“Istri Kedua? Maksudnya?” Inge mengernyit tidak mengerti.
“Saya masih terikat pernikahan sah dengan mamanya Naomi.”
Kerut di dahi Inge bertambah dalam. Dia hanya mendengar Lucas duda, tetapi sejujurnya dia tidak paham betul tentang penyebab status yang disandang lelaki ini. Apa mungkin karena Lucas belum sempat mengurus dokumen-dokumen, sehingga secara hukum dia dan mamanya Naomi masih resmi sebagai suami istri?
“Istri saya sakit. Dia koma saat melahirkan Naomi, sampai hari ini.”
Inge terjengit. Dia sangat terkejut. Jadi rumor yang selama ini salah?
“Kalau begitu saya lebih baik menggugurkan bayi ini. S-saya wanita baik-baik, Pak. Wanita baik tidak akan menjadi istri kedua dalam kondisi apa pun,” ucap Inge cepat.
Inge berdiri. “Saya permisi.”
“Tunggu!” Lucas mengejar Inge yang sudah melangkah cepat.
“Pergilah Pak Lucas, tinggalkan saya sendiri,” tegas Inge. Dia terus berjalan. Entah mengapa ada emosi yang tiba-tiba memenuhi relung hatinya.
Apakah dia kecewa karena ternyata Lucas bukan duda, sehingga dia tidak bisa menikah dengan pria itu? Atau sedih karena akhirnya opsi menggugurkan janin adalah pilihan satu-satunya yang tersedia? Inge melenguh, dia sendiri tidak tahu.
Lucas mengekor Inge sampai di teras rumah sakit.
“Kalau memang kamu mau pulang, biar saya antar.”
“Tidak perlu.”
Namun akhirnya Inge mengalah setelah Lucas terus mendesak. Dia memperbolehkan Lucas mengantarnya pulang. Meskipun sepanjang perjalanan mereka saling diam. Inge hanya membuka mulutnya ketika memberi petunjuk arah jalan.
Akhirnya mobil memasuki jalan perumahan, kemudian Inge menunjuk rumah berpintu banyak, yang catnya sudah mulai memudar. Mobil Lucas pun menepi di depannya. Setelah mengucapkan terima kasih dengan nada masih sedikit emosi, Inge segera turun.
Tatapan mata Lucas mengiringi langkah Inge masuk ke dalam salah satu pintu di sana. Lelaki itu terlihat menyipitkan mata, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya melajukan mobilnya kembali.
Sudah hampir tujuh bulan Inge pindah ke sini. Tepatnya sejak pertama kali Inge mengetahui Armand, mantan suaminya, ada main dengan seorang perempuan bernama Sandra, rekan kerja Armand di kantornya. Inge rela menghuni kamar yang sangat sederhana ini, sebagai anak kost, daripada hidup serumah dengan pengkhianat menjijikkan macam Armand.
Dia begitu sakit hati mengetahui fakta, ternyata Armand dan Sandra sudah berhubungan lebih dari setahun di belakangnya. Padahal di saat yang sama, Inge sedang sangat gencar mengusahakan bayi yang ingin dia persembahkan kepada Armand. Untuk itulah dia tidak ingin memberi kesempatan kedua, Inge membayar pengacara mahal agar proses cerainya berjalan cepat. Dia bahkan tidak peduli dengan harta gono gini yang dikuasai Armand sepenuhnya.
Inge melenguh, lalu merebahkan badan ke ranjang. Dia menyebut nama Tuhan berkali-kali, dan spontan tangannya mengelus perut. Andai janin ini datang lebih cepat, dia tidak akan terlalu bingung. Dia akan mengakui saja jika ini benih Armand, tanpa berniat meminta pertanggungjawaban lelaki itu.
Akan tetapi situasi sekarang sudah lain. Semua orang yang kenal dirinya sudah tahu jika dia berstatus janda. Bagaimana mungkin kalau tiba-tiba perutnya membesar dan berisi janin?
Inge memejamkan mata. ‘Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan dengan bayi ini?’
