Inge bangun dengan tubuh yang sedikit lebih segar. Namun dia segera menghela napas dalam, dan termenung sejenak sebelum turun dari ranjang. Semalam dia bermimpi tentang seorang bayi yang berwajah mirip Naomi.
Dalam mimpinya itu sang bayi seperti tersedot ke atas, dan si bayi menangis sambil mengulurkan tangan ke arahnya. Gema tangisan bayi itu benar-benar seperti nyata dalam rongga telinganya.
Spontan Inge menunduk, serta mengusap perutnya sendiri dengan lembut.
Kemarin memang sempat ada rasa sesal dalam dada, tentang keputusan untuk menikah demi memelihara bayinya. Akan tetapi, mulai sekarang dia harus menumbuhkan tekad lebih kuat.
Jalan yang sudah dia ambil ini pasti bukan hanya suatu kebetulan semata. Apalagi sikap Lucas semalam yang menunjukka
“S-syarat a-apa, Miss?” Bi Yati tampak gemetar.“Bibi harus mau bekerja sama dengan saya,” ucap Inge.Sengaja Inge menggantungkan jawaban, hanya untuk sekedar melempar seringai lebar. Dia yakin ART ini tidak akan mampu menolak permintaannya.Sementara itu Bi Yati makin mengkerut. Apalagi saat Inge terus menatap tajam ke arahnya. Dia tidak menyangka bahwa orang yang sejak tadi sangat ramah, sehingga membuatnya nyaman bicara, ternyata bisa berbalik begini.Bi Yati melirik Inge takut-takut. Kentara sekali dia sangat menyesali ucapannya yang memang kebablasan. Seharusnya dia ingat, kedudukan Inge di sini.“Miss, s-saya mohon–”
“Enak kan?” Suara Bu Emma bertambah tinggi. “Sudah terbaca niat busuk orang-orang seperti kamu. Mengandalkan kecantikan untuk menjerat pria kaya agar bisa hidup berleha-leha tanpa susah payah.”Inge diam. Tidak ingin merespon. Bukan sengaja tidak sopan, tetapi dia paham bahwa Bu Emma akan bertambah marah dengan apa pun bentuk reaksi yang akan dia berikan.“Tapi ingat, cara-cara licik seperti ini pasti berujung derita,” cicitnya penuh kebencian.Bu Emma menoleh ke arah pintu depan. Dia mendengar suara Naomi samar-samar. Dengan sekejap dia menyetel wajahnya yang semula garang menjadi wajah ramah penuh senyum, dan senyumnya bertambah rekah ketika sang cucu semakin mendekat.“Mimi, Oma nungguin Mimi,” ujar Bu Emma r
“Biar saya coba bujuk Mimi dulu ya, Bu Emma.” Akhirnya Inge berinisiatif untuk menengahi.Bu Emma tentu saja langsung melengos. Dia menatap Gita tajam. Lalu memberi kode dengan kepalanya untuk tetap membawa Naomi, sesuai perintahnya.Gita tergeragap. Dia mengangguk patah-patah, dan bergerak pelan mendekati Naomi yang masih menangis sambil memeluk Inge. Kemudian si pengasuh itu ikut berjongkok seperti Inge.“Ayo, Non. Kita ke rumah Oma, yuk!” bujuk Gita. Suaranya setengah tercekat. Tangannya terulur hendak meraih tubuh Naomi.Plak.Naomi malah melayangkan tangannya, pas kena di bagian wajah Gita. Membuat Inge dan Gita terkejut bersamaan. Demikian juga dengan Bu Emma.
