“Pak Lucas, apa yang Bapak–ah!”
Belum sempat Inge menyelesaikan ucapannya, badan perempuan kurus itu sudah ditarik oleh ayah dari Naomi, murid yang baru saja dia antar pulang, ke dalam kamar. Pria itu memeluknya erat-erat.
“Pak Lucas, lepas–”
“Aku kangen kamu, Karina ....”
Gumaman Lucas tersebut membuat Inge mengernyit. Wanita itu mencium bau alkohol yang kuat dari ayah muridnya tersebut.
“Pak, saya Inge, guru Nao–”
Belum sempat Inge menyelesaikan ucapannya, bibirnya langsung dibungkam oleh ciuman panas dari Lucas. Pria itu membawa Inge ke tempat tidur tanpa melepaskan ciuman, sekalipun Inge memberontak.
“Pak–Pak Lucas, Anda–mmph–”
Inge mendapatkan serangan ciuman bertubi-tubi, membuatnya kewalahan.
Sekuat tenaga Inge melawan, mencoba mendorong pria itu menjauh dari tubuhnya. Ia bahkan memukul, mencakar, dan menjambak. Namun, Inge yang kurus sama sekali bukan tandingan tubuh tegap berotot milik ayah muridnya tersebut. Tubuh Lucas tetap kukuh di sana, menjamahnya dengan sentuhan panas sembari terus mengumamkan sebuah nama.
Karina.
Hingga akhirnya, setelah semuanya tuntas, Lucas berbaring di sebelah Inge sembari memeluk wanita yang kini tengah terisak. Kesadaran Lucas berangsur menghilang setelahnya, membuat Inge memanfaatkan situasi untuk pergi dari sana.
Dengan wajah penuh bekas air mata, Inge memunguti bajunya dan bergegas memakainya kembali.
Badannya sakit, hatinya lebih sakit, hancur berkeping-keping apalagi saat ia melihat wajahnya yang berantakan di cermin.
Baru saja ia hendak merapikannya, Lucas bergerak dalam tidurnya, kembali menggumamkan nama Karina.
Tanpa pikir ulang lagi, dengan tenaga yang tersisa dia berlari menuruni tangga sembari mengusap bekas air mata di pipinya.
“Kita langsung kembali ke sekolah, Miss?” sapa sang sopir, begitu dia melihat Inge. Ia adalah sopir yang bertugas mengantarkan Inge tadi dengan mobil sekolah.
“Iya, Pak,” jawab Inge lirih, sembari menahan tangis.
Pikirannya kalut. Masih tidak bisa memproses bahwa Lucas, pria yang selama ini dia kenal sebagai wali murid yang begitu sopan, telah menodainya.
Siang ini, Inge datang ke rumah Lucas karena harus mengantar Naomi, putri Lucas, yang juga merupakan anak asuh di tempatnya mengajar. Pengasuh Naomi yang biasanya menjemput gadis cilik itu pulang sedang sakit, sehingga Inge bertanggung jawab untuk memastikan Naomi pulang sampai rumah.
Sebagai cucu pendiri sekolah, Naomi memang sering mendapat perlakuan khusus. Dan ini bukan pertama kalinya.
Namun, biasanya Inge hanya akan mengantar Naomi sampai pintu gerbang. Akan tetapi kali ini, bocah berusia 4 tahun itu tertidur di perjalanan, sehingga Inge harus menggendong dan menidurkan Naomi hingga ke dalam kamar.
“Langsung ke lantai dua aja, Miss. Pintu kanan yang ada stiker kelinci,” terang penjaga keamanan di rumah Lucas tadi saat Inge datang.
Dia naik tanpa prasangka apa-apa. Ternyata setelah dia keluar dari kamar Naomi, terjadilah peristiwa itu.
“Apa yang harus aku lakukan?” batin Inge. “Apakah aku harus melapor? Meminta tanggung jawab? Menyuruh ia meminta maaf?”