Sedetik kemudian tangisnya pecah. Hati dalam rongga dada perempuan itu sakit sekali. Tidak dapat dipungkiri bahwa dia sangat ingin punya anak sendiri. Tapi kenapa keinginannya itu terkabul di saat yang tidak tepat? Dan dengan orang yang salah?
Inge merasa sangat lelah. Sampai rasanya tidak dapat berpikir lagi. Inge memejamkan mata, membiarkan alam bawah sadarnya pelan-pelan mengambil kehadirannya dari dunia nyata.
Inge pun tertidur dengan air mata masih bergulir jatuh.
***
Tok tok tok.
Inge merajuk kaget, lalu telinganya menajam. Apakah pintunya yang diketuk, atau kamar di sebelah?
Refleks dia melihat jam di dinding. Lalu terperanjat lagi. “Astaga, Tuhan. Aku tertidur hampir dua jam?”
Saat ketukan terdengar lagi dan menjadi lebih keras, Inge memaksakan diri untuk bangun. Merapikan rambutnya tergesa, serta mengusap wajahnya.
Pintu dibuka.
“Pak Lucas?” pekik Inge tertahan.
“Obatnya sudah saya tebus,” katanya pelan seraya mengulurkan sebuah tas kecil. Mata lelaki itu terlihat mencuri pandang sekejap untuk menyapu keadaan ruangan di belakang Inge.
Inge mengucapkan terima kasih, lalu melihat isi dalam tas itu. Tiba-tiba dia mencetuskan tawa. “Tapi untuk apa? Bayi yang akan digugurkan tidak memerlukan ini semua.”
Dia mendongak, bertemu pandang dengan lelaki yang berdiri menjulang di depannya.
“Ayo kita menikah,” tutur Lucas. Manik matanya terlihat sedikit berpendar, terkesan seperti memohon.
Inge menggeleng. “Lupakan saja, Pak.”
“Kita lakukan untuk bayi itu.” Suara Lucas menjadi lebih tegas.
“Pak Lucas, mungkin Anda belum tau, saya berani mengambil keputusan untuk berpisah dari mantan suami saya sebab saya tidak mau diduakan, itu terlalu sakit. Bagaimana mungkin saya sekarang menjadi yang kedua? Itu berarti sama saja saya seperti si pelakor.”
“Kondisi kamu dengan dia jelas berbeda, Inge.”
Mata Inge membola. Agak kaget dengan kata terakhir yang baru saja diucapkan Lucas. Lelaki itu sudah berani memanggil namanya tanpa embel-embel ‘Miss’ lagi.
“Tolong biarkan saya bertanggung jawab atas kesalahan yang saya buat.” Pandangan Lucas melembut. “Tidak akan menghilangkan kesalahan itu, tapi setidaknya saya tidak melakukan kesalahan yang lain.”
Inge menggeleng. “S-saya akan menggugurkan janin ini saja.”
“Kamu yakin?” Nada berat dari bibir Lucas menancap ke hati Inge.
Dia pun menatap mata Lucas dalam-dalam. Lalu mengangguk. Beberapa saat mereka saling menatap.
Inge menelan ludah susah payah. Mulut Lucas memang terdiam, namun sorot matanya benar-benar seperti bicara, menggemakan ucapan terakhirnya.
‘Kamu yakin?’
‘Kamu yakin akan menggugurkan bayimu?’
‘Kamu yakin akan menggugurkan bayi yang pernah kamu impikan?’
Kalimat yang sejatinya hanya bergema di kepala Inge, membuat mata Inge mulai berkaca-kaca, lalu bahunya pun berguncang. Pertama pelan, pada akhirnya guncangan itu makin kencang.
Lucas bergerak ragu-ragu menyentuh Inge, ketika perempuan itu terlihat tidak menampik, Lucas pun membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Lalu dia membiarkan Inge menggerungkan tangis beberapa saat.
“Saya tidak bisa membiarkan kamu menanggungnya sendirian,” bisik Lucas.
