“B-baiklah, s-saya bersedia,” kata Inge setelah bisa menguasai keadaan. Dia menarik tubuhnya, mengurai pelukan.
Melihat ketulusan Lucas yang ingin bertanggung jawab, tiba-tiba mengubah pikiran Inge. Lagi pula bayinya memang tidak bersalah, bayinya punya hak sama dengan bayi-bayi yang lain. Hanya itu yang Inge pikirkan. Namun mendadak dia tersadar, bagaimana jika Lucas ternyata berbohong?
“Tapi saya mau ketemu dengan mamanya Naomi dulu.”
Lucas mengangguk. “Ayo!”
Kemudian mereka berdua naik ke dalam mobil. Suasana hening mengisi udara di sekitar mereka. Inge tenggelam dalam pikirannya sendiri. Berkali-kali melempar pertanyaan dalam benaknya, apakah yang akan dilakukannya ini benar?
Inge segera memejamkan mata ketika menyadari ternyata mobil Lucas menuju ke arah rumah lelaki itu. Dia pikir istri Lucas berada di rumah sakit. Tubuh Inge menjadi panas dingin, apalagi setelah mobil berhenti di halaman rumah Lucas.
Lucas pun turun.
Inge bergeming, dia sedang mencoba menaklukkan debaran jantungnya. Sampai akhirnya Lucas bergerak membukakan pintu untuk dirinya, lalu lelaki itu berdehem kecil. Barulah Inge bergerak turun. Selanjutnya dia hanya mampu mengekor langkah Lucas untuk masuk ke dalam rumah.
Rasa panas dingin yang Inge derita menyebabkan tengkuknya basah. Dia sedikit merasa kakinya oleng saat mulai menginjak anak tangga. Mendadak teringat hari itu… dan tangisnya pecah tertahan saat mereka sudah berada di lantai dua. Apalagi melihat Lucas berhenti di sebuah pintu. Pintu yang berhadapan dengan kamar tempat kejadian dulu.
Lucas yang sudah memegang gagang pintu, menoleh, lalu tersadar bahwa Inge masih diam di ujung tangga. Dia pun berjalan mendekati Inge.
Begitu mereka berdekatan, Lucas menghela napas. Tangannya teracung sebentar di udara, lalu menyentuh bahu Inge, ditepuknya dengan lembut sebanyak tiga kali.
“Kita masuk sekarang?” tanya Lucas hati-hati.
Inge mengangguk. Dia mengatur napas untuk menenangkan dirinya sendiri. Namun demikian jantung Inge berdentum lagi ketika akhirnya Lucas sudah membawanya masuk ke dalam kamar.
Di depan sana terbaring seorang perempuan cantik. Wajah yang seputih kapas itu terpejam damai. Kontras dengan berbagai alat medis yang menempel pada sebagian tubuhnya.
Inge melangkah kaku ketika Lucas membimbingnya untuk mendekati pembaringan.
“Karina,” sapa Lucas. Nadanya benar-benar lembut.
Lelaki itu mengambil duduk di pinggir ranjang, membiarkan Inge berdiri di sampingnya. Lucas mengusap tangan perempuan yang dia panggil Karina. Terlihat ada kasih sayang dalam usapannya.
“Ini Inge, yang tadi aku ceritakan,” kata Lucas lagi. Dia menoleh kepada Inge. “Inge, ini Karina.”
Getaran di tubuh Inge makin menghebat.
“Sapalah Karina, Ing,” bisik Lucas.
Inge mengangguk kaku. Dia perlu mengambil napas lagi sebelum akhirnya bicara dengan terbata-bata.
“B-bu K-karina … s-saya… .” Inge menggantung kalimatnya. Dia menoleh pada Lucas dengan bingung.
Lucas tersenyum canggung. Dia mengambil tangan Inge untuk kemudian dia satukan dengan tangan Karina yang tergeletak pasrah di samping tubuh cantiknya.
“Karina, semoga kamu mengerti,” ucap Lucas lirih. Nadanya kentara bergelombang.
Inge spontan meremas lembut tangan Karina, lalu dia menunduk dan dia mencium tangan itu dengan takzim. Air mata Inge lolos begitu saja.