Lucas adalah anak dari pendiri sekolah ini, sekaligus salah satu donatur tetap yang kontribusinya amat besar. Jika memang Inge melapor untuk pertanggung jawaban pria itu, siapa ia harus melapor? Pria itu bukan pria sembarangan. Yang sempat Inge dengar, bisnis Lucas menggurita di kota ini. Pastilah dengan begitu, pria itu mempunyai banyak koneksi orang-orang penting.
Lagi pula apakah atasannya akan percaya dengan ceritanya? Tidak ada saksi saat kejadian itu.
Selain itu … ah, Inge menjadi bingung sendiri. 'Apa yang sebenarnya aku inginkan? Memangnya apa yang bisa mengobati rasa sakit hatiku ini?'
Begitu sampai di sekolah, Inge langsung pergi di kamar mandi untuk membersihkan bagian tubuhnya yang terjamah Lucas. Sekuat tenaga ia menahan tangis sembari melakukan itu.
Tiba-tiba, pintu kamar mandi diketuk keras.
“Inge! Kamu yang di dalam?” seru si pengetuk pintu. Itu suara Bu Farah, kepala sekolahnya.
Inge tergeragap. “I-iya, Bu,” jawabnya pelan. Buru-buru ia merapikan penampilannya dan membuka pintu.
Begitu mereka berhadapan, Inge mendengar kepala sekolahnya itu menghela napas panjang.
“Kamu menangis lagi?” tembak Bu Farah langsung. “Aduh, Inge. Kenapa? Saya lihat kemarin kamu sudah lebih tegar.”
Inge langsung menunduk. Tidak tahu harus menjawab apa.
“Saya tahu perceraianmu itu sangat berat, tapi tetap jaga profesionalitas kamu di tempat kerja ya,” ucap Bu Farah lagi. Sekalipun nada suaranya lembut, tapi ucapannya benar-benar menusuk hati Inge. “Mungkin saya bisa maklum dengan masalah kamu. Tapi bukan berarti orang lain akan melakukan hal yang sama.”
Bu Farah menepuk bahu Inge dua kali. Dan Inge justru makin menunduk, air matanya mengalir.
Seandainya Bu Farah tahu bahwa kali ini dia tidak sedang menangisi perceraiannya.
“Saya ada tugas khusus untuk kamu, sekalian buat mengalihkan pikiran kamu dari kesedihan,” ucap Bu Farah lagi. “Terkait acara pentas seni bulan depan. Saya harap kamu berusaha semaksimal mungkin. Jangan kecewakan saya.”
Inge menatap Bu Farah dalam diam.
Wanita yang bicaranya tegas dan kadang menusuk ini kerap kali memotivasinya. Bahkan, sekalipun tidak pernah diminta, Bu Farah beberapa kali memberikan sedikit ruang pada Inge selama ia mengurusi proses perceraian dengan mantan suaminya yang selingkuh.
Sehingga, sempat terlintas dalam kepala Inge untuk mengatakan apa yang baru saja terjadi padanya ke atasannya ini.
Namun, akhirnya ia urung. Terlalu malu.
“Baik, Bu.” Pada akhirnya, Inge menyahut sebelum kemudian kembali ke kursinya.
Ia berusaha menjalani harinya seperti biasa, seakan-akan tidak ada kejadian apa pun saat ia mengantar anak didiknya pulang. Hingga akhirnya ia sampai pada kesimpulan kalau ia akan benar-benar melupakan hal itu saja.
Namun, keesokan harinya, tiba-tiba saja ia dipanggil oleh Bu Farah.
“Ya, Bu?” sapa Inge. Ia bertanya-tanya apakah ada masalah lain yang ia sebabkan. Apakah ada yang mengadu lagi ke atasannya tersebut kalau Inge menangis diam-diam di kursinya kemarin?
Akan tetapi, rupanya ada yang lebih mengejutkan lagi.
“Pak Lucas mencarimu. Ia meminta untuk bertemu denganmu sekarang,” ucap Bu Farah dengan ekspresi serius. “Kamu tidak membuat masalah kan, Ing?”
Jantung Inge terasa seperti berhenti berdetak saat mendengarnya.
