"Satria akan menceraikan Abel!" ucap tegasnya di hadapan Mia dan Haris.Seketika raut wajah Isabella muram dan ingin menangis, sedangkan raut wajah Mia segera cemas dan gelisah, tetapi berbeda lagi dengan Haris, pria ini sangat tenang. Dia juga yang menanggapi. "Atas dasar apa kamu akan menceraikan Abel? Kamu harus memiliki alasan yang jelas." Tatapannya membidik santai pada Satria walaupun hatinya sangat membenci ucapan putranya. Satria segera melirik ke arah Isabella sesaat, kemudian kembali menatap ayahnya. "Masing-masing dari kita tidak saling mencintai, dan masing-masing dari kita menyukai orang lain." Tanpa terasa air mata Isabella menetes begitu saja mendengar keterangan menyakitkan dan kejam dari Satria. Namun, Haris masih menanggapi santai bersama kepala dingin walaupun saat ini darahnya sudah mendidih. "Hanya itu?" Tatapannya masih sama. Mia segera masuk ke dalam obrolan untuk menegur putranya, "Jangan berbicara konyol seperti itu. Kamu pikir ini lucu!" Emosi bercampur c
Isabella sedang dalam keadaan hancur, dia hanya termenung meratapi dirinya yang sering didzalimi oleh Satria. Namun, gadis ini masih bisa bersikap bijak hingga dia selalu berhasil memulihkan diri walaupun perasaan perih tidak habis begitu saja.Pada pagi harinya, Isabella bersikap seperti biasanya. Dia menyapa kedua mertuanya, tetapi tidak melihat Satria yang sejak semalam tidak tidur bersamanya. Pun, saat ini Haris maupun Mia tidak berniat mencari putranya yang dianggap bersalah. Justru, keduanya berusaha berbicara halus dan penuh kasih sayang pada Isabella. “Nak, Papa dan Mama meminta maaf atas perbuatan Satria. Kami juga mewakilkan Satria meminta maaf pada Abel,” ucap pria ini.Isabella tersenyum lembut dan tulus. “Tidak ada yang salah, jadi Mama sama Papa tidak perlu meminta maaf ....”Mia mendesah, wajahnya membatin karena perbuatan Satria sekaligus mengasihani Isabella. “Kamu sangat tegar. Mama harap setelah ini kamu mendapatkan kebahagiaan.” Dalam kalimatnya terdapat kalimat te
Dika ingin memporak porandakan Satria seperti Satria yang tega melakukannya pada Isabella, tetapi dia menahan diri atas saran Devan yang menjelaskan semua yang dikatakan Satria. "Intinya, orangtua Satria menolak rencananya menceraikan Abel. Itu yang saya dengar." "Ck!" Dika berdecak geram pada perbuatan Satria yang semena-mena pada Isabella dan pada pernikahan mereka. "Apa yang ada dalam kepala dia!" geramnya. "Yang jelas beda sama kita!" Pun, Devan merasakan hal yang sama. Hanya saja dia tidak bisa berharap Satria dan Isabella bercerai untuk melepaskan gadis itu dari jeratan rasa sakit karena akan membahayakan posisi Naura. "Di mana dia sekarang?" "Baru saja keluar. Mungkin ke markas." Devan tidak peduli selama Satria tidak berusaha mendekati Naura. "Saya menemui Abel di rumah sakit, tapi Abel semakin menghindar." Desah Dika. "Sekarang emang baiknya begitu karena dari cerita yang saya dengar, Satria berusaha menjadikan kalian sebagai kambing hitam. Seolah kalian juga sumber mas
Satria naik pitam, tetapi tidak meluapkan emosi menggunakan pukulan. Dia hanya mengepalkan kedua tangannya dengan penuh amarah. "Jangan berani-berani mengganggu Naura!" Tatapan matanya sangat mengiris. "Tergantung bagaimana kamu memperlakukan Abel." Pun, tatapan Dika tidak kalah mengiris. Dika memilih mengakhiri pertikaian. Dia pergi begitu saja, sedangkan Satria berdecak kesal karena mengkhawatirkan Naura.Sore ini, Satria baru saja kembali tetapi tentu saja teguran Haris sudah menantinya, "Kalau kamu tidak serius ingin kuliah di sana, Papa akan memindahkan kamu!" Pria ini menegur hanya saja tidak meluap-luap, justru terkesan santai, tetapi tatapannya sangat mengiris. "Satria ingin tetap kuliah, Pa." Nada suaranya sedikit memohon karena kuliah adalah satu-satunya cara berkomunikasi dengan Naura tanpa dibayang-bayangi Isabella dan orangtuanya. "Lalu kenapa kamu membolos, hm?" Saat ini Haris baru saja menunjukan sedikit amarahnya. "Maaf, Satria tidak bisa fokus karena ...." Ingin k