“B-baiklah, s-saya bersedia,” kata Inge setelah bisa menguasai keadaan. Dia menarik tubuhnya, mengurai pelukan. Melihat ketulusan Lucas yang ingin bertanggung jawab, tiba-tiba mengubah pikiran Inge. Lagi pula bayinya memang tidak bersalah, bayinya punya hak sama dengan bayi-bayi yang lain. Hanya itu yang Inge pikirkan. Namun mendadak dia tersadar, bagaimana jika Lucas ternyata berbohong? “Tapi saya mau ketemu dengan mamanya Naomi dulu.”Lucas mengangguk. “Ayo!”Kemudian mereka berdua naik ke dalam mobil. Suasana hening mengisi udara di sekitar mereka. Inge tenggelam dalam pikirannya sendiri. Berkali-kali melempar pertanyaan dalam benaknya, apakah yang akan dilakukannya ini benar?Inge segera memejamkan mata ketika menyadari ternyata mobil Lucas menuju ke arah rumah lelaki itu. Dia pikir istri Lucas berada di rumah sakit. Tubuh Inge menjadi panas dingin, apalagi setelah mobil berhenti di halaman rumah Lucas. Lucas pun turun. Inge bergeming, dia sedang mencoba menaklukkan debaran jan
“Baik, Pak, kalau-- aduh… .” Inge mendadak memegangi kepalanya. Pusing yang sudah dia derita beberapa hari ini kambuh lagi. Demikian pula dengan perutnya yang tiba-tiba sangat mual.Buru-buru dia membuka pintu mobil, lalu tergesa turun. Begitu pintu kamarnya terbuka, Inge pun bergegas mendapatkan kamar mandi.Perutnya terus bergolak bagai diaduk-aduk. Inge membungkuk, siap mengeluarkan sesuatu yang terasa sangat tidak enak dalam perutnya. Namun dia hanya mengeluarkan bunyi seperti orang muntah, tidak ada apa pun yang keluar dari mulutnya.Rasa itu terus berulang, dan Inge terus saja merasa ingin muntah.Tiba-tiba sebuah tangan menempel di punggung Inge, terasa hangat, dan kehangatannya bisa Inge rasakan sampai ke sekujur syarafnya. Lalu tangan itu membuat gerakan mengusap dengan lembut. Inge pun menoleh dan menemukan wajah Lucas yang terlihat sedikit cemas.Entah mengapa Inge spontan menerbitkan senyum. Lucas membalas dengan senyuman kecil. Lalu mereka memalingkan wajah secara bersama
Inge mengambil napas panjang. Tidak ada pilihan selain memenuhi perintah Bu Farah. Semakin lama ditunda, atasannya itu pasti akan semakin murka. Inge mengenal betul karakter Bu Farah. Dia sudah bekerja di sekolah itu selama empat tahun. Bu Farah orang yang sangat baik tetapi dia sangat keras kepada anak buahnya yang melanggar perintahnya.Menggunakan ojek online, Inge akhirnya mencapai halaman sekolah. “Selamat siang, Miss Inge,” sapa penjaga keamanan sekolah dengan ramah. Inge pun membalas sapaannya dengan anggukan kepala.Suasana sekolah sudah lumayan sepi. Memang kalau ditengok dari jadwal yang sudah dia susun, pentas seni telah usai sekitar setengah jam yang lalu. Namun seperti biasa, tetap ada beberapa siswa yang masih menunggu untuk dijemput. Mereka berada di ruang playground, di sebelah pos keamanan.Ketika Inge melewati ruang tersebut, matanya bertemu dengan seorang guru yang sedang bertugas di situ. Guru itu terlihat sangat jelas melengos, menghindari tatapannya.Inge menelan
“Selamat siang, Bu Farah, saya datang untuk menjemput istri saya,” ucap Lucas dengan nada datar.Inge dan Bu Farah sama-sama terkesiap. Tentu saja yang membuat dua perempuan itu terkejut adalah hal yang berbeda. Inge benar-benar tidak menyangka bahwa Lucas akan datang menjemputnya, apalagi langsung membuka status mereka tanpa basa basi. Dia tadi sempat berpikir bahwa Lucas akan merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun.“I-istri?” Bu Farah terbata. Matanya yang membola besar, melihat kepada Inge dan Lucas berganti-ganti. Lucas menerbitkan segaris senyuman. “Jika diskusinya sudah selesai… .”“O-oh, baik, Pak Lucas. Kebetulan pembicaraan kami memang sudah selesai. Iya kan, Ing– eh Miss Inge?” Bu Farah menatap kepada Inge. Sinar matanya mengandung banyak pertanyaan yang tidak terucapkan.Inge mengangguk dengan gerakan patah-patah. Dia melempar pandangan kepada Lucas, dan lelaki itu juga mengangguk ke arahnya. Kemudian mata Inge menatap lurus kembali kepada Bu Farah.“Saya permisi dulu
