Tiba hari yang dinantikan Haris dan Mia, kini mereka melambaikan tangan pada Isabella yang juga melambaikan tangannya lewat kaca mobil, sedangkan Satria fokus menyetir setelah berbasa-basi saat berpamitan.Isabella menunjukan senyuman indah dan ceria pada kedua mertuanya walaupun perjalanan ini entah membuahkan apa? Apa hanya rasa sakit dan kekecewaan? Gadis ini bukan tidak peduli dan bukan tidak memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi untuk sekarang setidaknya kedua mertuanya bahagia setelah Satria menghadirkan badai.“Kita tidak akan pergi ke tempat yang dijanjikan!” celetuk dingin Satria hingga membuat Isabella segera menatap suaminya yang baru saja melajukan mobil keluar daerah.“Kita akan kemana?”“Pokoknya kita sendiri-sendiri saja!” celetuk Satria lagi dengan suara dingin.“Tidak bisa begitu ..., mama sudah bilang sama saya, mama akan menunggu kabar dari bibi kalau kita sudah sampai, jadi kita tidak bisa pergi kemanapun selain ke tempat tujuan.” Isabella menceritakan sesuai ken
Naura baru saja mendengar kabar kepergian Satria ke kota yang pernah memisahkan mereka, tetapi alasan kepergian Satria bukan karena dirinya melainkan karena berbulan madu. Itu yang didengar gadis ini dari ibunya yang baru saja berbicara di dalam telepon bersama Mia.‘Harusnya saya merasa sangat beruntung karena tidak menerima ajakan kamu saat kamu bilang kita bisa pacaran diam-diam karena ternyata kamu memang menginginkan Abel dan menikmati waktu kalian, tapi ....’ Dadanya ditangkup. ‘Kenapa sangat sakit saat mendengar kalian bulan madu!’Namun, saat ini Satria tidak sedang memikirkan Naura karena pertemuannya dengan teman-teman lamanya. Dia juga masih bersama Isabella yang banyak bertanya tentang daerah ini. Maka, kali ini isi kepalanya teralihkan.Semua kawan Satria mengetahui tentang pernikahan mereka maka tidak ada yang berekspresi kaget justru mereka sangat menerima kehadiran Isabella dan mendukung keharmonisan rumah tangga Satria dan Isabella.Pun, Isabella mudah bergaul jadi ti
Kegelisahan Satria menjadi nyata saat Isabella menunjukan hasil tes kehamilan pada pagi hari sekitar pukul sembilan. Sejenak, dia mendelik kala menatap garis dua, tetapi kemudian menginterograsi. “Punya siapa ini?”“Punya saya. Saya pergi ke apotik terdekat sama sopir saat kamu sarapan, tapi karena belum buka jadi saya menunggu beberapa menit dan langsung memeriksa hasilnya di toilet umum yang ada di apotik.” Isabella memberikan keterangan lengkap karena introgerasi yang dilakukan Satria.“Kamu tidak bilang mau beli testpack! Tatapannya memicing penuh curiga sekalian khawatir.“Saat saya mau bilang kamu tidak mau dengar kan? Kamu sengaja pakai earphone.” Isabella tidak bertindak sebagaimana Satria walaupun isi kalimatnya seperti ini, justru penyampaiannya tetap santun.“Terus sekarang harus bagaimana!” Satria segera uring-uringan bahkan dia melempar alat tes kehamilan ke sembarang sudut kamar.“Kenapa tanya bagaimana? Karena anak ini sudah hadir jadi kita harus menjaga dan menyayangin
Isabella sedang menahan emosi seperti yang biasa dilakukannya, tetapi itu hanya berlaku beberapa detik saja karena tidak tahan melihat ekspresi Satria yang seolah jijik pada darah dagingnya sendiri. “Tuhan yang menakdirkan saya hamil. Jangan lupa!”Isabella tidak berkata apapun lagi karena terlalu kesal pada Satria. Seharusnya jika Satria membenci bayi ini setidaknya jangan mengatakannya dengan lantang karena Isabella yakin bayinya merasakan sakit hati dan kesal yang dia rasakan.Namun, Isabella tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri. Dia mengisi gelas dengan air putih. “Minum ini.” Sodornya pada Satria yang rebahan seiring memijat dahinya.“Simpan saja.” Suara datarnya dan terkesan tak acuh. Maka, Isabella meletakan gelas itu kembali. Lalu berkata.“Jangan lakukan kesalahan yang sama. Jangan sampai Mama sama Papa sedih lagi.” Isabella memandangi Satria sesaat ketika suaminya tak acuh, kemudian keluar dari kamar karena tidak kuat dengan bau alkohol. Maka, dia kembali merasak