“Inge, saya berharap kamu sedang tidak membuat masalah dengan Pak Lucas,” kata Bu Farah lagi. Matanya memandang tajam kepada Inge. “Kamu tahu kan siapa Pak Lucas itu?”Inge diam. Ia hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan atasannya.“Dia bukan sekedar wali murid biasa, tapi dia masih bos kita, karena Pak Lucas itu putra Pak Benny, pendiri sekaligus direktur sekolah kita,” jelas Bu Farah kemudian, mengatakan sesuatu yang sudah Inge tahu. “Y-ya, Miss,” jawab Inge dengan nada tipis. “Ya sudah, segera temui Pak Lucas.”Inge mengundurkan diri dengan sedikit membungkukkan punggung. Kemudian menuju ke ruang tamu, yang letaknya di sebelah ruang guru.Tubuh Inge bergetar ketika mendorong pintu. Apalagi saat menemukan lelaki itu sedang duduk di salah satu sofa. Perasaan malu, benci dan takut seketika mencuat dalam dadanya. Perempuan itu berdiri kaku di dekat pintu yang baru dia ditutup, tangannya terkepal spontan menahan getaran yang tak kunjung reda.Dari sudut matanya, Inge dapat melih
“S-saya hamil, Dok?” Suara Inge tercekat. Bibir perempuan itu bergetar, kemudian getarannya merambat ke tangan, kaki dan sekarang sekujur tubuhnya sudah bergetar. Inge memandang nanar ke arah Lucas. Yang dibalas tatap datar oleh lelaki itu. Hampir sekira tiga detik mereka saling menatap. Sampai akhirnya Inge menggigit bibirnya sendiri sambil mengalihkan pandangan ke arah langit-langit. “Apakah ini kehamilan Anda yang pertama, Bu?” tebak sang dokter. Seakan dia sudah sangat terbiasa dengan ekspresi yang baru saja dia lihat.Inge memandang Lucas lagi. Kemudian dia mengangguk lemah. Bersamaan dengan itu air mata mengalir tanpa permisi.Sang dokter tersenyum. “Sekali lagi, selamat ya, Bu. Memang Ibu sudah memasuki usia yang terbilang cukup rawan untuk kehamilan yang pertama, tapi tidak perlu khawatir. Yang penting jaga pola makan, istirahat cukup dan hindari stres.”Lalu sang dokter berganti menatap ke arah Lucas. “Bapak juga wajib membantu istri Bapak untuk mengingatkan hal-hal tersebut
“Istri Kedua? Maksudnya?” Inge mengernyit tidak mengerti. “Saya masih terikat pernikahan sah dengan mamanya Naomi.”Kerut di dahi Inge bertambah dalam. Dia hanya mendengar Lucas duda, tetapi sejujurnya dia tidak paham betul tentang penyebab status yang disandang lelaki ini. Apa mungkin karena Lucas belum sempat mengurus dokumen-dokumen, sehingga secara hukum dia dan mamanya Naomi masih resmi sebagai suami istri?“Istri saya sakit. Dia koma saat melahirkan Naomi, sampai hari ini.”Inge terjengit. Dia sangat terkejut. Jadi rumor yang selama ini salah?“Kalau begitu saya lebih baik menggugurkan bayi ini. S-saya wanita baik-baik, Pak. Wanita baik tidak akan menjadi istri kedua dalam kondisi apa pun,” ucap Inge cepat. Inge berdiri. “Saya permisi.”“Tunggu!” Lucas mengejar Inge yang sudah melangkah cepat.“Pergilah Pak Lucas, tinggalkan saya sendiri,” tegas Inge. Dia terus berjalan. Entah mengapa ada emosi yang tiba-tiba memenuhi relung hatinya. Apakah dia kecewa karena ternyata Lucas buk