Inge menjengkit mendengar ucapan Bu Emma. Dia membeku spontan. Yang selama ini dia dengar, Pak Benny dan Bu Emma adalah orang tua Lucas. Namun telinganya baru saja mendengar hal yang berbeda dari orangnya sendiri.Matanya bertemu dengan tatapan Lucas sekejap. Ingin sekali dia mengkonfirmasi berita tersebut, namun sepertinya situasi tidak memungkinkan. Lucas sedang berusaha memeluk Bu Emma yang terlihat histeris. Perempuan itu meronta sambil berteriak-teriak.“Mama tau kamu pria baik, Luc. Pasti perempuan itu yang memperdaya kamu kan?” jerit Bu Emma. Matanya nyalang menatap Inge.Inge tersentak ketika Lucas memberinya perintah sekali lagi dengan nada lebih tinggi. Kaki perempuan itu pun buru-buru mendapatkan kamar yang dimaksud Lucas.Tangis Inge p
Inge hanya berdiri saja di depan pintu besar yang tertutup itu. Pikirannya mengedar, mencoba menerka-nerka isi perjanjian yang ditolak oleh Lucas.Di tengah dia berpikir, Bu Emma terlihat keluar dari sebuah ruangan. Inge menggigit bibirnya samar, dia tidak tahu harus bagaimana bersikap. Saat mata mereka bertemu, Inge mencoba membungkukkan sedikit badan. Namun Bu Emma membalasnya dengan tatapan begitu sinis, membuat Inge cepat menunduk.Dia bersiap jika Bu Emma menghampiri dirinya, kemudian murka atau menamparnya lagi. Ternyata tidak. Inge justru mendengar detak sepatu Bu Emma menjauh, lalu perlahan memudar, hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Ketika Inge memberanikan diri mendongak, sosok Bu Emma sudah hilang.Inge menghela napas, bersamaan dengan itu pintu terbuka. Inge menoleh dan menemukan sor
Inge meluruhkan tangis. Di syaraf pendengarannya sang mama terus mengomel dan menyudutkan dirinya, tanpa dia tahu bagaimana cara membela diri. Inge tidak ingin membuka kejadian yang menimpa dirinya hingga menyebabkan dia hamil. Lagi pula hati mama sedang panas, segala sanggahan dan penjelasan yang Inge kemukakan akan menjadi percuma.Telepon ditutup mendadak oleh mama.Inge memandang layar gawainya dengan hati tidak karuan. Matanya menemukan banyak pesan masuk dari beberapa nomor kontak. Sekilas dia melihat sebagian besar dari orang tua siswa yang diajarnya. Menilik kata awal yang terlihat, sepertinya mereka semua mempertanyakan kebenaran berita antara dirinya dan Lucas.Dia juga menemukan nomor kontak dirinya telah dikeluarkan dari semua grup unit kerja sekolah. “Oh, Tuhan,” desis Inge tertahan.Kali ini Inge membiarkan dirinya menangis hebat. Tidak lagi dia tahan seperti tadi. Dia hanya berharap semua beban yang bergayut di pikirannya, ikut keluar bersama air mata yang jatuh.Ing
“Miss Inge bangun, Pap! Tuh, liat tuh, matanya gerak-gerak.”Lamat-lamat Inge mendengar suara Naomi. Terdengar sedikit heboh. Dia juga merasakan pipinya hangat, dan ada gerakan lembut di situ.“Miss, Miss… udah bangun kan?”Didengarnya lagi suara Naomi itu. Inge pun mengerjap. Benar saja, saat matanya terbuka, dia melihat wajah Naomi begitu dekat. Tangan kecil itu masih bergerak lembut, mengelus pipi kiri Inge.“Pap!” Naomi terpekik. Dia menggerakkan kepalanya dengan heboh, menoleh kepada Lucas dan Inge berganti-ganti. Tampak jelas semburat bahagia di parasnya.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Wajah Lucas kini terlihat, tepat di belakang Naomi.