Sepeninggal Bu Emma dari rumah Lucas, Naomi tampak lebih tenang, tangisnya pun telah usai. Apalagi saat Gita menceplos bahwa Bu Emma sudah pergi, suasana hati bocah itu mendadak berubah menjadi ceria. Naomi langsung menurut ketika Inge menyuruhnya untuk meminta maaf kepada Gita.“Maafin Mimi ya, Mbak Gita,” tutur Naomi. Dia menirukan ucapan yang disuarakan oleh Inge satu detik sebelumnya.“Ayo sambil dipeluk mbak Gita-nya,” perintah Inge halus.Lagi-lagi Naomi menurut.Gita tertawa canggung, menoleh ke arah Inge saat tangan kecil Naomi melingkari lehernya. Dilihat dari sikap Gita, sepertinya baru sekali ini dia dipeluk oleh Naomi.Kemudian Inge memberi sedikit pengertian kepada Naomi bahwa apa yang tadi dilakukan amatlah tidak baik. Sampai akhirnya Naomi kembali memeluk Gita tanpa diminta.Inge dan Gita spontan saling melempar senyum.Setelah itu, Naomi dengan penuh antusias mengajak Inge ke ruang bermain, yang letaknya di lantai satu. Gadis cilik itu berkata bahwa papanya baru membe
“Tidak, Pak Lucas, tadi hanya Naomi saja yang sedikit ngambek tidak ingin diajak pergi,” jawab Inge.Perempuan itu menoleh ke arah tangan Lucas yang masih tersampir di bahunya.Lelaki itu menjadi seperti tersadar. Cepat dia tarik tangannya.“Tolong kalau ada apa-apa kasih tau ya,” sahut Lucas cepat.Inge kembali tersenyum. Mendadak ada haru yang menyeruak. Entahlah, kalimat yang diucapkan Lucas dengan pelan dan tegas itu telah menyentuh sudut hatinya.“Ngomong-ngomong, aku sengaja pulang untuk mengajak kamu dan Mimi jalan-jalan,” kata Lucas. “Kita makan siang di luar yuk!”“Terima kasih, Pak Lucas, tapi
“Ada apa, Bi?” tanya Inge dengan nada tidak sabar.“I-ini, Miss, a-ada telpon dari Nyonya Emma. Nyonya marah-marah, katanya hape Miss tidak bisa dihubungi,” lapor Bi Yati.“Oh, oke, saya akan aktifkan segera ya,” jawab Inge cepat.Separuh hatinya lega, sebab pikiran buruk tentang sesuatu yang menimpa Lucas dan Naomi, yang tadi sempat hadir berkelebat, tidak menjadi kenyataan. Namun hati bagian lainnya sudah membiru. Dia harus bersiap menghadapi mertua suaminya lagi.“Tunggu!" Seruan Bi Yati hadir, saat gagang telepon baru bergeser sedikit dari telinga Inge. Niatnya memang akan di tutup."Nyonya Emma ada di saluran telepon sekarang. Ditunggu ya, Miss, saya sambungkan segera,” ucap Bi Yati.Inge mengiyakan. Telepon hampa sejenak. Dia perlu menunggu beberapa detik sampai akhirnya alat komunikasi itu memperdengarkan desahan angin. Panggilan yang dimaksud Bi Yati tadi telah tersambung.“Inge!” suara tinggi Bu Emma menghajar telinganya.“Saya, Bu Emma,” jawab Inge sehalus mungkin.“Kamu ta
“Apa ada seseorang yang mengusikmu?” Lucas bertanya tanpa basa basi. Inge tersenyum kecil, kentara sekali terlihat canggung. Lalu menggeleng.Lucas menghela napas. “Kamu sudah janji padaku untuk bicara jika ada apa-apa,” katanya dengan suara dalam, penuh penekanan. Tampak dia tidak percaya pada respon yang diberikan oleh Inge.“Ya, Pak Lucas,” jawab Inge menunduk. “Tapi benar, tidak ada apa-apa, saya baik-baik saja. S-saya hanya kangen mengajar anak-anak.”Inge tetap menunduk. Dia tidak ingin mengambil resiko jika kebohongannya diketahui Lucas.“Inge, maafkan kesalahan saya. Saya sudah membuat hidupmu berantakan.”Leher Inge bergerak cepat. Menoleh kepada Lucas. Netra mereka pun saling bertaut. Inge hendak bicara, tetapi suaranya terasa menyangkut di batang tenggorokannya. Dia hanya sanggup menelan ludah, dan perlahan kembali menunduk.Lucas bergerak mendekat. Tanpa ragu, dia berjongkok di hadapan Inge yang tengah duduk di tepian ranjang. Membuat perempuan itu terkesiap. Tangan Ing