“B-baiklah, s-saya bersedia,” kata Inge setelah bisa menguasai keadaan. Dia menarik tubuhnya, mengurai pelukan. Melihat ketulusan Lucas yang ingin bertanggung jawab, tiba-tiba mengubah pikiran Inge. Lagi pula bayinya memang tidak bersalah, bayinya punya hak sama dengan bayi-bayi yang lain. Hanya itu yang Inge pikirkan. Namun mendadak dia tersadar, bagaimana jika Lucas ternyata berbohong? “Tapi saya mau ketemu dengan mamanya Naomi dulu.”Lucas mengangguk. “Ayo!”Kemudian mereka berdua naik ke dalam mobil. Suasana hening mengisi udara di sekitar mereka. Inge tenggelam dalam pikirannya sendiri. Berkali-kali melempar pertanyaan dalam benaknya, apakah yang akan dilakukannya ini benar?Inge segera memejamkan mata ketika menyadari ternyata mobil Lucas menuju ke arah rumah lelaki itu. Dia pikir istri Lucas berada di rumah sakit. Tubuh Inge menjadi panas dingin, apalagi setelah mobil berhenti di halaman rumah Lucas. Lucas pun turun. Inge bergeming, dia sedang mencoba menaklukkan debaran jan
“Baik, Pak, kalau-- aduh… .” Inge mendadak memegangi kepalanya. Pusing yang sudah dia derita beberapa hari ini kambuh lagi. Demikian pula dengan perutnya yang tiba-tiba sangat mual.Buru-buru dia membuka pintu mobil, lalu tergesa turun. Begitu pintu kamarnya terbuka, Inge pun bergegas mendapatkan kamar mandi.Perutnya terus bergolak bagai diaduk-aduk. Inge membungkuk, siap mengeluarkan sesuatu yang terasa sangat tidak enak dalam perutnya. Namun dia hanya mengeluarkan bunyi seperti orang muntah, tidak ada apa pun yang keluar dari mulutnya.Rasa itu terus berulang, dan Inge terus saja merasa ingin muntah.Tiba-tiba sebuah tangan menempel di punggung Inge, terasa hangat, dan kehangatannya bisa Inge rasakan sampai ke sekujur syarafnya. Lalu tangan itu membuat gerakan mengusap dengan lembut. Inge pun menoleh dan menemukan wajah Lucas yang terlihat sedikit cemas.Entah mengapa Inge spontan menerbitkan senyum. Lucas membalas dengan senyuman kecil. Lalu mereka memalingkan wajah secara bersama
Inge mengambil napas panjang. Tidak ada pilihan selain memenuhi perintah Bu Farah. Semakin lama ditunda, atasannya itu pasti akan semakin murka. Inge mengenal betul karakter Bu Farah. Dia sudah bekerja di sekolah itu selama empat tahun. Bu Farah orang yang sangat baik tetapi dia sangat keras kepada anak buahnya yang melanggar perintahnya.Menggunakan ojek online, Inge akhirnya mencapai halaman sekolah. “Selamat siang, Miss Inge,” sapa penjaga keamanan sekolah dengan ramah. Inge pun membalas sapaannya dengan anggukan kepala.Suasana sekolah sudah lumayan sepi. Memang kalau ditengok dari jadwal yang sudah dia susun, pentas seni telah usai sekitar setengah jam yang lalu. Namun seperti biasa, tetap ada beberapa siswa yang masih menunggu untuk dijemput. Mereka berada di ruang playground, di sebelah pos keamanan.Ketika Inge melewati ruang tersebut, matanya bertemu dengan seorang guru yang sedang bertugas di situ. Guru itu terlihat sangat jelas melengos, menghindari tatapannya.Inge menelan
“Selamat siang, Bu Farah, saya datang untuk menjemput istri saya,” ucap Lucas dengan nada datar.Inge dan Bu Farah sama-sama terkesiap. Tentu saja yang membuat dua perempuan itu terkejut adalah hal yang berbeda. Inge benar-benar tidak menyangka bahwa Lucas akan datang menjemputnya, apalagi langsung membuka status mereka tanpa basa basi. Dia tadi sempat berpikir bahwa Lucas akan merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun.“I-istri?” Bu Farah terbata. Matanya yang membola besar, melihat kepada Inge dan Lucas berganti-ganti. Lucas menerbitkan segaris senyuman. “Jika diskusinya sudah selesai… .”“O-oh, baik, Pak Lucas. Kebetulan pembicaraan kami memang sudah selesai. Iya kan, Ing– eh Miss Inge?” Bu Farah menatap kepada Inge. Sinar matanya mengandung banyak pertanyaan yang tidak terucapkan.Inge mengangguk dengan gerakan patah-patah. Dia melempar pandangan kepada Lucas, dan lelaki itu juga mengangguk ke arahnya. Kemudian mata Inge menatap lurus kembali kepada Bu Farah.“Saya permisi dulu
