Satria naik pitam, tetapi tidak meluapkan emosi menggunakan pukulan. Dia hanya mengepalkan kedua tangannya dengan penuh amarah. "Jangan berani-berani mengganggu Naura!" Tatapan matanya sangat mengiris. "Tergantung bagaimana kamu memperlakukan Abel." Pun, tatapan Dika tidak kalah mengiris. Dika memilih mengakhiri pertikaian. Dia pergi begitu saja, sedangkan Satria berdecak kesal karena mengkhawatirkan Naura.Sore ini, Satria baru saja kembali tetapi tentu saja teguran Haris sudah menantinya, "Kalau kamu tidak serius ingin kuliah di sana, Papa akan memindahkan kamu!" Pria ini menegur hanya saja tidak meluap-luap, justru terkesan santai, tetapi tatapannya sangat mengiris. "Satria ingin tetap kuliah, Pa." Nada suaranya sedikit memohon karena kuliah adalah satu-satunya cara berkomunikasi dengan Naura tanpa dibayang-bayangi Isabella dan orangtuanya. "Lalu kenapa kamu membolos, hm?" Saat ini Haris baru saja menunjukan sedikit amarahnya. "Maaf, Satria tidak bisa fokus karena ...." Ingin k
Satu bulan berlalu dengan cerita yang sama. Satria tidak memiliki kesempatan mendekati Naura karena gadis itu selalu bersama kawan-kawannya, bahkan dia tidak memiliki kesempatan untuk sekedar berbasa-basi hingga hari ini dia sudah tidak tahan. [Apa kamu membenci saya? Baiklah, saya akan pergi. Saya akan kembali ke kota tempat saya dulu, tempat yang dulu memisahkan kita!]Naura membaca chat dari Satria karena gadis ini tidak memblokir nomor Satria sesuai saran dari Devan. "Kenapa kamu sangat mempedulikan saya? Sampai-sampai saat saya cuek kamu mau pergi karena saya. Lalu, bagaimana Abel?" Saat ini Naura merasa semakin terpuruk karena seolah dirinya menjadi alasan untuk setiap tindakan Satria. Sementara, Satria mulai mengemasi pakaiannya. Tidak banyak, hanya satu ransel yang biasa dipakainya kuliah. "Mau kemana?" tanya Isabella yang sudah satu bulan ke belakang tidak banyak bicara dengan Satria, bahkan mereka sudah berhenti melakukan hubungan intim. "Bukan urusan kamu!" Satria tidak
[Saya tidak benci kamu, saya cuma tidak suka karena kamu selalu mendekati saya.] Akhirnya Naura membalas karena gadis ini tidak ingin Satria pergi, dia takut Satria meninggalkan Isabella, lalu akhirnya dirinya yang disalahkan atas kepergian Satria ke kotanya dulu.Maka, di tengah perdebatan Satria membaca chat balasan dari Naura dan seketika senyuman ditarik, tetapi sangat tipis agar tidak mencurigakan. Seketika, dia berkata pada Haris, “Iya, Satria bisa menunda!”Haris puas mendengar keputusan Satria, tetapi juga curiga dan heran karena secepat itu Satria mengubah keputusannya. Namun, dia masih memanfaatkan keadaan. “Memang seharusnya begitu, agar Abel punya waktu untuk meminta izin dari rumah sakit.”Isabella tidak mengatakan apapun karena pergi dengan Satria atau tidak itu bukan masalah. Saat ini, pun Satria tidak mengatakan apapun hingga Haris melanjutkan, “Di kota itu banyak kenangan indah dan tempat-tempat indah, pantas dijadikan untuk bulan madu. Sesekali pergilah kesana, tingg
Tiba hari yang dinantikan Haris dan Mia, kini mereka melambaikan tangan pada Isabella yang juga melambaikan tangannya lewat kaca mobil, sedangkan Satria fokus menyetir setelah berbasa-basi saat berpamitan.Isabella menunjukan senyuman indah dan ceria pada kedua mertuanya walaupun perjalanan ini entah membuahkan apa? Apa hanya rasa sakit dan kekecewaan? Gadis ini bukan tidak peduli dan bukan tidak memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi untuk sekarang setidaknya kedua mertuanya bahagia setelah Satria menghadirkan badai.“Kita tidak akan pergi ke tempat yang dijanjikan!” celetuk dingin Satria hingga membuat Isabella segera menatap suaminya yang baru saja melajukan mobil keluar daerah.“Kita akan kemana?”“Pokoknya kita sendiri-sendiri saja!” celetuk Satria lagi dengan suara dingin.“Tidak bisa begitu ..., mama sudah bilang sama saya, mama akan menunggu kabar dari bibi kalau kita sudah sampai, jadi kita tidak bisa pergi kemanapun selain ke tempat tujuan.” Isabella menceritakan sesuai ken
