Naura adalah gadis baik-baik jadi dia menolak dengan tegas ajakan Satria walaupun hatinya sangat ingin menjalin hubungan spesial dengan Satria. Gadis ini segera pergi meninggalkan sahabat masa kecilnya sebelum Satria semakin banyak mengungkapkan kalimat-kalimat sensitif. “Saya mau bersama kamu, tapi saya tidak bisa ....” Perasaan semakin menyiksanya, tetapi menurutnya ini lebih baik dibandingkan harus menyetujui ajakan Satria.Satria bersedih dan merasa usahanya mendapatkan Naura selalu sia-sia karena kehadiran Isabella. “Abel memberikan syarat rumit agar kita bisa berpisah, dia memang licik!” Saat ini Satria mendengus berang.Saat ini, tanpa Satria tahu jika Dika mengunjungi kampusnya. “Saya mencari Satria yang katanya pacarnya Naura.” Alibynya.Namun, sikap lelaki ini tidak biasa. “Kamu penggemar Naura? Mendingan mundur deh. Saingan kamu Satria. Dia lelaki populer di kampus, banyak cewek suka dia, tapi akhirnya Satria memilih Naura, cewek populer di kampus ini walaupun Naura tidak m
Isabella segera melepaskan tangannya yang digenggam Dika. Jadi, laki-laki ini tidak memaksa. Namun setelah melewati lampu merah, gadis ini meminta berhenti dan turun dari motor. “Kamu tidak sopan!” Dia segera menegur hingga Dika cukup kaget, tetapi reaksi Isabella sudah bisa ditebak karena dia seorang gadis salihah yang tentunya tidak ingin disentuh oleh lelaki selain suaminya.“Maaf, saya cuma ....” Belum selesai Dika berkata, Isabella memotong.“Kamu bukan suami saya!” Isabella merasa ternodai walaupun mungkin itu berlebihan, tetapi sebagai seorang istri tidak seharusnya kulitnya disentuh lelaki lain yang memiliki perasaan khusus padanya. Isabella memang sering bersentuhan dengan lelaki lain, tetapi tidak ada perasaan khusus di antara keduanya, dia hanya menjalankan propesinya.“Maaf ....” Dika mulai cemas, dan dia juga meminta maaf dari hatinya berharap Isabella dapat memaafkannya dan melupakan sikap lancangnya.Isabella tidak menyukai sikap lancang Dika, tetapi dia juga tidak ingi
Devan sangat cemas karena bisa saja pertemanannya dengan Satria hancur, tetapi dia tidak menyesal telah menasihati Satria walaupun secara tidak langsung karena tidak mungkin dia memperlihatkan maksud sebenarnya.Devan kembali ke rumah bersama sopir setelah kontrol di rumah sakit tempat Isabella bekerja, tetapi ternyata tanpa sengaja dia berada di tempat yang sama dengan Isabella dan Dika, ini adalah hal paling tidak terduga.Saat ini Devan menghubungi Naura, “Nay, kamu di mana?” Suaranya terdengar lembut.“Masih di kampus. Saya sedang menunggu dijemput. Kenapa, perlu bantuan?” Naura mengkhawatirkan Devan sebagaimana pada saudaranya.“Tidak, saya baik-baik saja. Eu ... Nay. Apa hari ini Satria mendekati kamu?” Sebenarnya Devan merasa canggung menanyakan hal ini karena ini bagian dari privasi Naura, dia tidak memiliki hak mencampuri.“Iya, kenapa?” jawab datar Naura yang merasa kesal sekalian tidak nyaman dengan pertanyaan Devan karena nama Satria selalu mengingatkannya pada cinta yang