Inge menjengkit mendengar ucapan Bu Emma. Dia membeku spontan. Yang selama ini dia dengar, Pak Benny dan Bu Emma adalah orang tua Lucas. Namun telinganya baru saja mendengar hal yang berbeda dari orangnya sendiri.Matanya bertemu dengan tatapan Lucas sekejap. Ingin sekali dia mengkonfirmasi berita tersebut, namun sepertinya situasi tidak memungkinkan. Lucas sedang berusaha memeluk Bu Emma yang terlihat histeris. Perempuan itu meronta sambil berteriak-teriak.“Mama tau kamu pria baik, Luc. Pasti perempuan itu yang memperdaya kamu kan?” jerit Bu Emma. Matanya nyalang menatap Inge.Inge tersentak ketika Lucas memberinya perintah sekali lagi dengan nada lebih tinggi. Kaki perempuan itu pun buru-buru mendapatkan kamar yang dimaksud Lucas.Tangis Inge p
Inge terbangun dengan kaget, tiba-tiba dia merasa ada tangan yang memukul kandungannya. Ketika dia membuka mata, dia mendapati tangan mungil Naomi sudah terparkir manis di atas perut. Sedang tubuh kecil Naomi terlihat bergerak merapatkan diri pada Inge, sepertinya si kecil mencari kehangatan, sebab udara pagi di kota kecil ini memang lebih dingin dibanding di rumah Naomi.Inge menghela napas. Semalam dia akhirnya tertidur setelah berdiam diri memandangi wajah Lucas dan Naomi berganti-ganti. Entah mengapa hatinya merasa lebih tentram. Demikian juga dengan si bayi, dia terus bergerak tetapi gerakannya sangat halus.‘Eh, kemana Lucas?’ Inge tidak menemukan lelaki itu di samping Naomi. Bantal bekas dipakai Lucas sudah terlihat rapi.Tidak berapa lama, sayup-sayup telinga Inge mendengar tawa renyah di luar kamarnya. Dapat dipastikan suara itu berasal dari para ibu yang membantu mamanya. Mereka juga terdengar saling berbalas kalimat seperti biasa.Inge pun bangun dengan hati-hati. Sedikit m
Mesin mobil segera mati, dan Pak Ali perlahan turun. Dia membungkukkan sedikit badannya kepada Lucas dan juga orang tuanya, kemudian mengundurkan diri tanpa sepatah kata pun.“Mama kita perlu bicara.” Lucas menatap Mama Helen.Sedetik kemudian Naomi menjerit-jerit. Dia seperti sudah mempunyai firasat jika sang papa akan menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke rumah Inge. Namun Edward sigap menenangkan gadis kecil itu. Edward membujuk Naomi untuk turun.Akan tetapi Naomi masih terus menjerit, sehingga Lucas akhirnya mendekati sang putri. Lelaki itu menatap Edward sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan pada Naomi.“Kita jemput Mama Inge, tapi kita siapkan dulu strawberry untuk Mama Inge. Tadi Mama Inge telepon minta dibawain strawberry,” ujar Lucas terpaksa sedikit berbohong. Dia perlu waktu untuk bicara dengan Mama Helen.Naomi terlihat langsung menghentikan kehebohannya. Dengan mata basahnya dia tersenyum lebar. “Mimi yang siapin, Pap?”Lucas mengangguk. “Coba tanya Bi Yati a
