Inge mengambil napas panjang. Tidak ada pilihan selain memenuhi perintah Bu Farah. Semakin lama ditunda, atasannya itu pasti akan semakin murka. Inge mengenal betul karakter Bu Farah. Dia sudah bekerja di sekolah itu selama empat tahun. Bu Farah orang yang sangat baik tetapi dia sangat keras kepada anak buahnya yang melanggar perintahnya.
Menggunakan ojek online, Inge akhirnya mencapai halaman sekolah.
“Selamat siang, Miss Inge,” sapa penjaga keamanan sekolah dengan ramah. Inge pun membalas sapaannya dengan anggukan kepala.
Suasana sekolah sudah lumayan sepi. Memang kalau ditengok dari jadwal yang sudah dia susun, pentas seni telah usai sekitar setengah jam yang lalu. Namun seperti biasa, tetap ada beberapa siswa yang masih menunggu untuk dijemput. Mereka berada di ruang playground, di sebelah pos keamanan.
Ketika Inge melewati ruang tersebut, matanya bertemu dengan seorang guru yang sedang bertugas di situ. Guru itu terlihat sangat jelas melengos, menghindari tatapannya.
Inge menelan ludah. Padahal sebelumnya, hanya dia yang terlihat paling ramah kepada dirinya dibanding rekan guru yang lain.
“Miss Inge!”
Sebuah suara terpekik dengan nada kegirangan. Tidak berapa lama si pemilik suara sudah menempel di kakinya.
“N-naomi?” desis Inge canggung. “Naomi belum dijemput?”
Dia segera mengedar pandangan. Tentu saja mencari sosok Lucas.
“Miss tadi kemana? Mimi cari-cari Miss loh, Mimi tadi nyanyi sama nari… bagus.” Naomi tidak menjawab, dia justru asyik berceloteh sembari menarik-narik baju Inge, membuyarkan lamunan ibu gurunya tersebut. Naomi memang selalu menyebut dirinya dengan nama kecil ‘Mimi’.
“Mimi, ayo kita pulang, Sayang!”
Belum sempat Inge menjawab, sudah ada suara lain di belakang mereka. Reflek Inge menoleh, kemudian mengangguk kaku. Ternyata yang memanggil Naomi adalah Bu Emma, istri Pak Benny.
“Mimi pulang sama Oma, Miss Inge,” ceplos Naomi. Gadis cilik itu pun segera berlari mendekati neneknya.
“Kamu yang namanya Inge?” tanya Bu Emma.
Inge mengangguk takut-takut.
“Mimi sering cerita soal Anda, sepertinya Anda adalah guru favoritnya,” lanjut Bu Emma dengan wajah berbinar.
Inge mengangguk lagi dengan sikap hormat.
“Ayo, Mimi pamitan dulu sama Miss Inge!” Bu Emma berkata sembari mengelus kepala gadis cilik itu.
Naomi pun menurut, dia mengucap salam dan memberi lambaian tangan kepada Inge.
Inge balas melambai, meski senyumnya terbit dengan sangat terpaksa. Perasaan Inge menjadi tidak karuan. Apa reaksi gadis cilik itu jika nanti dia benar-benar tinggal di rumahnya? Lalu bagaimana dengan Bu Emma? Juga Pak Benny?
Inge menelan ludah. Sepertinya dia harus bicara lagi dengan Lucas soal permintaan lelaki itu untuk tinggal di rumahnya.
“Hebat kamu ya, Ing.”
Inge terperanjat.
Viana sudah berdiri di sampingnya dengan senyum sinis. “Anak sama ibunya pun bisa kamu ambil hatinya. Betewe, dukun kamu orang mana sih? Ampuh banget peletnya!”
Inge diam saja. Dia melangkahkan kakinya lagi, menuju ruang kepala sekolah.