Pagi ini Satria kembali ke kampus, dia masih penasaran pada Naura, berharap Naura berubah pikiran dan menjalin hubungan terlarang di belakang Isabella. Namun, ternyata hari ini Naura tidak pergi ke kampus hingga menimbulkan pertanyaan besar. “Apa Naura sakit atau sengaja menghindari saya?”Satria tidak bisa mencari tahu apa yang terjadi pada Naura hari ini, tetapi dia masih mengingat ucapan Devan kemarin. “Naura sudah bilang Devan bukan keluarganya, tapi kenapa Devan mencurigakan!”Satria ingin meninggalkan kampus untuk menemui Devan, tetapi ID-Card miliknya sudah discan jadi otomatis namanya masuk catatan kehadiran. Jadi, dia harus mengikuti semua materi agar kampus tidak melaporkan absennya.Sementara, justru Naura sedang menemui Devan di kediaman lelaki itu. “Hari saya tidak kuliah. Saya bilang sama mama dan papa mau menjenguk kamu.” Ekspresi wajahnya terlihat polos hingga Devan terkekeh kegelian.“Menjenguk saya bisa pulang kuliah, loh.”“Mama sama papa juga bilang begitu. Tapi se
"Siapa Naura?" Namun, ekspresi Satria sangat berkebalikan dengan dugaan Devan karena raut wajahnya sangat santai. "Saudara." Devan menjawab santai, tapi sebenarnya hatinya masih mencoba menilai. "Namanya sama dengan Naura." Satria terkekeh. Begitupun Devan karena hatinya merasa lega. Namun, tatapan mata Satria tiba-tiba kembali memicing tajam. "Apa kamu tidak suka saya mendekati Naura?" Lagi, Devan harus dibuat tidak tenang. "Jangan menuduh." Nada suaranya dibuat santai. "Dari obrolan kamu sepertinya kamu tidak suka saya mendekati Naura." Ini adalah tujuan kedatangan Satria. "Jangan salah paham. Itu urusan kamu, kenapa saya harus tidak suka? Tapi sorry kalau kamu tidak suka cara bicara saya. Saya cuma mengingatkan kamu tentang status kamu yang sudah beristri." Devan masih harus menyembunyikan maksudnya karena saat ini dia belum bisa mengaku jika Naura adalah keluarganya. "Intinya, walaupun kita teman satu geng tapi kita tidak bisa mencampuri privasi masing-masing!" uca
Pukul lima sore Mia mengingatkan Satria untuk segera bersiap-siap. "Kenapa masih main gitar ..., sopir sudah menunggu di halaman." Suara lembutnya saat menghampiri Satria di balkon. "Janjiannya jam enam kan? Pergi setengah enam juga masih bisa kok." Pun, Satria bersuara lembut. "Lebih baik pergi sekarang loh, takut macet. Abel bilang tidak boleh telat karena dokternya sibuk." Lagi, Mia mengingatkan. Saat ini Satria merasa bersalah jika menentang perintah ibunya, maka dia beringsut dari duduknya walaupun tidak ada niat pergi ke rumah sakit. "Satria mau mandi dulu." Suaranya masih lembut dan santun hingga akhirnya menggerutu di dalam kamar mandi. "Ck, saya tidak suka diatur sama kamu!" Dia menghardik bayangan Isabella. Mau tidak mau, Satria tetap pergi diiringi doa terbaik dari ibunya, tetapi untuk membuat Isabella menunggu dengan sengaja dia meminta pada sopir untuk berhenti di restoran dan makan dia. Dia juga mengajak pria itu makan bersama dengan menu paling enak agar tidak memer
Beberapa minggu berlalu, kini Satria sudah bisa berjalan sebagaimana mestinya karena dia rutin melakukan pengobatan luar dan dalam sesuai dengan anjuran dokter. Selama beberapa minggu ini dia kembali mengambil cuti dari kampus karena Naura tidak menghargai usahanya yang telah bersusah payah mendatangi kampus hanya untuk mendekatinya. Jadi sementara Satria mundur, dia memberikan waktu beristirahat untuk dirinya sendiri dan juga untuk Naura. Berharap akhirnya keputusan gadis itu berubah. Pagi ini Satria sedang bermain basket di lapangan kampus, ini pertama kalinya dia bermain setelah beberapa lama tinggal di kampus favorit ini. Permainannya tidak buruk, tetapi Satria tidak merasa puas karena tidak ada Naura di bangku penonton.Satria menepi ke sisi lapangan, menghampiri Devan yang menepi lebih dulu. "Kamu lihat Naura?" "Di kelas." Datar Devan karena hingga hari ini Satria masih mengincar Naura dan hingga hari ini juga dia membenci hal itu. "Saya perhatikan, sekarang Naura lebih aktif
