Ini bukan tugasmu," balas Kazue menatap ke arah Yoshiro. "Siapa kamu?"
Sheila menggaruk keningnya saat melihat ada banyak sekali laporan perusahaan yang menumpuk di meja kerjanya. Sheila sudah bergabung dengan perusahaan milik Keluarga Olivia semenjak keberangkatan Yoshiro ke Jepang sebelas tahun lalu.Selama sebelas tahun itu, Yoshiro dan Ivona selalu menyempatkan waktu untuk kembali dan menemui Sheila. Namun satu tahun ke belakangan ini kedua orang itu sama sekali tidak memberikan tanda-tanda bahwa akan kembali. Membuat Sheila sedikit takut jika seandainya ada sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.Perhatian Sheila teralihkan saat mendengar ada suara ketukan pintu. Ia merasa malas karena ia yakin itu adalah salah satu bawahannya yang membawa dokumen untuk diperiksa."Masuk," ujar Sheila dengan suara lemas.Pintu terbuka. Namun tidak terlalu lebar. Sheila memandangi pintu itu, bertanya-tanya siapakah orang yang sedang mengerjainya. Serena? Tidak, Sheila yakin itu bukan Serena. Karena pada jam seperti sekarang, Serena masih berada di universitas dan bar
Yoshiro dan Ivona sudah berada di Jepang selama beberapa minggu. Dan mereka lebih sibuk dari biasanya. Bahkan Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah. Namun semuanya mulai membaik setelah dua minggu berlalu.Ivona sudah mulai bisa bernafas lega dan pulang ke rumah lebih awal. Sedangkan Yoshiro juga sudah mulai berhasil mengikuti lebih banyak kelas di universitas tempatnya berkuliah.Seperti saat ini, Yoshiro dan Ivona sedang berada di cafe kecil. Ivona menikmati kopi hitam. Dan Yoshiro menikmati minuman cokelat hangat."Aku akan mulai menyerahkan tanggung jawab beberapa perusahaan pada CEO yang aku tunjuk mulai minggu depan. Jadi kemungkinan aku akan memimpin satu perusahaan utama dan hotel yang kamu pegang sekarang," ujar Ivona memegang gelas kopinya dengan kedua tangan untuk memastikan seberapa panas kopi itu."Aku rasa tidak masalah jika aku yang masih memimpin hotel itu. Lagipula membiarkanmu bekerja sendiri, itu tidak masuk di akalku. Lebih baik kamu me
Yoshiro menghela nafas sambil memandang ke arah pantai. Ia melepaskan segala penatnya setelah selama seminggu dirinya harus fokus pada ujian akhir sekolahnya. Dan kini ia sudah berhasil melewati itu semua. Hanya sisa pengambilan berkas nilai. Lalu acara kelulusan siswa.Pandangan Yoshiro teralihkan dari ombak pantai saat melihat sebuah mobil putih menuju ke arahnya dan berhenti tepat di hadapan mobilnya. Pemilik mobil itu keluar. Kening Yoshiro mengkerut. Ia mengenal siapa perempuan itu. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah kenapa perempuan itu ada di sini? Bukankah seharusnya perempuan itu berada di kantor untuk menyelesaikan tugasnya?Ivona Olivia. Pemimpin Keluarga Olivia yang sebentar lagi akan berpindah ke Jepang untuk membangun beberapa perusahaan baru bersama Yoshiro."Apakah ada masalah?" tanya Yoshiro menghadap Ivona."Tidak ada. Aku sempat melacak mobilmu dan melihatnya menuju ke arah pantai. Aku berpikir bahwa kamu sedang bersama seseorang di sini. Jadi aku ke mari,"
Yoshiro terkejut saat Ivona datang ke kantornya dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Perempuan itu masih menggunakan setelan jas berwarna hitam. Menandakan bahwa perempuan itu langsung menemuinya setelah melakukan rapat penting di kantor utama. "Kenapa?" tanya Yoshiro bangkit dari kursi kerjanya."Tidak ada. Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Kita sudah lama tidak makan bersama bukan?" jawab Ivona menutup pintu."Bukankah akan menjadi masalah jika ada orang yang melihat kita bersama?""Kita makan di sini. Aku sudah memesan makanan. Dan akan diantar oleh Yuri.""Kenapa tidak makan nanti setelah pulang dari kantor saja?""Aku ingin makan sekarang. Kenapa? Apakah tidak boleh?""Boleh."Ivona duduk di sofa. Lalu Yoshiro pun duduk di samping Ivona. Ivona merangkul tangan Yoshiro. Dan menyandarkan kepalanya pada bahu Yoshiro."Aku belum membelikanmu hadiah ulang tahun. Kemarin pun tidak sempat merayakannya karena kamu pulang tengah malam," ujar Ivona."Tidak masalah. Kita sudah sama-sam
Yoshiro berjalan mengendap-endap saat memasuki kamar. Karena ia melihat ada tubuh Ivona terbaring di atas kasurnya. Ia tidak mengerti mengapa perempuan itu akhir-akhir ini lebih sering tidur di kamarnya. Namun itu jelas-jelas membuatnya tidak memiliki banyak ruang.Secara hati-hati, Yoshiro melepas jas dan sepatunya. Lalu duduk di kasur secara perlahan supaya tidak membuat kasur bergoyang. Namun tiba-tiba saja tubuh Ivona bangkit dan membuat Yoshiro terkejut."Kenapa kamu baru pulang?!" tanya Ivona dengan nada keras."Aku bertemu dengan teman lamaku. Bukankah aku sudah mengirim pesan tadi?" balas Yoshiro dengan nada lemah karena takut."Kamu hari ini ulang tahun! Kenapa kamu tidak bertemu dengan temanmu besok atau lusa saja?! Seharusnya kamu menghabiskan hari ini bersamaku!""Aku tidak pernah merayakan hari ulang tahunku. Aku pikir tidak ada perayaan spesial hari ini. Dan aku pikir kamu tidak tau. Jadi aku minum bersama temanku sepulang kerja.""Kamu minum?""Sedikit.""Berapa orang?"
