“Tidak, Pak Lucas, tadi hanya Naomi saja yang sedikit ngambek tidak ingin diajak pergi,” jawab Inge.Perempuan itu menoleh ke arah tangan Lucas yang masih tersampir di bahunya.Lelaki itu menjadi seperti tersadar. Cepat dia tarik tangannya.“Tolong kalau ada apa-apa kasih tau ya,” sahut Lucas cepat.Inge kembali tersenyum. Mendadak ada haru yang menyeruak. Entahlah, kalimat yang diucapkan Lucas dengan pelan dan tegas itu telah menyentuh sudut hatinya.“Ngomong-ngomong, aku sengaja pulang untuk mengajak kamu dan Mimi jalan-jalan,” kata Lucas. “Kita makan siang di luar yuk!”“Terima kasih, Pak Lucas, tapi
“Ada apa, Bi?” tanya Inge dengan nada tidak sabar.“I-ini, Miss, a-ada telpon dari Nyonya Emma. Nyonya marah-marah, katanya hape Miss tidak bisa dihubungi,” lapor Bi Yati.“Oh, oke, saya akan aktifkan segera ya,” jawab Inge cepat.Separuh hatinya lega, sebab pikiran buruk tentang sesuatu yang menimpa Lucas dan Naomi, yang tadi sempat hadir berkelebat, tidak menjadi kenyataan. Namun hati bagian lainnya sudah membiru. Dia harus bersiap menghadapi mertua suaminya lagi.“Tunggu!" Seruan Bi Yati hadir, saat gagang telepon baru bergeser sedikit dari telinga Inge. Niatnya memang akan di tutup."Nyonya Emma ada di saluran telepon sekarang. Ditunggu ya, Miss, saya sambungkan segera,” ucap Bi Yati.Inge mengiyakan. Telepon hampa sejenak. Dia perlu menunggu beberapa detik sampai akhirnya alat komunikasi itu memperdengarkan desahan angin. Panggilan yang dimaksud Bi Yati tadi telah tersambung.“Inge!” suara tinggi Bu Emma menghajar telinganya.“Saya, Bu Emma,” jawab Inge sehalus mungkin.“Kamu ta
“Apa ada seseorang yang mengusikmu?” Lucas bertanya tanpa basa basi. Inge tersenyum kecil, kentara sekali terlihat canggung. Lalu menggeleng.Lucas menghela napas. “Kamu sudah janji padaku untuk bicara jika ada apa-apa,” katanya dengan suara dalam, penuh penekanan. Tampak dia tidak percaya pada respon yang diberikan oleh Inge.“Ya, Pak Lucas,” jawab Inge menunduk. “Tapi benar, tidak ada apa-apa, saya baik-baik saja. S-saya hanya kangen mengajar anak-anak.”Inge tetap menunduk. Dia tidak ingin mengambil resiko jika kebohongannya diketahui Lucas.“Inge, maafkan kesalahan saya. Saya sudah membuat hidupmu berantakan.”Leher Inge bergerak cepat. Menoleh kepada Lucas. Netra mereka pun saling bertaut. Inge hendak bicara, tetapi suaranya terasa menyangkut di batang tenggorokannya. Dia hanya sanggup menelan ludah, dan perlahan kembali menunduk.Lucas bergerak mendekat. Tanpa ragu, dia berjongkok di hadapan Inge yang tengah duduk di tepian ranjang. Membuat perempuan itu terkesiap. Tangan Ing
Naomi yang semula terdengar paling keras tertawa di antara ketiganya, semakin lama semakin melemah. Inge spontan melongok gadis cilik itu. Rupanya Naomi mengantuk. Kepalanya sesekali terkulai lemas, tetapi matanya dipaksa menyala lagi saat terdengar suara seru dari televisi, atau saat Lucas tertawa.“Mimi udah ngantuk, cuci mulut dulu, yuk,” ujar Inge sembari bergerak turun. Tangannya sudah berada di ketiak Naomi.Lucas menoleh cepat. “Biar aku aja.” Lelaki itu pun sigap turun juga.“Mimi mau bobo di sini, enggak mau di kamar Mimi,” gumam Naomi. Gadis itu sudah setengah berada di alam bawah sadarnya. Namun dia tetap memberikan perlawanan dengan cara mengibas tangan Inge dengan lemah. “Iya, Mimi bobo di sini tapi kita cuci muka dulu ya, itu belepotan es krim mukanya.” Inge telah mendahului Lucas menggendong tubuh Naomi.“Ing, kamu kan lagi hamil muda, harus hati-hati dengan beban yang kamu angkat,” desis Lucas protes. Dia mendekati Inge, dan mencoba mengambil alih Naomi dengan cara