Malam ini terjadi pertengkaran antara Satria dan Isabella. "Siang tadi kalian bertemu, kan!" Sikap lelaki ini sangat dingin dengan tatapan penuh curiga sekalian meremehkan istrinya. "Kalian? Siapa yang kamu maksud?" Isabella bisa membaca isi hati Satria dari raut wajahnya jika suaminya sedang mencari-cari kesalahannya untuk memojokannya. "Sudahlah, jangan pura-pura. Saya tahu semua! Tapi intinya kalian tenang saja, saya akan segera mengurus curat cerai!" Satria tidak menunjukan rasa keberatan atau penyesalan."Jangan sembarangan. Kamu seorang suami, kamu tidak bisa seenaknya mengatakan perceraian ...." Kali ini Isabella menegur Satria karena dianggap terlalu memperlihatkan jika pernikahan ini tidak berarti untuknya dan mungkin bisa dipermainkan. "Itu kan yang kalian mau. Tidak usah munafik!" Satria mendengus berang. "Kalian siapa maksud kamu? Apa kamu menuduh saya selingkuh? Kamu jangan keterlaluan, saya tidak serendah itu walaupun berulang kali kamu menyodorkan saya pada Dika dan
Hari demi hari berganti, ucapan Satria bukan hanya bualan karena dia membuktikannya lewat sikap yang tulus walaupun Haris tidak melihatnya secara langsung karena pasangan suami dan istri ini tinggal terpisah dengan pria itu.Setiap malam, Satria menemani Isabella menyusui Attar, dia juga sering membantu mengganti popok atau pakaian basah Attar.Satria melakukannya diiringi senyuman lembut, tutur kata senada, serta belaian penuh kasih sayang pada Attar dan Isabella.Kini, usia Attar sudah dua minggu. “Nanti kita adakan acara potong rambut sama aqiqah. Saya sudah coba bicara sama Mama, tapi belum secara langsung,” ucap lembut Satria pada Isabella.Namun, bagaimanapun sikap Satria, nyatanya Isabella tetap bersikap datar. “Iya.”“Saya sudah menabung, semoga cukup buat acara besar.” Kini Satria terkekeh. Kemudian menyodorkan uang belanja sekalian uang susu dan pempers pada Isabella. “Kalau uangnya nggak sampai minggu depan, jangan sungkan minta lagi ya, Sayang.” Tatapannya sangat lembut.“
Ini adalah malam pertama Isabella dan Satria tidur bersama bayi mereka. Bayi merah itu terlentang di tengah-tengah pasangan suami istri ini. Tidak henti Satria menatapnya diiringi senyuman.Isabella menyadarinya, tetapi dia masih bersikap dingin dan datar. “Saya akan tidur, lagian Attar tidur. Ini kesempatan saya untuk ikut tidur.”“Ya, Sayang. Kamu tidur saja, biar nanti aku yang menjaga Attar.”Isabella tidak pernah meminta, tetapi tidak mungkin menolak perhatian Satria pada bayi mereka.Jadi saat Attar menangis tengah malam, Satria yang menjaga dan mengasuh. Dia juga menghangatkan asi yang sudah tersedia di dalam botol. Tidak lupa menyuruh Isabella kembali tidur setelah sempat terbangun karena tangisan Attar.Hingga saat pagi hari Satria terlambat bangun, tetapi Isabella membiarkan suaminya tanpa peduli aktivitas apa yang menanti Satria.Satria tersentak saat melihat jam dinding. “Hah, serius sudah jam sembilan!”“Ya,” jawab datar Isabella.“Harusnya saya kuliah pagi. Sekarang saya