Naura baru saja mendengar kabar kepergian Satria ke kota yang pernah memisahkan mereka, tetapi alasan kepergian Satria bukan karena dirinya melainkan karena berbulan madu. Itu yang didengar gadis ini dari ibunya yang baru saja berbicara di dalam telepon bersama Mia.‘Harusnya saya merasa sangat beruntung karena tidak menerima ajakan kamu saat kamu bilang kita bisa pacaran diam-diam karena ternyata kamu memang menginginkan Abel dan menikmati waktu kalian, tapi ....’ Dadanya ditangkup. ‘Kenapa sangat sakit saat mendengar kalian bulan madu!’Namun, saat ini Satria tidak sedang memikirkan Naura karena pertemuannya dengan teman-teman lamanya. Dia juga masih bersama Isabella yang banyak bertanya tentang daerah ini. Maka, kali ini isi kepalanya teralihkan.Semua kawan Satria mengetahui tentang pernikahan mereka maka tidak ada yang berekspresi kaget justru mereka sangat menerima kehadiran Isabella dan mendukung keharmonisan rumah tangga Satria dan Isabella.Pun, Isabella mudah bergaul jadi ti
Kegelisahan Satria menjadi nyata saat Isabella menunjukan hasil tes kehamilan pada pagi hari sekitar pukul sembilan. Sejenak, dia mendelik kala menatap garis dua, tetapi kemudian menginterograsi. “Punya siapa ini?”“Punya saya. Saya pergi ke apotik terdekat sama sopir saat kamu sarapan, tapi karena belum buka jadi saya menunggu beberapa menit dan langsung memeriksa hasilnya di toilet umum yang ada di apotik.” Isabella memberikan keterangan lengkap karena introgerasi yang dilakukan Satria.“Kamu tidak bilang mau beli testpack! Tatapannya memicing penuh curiga sekalian khawatir.“Saat saya mau bilang kamu tidak mau dengar kan? Kamu sengaja pakai earphone.” Isabella tidak bertindak sebagaimana Satria walaupun isi kalimatnya seperti ini, justru penyampaiannya tetap santun.“Terus sekarang harus bagaimana!” Satria segera uring-uringan bahkan dia melempar alat tes kehamilan ke sembarang sudut kamar.“Kenapa tanya bagaimana? Karena anak ini sudah hadir jadi kita harus menjaga dan menyayangin
Isabella sedang menahan emosi seperti yang biasa dilakukannya, tetapi itu hanya berlaku beberapa detik saja karena tidak tahan melihat ekspresi Satria yang seolah jijik pada darah dagingnya sendiri. “Tuhan yang menakdirkan saya hamil. Jangan lupa!”Isabella tidak berkata apapun lagi karena terlalu kesal pada Satria. Seharusnya jika Satria membenci bayi ini setidaknya jangan mengatakannya dengan lantang karena Isabella yakin bayinya merasakan sakit hati dan kesal yang dia rasakan.Namun, Isabella tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri. Dia mengisi gelas dengan air putih. “Minum ini.” Sodornya pada Satria yang rebahan seiring memijat dahinya.“Simpan saja.” Suara datarnya dan terkesan tak acuh. Maka, Isabella meletakan gelas itu kembali. Lalu berkata.“Jangan lakukan kesalahan yang sama. Jangan sampai Mama sama Papa sedih lagi.” Isabella memandangi Satria sesaat ketika suaminya tak acuh, kemudian keluar dari kamar karena tidak kuat dengan bau alkohol. Maka, dia kembali merasak
Di kampus, Dika baru saja mendengar kepergian Satria dari Devan. “Pantas dia tidak ada!” Dia berdecak karena Satria pergi bersama Isabella walaupun itu hal yang wajar.“Jangan benci Satria, bagaimanapun kita teman satu geng.” Bukan menasihati karena Devan juga membenci Satria, tetapi tidak dengan status Satria yang adalah anggota geng yang sama.“Dia terus menyakiti Abel. Sekarang saya semakin berjauhan dengan Abel, saya khawatir.” Dika mendesah panjang saat mengatakan isi hatinya.“Dia memang brengsek, tapi setidaknya dia tidak KDRT!” Devan mendengus karena Satria tidak dapat menghapus rasa cintanya pada Naura.Dika menyadari kebencian yang menyelimuti Devan, dan dia mendukungnya hingga Dika menyeringai. Lagipula dia pikir Satria memang pantas dibenci karena terlalu brengsek.Komunikasi Satria dan anggota gengnya tetap lancar, terutama dengan Devan jadi mereka tetap bertukar informasi termasuk hari ini saat Satria mengatakan jika kawan-kawan gengnya akan mengunjungi kota tempat Devan