“Jeng Helen, maaf mengganggu ya…, jam berapa di sana?” ujar Emma sambil mengeluarkan tawa renyah.Terdengar mama dari Lucas itu ikut tertawa di ujung telepon. “Dini hari, Emma. Tapi santai, aku memang sudah bangun.”“Oh, kebetulan kalau gitu,” sahut Emma cepat. Lalu berderai kembali. Sesungguhnya karena dia bingung harus memulai percakapan dari mana.Emma dan Helen bukanlah besan yang saling akrab satu sama lain. Mereka pun sebenarnya jarang sekali berkabar via telepon, kecuali hal-hal yang sangat penting. Namun bukan berarti mereka bermusuhan, meski sejak Karina koma seperti terjadi perang dingin di antara mereka.“Kamu mau bicara soal istri baru Lucas yang kemarin itu?” tembak Helen. “Ya, begitulah, Jeng. Aku merasa butuh bantuanmu.”Emma tertawa lagi, tawa yang lebih canggung dibanding yang pertama. Namun setelah itu, pembicaraan antara dua wanita cantik tersebut mengalir lancar. Emma mulai bicara tentang Inge, tentu saja dari sudut pandangnya. Berharap kali ini Helen bersedia ber
Notifikasi di telepon genggam Inge berbunyi. Sebuah pesan baru muncul di kotak masuk emailnya. Gegas dia buka.Inge refleks membolakan mata, lumayan terkejut bahwa undangan untuk wawancara langsung dia terima. Padahal berkas lamaran miliknya baru dia kirim kurang dari sepuluh menit yang lalu. Sepertinya memang sudah diatur semua oleh Bu Emma dan pastinya Pak Benny juga terlibat di dalamnya. Inge kembali membaca ketentuan detailnya.Wawancara langsung dengan direktur sekolah, bukan kepala sekolahnya. Akan berlangsung dari pukul sembilan pagi waktu Indonesia barat. Itu adalah waktu yang sangat sempurna. Saat itu sudah dapat dipastikan jika Naomi sedang bersekolah dan Lucas ada di kantornya.Perempuan itu menghela napas. Mencoba melepaskan pikiran macam-macam yang berkecamuk dalam otaknya. Biarlah besok dia jajaki dulu tentang sekolah tersebut, jika memang takdirnya harus mengajar di sana, pasti semuanya akan dipermudah.Dengan sedikit gemetar, dia membalas email itu dengan mencentang ko
“T-terima kasih, Pak Lucas,” kata Inge. Dia mengerjapkan mata beberapa kali guna mengusir embun yang sudah menghuni kedua matanya.Dengan gerakan cepat, Lucas mengambil tangan Inge dan meremasnya lembut. “Kamu tidak sendirian, Ing.”Satu butir air jatuh spontan ke pipi Inge. Perempuan itu cepat mendongak, berpura-pura menatap langit yang sudah menjadi gelap.Genggaman Lucas kian bertambah erat, terasa sedikit menekan lebih dalam pada jari jemari Inge. Pikiran Inge cepat berputar, dia jadi ingin mengambil kesempatan ini untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan Lucas selanjutnya.“Saya ini cengeng, Pak, gampang tersentuh. Jadi kalau Anda melihat saya meneteskan air mata bukan berarti saya sedang tidak baik-baik saja,” tutur Inge.Perempuan itu pun tertawa hambar beberapa menit. Untuk mengesankan bahwa apa yang dia katakan barusan memang benar adanya. Sambil berharap, Lucas tidak bertanya lebih jauh. Sungguh, dia tidak ingin bercerita yang sebenarnya, juga tidak ingin berbohong. Keduanya
Bangun di sisi Inge pada pagi hari, membuat Naomi begitu antusias. Berkali-kali dia melempar pertanyaan yang sama pada Inge, meskipun Inge dengan sabar selalu menjawab pertanyaannya itu dengan jawaban yang sama pula. “Mimi, bobo sama Miss Inge?” Mata gadis cilik itu masih menyirat rasa ketidakpercayaannya, diiringi dengan kebahagiaan yang berpendar-pendar. Kali ini Inge hanya tertawa. “Mau mandi sama Miss juga enggak?” tawar Inge. Semoga dengan ini, bisa memutus pertanyaan yang sudah puluhan kali Naomi ucapkan tersebut. Putri Lucas itu segera bersorak. Tanpa perlawanan dia pun mandi di kamar Inge. Naomi begitu menurut, saat Inge berkata bahwa mandinya cepat saja karena akan berangkat sekolah. Usai mandi, Inge membalutnya dengan handuk dan mengangkat tubuh kecil Naomi. Sembari terus menciumi Naomi, Inge membawa si kecil ke kamarnya. Naomi yang geli plus senang, tertawa-tawa sambil menggeliat di gendongan Inge. Terkadang, jari jemari kecil Naomi menyentuh pipi Inge dan sedikit