Saat Inge kembali menegakkan punggung dia melihat Lucas memalingkan wajah dengan tergesa. Lelaki itu terlihat mengerjapkan mata dua kali seperti menahan sesuatu.
Tidak berapa lama, Lucas menyentuh tangan Inge, seperti memberi kode agar mereka meninggalkan kamar ini. Inge pun mengerti, dia keluar terlebih dahulu. Inge sempat melihat Lucas membungkuk dan mencium kening Karina sebelum akhirnya mereka berdua berada di luar kamar.
“Jadi kita menikah sekarang?” tutur Lucas.
“S-sekarang? B-bukan besok?” Mata Inge membundar.
Lucas mengangguk.
Perempuan itu menelan ludah. Hatinya kembali meragu.
Oh, sungguh sebuah keputusan sulit, dia tidak ingin menjadi istri kedua tetapi rasanya dia memang tidak mempunyai pilihan. Dia tidak pernah meminta menjadi seperti ini, namun takdir yang sudah membawanya ke sini.
“Aku menikah hanya demi bayi ini, supaya dia mendapat identitas yang sah, untuk masa depannya,” kata Inge lirih, sebenarnya hanya sedang menegaskan kepada dirinya sendiri.
Namun Lucas tampak mendengar, dia pun merespon dengan mengangguk.
“Ayo!” Lelaki itu berjalan terlebih dahulu.
Inge masih terpaku di tempat, menatap punggung Lucas yang bergerak menjauh. Lalu menoleh pada pintu di sebelahnya, dimana ada istri Lucas terbaring disitu.
Inge terhenyak saat mendengar suara Lucas memanggilnya. Dia pun mulai bergerak dengan langkah ragu. Mengikuti Lucas sampai masuk ke dalam mobil lagi.
“Setelah bayi ini lahir kita akan kembali pada kehidupan masing-masing, iya kan, Pak?” Kali ini Inge meminta ketegasan langsung.
Akan tetapi Lucas justru diam saja. Dia segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.
Lucas membawa Inge ke suatu tempat. Ternyata Lucas benar-benar sudah menyiapkan segalanya, termasuk saksi-saksi yang terlihat bukan orang sembarangan. Setelah prosesi selesai, Inge dan Lucas membubuhkan tanda tangan di sebuah dokumen, yang akan dipakai untuk meresmikan pernikahan mereka secara hukum negara.
Semuanya berjalan lancar dan cukup singkat.
Mobil Lucas pun sudah melaju kembali di jalanan. Dari arah yang diambil Lucas, Inge tahu dia akan dibawa kembali menuju ke kost-nya.
Suasana menjadi sangat canggung, bahkan terasa lebih canggung dari sebelumnya. Inge memainkan cincin di jari manisnya, sebuah gerakan refleks saja sebab tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian dia memandang cincin itu, yang tadi telah disematkan oleh Lucas. Dengan takut-takut Inge melirik kepada lelaki di sampingnya, pria tampan yang sudah menjadi suaminya.
Mereka terus diam, hingga mobil telah berhenti di depan rumah kost Inge.
“Inge, berkemas lah. Tapi bawa barang-barang pribadimu saja,” ujar Lucas, begitu dia mematikan mesin.
“Mulai sekarang kamu tinggal di rumah saya,” lanjut Lucas, mendahului Inge yang sudah terlihat membuka mulut untuk bicara.
Inge menggeleng. “Tidak Pak–”
“Tolong jangan menolak, saya minta kamu untuk ikut menjaga Naomi.”
Lucas sengaja berbicara begitu untuk menyentuh hati Inge, sehingga istri barunya ini mau pindah ke rumahnya. Alasan yang sebenarnya karena dia tidak tega membiarkan Inge tinggal di kamar sempit lagi. Bagaimana pun Inge sudah menjadi istrinya, dan Inge sedang mengandung anaknya. Dia mempunyai kewajiban untuk ikut menjaga anak itu.