Suana hening sangat lama, hingga Satria kembali bicara. “Apa kamu tetap akan melanjutkan perceraian, apa kamu akan mengubah keputusan kamu?”Isabella menjawab santun, “Saya yang harus menanyakan itu pada kamu.”“Kalau saya tetap melanjutkan?”“Saya juga ....” Hati Isabella seakan sudah kebal pada rasa sakit. Bahkan yang ini. “Kalau kamu memilih berpisah, sebelumnya kamu harus beri nama anak kita.” Ini adalah permintaan sederhana Isabella, tetapi diwajibkan pada Satria.Satria memandangi Isabella karena tatapan istrinya seolah tanpa keraguan walaupun mereka bercerai.Satria kembali menunduk, tetapi tidak melepaskan tangan Isabella. Lalu berkata lirih, “Naura pergi. Dia mencampakan saya. Apalagi yang harus saya lakukan karena andai berpisah sama kamu, saya tidak yakin Naura akan bersama saya ....”Isabella menjawab datar, “Itu urusan kamu. Jangan menjadikan saya cadangan karena kamu gagal mendapatkan Naura!”Satria kembali memandangi wajah Isabella. Kini, dalam tatapan Isabella terdapat
Satria masuk ke kamar rawat, jadi dia bertemu dengan orangtuanya dan orangtua Isabella yang sedang berkumpul.Semua orang menyambut kedatangan Satria dengan hangat, termasuk Isabella. Mia segera menggiring putranya menuju tempat mereka duduk berkumpul. “Alhamdulillah kamu sudah datang ....” Senyumannya menunjukan kebahagiaan, tetapi hatinya sangat kesal pada Satria setelah mengetahui sikap buruknya pada Isabella dan bayi mereka yang belum diberi nama.Tanpa persetujuan Isabella, Mia segera meraih amplop cokelat yang berisi laporan hasil test DNA hingga gadis ini terkejut.Namun, ternyata Mia menyampaikannya sangat bijak di hadapan suaminya, anaknya dan kedua mertuanya. “Ini hasil test DNA anak kalian. Dokter yang memberikannya karena Isabella seorang perawat walaupun bukan di rumah sakit ini, jadi Abel memiliki hak istimewa, yaitu mendapatkan test DNA tanpa perlu meminta.”Mia
Isabella hanya menatap sendu pada langit-langit. “Bukan perpisahan yang Abel mau karena sebelum itu Satria harus tahu jika selama ini saya mengandung anaknya ....”Pun, hatinya semakin lebur saat memikirkan bayi mereka. “Sabar ya, Sayang ... pasti akhirnya Papa kamu akan menerima kamu ....”Bayi mungil itu berada di dalam box yang sangat hangat, wajahnya sangat polos dan murni.Namun, ternyata hari ini Satria tidak datang ke rumah sakit dan dia juga tidak terlihat di rumah. Maka Haris sangat murka.Saat ini, hanya Mia yang menemai Isabella hingga ketukan pintu memecah keheningan dan membuat wanita ini bersemangat. “Pasti itu Satria! Mama buka dulu ya, pintunya.” Mia segera meletakan pisau di atas piring saat buah yang dikupasnya belum selesai.Isabella hanya memandangi punggung Mia yang semakin mendekati pintu, tetapi dia tidak yakin itu Satria. “Kalau itu Satria, harusnya tidak usah mengetuk pintu.”Mia tersenyum bahagia saat membukakan pintu, tetapi senyumannya perlahan redup karena
Satria berjuang demi menghentikan kepergian Naura, tapi sudah terlambat karena Naura sudah berjalan hendak masuk ke dalam pesawat. Namun, Satria juga melihat Devan yang berjalan di belalang Naura. Devan sempat melirik dan menyadari kehadiran Satria, tetapi dia memilih abai dan berpura-pura tidak melihatnya. Saat ini kepala Satria dipenuhi pertanyaan. "Kenapa Naura bersama Devan?" Sekaligus, dia harus rela saat hatinya sakit dan hancur karena harus menyaksikan kepergian Naura. "Nay ...." Rintih Satria. Naura menoleh karena panggilan lemah Satria membuat dadanya berdebar, tetapi sayangnya keberadaan Satria terhalangi oleh lalu lalang. Naura menundukan wajahnya sangat sendu. "Pasti cuma perasaan karena tidak mungkin Satria mencegah saya pergi ...."Maka, akhirnya Naura terbang keluar negeri meninggalkan semua kenangannya bersama Satria. Pun, Satria harus menyaksikan hari-harinya dengan Naura berakhir dan mungkin tidak akan pernah terulang.Satria termenung cukup lama di bandara ka
