Malam ini terjadi pertengkaran antara Satria dan Isabella. "Siang tadi kalian bertemu, kan!" Sikap lelaki ini sangat dingin dengan tatapan penuh curiga sekalian meremehkan istrinya. "Kalian? Siapa yang kamu maksud?" Isabella bisa membaca isi hati Satria dari raut wajahnya jika suaminya sedang mencari-cari kesalahannya untuk memojokannya. "Sudahlah, jangan pura-pura. Saya tahu semua! Tapi intinya kalian tenang saja, saya akan segera mengurus curat cerai!" Satria tidak menunjukan rasa keberatan atau penyesalan."Jangan sembarangan. Kamu seorang suami, kamu tidak bisa seenaknya mengatakan perceraian ...." Kali ini Isabella menegur Satria karena dianggap terlalu memperlihatkan jika pernikahan ini tidak berarti untuknya dan mungkin bisa dipermainkan. "Itu kan yang kalian mau. Tidak usah munafik!" Satria mendengus berang. "Kalian siapa maksud kamu? Apa kamu menuduh saya selingkuh? Kamu jangan keterlaluan, saya tidak serendah itu walaupun berulang kali kamu menyodorkan saya pada Dika dan
Naura mengurungkan niatnya ke toilet, dia segera meninggalkan tempat itu sebelum Satria melihatnya. Gadis ini melangkah tergesa-gesa hingga tanpa sengaja dirinya hampir menaberak Devan karena Devan segera menghentikan kedua bahu Naura sebelum tubuh mereka saling bertaberakan. "Nay, pelan-pelan kalau jalan ...." Suara lembut laki-laki ini. "Devan, saya harus bicara!" Wajah Naura menegang. Jadi laki-laki ini segera membaca keadaan genting yang dialami Naura. Kini, keduanya duduk di dalam mobil milik Devan. "Saya melihat Satria dan temannya bertengkar. Sepertinya mereka membahas tentang pernikahan Satria dan Isabella yang sedang kacau. Temannya mengatakan kalau Satria menyakiti Abel. Apa saya yang jadi alasannya? Saya tidak mau terlibat dalam rumah tangga mereka walau sebenarnya saya seperti diundang, tapi kan sekarang saya menjauhi Satria!" Naura menunjukan rasa paniknya. "Tenang dulu ...." Devan mencerna semua ucapan Naura sekalian berusaha menjaga emosi Naura yang hampir tidak terk
"Satria akan menceraikan Abel!" ucap tegasnya di hadapan Mia dan Haris.Seketika raut wajah Isabella muram dan ingin menangis, sedangkan raut wajah Mia segera cemas dan gelisah, tetapi berbeda lagi dengan Haris, pria ini sangat tenang. Dia juga yang menanggapi. "Atas dasar apa kamu akan menceraikan Abel? Kamu harus memiliki alasan yang jelas." Tatapannya membidik santai pada Satria walaupun hatinya sangat membenci ucapan putranya. Satria segera melirik ke arah Isabella sesaat, kemudian kembali menatap ayahnya. "Masing-masing dari kita tidak saling mencintai, dan masing-masing dari kita menyukai orang lain." Tanpa terasa air mata Isabella menetes begitu saja mendengar keterangan menyakitkan dan kejam dari Satria. Namun, Haris masih menanggapi santai bersama kepala dingin walaupun saat ini darahnya sudah mendidih. "Hanya itu?" Tatapannya masih sama. Mia segera masuk ke dalam obrolan untuk menegur putranya, "Jangan berbicara konyol seperti itu. Kamu pikir ini lucu!" Emosi bercampur c
Isabella sedang dalam keadaan hancur, dia hanya termenung meratapi dirinya yang sering didzalimi oleh Satria. Namun, gadis ini masih bisa bersikap bijak hingga dia selalu berhasil memulihkan diri walaupun perasaan perih tidak habis begitu saja.Pada pagi harinya, Isabella bersikap seperti biasanya. Dia menyapa kedua mertuanya, tetapi tidak melihat Satria yang sejak semalam tidak tidur bersamanya. Pun, saat ini Haris maupun Mia tidak berniat mencari putranya yang dianggap bersalah. Justru, keduanya berusaha berbicara halus dan penuh kasih sayang pada Isabella. “Nak, Papa dan Mama meminta maaf atas perbuatan Satria. Kami juga mewakilkan Satria meminta maaf pada Abel,” ucap pria ini.Isabella tersenyum lembut dan tulus. “Tidak ada yang salah, jadi Mama sama Papa tidak perlu meminta maaf ....”Mia mendesah, wajahnya membatin karena perbuatan Satria sekaligus mengasihani Isabella. “Kamu sangat tegar. Mama harap setelah ini kamu mendapatkan kebahagiaan.” Dalam kalimatnya terdapat kalimat te