Karina buru-buru menyeka air matanya. Dia memandang sejenak kepada Papa Benny. Saat ayahnya mengangguk, perempuan cantik itu ikut pun melakukan hal yang sama. Kemudian dia memberanikan diri untuk menatap wajah Lucas, sembari menahan debaran di dadanya.Entah mengapa Karina melihat serpihan diri Edward dalam wajah Lucas. Dan di sinilah dia menjadi lebih paham apa yang Papa Benny maksudkan tadi. Karina mungkin tidak dapat melepaskan dirinya dari bayang-bayang Edward. Itu akan seperti mengantongi bom yang dapat meledak sewaktu-waktu, yang mungkin saja ledakannya lebih hebat dari pada empat tahun yang lalu.“Aku juga punya kabar yang harus kamu dengar, Luc,” kata Karina lirih.Mendengar hal tersebut, Papa Benny memberi kode kepada Mama Emma untuk keluar. Ketika sang istri terlihat masih terpaku, Papa Benny berjalan memutari ranjang Karina untuk mendapatkan tangan perempuan itu. Dalam diam, dia membawa Mama Emma keluar ruangan.Lucas tersenyum samar serta mengangguk pada kedua mertuanya, s
“Di sini juga ada Lucas, yang bisa ikut mendengar,” tambah Pak Benny.Inge tercekat. Dia menggigit halus bibir bawahnya sendiri. Berusaha untuk tidak memperdengarkan sesuatu yang bisa menampakkan kegugupannya, meskipun jantung dalam dadanya berdebar begitu kencang.“Dengar baik-baik, Inge. Saya ingin membatalkan perjanjian di antara kita,” kata Pak Benny. Suaranya serak tetapi diucapkan dengan mulus tanpa getaran. “Pernikahan antara kamu dan Lucas itu sah, hanya kamu dan Lucas yang berhak menentukan kelanjutannya.”Telinga Inge dapat mendengar suara Lucas terpekik kecil menyerukan kata ‘papa’ di belakang suara Pak Benny. Sebenarnya dia pun sama terkejutnya dengan Lucas, tetapi dia dapat mengendalikan diri. Inge telah belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan Pak Benny atau Bu Emma selalu saja muncul hal-hal tidak terduga.“Apa kamu dengar, Ing?” tanya Pak Benny.“I-iya, Pak.”Inge pun terbata-bata kembali mengiyakan ketika Pak Benny menanyakan apakah dia paham dengan yang dimaksu
Keluar dari ruang perawatan Karina, Lucas langsung menuju ke arah barat rumah sakit. Di situ ada taman dengan kolam ikan yang suasananya lumayan sejuk, sebab beberapa pohon rindang berjajar melingkupi area tersebut. Beruntung taman tampak tidak seramai biasanya.Lucas duduk di salah satu kursi di situ, dia menghela napas. Kesejukan dan kedamaian suasana taman, sama sekali tidak dapat meredakan panas di hatinya. Rasa sakit pada pagi hari itu, empat tahun lalu, bahkan masih terasa sampai sekarang. Siapa yang tidak sakit jika ternyata istri yang dicintai menyimpan rasa untuk lelaki lain. Apalagi jika lelaki tersebut adalah orang yang selama ini tidak dia sukai.Ya, Lucas menganggap Edward pengkhianat. Edward Kavell adalah sepupu dari papa kandungnya, yang artinya masih paman Lucas. Dia menikahi Mama Helen tepat tiga bulan setelah kematian papanya. Ada desas desus yang beredar di kalangan keluarga besarnya sendiri, bahwa Mama Helen telah hamil dengan Edward. Namun seiring berjalannya wakt
“Ada apa ini, Pa?” Mama Emma berseru tertahan. “Tadi di koridor aku ketemu Helen dan Edward. Mereka juga diam saja waktu melihatku, sama kayak Lucas. Padahal kemarin saat kukasih kabar tentang kesembuhan Karina, mereka terdengar begitu suka cita eh loh… Karina!”Mama Emma yang baru menyadari isakan Karina gegas mendekati sang putri. Dia mendesak, menyingkirkan posisi Papa Benny begitu saja, demi bisa memeluk Karina. Hati perempuan paruh baya itu bergetar. Sepengetahuan dia, sebelum dia mengajak Naomi ke kantin, Karina dan Lucas sedang membicarakan tentang Inge. Atau jangan-jangan… .“Apa Lucas lebih memilih Inge?” tebak Mama Emma asal. Wajahnya memandang Papa Benny. Akan tetapi Papa Benny diam saja.Sedetik kemudian terdengar tangis Karina meledak. Baginya, ucapan ibu kandungnya itu bisa jadi akan menjadi kenyataan, sebab kini akhirnya Lucas mengetahui yang sebenarnya.Selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui jika Edward adalah lelaki pertama yang dapat menggetarkan hati Kari