“Satria bilang kamu bersedia bercerai setelah melahirkan. Saya mohon, jangan lakukan itu ....” Naura tidak enggan mengatakan hal ini karena jika benar dia penyebabnya, gadis ini tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga Satria dan Isabella.Namun, saat ini Isabella hanya memandang kosong ke arah Naura. ‘Semalam dan tadi pagi Satria sangat perhatian. Jadi Satria punya maksud terselubung. Apa Satria ingin membahagiakan saya sebelum perceraian?’“Abel. Saya mohon ... jangan pernah bercerai dengan Satria.” Naura mengulang kalimatnya bahkan lebih tatapannya lebih dalam.Saat ini Isabella tersadar, lalu tersenyum kecil. “Ini rumah tangga saya dan Satria.” Isabella menjawab dengan bijak, tetapi berhasil menyentil Naura.Naura mendesah. “Saya memang tidak punya hak apapun, dan tidak sepantasnya saya mencampuri rumah tangga kamu dan Satria. Tapi ... kalau alasan kamu bersedia bercerai karena saya, saya akan merasa sangat bersalah. Jadi tolong jangan bercerai, karena walaupun kalian b
Pagi ini Satria menuntun Isabella hingga tiba di ruang makan. Mia sudah di sana, maka salah satu telapak tangannya dipakai menutup mulutnya yang menganga.“Pagi, Ma ....” Satria menyapa ibunya dengan hangat tanpa melepaskan telapak tangan Isabella. Laki-laki ini memperlakukan istrinya dengan lembut, dia juga yang menggeser kursi hingga Isabella duduk nyaman.Mia membalas sapa Satria dengan suasana hati berjuta bahagia karena ini adalah pagi yang sangat indah. “Pagi, Sayang ....”“Kok Mama sendiri? Mana Papa?” Bukan hanya hangat dan perhatian pada Isabella, tetapi Satria melakukannya pada ibunya juga.“Papa masih di halaman. Sebentar lagi nyusul,” kekeh Mia. Perubahan Satria membuatnya linglung karena terlalu mendadak, tetapi sangat disyukuri.“Satria panggil Papa dulu deh, Mama di sini saja sama Abel.”“Iya, Sayang ....” Mia tidak bisa berhenti tersenyum atas perubahan baik Satria.Saat Satria berlalu, Mia segera bertanya pada Isabella untuk menjawab penasarannya, “Apa yang terjadi pa
Malam ini Satria menjamah Isabella. Ini adalah pertama kalinya setelah beberapa bulan istrinya diabaikan. Saat ini Isabella melayani suaminya dengan baik, tetapi tidak berharap Satria berubah menjadi lebih baik karena dirasa tidak seinstan itu atau tidak mungkin.Setelah memuaskan nafsunya, Satria berkata jahat saat mereka masih berada di bawah selimut yang sama, “Saya kira anak itu sudah tidak ada!”Isabella segera menegur, “Jangan asal bicara!”Satria tidak merespon karena segera meninggalkan kamar, tapi rupanya Haris masih berada di ruang tengah. Maka pria ini segera mengatakan isi hatinya saat bertemu putranya, “Apa yang kamu dapatkan setelah meninggalkan anak dan istri kamu selama dua bulan?” Wajahnya datar.Satria tahu ayahnya tidak mungkin menyambut hangat kepulangannya. “Satria butuh waktu sendiri.”“Lalu, apa hikmah yang kamu dapat?”Sejenak, Satria tidak bisa mengatakan apapun. “Mendinginkan kepala.”“Abel adalah istri salihah. Kamu harus tahu jika selama kamu menghilang, Ab