Dika ingin memporak porandakan Satria seperti Satria yang tega melakukannya pada Isabella, tetapi dia menahan diri atas saran Devan yang menjelaskan semua yang dikatakan Satria. "Intinya, orangtua Satria menolak rencananya menceraikan Abel. Itu yang saya dengar." "Ck!" Dika berdecak geram pada perbuatan Satria yang semena-mena pada Isabella dan pada pernikahan mereka. "Apa yang ada dalam kepala dia!" geramnya. "Yang jelas beda sama kita!" Pun, Devan merasakan hal yang sama. Hanya saja dia tidak bisa berharap Satria dan Isabella bercerai untuk melepaskan gadis itu dari jeratan rasa sakit karena akan membahayakan posisi Naura. "Di mana dia sekarang?" "Baru saja keluar. Mungkin ke markas." Devan tidak peduli selama Satria tidak berusaha mendekati Naura. "Saya menemui Abel di rumah sakit, tapi Abel semakin menghindar." Desah Dika. "Sekarang emang baiknya begitu karena dari cerita yang saya dengar, Satria berusaha menjadikan kalian sebagai kambing hitam. Seolah kalian juga sumber mas
Satria naik pitam, tetapi tidak meluapkan emosi menggunakan pukulan. Dia hanya mengepalkan kedua tangannya dengan penuh amarah. "Jangan berani-berani mengganggu Naura!" Tatapan matanya sangat mengiris. "Tergantung bagaimana kamu memperlakukan Abel." Pun, tatapan Dika tidak kalah mengiris. Dika memilih mengakhiri pertikaian. Dia pergi begitu saja, sedangkan Satria berdecak kesal karena mengkhawatirkan Naura.Sore ini, Satria baru saja kembali tetapi tentu saja teguran Haris sudah menantinya, "Kalau kamu tidak serius ingin kuliah di sana, Papa akan memindahkan kamu!" Pria ini menegur hanya saja tidak meluap-luap, justru terkesan santai, tetapi tatapannya sangat mengiris. "Satria ingin tetap kuliah, Pa." Nada suaranya sedikit memohon karena kuliah adalah satu-satunya cara berkomunikasi dengan Naura tanpa dibayang-bayangi Isabella dan orangtuanya. "Lalu kenapa kamu membolos, hm?" Saat ini Haris baru saja menunjukan sedikit amarahnya. "Maaf, Satria tidak bisa fokus karena ...." Ingin k
Satu bulan berlalu dengan cerita yang sama. Satria tidak memiliki kesempatan mendekati Naura karena gadis itu selalu bersama kawan-kawannya, bahkan dia tidak memiliki kesempatan untuk sekedar berbasa-basi hingga hari ini dia sudah tidak tahan. [Apa kamu membenci saya? Baiklah, saya akan pergi. Saya akan kembali ke kota tempat saya dulu, tempat yang dulu memisahkan kita!]Naura membaca chat dari Satria karena gadis ini tidak memblokir nomor Satria sesuai saran dari Devan. "Kenapa kamu sangat mempedulikan saya? Sampai-sampai saat saya cuek kamu mau pergi karena saya. Lalu, bagaimana Abel?" Saat ini Naura merasa semakin terpuruk karena seolah dirinya menjadi alasan untuk setiap tindakan Satria. Sementara, Satria mulai mengemasi pakaiannya. Tidak banyak, hanya satu ransel yang biasa dipakainya kuliah. "Mau kemana?" tanya Isabella yang sudah satu bulan ke belakang tidak banyak bicara dengan Satria, bahkan mereka sudah berhenti melakukan hubungan intim. "Bukan urusan kamu!" Satria tidak
[Saya tidak benci kamu, saya cuma tidak suka karena kamu selalu mendekati saya.] Akhirnya Naura membalas karena gadis ini tidak ingin Satria pergi, dia takut Satria meninggalkan Isabella, lalu akhirnya dirinya yang disalahkan atas kepergian Satria ke kotanya dulu.Maka, di tengah perdebatan Satria membaca chat balasan dari Naura dan seketika senyuman ditarik, tetapi sangat tipis agar tidak mencurigakan. Seketika, dia berkata pada Haris, “Iya, Satria bisa menunda!”Haris puas mendengar keputusan Satria, tetapi juga curiga dan heran karena secepat itu Satria mengubah keputusannya. Namun, dia masih memanfaatkan keadaan. “Memang seharusnya begitu, agar Abel punya waktu untuk meminta izin dari rumah sakit.”Isabella tidak mengatakan apapun karena pergi dengan Satria atau tidak itu bukan masalah. Saat ini, pun Satria tidak mengatakan apapun hingga Haris melanjutkan, “Di kota itu banyak kenangan indah dan tempat-tempat indah, pantas dijadikan untuk bulan madu. Sesekali pergilah kesana, tingg