Keenan mendatangi club malam yang selalu menjadi tempat berkumpulnya dengan anggota kelompok White Owl. Ia datang bukan untuk bertemu dengan client yang ingin menyewa jasa kelompoknya. Melainkan karena ia mendapatkan kabar bahwa ada seorang laki-laki mengamuk di bar dan menghantam seluruh orang termasuk seluruh anggota White Owl yang sedang asik berdansa di sana.Saat memasuki club, sama sekali tidak ada suara musik terdengar. Bahkan tidak ada suara-suara orang. Benar-benar senyap. Saat Keenan mulai masuk lebih dalam, Keenan bisa melihat ada banyak sekali orang terkapar di lantai dengan luka memar dan beberapa bagian wajah mengeluarkan darah. Di antara semua orang yang jatuh pingsan itu, ada seorang laki-laki menggunakan jas sedang duduk di kursi meja bar. Dengan gelas kecil dan sebotol minuman beralkohol."Apa kamu ke sini untuk membunuhku?" tanya Keenan pada laki-laki itu.Remaja itu memutar badannya. Dan saat itu Keenan bisa melihat jelas sosok laki-laki yang telah mengacaukan mar
Jika biasanya, Sheila akan membuat roti atau berbelanja kebutuhan sehari-hari setelah Serena berangkat sekolah, kali ini tidak. Itu harus ia tunda lebih dulu. Karena anak laki-lakinya datang ke apartemen tanpa memberikan kabar lebih dulu.Yoshiro dan Sheila duduk di meja makan. Dengan segelas teh hangat dan cemilan ringan yang Sheila ambil dari rak dapur."Apa kamu tidak sekolah? Bukankah sebentar lagi ujian akhir?" tanya Sheila khawatir."Jam sekolahku lebih lambat dari Serena. Aku masuk sekolah lebih siang," balas Yoshiro.Sheila mengangguk. Anak laki-lakinya itu datang menggunakan seragam almamater sekolah dan tas sekolah. Menandakan bahwa memang sejak awal, Yoshiro sudah memiliki niatan untuk pergi ke sekolah."Tentang Ibu yang ingin bekerja di perusahaan Keluarga Olivia. Apa Ibu yakin dengan itu?" tanya Yoshiro memegang gelasnya dengan kedua tangan."Ibu rasa itu tidak ada salahnya. Bekerja membantu Ivona yang selama ini sudah membantu kita. Dan terlebih lagi, terkadang Ibu berpi
Yoshiro masuk ke dalam kamarnya membawa sebuah goodie bag berwarna cokelat. Ia terkejut saat melihat Ivona sudah berdiri di depan meja kerjanya dengan kondisi laptopnya menyela. Namun keterjutan itu menghilang beberapa detik setelah itu.Yoshiro masuk ke dalam kamar. Menutupi pintu kamar. Dan menaruh goodie bagnya ke atas meja kerjanya."Kamu pergi ke mall?" tanya Ivona mematikan layar laptop Yoshiro."Benar. Aku pergi ke mall saat jam istirahat," jawab Yoshiro melepaskan jasnya menyisakan kemeja putihnya saja."Apa yang kamu lakukan di sana?""Aku membeli tas, sepatu, dan buku untuk ibuku. Lalu aku juga sempat menonton film sebentar. Kenapa tiba-tiba saja kamu berbicara dengan nada lembut seperti sekarang?""Tidak ada."Ivona duduk di sisi tepi kasur. Mengamati Yoshiro yang sedang melepas sepatu dan kaos kakinya. Yoshiro bukanlah seorang pembohong. Ivona yakin sekali dengan itu. Namun entah mengapa, saat ini Yoshiro menutupinya. Seorang perempuan yang ada di sisinya di foto."Baumu s
Yuri menaruh kopi kaleng di atas meja kerja Ivona. Perempuan itu melewatkan jam makan siang dengan alasan karena sudah makan makanan yang dimasak oleh Yoshiro tadi pagi. Yuri tidak tau apakah itu hal yang baik atau buruk. Namun yang jelas, semua kebiasaan Ivona sudah mulai berubah semenjak Yoshiro berada di sisinya. Ivona yang selalu tidak memiliki kesempatan untuk makan pagi, kini selalu bangun lebih pagi lalu makan di rumah dan berangkat ke kantor dalam posisi kenyang."Bagaimana ibu Yoshiro? Saya akan kesusahan jika harus mengurus seluruh perusahaan yang ada di negeri ini seorang diri," tanya Yuri."Aku belum membicarakannya. Namun aku rasa, masih ada kesempatan untuk membujuknya. Dia bukan orang yang keras kepala," balas Ivona mengambil kopi kaleng."Sebenarnya beberapa hari lalu, Serena mendatangi Yoshiro dan meminta untuk bekerja paruh waktu di salah satu anak perusahaan milikku," lanjut Ivona."Lalu dia menerimanya?" tanya Yuri dengan cemas."Tidak. Dia menolaknya," jawab Ivon