Dia harus melewati ruang guru terlebih dahulu, sebelum mencapai ruang yang dia maksud. Sudah pasti, semua guru yang berada di ruangan itu melihat kepada dirinya. Inge berjalan menunduk, tidak berani untuk membalas tatapan mereka yang tampak penuh kebencian.
“Baru beberapa bulan, saudara-saudara… belum satu tahun, udah gatel ternyata!” ceplos suara, yang sepertinya sengaja dinaikkan volumenya. Segera setelah itu cekikikan terdengar.
“Hei, jangan gitu. Siapa yang tahan godaan duda tampan kaya raya?” sahut yang lain.
“Janda oh janda.”
Inge menghela napas. Telinganya masih bisa mendengar cemoohan meski kini dia sudah berdiri di depan pintu ruang kepala sekolah.
Dengan menebalkan hati, Inge mengetuk pintu. Dan segera mendorong pintunya ketika mendengar jawaban dari Bu Farah. Suasana dingin seketika merebak. Bukan sebab pendingin ruangan yang berfungsi dengan baik, tetapi karena tatapan tajam Bu Farah yang tepat menghujam ke jantungnya.
“S-selamat s-siang, Bu Farah.”
“Duduk!”
Takut-takut Inge melangkah menuju kursi di depan meja Bu Farah, kemudian duduk dengan gerakan yang sangat canggung. Kepalanya menunduk dalam.
“Silakan kamu jelaskan perihal… .” Bu Farah menarik napas panjang. Dia seperti susah untuk meneruskan kalimatnya.
“Kamu tau maksud saya kan?” Akhirnya wanita itu berkata lagi.
Inge mengangguk tetapi bingung harus menjelaskan apa. Jika dia mengatakan tentang pernikahannya dengan Lucas, apakah lelaki itu berkenan?
“Inge, saya sungguh menyesal telah meminta tolong Pak Lucas mengantar kamu ke rumah sakit.”
Inge mendongak. Kaget dengan pernyataan tersebut.
“Pak Lucas baru saja datang saat kamu pingsan, dan saya hanya berpikir agar kamu secepatnya dibawa ke rumah sakit. Saat itu mobil Pak Lucas yang paling siap untuk pergi,” kata Bu Farah. Suaranya terdengar rendah, wajahnya tampak menahan sesuatu.
“Apakah benar yang dilihat Viana, bahwa kamu berduaan di dalam kamar dengan Pak Lucas?”
Inge menelan ludah.
Bu Farah tampak hendak bicara lagi, ketika telepon genggam yang berada di tangan Inge berbunyi. Inge yang memang sedang menunduk, bisa membaca jika itu panggilan dari Lucas.
Inge terhenyak. Selain karena telepon dari Lucas, dia pun kaget sebab baru sadar jika dia datang ke sini hanya membawa telepon genggamnya saja.
“Angkatlah dulu!” seru Bu Farah keras. Dia tampak benar-benar terganggu dengan dering telepon genggam itu.
Inge yang sedang tidak bisa berpikir, hanya menurut.
“Kamu dimana, Ing?” suara Lucas segera menyerbu telinganya begitu Inge merespon.
“S-saya menghadap Bu Farah, Pak.”
“Di sekolah?!” Lucas berseru kencang.
“I-iya.”
Telepon segera ditutup.
Inge memandang Bu Farah dengan wajah lebih bingung.
“Saya masih menunggu penjelasan dari kamu, Ing.”
Inge kembali menunduk. Setelah terdiam cukup lama untuk memilah kata-kata yang menurutnya aman disampaikan, Inge pun berkata, “Ta-tadi Pak Lucas hanya membantu saya… .”
“Membantu apa?” cecar Bu Farah, tampak sangat tidak sabar menunggu ucapan Inge selanjutnya.
“T-tadi saya muntah.”
Bu Farah menyipitkan mata, terlihat tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Inge.
Pintu tiba-tiba diketuk, dan terbuka setelah itu.
“Pak Lucas!” Bu Farah menjerit tertahan.