“Baik, Pak, kalau-- aduh… .” Inge mendadak memegangi kepalanya. Pusing yang sudah dia derita beberapa hari ini kambuh lagi. Demikian pula dengan perutnya yang tiba-tiba sangat mual.Buru-buru dia membuka pintu mobil, lalu tergesa turun. Begitu pintu kamarnya terbuka, Inge pun bergegas mendapatkan kamar mandi.Perutnya terus bergolak bagai diaduk-aduk. Inge membungkuk, siap mengeluarkan sesuatu yang terasa sangat tidak enak dalam perutnya. Namun dia hanya mengeluarkan bunyi seperti orang muntah, tidak ada apa pun yang keluar dari mulutnya.Rasa itu terus berulang, dan Inge terus saja merasa ingin muntah.Tiba-tiba sebuah tangan menempel di punggung Inge, terasa hangat, dan kehangatannya bisa Inge rasakan sampai ke sekujur syarafnya. Lalu tangan itu membuat gerakan mengusap dengan lembut. Inge pun menoleh dan menemukan wajah Lucas yang terlihat sedikit cemas.Entah mengapa Inge spontan menerbitkan senyum. Lucas membalas dengan senyuman kecil. Lalu mereka memalingkan wajah secara bersama
Inge mengambil napas panjang. Tidak ada pilihan selain memenuhi perintah Bu Farah. Semakin lama ditunda, atasannya itu pasti akan semakin murka. Inge mengenal betul karakter Bu Farah. Dia sudah bekerja di sekolah itu selama empat tahun. Bu Farah orang yang sangat baik tetapi dia sangat keras kepada anak buahnya yang melanggar perintahnya.Menggunakan ojek online, Inge akhirnya mencapai halaman sekolah. “Selamat siang, Miss Inge,” sapa penjaga keamanan sekolah dengan ramah. Inge pun membalas sapaannya dengan anggukan kepala.Suasana sekolah sudah lumayan sepi. Memang kalau ditengok dari jadwal yang sudah dia susun, pentas seni telah usai sekitar setengah jam yang lalu. Namun seperti biasa, tetap ada beberapa siswa yang masih menunggu untuk dijemput. Mereka berada di ruang playground, di sebelah pos keamanan.Ketika Inge melewati ruang tersebut, matanya bertemu dengan seorang guru yang sedang bertugas di situ. Guru itu terlihat sangat jelas melengos, menghindari tatapannya.Inge menelan
“Selamat siang, Bu Farah, saya datang untuk menjemput istri saya,” ucap Lucas dengan nada datar.Inge dan Bu Farah sama-sama terkesiap. Tentu saja yang membuat dua perempuan itu terkejut adalah hal yang berbeda. Inge benar-benar tidak menyangka bahwa Lucas akan datang menjemputnya, apalagi langsung membuka status mereka tanpa basa basi. Dia tadi sempat berpikir bahwa Lucas akan merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun.“I-istri?” Bu Farah terbata. Matanya yang membola besar, melihat kepada Inge dan Lucas berganti-ganti. Lucas menerbitkan segaris senyuman. “Jika diskusinya sudah selesai… .”“O-oh, baik, Pak Lucas. Kebetulan pembicaraan kami memang sudah selesai. Iya kan, Ing– eh Miss Inge?” Bu Farah menatap kepada Inge. Sinar matanya mengandung banyak pertanyaan yang tidak terucapkan.Inge mengangguk dengan gerakan patah-patah. Dia melempar pandangan kepada Lucas, dan lelaki itu juga mengangguk ke arahnya. Kemudian mata Inge menatap lurus kembali kepada Bu Farah.“Saya permisi dulu
Inge menjengkit mendengar ucapan Bu Emma. Dia membeku spontan. Yang selama ini dia dengar, Pak Benny dan Bu Emma adalah orang tua Lucas. Namun telinganya baru saja mendengar hal yang berbeda dari orangnya sendiri.Matanya bertemu dengan tatapan Lucas sekejap. Ingin sekali dia mengkonfirmasi berita tersebut, namun sepertinya situasi tidak memungkinkan. Lucas sedang berusaha memeluk Bu Emma yang terlihat histeris. Perempuan itu meronta sambil berteriak-teriak.“Mama tau kamu pria baik, Luc. Pasti perempuan itu yang memperdaya kamu kan?” jerit Bu Emma. Matanya nyalang menatap Inge.Inge tersentak ketika Lucas memberinya perintah sekali lagi dengan nada lebih tinggi. Kaki perempuan itu pun buru-buru mendapatkan kamar yang dimaksud Lucas.Tangis Inge p