Di kampus, Dika baru saja mendengar kepergian Satria dari Devan. “Pantas dia tidak ada!” Dia berdecak karena Satria pergi bersama Isabella walaupun itu hal yang wajar.“Jangan benci Satria, bagaimanapun kita teman satu geng.” Bukan menasihati karena Devan juga membenci Satria, tetapi tidak dengan status Satria yang adalah anggota geng yang sama.“Dia terus menyakiti Abel. Sekarang saya semakin berjauhan dengan Abel, saya khawatir.” Dika mendesah panjang saat mengatakan isi hatinya.“Dia memang brengsek, tapi setidaknya dia tidak KDRT!” Devan mendengus karena Satria tidak dapat menghapus rasa cintanya pada Naura.Dika menyadari kebencian yang menyelimuti Devan, dan dia mendukungnya hingga Dika menyeringai. Lagipula dia pikir Satria memang pantas dibenci karena terlalu brengsek.Komunikasi Satria dan anggota gengnya tetap lancar, terutama dengan Devan jadi mereka tetap bertukar informasi termasuk hari ini saat Satria mengatakan jika kawan-kawan gengnya akan mengunjungi kota tempat Devan
“Papa rasa lebih baik jangan. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri, terutama Satria. Biarkan Satria yang mengatasi isi dari rumah tangganya, salah satunya merawat Abel yang sedang sakit.” Haris menyampaikan isi kepalanya yang berkebalikan dengan Mia.Mia mendesah kecewa saat mendengar jawaban suaminya. “Pa, bagaimana kalau Satria tetap membiarkan Abel? Kasihan Abel ....”“Papa rasa Satria tidak akan selamanya seperti itu. Maka dari itu, untuk saat ini biarkan saja dulu mereka.” Haris tersenyum lembut pada Mia seiring menggenggam tangan istrinya itu. “Papa tahu Mama mengkhawatirkan Abel, tapi kalau Mama berada di antara mereka, kapan mereka akan belajar. Terutama Satria karena putra kita yang butuh banyak sekali pelajaran hidup.”Jadi, terpaksa Mia mengurungkan niatnya saat hatinya menyimpan seribu gelisah. Namun, justru Dika yang pergi mengunjungi kota yang kini ditinggali Isabella. Dia juga tahu alamat rumah Satria setelah bertanya pada Naura.Dika pergi tanpa sepengetahua
Satria tidak menginterograsi Isabella, tetapi esoknya dia segera menemui Dika yang menginap di hotel tidak jauh dari rumahnya. “Abel hamil anak kamu?” Dia tidak berbasa-basi, tetapi Dika hanya berdecak berang.Pagi-pagi sekali Satria menghubungi Dika dan blak-blakan mengatakan tentang kehadiran Dika yang terpantau CCTV, maka tidak berselang lama mereka bertemu di sini, di kamar hotel yang ditiduri Dika semalam.Saat ini Dika tidak berkata apapun dan Satria hanya duduk santai di sofa seiring menyalakan rokok juga menyaksikan televisi. “Kalau Abel bukan hamil anak kamu, tidak mungkin sekarang kamu di sini,” ucap santainya, tetapi membuat lawan bicaranya geram.Selama beberapa detik Dika tetap hening, lalu bertanya, “Apa Abel menyebutkan kalau dia hamil anak saya?” Pun, nada suara Dika sama santainya dengan Satria walaupun diawal dia menunjukan emosinya.Satria menyunggingkan bibirnya. “Pertanyaan kamu aneh. Emang ada ya, orang yang ngaku selingkuh?” Sebelah alisnya terangkat saat menata
Air mata Isabella segera turun, meluncur di pipinya yang putih dengan bias kemerahan. “Apa alasannya?” Dia sedang menahan perih.“Harusnya kamu sudah tahu!” Suara dingin Satria selaras dengan tatapannya.“Saya tidak tahu!” Hati Isabella semakin dihujani perih.“Ck. Jangan berpura-pura lagi!” Satria mendengus.“Saya tidak tahu ...!” Kali ini Isabella sedikit meluapkan isi hatinya hingga volume suaranya bertambah dan nada bicaranya berubah, dia meraung seiring menjatuhkan kresek hingga isinya berceceran bersama dengan butiran bening yang keluar dari ujung matanya.“Jangan berisik!” Satria segera menegur dengan hati-hati untuk berjaga-jaga karena bisa saja suaranya disampaikan angin lewat celah pintu hingga seseorang mendengarnya.“Saya tidak mau menggugurkan anak ini. Dia harus hidup, dia punya hak untuk hidup!” Seolah, Isabella bangkit dalam hitungan detik karena kini raungannya musnah digantikan dengan nada suara tegas dan tatapan tajam.“Tapi itu bukan anak saya. Saya yakin!” Akhirny