“Selamat siang, Bu Farah, saya datang untuk menjemput istri saya,” ucap Lucas dengan nada datar.Inge dan Bu Farah sama-sama terkesiap. Tentu saja yang membuat dua perempuan itu terkejut adalah hal yang berbeda. Inge benar-benar tidak menyangka bahwa Lucas akan datang menjemputnya, apalagi langsung membuka status mereka tanpa basa basi. Dia tadi sempat berpikir bahwa Lucas akan merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun.“I-istri?” Bu Farah terbata. Matanya yang membola besar, melihat kepada Inge dan Lucas berganti-ganti. Lucas menerbitkan segaris senyuman. “Jika diskusinya sudah selesai… .”“O-oh, baik, Pak Lucas. Kebetulan pembicaraan kami memang sudah selesai. Iya kan, Ing– eh Miss Inge?” Bu Farah menatap kepada Inge. Sinar matanya mengandung banyak pertanyaan yang tidak terucapkan.Inge mengangguk dengan gerakan patah-patah. Dia melempar pandangan kepada Lucas, dan lelaki itu juga mengangguk ke arahnya. Kemudian mata Inge menatap lurus kembali kepada Bu Farah.“Saya permisi dulu
Inge menjengkit mendengar ucapan Bu Emma. Dia membeku spontan. Yang selama ini dia dengar, Pak Benny dan Bu Emma adalah orang tua Lucas. Namun telinganya baru saja mendengar hal yang berbeda dari orangnya sendiri.Matanya bertemu dengan tatapan Lucas sekejap. Ingin sekali dia mengkonfirmasi berita tersebut, namun sepertinya situasi tidak memungkinkan. Lucas sedang berusaha memeluk Bu Emma yang terlihat histeris. Perempuan itu meronta sambil berteriak-teriak.“Mama tau kamu pria baik, Luc. Pasti perempuan itu yang memperdaya kamu kan?” jerit Bu Emma. Matanya nyalang menatap Inge.Inge tersentak ketika Lucas memberinya perintah sekali lagi dengan nada lebih tinggi. Kaki perempuan itu pun buru-buru mendapatkan kamar yang dimaksud Lucas.Tangis Inge p
Inge hanya berdiri saja di depan pintu besar yang tertutup itu. Pikirannya mengedar, mencoba menerka-nerka isi perjanjian yang ditolak oleh Lucas.Di tengah dia berpikir, Bu Emma terlihat keluar dari sebuah ruangan. Inge menggigit bibirnya samar, dia tidak tahu harus bagaimana bersikap. Saat mata mereka bertemu, Inge mencoba membungkukkan sedikit badan. Namun Bu Emma membalasnya dengan tatapan begitu sinis, membuat Inge cepat menunduk.Dia bersiap jika Bu Emma menghampiri dirinya, kemudian murka atau menamparnya lagi. Ternyata tidak. Inge justru mendengar detak sepatu Bu Emma menjauh, lalu perlahan memudar, hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Ketika Inge memberanikan diri mendongak, sosok Bu Emma sudah hilang.Inge menghela napas, bersamaan dengan itu pintu terbuka. Inge menoleh dan menemukan sor
Inge meluruhkan tangis. Di syaraf pendengarannya sang mama terus mengomel dan menyudutkan dirinya, tanpa dia tahu bagaimana cara membela diri. Inge tidak ingin membuka kejadian yang menimpa dirinya hingga menyebabkan dia hamil. Lagi pula hati mama sedang panas, segala sanggahan dan penjelasan yang Inge kemukakan akan menjadi percuma.Telepon ditutup mendadak oleh mama.Inge memandang layar gawainya dengan hati tidak karuan. Matanya menemukan banyak pesan masuk dari beberapa nomor kontak. Sekilas dia melihat sebagian besar dari orang tua siswa yang diajarnya. Menilik kata awal yang terlihat, sepertinya mereka semua mempertanyakan kebenaran berita antara dirinya dan Lucas.Dia juga menemukan nomor kontak dirinya telah dikeluarkan dari semua grup unit kerja sekolah. “Oh, Tuhan,” desis Inge tertahan.Kali ini Inge membiarkan dirinya menangis hebat. Tidak lagi dia tahan seperti tadi. Dia hanya berharap semua beban yang bergayut di pikirannya, ikut keluar bersama air mata yang jatuh.Ing