Inge hanya berdiri saja di depan pintu besar yang tertutup itu. Pikirannya mengedar, mencoba menerka-nerka isi perjanjian yang ditolak oleh Lucas.Di tengah dia berpikir, Bu Emma terlihat keluar dari sebuah ruangan. Inge menggigit bibirnya samar, dia tidak tahu harus bagaimana bersikap. Saat mata mereka bertemu, Inge mencoba membungkukkan sedikit badan. Namun Bu Emma membalasnya dengan tatapan begitu sinis, membuat Inge cepat menunduk.Dia bersiap jika Bu Emma menghampiri dirinya, kemudian murka atau menamparnya lagi. Ternyata tidak. Inge justru mendengar detak sepatu Bu Emma menjauh, lalu perlahan memudar, hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Ketika Inge memberanikan diri mendongak, sosok Bu Emma sudah hilang.Inge menghela napas, bersamaan dengan itu pintu terbuka. Inge menoleh dan menemukan sor
Inge meluruhkan tangis. Di syaraf pendengarannya sang mama terus mengomel dan menyudutkan dirinya, tanpa dia tahu bagaimana cara membela diri. Inge tidak ingin membuka kejadian yang menimpa dirinya hingga menyebabkan dia hamil. Lagi pula hati mama sedang panas, segala sanggahan dan penjelasan yang Inge kemukakan akan menjadi percuma.Telepon ditutup mendadak oleh mama.Inge memandang layar gawainya dengan hati tidak karuan. Matanya menemukan banyak pesan masuk dari beberapa nomor kontak. Sekilas dia melihat sebagian besar dari orang tua siswa yang diajarnya. Menilik kata awal yang terlihat, sepertinya mereka semua mempertanyakan kebenaran berita antara dirinya dan Lucas.Dia juga menemukan nomor kontak dirinya telah dikeluarkan dari semua grup unit kerja sekolah. “Oh, Tuhan,” desis Inge tertahan.Kali ini Inge membiarkan dirinya menangis hebat. Tidak lagi dia tahan seperti tadi. Dia hanya berharap semua beban yang bergayut di pikirannya, ikut keluar bersama air mata yang jatuh.Ing
“Miss Inge bangun, Pap! Tuh, liat tuh, matanya gerak-gerak.”Lamat-lamat Inge mendengar suara Naomi. Terdengar sedikit heboh. Dia juga merasakan pipinya hangat, dan ada gerakan lembut di situ.“Miss, Miss… udah bangun kan?”Didengarnya lagi suara Naomi itu. Inge pun mengerjap. Benar saja, saat matanya terbuka, dia melihat wajah Naomi begitu dekat. Tangan kecil itu masih bergerak lembut, mengelus pipi kiri Inge.“Pap!” Naomi terpekik. Dia menggerakkan kepalanya dengan heboh, menoleh kepada Lucas dan Inge berganti-ganti. Tampak jelas semburat bahagia di parasnya.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Wajah Lucas kini terlihat, tepat di belakang Naomi.
Inge bangun dengan tubuh yang sedikit lebih segar. Namun dia segera menghela napas dalam, dan termenung sejenak sebelum turun dari ranjang. Semalam dia bermimpi tentang seorang bayi yang berwajah mirip Naomi.Dalam mimpinya itu sang bayi seperti tersedot ke atas, dan si bayi menangis sambil mengulurkan tangan ke arahnya. Gema tangisan bayi itu benar-benar seperti nyata dalam rongga telinganya.Spontan Inge menunduk, serta mengusap perutnya sendiri dengan lembut.Kemarin memang sempat ada rasa sesal dalam dada, tentang keputusan untuk menikah demi memelihara bayinya. Akan tetapi, mulai sekarang dia harus menumbuhkan tekad lebih kuat.Jalan yang sudah dia ambil ini pasti bukan hanya suatu kebetulan semata. Apalagi sikap Lucas semalam yang menunjukka