“Gimana keadaanmu, Ma?” tanya Lucas begitu panggilan tersambung. “Maksudku, kamu baik-baik saja kan setelah perjalanan jauh?”Inge tidak langsung menjawab, melainkan menarik napas dalam terlebih dahulu. Entahlah, dia merasa tidak karuan saat Lucas ternyata masih juga memanggilnya dengan panggilan ‘Mama’.“Saya baik, Pak Lucas. Baby boy juga baik.”“Syukurlah… ,” sahut Lucas cepat. Namun setelah itu dia seperti kehilangan kata-kata lagi, sehingga mereka terdiam cukup lama, sampai akhirnya Inge berinisiatif memutus panggilan terlebih dahulu dengan alasan sang mama memanggilnya.Inge begitu terkejut saat ternyata mamanya benar-benar sedang berdiri di belakangnya saat dia menutup telepon.“Maaf, Ing, enggak ada maksud Mama menguping. Mama hanya mau ambil baju,” ujar Mama Niken. “Tapi… sepertinya kamu berutang penjelasan sama Mama ya. Apa ada sesuatu dengan pernikahanmu?”Inge mengangguk. “Ya, Ma. Ini cerita panjang. Sebaiknya Mama mandi dulu, aku beresin kamarku ya.”Mama Niken ganti meng
“Jangan membuat posisiku bertambah salah,” ucap Lucas. Dia memandang Inge. Namun tiga detk kemudian, dia memalingkan wajahnya.Lucas menghela napas. “Maafkan aku… . Aku tidak akan menyembunyikan status kita pada Karina, aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat.”“Saya hanya ingin ketemu Mama saya, tidak ada hubungannya dengan Bu Karina.” Inge menekan suaranya sedemikian rupa. “Saya ingin mengambil momen ini, sebab antara saya dan mama saya memang sudah kurang baik sejak saya bercerai dulu. Mumpung hati Mama saya lagi baik, jadi tidak ada salahnya. Iya kan?”Mereka berdua saling memandang beberapa saat. Sampai akhirnya Lucas berkata, “Oke. Pergilah, tapi diantar Pak Ali. Aku akan menjemputku.”Inge menunduk, lalu mengiyakan dengan suara pelan.“Saya akan pergi malam ini,” pamit Inge. Ditahan isaknya dengan sekuat tenaga.Lucas menghela napas lagi. Dia bisa saja mendebat lagi, tetapi lelaki itu berpikir mungkin Inge sedang benar-benar membutuhkan kebersamaan dengan ibunya.Dan bagian
Diantar oleh Pak Ali, Inge kembali ke rumah sakit dengan banyak pertanyaan di benaknya. Bagaimana mungkin Karina bisa mencari dirinya? Bukankah mereka tidak pernah saling mengenal?Tiba-tiba jantung Inge berdebar keras. Jangan-jangan, Lucas atau Pak Benny telah memberitahu tentang statusnya ini. Astaga! Inge memegangi dada kirinya yang semakin berdenyut. Dia pun mulai memikirkan kalimat-kalimat yang harus dia ucapkan pada Karina. Tentu saja serangkaian kalimat yang dia rasa tidak akan membuat situasi bertambah keruh.Sampai di rumah sakit, Inge berjalan di koridor dengan langkah terasa mengambang. Otaknya kosong sekarang setelah sepanjang perjalanan ke mari ribut sendiri. Mendadak dia sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang apa yang akan Karina tanyakan padanya.Dari kejauhan, Inge melihat Bu Emma yang tampak mondar mandir gelisah. Begitu ibu kandung Karina itu melihat kedatangan Inge, dia terlihat berlari menyongsong. Seolah-olah sudah tidak sabar untuk bi