“Miss Inge bangun, Pap! Tuh, liat tuh, matanya gerak-gerak.”Lamat-lamat Inge mendengar suara Naomi. Terdengar sedikit heboh. Dia juga merasakan pipinya hangat, dan ada gerakan lembut di situ.“Miss, Miss… udah bangun kan?”Didengarnya lagi suara Naomi itu. Inge pun mengerjap. Benar saja, saat matanya terbuka, dia melihat wajah Naomi begitu dekat. Tangan kecil itu masih bergerak lembut, mengelus pipi kiri Inge.“Pap!” Naomi terpekik. Dia menggerakkan kepalanya dengan heboh, menoleh kepada Lucas dan Inge berganti-ganti. Tampak jelas semburat bahagia di parasnya.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Wajah Lucas kini terlihat, tepat di belakang Naomi.
Inge bangun dengan tubuh yang sedikit lebih segar. Namun dia segera menghela napas dalam, dan termenung sejenak sebelum turun dari ranjang. Semalam dia bermimpi tentang seorang bayi yang berwajah mirip Naomi.Dalam mimpinya itu sang bayi seperti tersedot ke atas, dan si bayi menangis sambil mengulurkan tangan ke arahnya. Gema tangisan bayi itu benar-benar seperti nyata dalam rongga telinganya.Spontan Inge menunduk, serta mengusap perutnya sendiri dengan lembut.Kemarin memang sempat ada rasa sesal dalam dada, tentang keputusan untuk menikah demi memelihara bayinya. Akan tetapi, mulai sekarang dia harus menumbuhkan tekad lebih kuat.Jalan yang sudah dia ambil ini pasti bukan hanya suatu kebetulan semata. Apalagi sikap Lucas semalam yang menunjukka
“S-syarat a-apa, Miss?” Bi Yati tampak gemetar.“Bibi harus mau bekerja sama dengan saya,” ucap Inge.Sengaja Inge menggantungkan jawaban, hanya untuk sekedar melempar seringai lebar. Dia yakin ART ini tidak akan mampu menolak permintaannya.Sementara itu Bi Yati makin mengkerut. Apalagi saat Inge terus menatap tajam ke arahnya. Dia tidak menyangka bahwa orang yang sejak tadi sangat ramah, sehingga membuatnya nyaman bicara, ternyata bisa berbalik begini.Bi Yati melirik Inge takut-takut. Kentara sekali dia sangat menyesali ucapannya yang memang kebablasan. Seharusnya dia ingat, kedudukan Inge di sini.“Miss, s-saya mohon–”
“Enak kan?” Suara Bu Emma bertambah tinggi. “Sudah terbaca niat busuk orang-orang seperti kamu. Mengandalkan kecantikan untuk menjerat pria kaya agar bisa hidup berleha-leha tanpa susah payah.”Inge diam. Tidak ingin merespon. Bukan sengaja tidak sopan, tetapi dia paham bahwa Bu Emma akan bertambah marah dengan apa pun bentuk reaksi yang akan dia berikan.“Tapi ingat, cara-cara licik seperti ini pasti berujung derita,” cicitnya penuh kebencian.Bu Emma menoleh ke arah pintu depan. Dia mendengar suara Naomi samar-samar. Dengan sekejap dia menyetel wajahnya yang semula garang menjadi wajah ramah penuh senyum, dan senyumnya bertambah rekah ketika sang cucu semakin mendekat.“Mimi, Oma nungguin Mimi,” ujar Bu Emma r