“Mama…,” desis Lucas. Hatinya menjadi bergetar, entah mengapa Lucas memaknai kata-kata Mama Helen sebagai keinginan untuk memisahkan Inge dari bayinya. Sedangkan dia tahu betul, apa saja yang sudah Inge korbankan selama ini demi memiliki bayi itu. Namun situasi sekarang tidaklah tepat untuk membahas hal demikian.“Aku tidak sudi mengasuh anak dari perempuan itu,” ketus Karina.“Tidak ada yang menyuruhmu untuk mengasuhnya, Karina. Cucuku sudah punya ibu baik yang akan mendidiknya dengan benar!” jawab Mama Helen cepat.Lucas terperangah mendengar ucapan Mama Helen tersebut. Apa yang sudah merasuki pikiran mamanya itu, sehingga dia bisa berubah sekali. Bukankah dahulu dia juga membenci Inge? Bahkan Mama Helen sempat menghina dan merendahkan Inge.“Mama, tolong… kita sedang di rumah sakit.” Lucas kembali mendesis. “Sebaiknya Mama keluar dulu, Karina masih butuh istirahat.”Mama Helen tertawa lirih. Dia justru melangkah lebih maju ke arah Karina. Langkahnya seperti sengaja dihentak, membua
“Karina… .” Mama Emma menghambur untuk memeluk Karina.Akan tetapi Karina mengelak dengan lembut. Sepasang matanya tajam menatap kepada Lucas. “Biar kutebak… Inge bukan perawat kan?”Tiba-tiba Karina tertawa sinis. Keras sekali.“Kenapa diam saja, Luc? Kamu mengira aku akan mati? Atau jangan-jangan perempuan itu memang sudah ada sebelum aku koma, Inge itu simpananmu kan!” tuding Karina marah. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan.“Karina,” geram Lucas tegas. Emosinya seketika naik, bukan karena tuduhan keji itu, melainkan sikap Karina. Apakah dia tidak melihat ada Naomi di antara mereka? Jika menuruti kehendak hati, mungkin saja Lucas akan menyahut dengan nada tinggi. Namun demi Naomi, Lucas menahan diri sekuat tenaga, sampai bibirnya bergetar.“Kita bisa ngobrol baik-baik,” ucap Lucas. Dia memberi kode kepada Karina dengan melirik Naomi, seakan bicara dengan matanya supaya Karina jangan mengucapkan kalimat yang tidak perlu putri mereka dengar.Karina tampak sengaja mengabaikan permi
Inge meledakkan tangis, meskipun kepalanya mengangguk menyetujui ucapan sang ibu.“Sekarang cobalah untuk enggak memikirkan apa-apa, kecuali kehamilanmu. Fokuslah kepada bayimu saja,” ucap Mama Niken dengan susah payah. Dia mengambil tangan Inge, lalu diremasnya dengan lembut.“Mungkin beginilah cara Tuhan untuk membuat kita saling percaya seperti dulu. Kita sudah terlalu lama berjalan sendiri-sendiri. Padahal dulu kita adalah tim yang hebat. Kita berhasil menaklukkan ketakutan kita setelah Papa pergi, iya kan?”Lagi-lagi Inge hanya mampu meledakkan tangisnya. Dia merebahkan kepala di dada sang mama yang menyambutnya dengan penuh kasih sayang.Sementara ratusan kilometer dari keberadaan Inge, Lucas sedang memarkirkan mobilnya di halaman rumah sakit.“Setelah nengok Mama Karina, kita jemput Mama Inge kan, Pap?” tanya Naomi.“Sabar ya, Sayang. Tunggu sampai Mama Karina udah keluar dari rumah sakit.”Naomi berdecak dengan cepat. “Papa udah janji sama Mimi. Katanya kalau libur sekolah kit