“Ing, Karina sadar!” Lucas setengah berteriak. Setelah itu dia berlari ke arah mereka datang tadi.Inge melihat betapa Lucas menghilang sangat cepat, bahkan lelaki itu sempat menabrak pot bunga yang menjadi pembatas antara trotoar dan lahan parkir. Beruntung tidak sampai terjadi apa-apa.Sejenak Inge tercenung. Dia menjadi bingung, apakah dia harus balik ke ruangan Karina atau kembali ke rumah? Dia menoleh ke belakang. Naomi tampak amat lelap. Rasanya Inge pun tidak mungkin menggendong Naomi sejauh itu. Kandungannya sudah besar, dan dia merasa tenaganya tidak sekuat dulu. Dia juga gampang sekali lelah. Untuk membangunkannya, tampak lebih tidak mungkin.Inge menghela napas, mencoba menunggu sejenak. Barangkali Lucas akan kembali, atau setidaknya menelepon untuk memberitahu apa yang harus dia lakukan. Namun detik-detik berlalu, tidak ada tanda-tanda kabar dari Lucas. Inge akhirnya memilih keluar dari mobil, kemudian berjalan mengitari bagian depan mobil untuk duduk di belakang kemudi.M
“Pap, Adik ternyata baby boy, bukan baby girl,” ucap Naomi sedikit kecewa, setelah tawa mereka berdua habis.Lucas membeliak. Dadanya mengembang, demikian pula dengan senyumnya. Perasaan bahagia mendengar kabar itu seperti arus listrik yang cepat menjalar, dari ujung kakinya lalu naik melesat.“Oh iya?” jawabnya dengan nada gembira.“Mimi baru tengok Adik di komputer, fotonya dibawa Mama Inge tuh, Papa mau liat?” tutur Naomi sembari menunjuk Inge yang mematung, sekitar sepuluh langkah dari mereka.Senyum Lucas menghilang seketika. Apalagi saat dia menoleh pada Inge, dan melihat tangan perempuan itu yang berada ke wajahnya sendiri, terlihat seperti sedang menghapus air mata. Lucas menjadi amat bersalah telah lupa dengan janjinya hari ini. Seharusnya dia ada di samping Inge tadi.Lucas menurunkan Naomi perlahan. Gadis cilik itu kembali berlari kepada Inge, lalu terlihat meminta amplop besar yang dipegang oleh Inge.“Ini gambar Adik, Pap!” Naomi berteriak seraya berbalik badan dan kembal
Dengan tangan bergetar, Inge merespon panggilan tersebut.“Inge… .”Suaranya terdengar amat lembut. Membuat Inge memejam, dan spontan menggulirkan air mata. Setelah sekian lama sengaja menutup diri dari Inge, akhirnya… .“Mama,” desis Inge. Dia mendengar ibu kandungnya mengisak di seberang. Sementara dia sendiri pun memperdengarkan sedu sedan. Beberapa jenak mereka berdua bertangisan, tangis yang sama-sama tertahan.“Maafkan Mama, Ing. Armand baru saja cerita semuanya, dia sampai bersujud di kaki Mama untuk minta maaf,” ucap Mama, suaranya bergetaran.“Maksud Mama, Mas Armand ke rumah?” tanya Inge tidak percaya.“Iya, baru aja dia pergi, mungkin sekitar lima menit yang lalu,” lirih sekali Mama menjawab. “Dia bilang akan balik ke kota asalnya.”Inge menghela napas. Begitu niatnya Armand bertemu mamanya, padahal kota asal Armand ada di barat, sedang mama tinggal di arah yang berlawanan. Sudah terbayang bagaimana capeknya, apalagi jika Armand menyetir sendiri.“Ing, maafkan Mama ya.” Ibu
