Share

Hamil

“S-saya hamil, Dok?” Suara Inge tercekat. Bibir perempuan itu bergetar, kemudian getarannya merambat ke tangan, kaki dan sekarang sekujur tubuhnya sudah bergetar. 

Inge memandang nanar ke arah Lucas. Yang dibalas tatap datar oleh lelaki itu. Hampir sekira tiga detik mereka saling menatap. Sampai akhirnya Inge menggigit bibirnya sendiri sambil mengalihkan pandangan ke arah langit-langit. 

“Apakah ini kehamilan Anda yang pertama, Bu?” tebak sang dokter. Seakan dia sudah sangat terbiasa dengan ekspresi yang baru saja dia lihat.

Inge memandang Lucas lagi. Kemudian dia mengangguk lemah. Bersamaan dengan itu air mata mengalir tanpa permisi.

Sang dokter tersenyum. “Sekali lagi, selamat ya, Bu. Memang Ibu sudah memasuki usia yang terbilang cukup rawan untuk kehamilan yang pertama, tapi tidak perlu khawatir. Yang penting jaga pola makan, istirahat cukup dan hindari stres.”

Lalu sang dokter berganti menatap ke arah Lucas. “Bapak juga wajib membantu istri Bapak untuk mengingatkan hal-hal tersebut ya.”

Bola mata Lucas bergerak, kemudian lelaki itu menerbitkan senyum canggung, lalu mengangguk. 

Lucas dan Inge kembali saling menatap. Entah mengapa sedari tadi dokter mengira mereka adalah sepasang suami istri. Membuat air mata Inge bertambah deras.

Setelah memastikan kondisi Inge lebih fit, dokter mempersilahkan Inge turun dari ranjang periksa. Dan Lucas dengan sigap membantu Inge. Lelaki itu memegangi lengan Inge sampai ke tempat duduk. Kemudian mereka duduk bersebelahan di hadapan dokter, bersama-sama mendengar sedikit arahan lagi. 

Sepanjang mendengar dokter bicara, air mata Inge terus menerus meluncur lancang, meski wanita itu berupaya keras untuk menghentikan tangisnya. Melihat hal itu Lucas diam-diam mengulurkan sapu tangan ke pangkuan Inge, dan perempuan itu langsung mengambil tanpa berpikir panjang. Dia memang sedang membutuhkan benda segi empat ini untuk membantu mengeringkan wajahnya yang basah.

Di akhir pembicaraan sang dokter memberikan lembar resep, lagi-lagi Lucas dengan cekatan menerima resep tersebut. Mereka pun keluar dari ruang praktek dokter beriringan. Inge mendahului berjalan, langkahnya sedikit gontai. 

Setelah menutup pintu, Lucas menjejeri Inge. Tangannya terulur, sepertinya lelaki itu bermaksud untuk memapahnya lagi seperti saat di dalam ruang praktek, tapi kali ini Inge buru-buru menepis dengan kasar. Lelaki itu tampak terkejut sekejap. Kemudian dia mundur.

“Tunggu di sini, biar saya tebus resepnya dulu.” Lucas menunjuk salah satu kursi di sebelah mereka.

Deretan kursi di depan ruang praktek dokter itu memang kosong. Tidak tampak orang selain mereka berdua.

“Pak Lucas,” cegah Inge. Lelaki itu pun urung melangkah. 

Mereka kini berhadapan kembali. Inge menunduk sebentar, mengelus perutnya yang masih rata. Perlahan dia menatap Lucas kembali. 

“Dari sekian banyak orang di sekolah tadi, kenapa Tuhan tetapkan dia yang menjadi orang untuk mengantarku sampai ke sini? Apakah karena supaya dia tahu bahwa yang kukandung ini adalah benihnya?” ucap Inge dalam batin. “Jadi dengan begitu aku harus memberitahunya?”

Inge masih menatap Lucas, kali ini tatapannya diliputi oleh kebimbangan luar biasa. Harus dikatakan atau sebaiknya dia simpan saja? Beberapa jenak Inge hanya mampu mematung. Pikirannya kacau, lebih-lebih perasaannya.

“Miss,” ucap Lucas. Seakan dia memberitahu kepada Inge bahwa dia masih menunggu perempuan itu membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Namun Inge terus mematung.

“Saya ambil obatnya dulu ya,” kata Lucas pada akhirnya. Dia pun berbalik badan.

Tiba-tiba tangis Inge meletus hebat. Hanya sebentar, sebab Inge langsung membekap mulutnya sendiri. Dia masih sadar di mana dirinya berada saat ini, dan dia sama sekali tidak ingin menarik perhatian.

Lucas pun buru-buru balik badan kembali serta mendekat. Dia meraih pundak Inge, kemudian menuntunnya untuk mengambil duduk. Kali ini Inge tidak menampik, dia pasrah saja sembari terus menahan tangis. 