Naomi yang semula terdengar paling keras tertawa di antara ketiganya, semakin lama semakin melemah. Inge spontan melongok gadis cilik itu. Rupanya Naomi mengantuk. Kepalanya sesekali terkulai lemas, tetapi matanya dipaksa menyala lagi saat terdengar suara seru dari televisi, atau saat Lucas tertawa.“Mimi udah ngantuk, cuci mulut dulu, yuk,” ujar Inge sembari bergerak turun. Tangannya sudah berada di ketiak Naomi.Lucas menoleh cepat. “Biar aku aja.” Lelaki itu pun sigap turun juga.“Mimi mau bobo di sini, enggak mau di kamar Mimi,” gumam Naomi. Gadis itu sudah setengah berada di alam bawah sadarnya. Namun dia tetap memberikan perlawanan dengan cara mengibas tangan Inge dengan lemah. “Iya, Mimi bobo di sini tapi kita cuci muka dulu ya, itu belepotan es krim mukanya.” Inge telah mendahului Lucas menggendong tubuh Naomi.“Ing, kamu kan lagi hamil muda, harus hati-hati dengan beban yang kamu angkat,” desis Lucas protes. Dia mendekati Inge, dan mencoba mengambil alih Naomi dengan cara
“Gimana keadaanmu, Ma?” tanya Lucas begitu panggilan tersambung. “Maksudku, kamu baik-baik saja kan setelah perjalanan jauh?”Inge tidak langsung menjawab, melainkan menarik napas dalam terlebih dahulu. Entahlah, dia merasa tidak karuan saat Lucas ternyata masih juga memanggilnya dengan panggilan ‘Mama’.“Saya baik, Pak Lucas. Baby boy juga baik.”“Syukurlah… ,” sahut Lucas cepat. Namun setelah itu dia seperti kehilangan kata-kata lagi, sehingga mereka terdiam cukup lama, sampai akhirnya Inge berinisiatif memutus panggilan terlebih dahulu dengan alasan sang mama memanggilnya.Inge begitu terkejut saat ternyata mamanya benar-benar sedang berdiri di belakangnya saat dia menutup telepon.“Maaf, Ing, enggak ada maksud Mama menguping. Mama hanya mau ambil baju,” ujar Mama Niken. “Tapi… sepertinya kamu berutang penjelasan sama Mama ya. Apa ada sesuatu dengan pernikahanmu?”Inge mengangguk. “Ya, Ma. Ini cerita panjang. Sebaiknya Mama mandi dulu, aku beresin kamarku ya.”Mama Niken ganti meng
“Jangan membuat posisiku bertambah salah,” ucap Lucas. Dia memandang Inge. Namun tiga detk kemudian, dia memalingkan wajahnya.Lucas menghela napas. “Maafkan aku… . Aku tidak akan menyembunyikan status kita pada Karina, aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat.”“Saya hanya ingin ketemu Mama saya, tidak ada hubungannya dengan Bu Karina.” Inge menekan suaranya sedemikian rupa. “Saya ingin mengambil momen ini, sebab antara saya dan mama saya memang sudah kurang baik sejak saya bercerai dulu. Mumpung hati Mama saya lagi baik, jadi tidak ada salahnya. Iya kan?”Mereka berdua saling memandang beberapa saat. Sampai akhirnya Lucas berkata, “Oke. Pergilah, tapi diantar Pak Ali. Aku akan menjemputku.”Inge menunduk, lalu mengiyakan dengan suara pelan.“Saya akan pergi malam ini,” pamit Inge. Ditahan isaknya dengan sekuat tenaga.Lucas menghela napas lagi. Dia bisa saja mendebat lagi, tetapi lelaki itu berpikir mungkin Inge sedang benar-benar membutuhkan kebersamaan dengan ibunya.Dan bagian