Setelah mengambil bungkusan dari Armand, Inge naik. Di ujung tangga dia bertemu dengan Bi Yati yang tengah mencarinya.“Miss, saya kira ke mana. Saya sampai cari ke kamar Nyonya Karina. Lupa kalau Nyonya udah nggak di situ lagi, karena biasanya Miss Inge jam segini ada di kamar Nyonya,” ucap Bi Yati panjang lebar.Inge tersenyum menanggapinya. Entah mengapa sudut hatinya kembali tercubit mendengar nama Karina.“Saya ambil ini dulu, Bi. Tadi lupa dibawa turun sekalian dari mobil,” sahut Inge.“Harusnya Miss tadi tinggal telpon ke pos, biar diambilkan sama Pak Ali.”Inge hanya tersenyum saja.“Oh iya, buah potongnya sudah saya taruh di atas meja, Miss. Saya bawakan kroket juga, semoga Miss Inge berkenan,” ujar Bi Yati. Dia tahu jika istri kedua majikannya ini belum sarapan, sebab tadi terburu-buru mengantar Naomi.Inge mengucapkan terima kasih, tetapi menolak saat Bi Yati berniat untuk memberikan bantuan dengan membawakan bungkusan besar yang ada di tangannya. Dia pun kembali berjalan m
“Ya, Sayang. Ayo sebelum bobo kita sama-sama berdoa biar Mama Karina cepat bangun dan bisa main sama Mimi, bisa—”“Mimi enggak mau!” tukas Naomi. “Mimi mau sama Mama Inge aja, sama Adik. Kenapa Adik lama banget enggak keluar-keluar, Ma?”Inge tersenyum. “Sebentar lagi, Kakak. Udah enggak sabar main sama Adik ya?”Naomi mengangguk. Selanjutnya dia memeluk pinggang Inge, menciumi perut Inge beberapa kali sambil tertawa-tawa senang.“Oh iya, besok kita tengok Adik ya,” kata Inge. Dia baru saja teringat bahwa besok dia ada janji dengan dokter Yoda. Pada pemeriksaan minggu kemarin jenis kelamin bayinya belum terlihat sebab posisi sang bayi, sehingga dokter Yoda menjadwal ulang, sebelum beliau pergi ke luar negeri untuk berlibur selama satu bulan.“Tengok Adik di komputer ya, Ma?” tanya Naomi antusias.“Iya, Sayang, setelah Mimi pulang sekolah,” jawab Inge. “Sekarang kita bobo yuk.”Naomi menurut. Dia kembali ke posisi tidurnya dengan lurus, tidak meringkuk seperti yang baru saja dia lakuka
Inge tersenyum. Kebiasaan Naomi, kalau dia sudah mengantuk sekali, pasti akan meletakkan kepalanya di sembarang tempat. Naomi memang belum istirahat sejak pulang sekolah tadi. Jadi sangat wajar kalau gadis cilik ini kelelahan.“Kita pulang?” tanya Inge. Dia meraih dagu bocah itu, dan dia gemas pipinya sekejap.Naomi mengangguk lesu. Matanya tampak sudah tidak kuat untuk dia buka.Inge terpaksa meminta agar sotonya dibungkus saja. Entah nanti termakan olehnya atau tidak. Dia hanya tidak ingin si pemilik warung tersinggung jika soto yang baru dia cicipi kuahnya itu ditinggalkan begitu saja.Dibantu seseorang yang ada di situ, Inge membawa Naomi yang sudah terlelap ke dalam mobil. Rencana untuk jalan-jalan sudah hangus. Inge pun melajukan mobilnya menuju pulang. Sesekali dia melihat pada Naomi yang rebah di jok belakang, untuk memastikan anak tiri kesayangannya itu aman.Sampai di rumah, Pak Husen yang terlihat tengah mengobrol dengan penjaga keamanan segera mendekat ketika Inge memanggi