Satu bulan berlalu dengan cerita yang sama. Satria tidak memiliki kesempatan mendekati Naura karena gadis itu selalu bersama kawan-kawannya, bahkan dia tidak memiliki kesempatan untuk sekedar berbasa-basi hingga hari ini dia sudah tidak tahan. [Apa kamu membenci saya? Baiklah, saya akan pergi. Saya akan kembali ke kota tempat saya dulu, tempat yang dulu memisahkan kita!]Naura membaca chat dari Satria karena gadis ini tidak memblokir nomor Satria sesuai saran dari Devan. "Kenapa kamu sangat mempedulikan saya? Sampai-sampai saat saya cuek kamu mau pergi karena saya. Lalu, bagaimana Abel?" Saat ini Naura merasa semakin terpuruk karena seolah dirinya menjadi alasan untuk setiap tindakan Satria. Sementara, Satria mulai mengemasi pakaiannya. Tidak banyak, hanya satu ransel yang biasa dipakainya kuliah. "Mau kemana?" tanya Isabella yang sudah satu bulan ke belakang tidak banyak bicara dengan Satria, bahkan mereka sudah berhenti melakukan hubungan intim. "Bukan urusan kamu!" Satria tidak
[Saya tidak benci kamu, saya cuma tidak suka karena kamu selalu mendekati saya.] Akhirnya Naura membalas karena gadis ini tidak ingin Satria pergi, dia takut Satria meninggalkan Isabella, lalu akhirnya dirinya yang disalahkan atas kepergian Satria ke kotanya dulu.Maka, di tengah perdebatan Satria membaca chat balasan dari Naura dan seketika senyuman ditarik, tetapi sangat tipis agar tidak mencurigakan. Seketika, dia berkata pada Haris, “Iya, Satria bisa menunda!”Haris puas mendengar keputusan Satria, tetapi juga curiga dan heran karena secepat itu Satria mengubah keputusannya. Namun, dia masih memanfaatkan keadaan. “Memang seharusnya begitu, agar Abel punya waktu untuk meminta izin dari rumah sakit.”Isabella tidak mengatakan apapun karena pergi dengan Satria atau tidak itu bukan masalah. Saat ini, pun Satria tidak mengatakan apapun hingga Haris melanjutkan, “Di kota itu banyak kenangan indah dan tempat-tempat indah, pantas dijadikan untuk bulan madu. Sesekali pergilah kesana, tingg
Tiba hari yang dinantikan Haris dan Mia, kini mereka melambaikan tangan pada Isabella yang juga melambaikan tangannya lewat kaca mobil, sedangkan Satria fokus menyetir setelah berbasa-basi saat berpamitan.Isabella menunjukan senyuman indah dan ceria pada kedua mertuanya walaupun perjalanan ini entah membuahkan apa? Apa hanya rasa sakit dan kekecewaan? Gadis ini bukan tidak peduli dan bukan tidak memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi untuk sekarang setidaknya kedua mertuanya bahagia setelah Satria menghadirkan badai.“Kita tidak akan pergi ke tempat yang dijanjikan!” celetuk dingin Satria hingga membuat Isabella segera menatap suaminya yang baru saja melajukan mobil keluar daerah.“Kita akan kemana?”“Pokoknya kita sendiri-sendiri saja!” celetuk Satria lagi dengan suara dingin.“Tidak bisa begitu ..., mama sudah bilang sama saya, mama akan menunggu kabar dari bibi kalau kita sudah sampai, jadi kita tidak bisa pergi kemanapun selain ke tempat tujuan.” Isabella menceritakan sesuai ken