Diantar oleh Pak Ali, Inge kembali ke rumah sakit dengan banyak pertanyaan di benaknya. Bagaimana mungkin Karina bisa mencari dirinya? Bukankah mereka tidak pernah saling mengenal?Tiba-tiba jantung Inge berdebar keras. Jangan-jangan, Lucas atau Pak Benny telah memberitahu tentang statusnya ini. Astaga! Inge memegangi dada kirinya yang semakin berdenyut. Dia pun mulai memikirkan kalimat-kalimat yang harus dia ucapkan pada Karina. Tentu saja serangkaian kalimat yang dia rasa tidak akan membuat situasi bertambah keruh.Sampai di rumah sakit, Inge berjalan di koridor dengan langkah terasa mengambang. Otaknya kosong sekarang setelah sepanjang perjalanan ke mari ribut sendiri. Mendadak dia sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang apa yang akan Karina tanyakan padanya.Dari kejauhan, Inge melihat Bu Emma yang tampak mondar mandir gelisah. Begitu ibu kandung Karina itu melihat kedatangan Inge, dia terlihat berlari menyongsong. Seolah-olah sudah tidak sabar untuk bi
“Ing, Karina sadar!” Lucas setengah berteriak. Setelah itu dia berlari ke arah mereka datang tadi.Inge melihat betapa Lucas menghilang sangat cepat, bahkan lelaki itu sempat menabrak pot bunga yang menjadi pembatas antara trotoar dan lahan parkir. Beruntung tidak sampai terjadi apa-apa.Sejenak Inge tercenung. Dia menjadi bingung, apakah dia harus balik ke ruangan Karina atau kembali ke rumah? Dia menoleh ke belakang. Naomi tampak amat lelap. Rasanya Inge pun tidak mungkin menggendong Naomi sejauh itu. Kandungannya sudah besar, dan dia merasa tenaganya tidak sekuat dulu. Dia juga gampang sekali lelah. Untuk membangunkannya, tampak lebih tidak mungkin.Inge menghela napas, mencoba menunggu sejenak. Barangkali Lucas akan kembali, atau setidaknya menelepon untuk memberitahu apa yang harus dia lakukan. Namun detik-detik berlalu, tidak ada tanda-tanda kabar dari Lucas. Inge akhirnya memilih keluar dari mobil, kemudian berjalan mengitari bagian depan mobil untuk duduk di belakang kemudi.M
“Pap, Adik ternyata baby boy, bukan baby girl,” ucap Naomi sedikit kecewa, setelah tawa mereka berdua habis.Lucas membeliak. Dadanya mengembang, demikian pula dengan senyumnya. Perasaan bahagia mendengar kabar itu seperti arus listrik yang cepat menjalar, dari ujung kakinya lalu naik melesat.“Oh iya?” jawabnya dengan nada gembira.“Mimi baru tengok Adik di komputer, fotonya dibawa Mama Inge tuh, Papa mau liat?” tutur Naomi sembari menunjuk Inge yang mematung, sekitar sepuluh langkah dari mereka.Senyum Lucas menghilang seketika. Apalagi saat dia menoleh pada Inge, dan melihat tangan perempuan itu yang berada ke wajahnya sendiri, terlihat seperti sedang menghapus air mata. Lucas menjadi amat bersalah telah lupa dengan janjinya hari ini. Seharusnya dia ada di samping Inge tadi.Lucas menurunkan Naomi perlahan. Gadis cilik itu kembali berlari kepada Inge, lalu terlihat meminta amplop besar yang dipegang oleh Inge.“Ini gambar Adik, Pap!” Naomi berteriak seraya berbalik badan dan kembal
Dengan tangan bergetar, Inge merespon panggilan tersebut.“Inge… .”Suaranya terdengar amat lembut. Membuat Inge memejam, dan spontan menggulirkan air mata. Setelah sekian lama sengaja menutup diri dari Inge, akhirnya… .“Mama,” desis Inge. Dia mendengar ibu kandungnya mengisak di seberang. Sementara dia sendiri pun memperdengarkan sedu sedan. Beberapa jenak mereka berdua bertangisan, tangis yang sama-sama tertahan.“Maafkan Mama, Ing. Armand baru saja cerita semuanya, dia sampai bersujud di kaki Mama untuk minta maaf,” ucap Mama, suaranya bergetaran.“Maksud Mama, Mas Armand ke rumah?” tanya Inge tidak percaya.“Iya, baru aja dia pergi, mungkin sekitar lima menit yang lalu,” lirih sekali Mama menjawab. “Dia bilang akan balik ke kota asalnya.”Inge menghela napas. Begitu niatnya Armand bertemu mamanya, padahal kota asal Armand ada di barat, sedang mama tinggal di arah yang berlawanan. Sudah terbayang bagaimana capeknya, apalagi jika Armand menyetir sendiri.“Ing, maafkan Mama ya.” Ibu