Kini mereka berdua duduk. Lucas memandang Inge dalam diam, lelaki itu nampak bingung.

Inge menghela napas panjang, dengan susah payah dia berkata, “S-saya s-sudah berpisah dari suami saya lima bulan lalu, Pak … dan satu-satunya pria y-yang m-menyentuh saya a-adalah A-anda.”

Lucas tampak kaget. Matanya terlihat menyala sebentar, lalu redup dengan cepat. Lelaki itu terdengar menghela napas panjang, dia meraup wajahnya sebentar, kemudian mendongak sambil memejamkan mata beberapa detik. 

Inge menunduk, bersiap menerima respon lain dari Lucas. Mungkinkah lelaki ini akan segera menyangkal? Ah, perasaannya yang sudah kacau sejak mendengar dokter menyatakan dirinya hamil, kini rasanya bertambah kacau. 

Perempuan itu menghela napas lagi saat melihat Lucas masih terpaku.

“Saya selalu memimpikan punya anak, yang saya lahirkan sendiri, bahkan selama lima tahun pernikahan saya dulu, saya menguras tabungan demi bisa hamil, tapi kenapa dengan Anda – ah, terserah kalau Anda tidak percaya.” 

Inge terisak lagi. 

Setelah mengambil jeda beberapa detik, Inge berkata, “Meski saya sangat menginginkan anak ini, tapi saya tidak bisa melahirkan anak ini. M-mungkin s-sebaiknya saya gugurkan saja. Saya tidak ingin anak saya menyandang gelar anak haram seumur hidupnya.”

Lagi-lagi Inge menggerungkan tangis. Sapu tangan Lucas yang masih di tangannya, dia sapukan ke wajahnya kembali. Sapu tangan yang sebenarnya sudah menjadi lembab karena terlalu banyak air mata yang terserap di sana.

Lucas terlihat menelan ludah. Pandangannya yang melayang jauh, akhirnya jatuh menumbuk lantai. Napasnya sudah lebih teratur dibanding detik-detik yang baru saja terlewat.

Beberapa saat hanya isak Inge yang terus terdengar. Perempuan itu berupaya sekuat tenaga untuk tetap tegar. Namun memikirkan kemungkinan bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk bisa mempunyai anak biologis, membuat tangisnya berkepanjangan. Dia sudah tiga puluh tiga tahun sekarang, dan dengan perceraian yang membuatnya trauma, entah apakah dia akan menikah lagi atau tidak. 

Inge mendongak, berusaha terus agar air matanya berhenti mengalir. Sembari memegang dadanya sendiri, seakan tidak percaya bahwa Tuhan masih memberinya cobaan lagi setelah dia berhasil keluar dari badai kemelut rumah tangga. 

“Saya akan bertanggung jawab,” bisik Lucas. 

Inge menoleh cepat. “Maksudnya?”

“Saya akan menikahi kamu,” lanjut Lucas. 

Inge menelan ludahnya. Dia memang telah mendengar rumor bahwa Lucas adalah seorang duda, istrinya pun tidak pernah tampak. Setiap kegiatan sekolah putrinya, Lucas selalu datang seorang diri. Dengan begitu sah saja jika mereka menikah. 

Harusnya dia bahagia sebab itu berarti masalahnya selesai. Terlebih dia bisa mewujudkan impiannya untuk mempunyai anak biologis yang sah. Namun Lucas bukan orang sembarangan, lelaki ini adalah anak direktur sekolah tempatnya bekerja dan orang tua dari siswa yang diajarnya.

“Tapi… apa kata orang nanti?” Suara Inge bernada putus asa.

Inge kembali menangis. Sungguh otaknya yang sekarang tidak dapat diajak berpikir. Dilema benar-benar membalut dirinya. Betul dia menginginkan anak ini, tetapi kalau dia menerima tawaran menjadi istri Lucas, apakah situasinya tidak menjadi lebih sulit? Inge tahu diri, siapa dia dan siapa Lucas.

“Bagaimana pun bayi itu hadir karena kesalahan saya. Saya akan bertanggung jawab,” kata Lucas mantap, meskipun ada getar halus mengiringi ucapannya.

Inge memandang Lucas. Dia jadi mempunyai pandangan lain kepada lelaki ini. Perasaan benci yang pernah ada di hatinya sejak peristiwa itu, perlahan menipis. 

“Anda sungguh-sungguh, Pak Lucas?” tutur Inge pelan.

Lucas mengangguk. “Saya bisa usahakan pernikahan yang sah dan resmi, meski pun kamu akan menjadi istri kedua saya.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arini Asrini
Aiiih... jadi istri kedua.. kalau aku emoooh ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status