Naura baru saja mendengar kabar kepergian Satria ke kota yang pernah memisahkan mereka, tetapi alasan kepergian Satria bukan karena dirinya melainkan karena berbulan madu. Itu yang didengar gadis ini dari ibunya yang baru saja berbicara di dalam telepon bersama Mia.‘Harusnya saya merasa sangat beruntung karena tidak menerima ajakan kamu saat kamu bilang kita bisa pacaran diam-diam karena ternyata kamu memang menginginkan Abel dan menikmati waktu kalian, tapi ....’ Dadanya ditangkup. ‘Kenapa sangat sakit saat mendengar kalian bulan madu!’Namun, saat ini Satria tidak sedang memikirkan Naura karena pertemuannya dengan teman-teman lamanya. Dia juga masih bersama Isabella yang banyak bertanya tentang daerah ini. Maka, kali ini isi kepalanya teralihkan.Semua kawan Satria mengetahui tentang pernikahan mereka maka tidak ada yang berekspresi kaget justru mereka sangat menerima kehadiran Isabella dan mendukung keharmonisan rumah tangga Satria dan Isabella.Pun, Isabella mudah bergaul jadi ti
Hari demi hari berganti, ucapan Satria bukan hanya bualan karena dia membuktikannya lewat sikap yang tulus walaupun Haris tidak melihatnya secara langsung karena pasangan suami dan istri ini tinggal terpisah dengan pria itu.Setiap malam, Satria menemani Isabella menyusui Attar, dia juga sering membantu mengganti popok atau pakaian basah Attar.Satria melakukannya diiringi senyuman lembut, tutur kata senada, serta belaian penuh kasih sayang pada Attar dan Isabella.Kini, usia Attar sudah dua minggu. “Nanti kita adakan acara potong rambut sama aqiqah. Saya sudah coba bicara sama Mama, tapi belum secara langsung,” ucap lembut Satria pada Isabella.Namun, bagaimanapun sikap Satria, nyatanya Isabella tetap bersikap datar. “Iya.”“Saya sudah menabung, semoga cukup buat acara besar.” Kini Satria terkekeh. Kemudian menyodorkan uang belanja sekalian uang susu dan pempers pada Isabella. “Kalau uangnya nggak sampai minggu depan, jangan sungkan minta lagi ya, Sayang.” Tatapannya sangat lembut.“
Ini adalah malam pertama Isabella dan Satria tidur bersama bayi mereka. Bayi merah itu terlentang di tengah-tengah pasangan suami istri ini. Tidak henti Satria menatapnya diiringi senyuman.Isabella menyadarinya, tetapi dia masih bersikap dingin dan datar. “Saya akan tidur, lagian Attar tidur. Ini kesempatan saya untuk ikut tidur.”“Ya, Sayang. Kamu tidur saja, biar nanti aku yang menjaga Attar.”Isabella tidak pernah meminta, tetapi tidak mungkin menolak perhatian Satria pada bayi mereka.Jadi saat Attar menangis tengah malam, Satria yang menjaga dan mengasuh. Dia juga menghangatkan asi yang sudah tersedia di dalam botol. Tidak lupa menyuruh Isabella kembali tidur setelah sempat terbangun karena tangisan Attar.Hingga saat pagi hari Satria terlambat bangun, tetapi Isabella membiarkan suaminya tanpa peduli aktivitas apa yang menanti Satria.Satria tersentak saat melihat jam dinding. “Hah, serius sudah jam sembilan!”“Ya,” jawab datar Isabella.“Harusnya saya kuliah pagi. Sekarang saya
Suana hening sangat lama, hingga Satria kembali bicara. “Apa kamu tetap akan melanjutkan perceraian, apa kamu akan mengubah keputusan kamu?”Isabella menjawab santun, “Saya yang harus menanyakan itu pada kamu.”“Kalau saya tetap melanjutkan?”“Saya juga ....” Hati Isabella seakan sudah kebal pada rasa sakit. Bahkan yang ini. “Kalau kamu memilih berpisah, sebelumnya kamu harus beri nama anak kita.” Ini adalah permintaan sederhana Isabella, tetapi diwajibkan pada Satria.Satria memandangi Isabella karena tatapan istrinya seolah tanpa keraguan walaupun mereka bercerai.Satria kembali menunduk, tetapi tidak melepaskan tangan Isabella. Lalu berkata lirih, “Naura pergi. Dia mencampakan saya. Apalagi yang harus saya lakukan karena andai berpisah sama kamu, saya tidak yakin Naura akan bersama saya ....”Isabella menjawab datar, “Itu urusan kamu. Jangan menjadikan saya cadangan karena kamu gagal mendapatkan Naura!”Satria kembali memandangi wajah Isabella. Kini, dalam tatapan Isabella terdapat