Setelah mengambil bungkusan dari Armand, Inge naik. Di ujung tangga dia bertemu dengan Bi Yati yang tengah mencarinya.“Miss, saya kira ke mana. Saya sampai cari ke kamar Nyonya Karina. Lupa kalau Nyonya udah nggak di situ lagi, karena biasanya Miss Inge jam segini ada di kamar Nyonya,” ucap Bi Yati panjang lebar.Inge tersenyum menanggapinya. Entah mengapa sudut hatinya kembali tercubit mendengar nama Karina.“Saya ambil ini dulu, Bi. Tadi lupa dibawa turun sekalian dari mobil,” sahut Inge.“Harusnya Miss tadi tinggal telpon ke pos, biar diambilkan sama Pak Ali.”Inge hanya tersenyum saja.“Oh iya, buah potongnya sudah saya taruh di atas meja, Miss. Saya bawakan kroket juga, semoga Miss Inge berkenan,” ujar Bi Yati. Dia tahu jika istri kedua majikannya ini belum sarapan, sebab tadi terburu-buru mengantar Naomi.Inge mengucapkan terima kasih, tetapi menolak saat Bi Yati berniat untuk memberikan bantuan dengan membawakan bungkusan besar yang ada di tangannya. Dia pun kembali berjalan m
“Ya, Sayang. Ayo sebelum bobo kita sama-sama berdoa biar Mama Karina cepat bangun dan bisa main sama Mimi, bisa—”“Mimi enggak mau!” tukas Naomi. “Mimi mau sama Mama Inge aja, sama Adik. Kenapa Adik lama banget enggak keluar-keluar, Ma?”Inge tersenyum. “Sebentar lagi, Kakak. Udah enggak sabar main sama Adik ya?”Naomi mengangguk. Selanjutnya dia memeluk pinggang Inge, menciumi perut Inge beberapa kali sambil tertawa-tawa senang.“Oh iya, besok kita tengok Adik ya,” kata Inge. Dia baru saja teringat bahwa besok dia ada janji dengan dokter Yoda. Pada pemeriksaan minggu kemarin jenis kelamin bayinya belum terlihat sebab posisi sang bayi, sehingga dokter Yoda menjadwal ulang, sebelum beliau pergi ke luar negeri untuk berlibur selama satu bulan.“Tengok Adik di komputer ya, Ma?” tanya Naomi antusias.“Iya, Sayang, setelah Mimi pulang sekolah,” jawab Inge. “Sekarang kita bobo yuk.”Naomi menurut. Dia kembali ke posisi tidurnya dengan lurus, tidak meringkuk seperti yang baru saja dia lakuka
Inge tersenyum. Kebiasaan Naomi, kalau dia sudah mengantuk sekali, pasti akan meletakkan kepalanya di sembarang tempat. Naomi memang belum istirahat sejak pulang sekolah tadi. Jadi sangat wajar kalau gadis cilik ini kelelahan.“Kita pulang?” tanya Inge. Dia meraih dagu bocah itu, dan dia gemas pipinya sekejap.Naomi mengangguk lesu. Matanya tampak sudah tidak kuat untuk dia buka.Inge terpaksa meminta agar sotonya dibungkus saja. Entah nanti termakan olehnya atau tidak. Dia hanya tidak ingin si pemilik warung tersinggung jika soto yang baru dia cicipi kuahnya itu ditinggalkan begitu saja.Dibantu seseorang yang ada di situ, Inge membawa Naomi yang sudah terlelap ke dalam mobil. Rencana untuk jalan-jalan sudah hangus. Inge pun melajukan mobilnya menuju pulang. Sesekali dia melihat pada Naomi yang rebah di jok belakang, untuk memastikan anak tiri kesayangannya itu aman.Sampai di rumah, Pak Husen yang terlihat tengah mengobrol dengan penjaga keamanan segera mendekat ketika Inge memanggi