Satria masuk ke kamar rawat, jadi dia bertemu dengan orangtuanya dan orangtua Isabella yang sedang berkumpul.Semua orang menyambut kedatangan Satria dengan hangat, termasuk Isabella. Mia segera menggiring putranya menuju tempat mereka duduk berkumpul. “Alhamdulillah kamu sudah datang ....” Senyumannya menunjukan kebahagiaan, tetapi hatinya sangat kesal pada Satria setelah mengetahui sikap buruknya pada Isabella dan bayi mereka yang belum diberi nama.Tanpa persetujuan Isabella, Mia segera meraih amplop cokelat yang berisi laporan hasil test DNA hingga gadis ini terkejut.Namun, ternyata Mia menyampaikannya sangat bijak di hadapan suaminya, anaknya dan kedua mertuanya. “Ini hasil test DNA anak kalian. Dokter yang memberikannya karena Isabella seorang perawat walaupun bukan di rumah sakit ini, jadi Abel memiliki hak istimewa, yaitu mendapatkan test DNA tanpa perlu meminta.”Mia
Isabella hanya menatap sendu pada langit-langit. “Bukan perpisahan yang Abel mau karena sebelum itu Satria harus tahu jika selama ini saya mengandung anaknya ....”Pun, hatinya semakin lebur saat memikirkan bayi mereka. “Sabar ya, Sayang ... pasti akhirnya Papa kamu akan menerima kamu ....”Bayi mungil itu berada di dalam box yang sangat hangat, wajahnya sangat polos dan murni.Namun, ternyata hari ini Satria tidak datang ke rumah sakit dan dia juga tidak terlihat di rumah. Maka Haris sangat murka.Saat ini, hanya Mia yang menemai Isabella hingga ketukan pintu memecah keheningan dan membuat wanita ini bersemangat. “Pasti itu Satria! Mama buka dulu ya, pintunya.” Mia segera meletakan pisau di atas piring saat buah yang dikupasnya belum selesai.Isabella hanya memandangi punggung Mia yang semakin mendekati pintu, tetapi dia tidak yakin itu Satria. “Kalau itu Satria, harusnya tidak usah mengetuk pintu.”Mia tersenyum bahagia saat membukakan pintu, tetapi senyumannya perlahan redup karena
Satria berjuang demi menghentikan kepergian Naura, tapi sudah terlambat karena Naura sudah berjalan hendak masuk ke dalam pesawat. Namun, Satria juga melihat Devan yang berjalan di belalang Naura. Devan sempat melirik dan menyadari kehadiran Satria, tetapi dia memilih abai dan berpura-pura tidak melihatnya. Saat ini kepala Satria dipenuhi pertanyaan. "Kenapa Naura bersama Devan?" Sekaligus, dia harus rela saat hatinya sakit dan hancur karena harus menyaksikan kepergian Naura. "Nay ...." Rintih Satria. Naura menoleh karena panggilan lemah Satria membuat dadanya berdebar, tetapi sayangnya keberadaan Satria terhalangi oleh lalu lalang. Naura menundukan wajahnya sangat sendu. "Pasti cuma perasaan karena tidak mungkin Satria mencegah saya pergi ...."Maka, akhirnya Naura terbang keluar negeri meninggalkan semua kenangannya bersama Satria. Pun, Satria harus menyaksikan hari-harinya dengan Naura berakhir dan mungkin tidak akan pernah terulang.Satria termenung cukup lama di bandara ka
“Satria bilang kamu bersedia bercerai setelah melahirkan. Saya mohon, jangan lakukan itu ....” Naura tidak enggan mengatakan hal ini karena jika benar dia penyebabnya, gadis ini tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga Satria dan Isabella.Namun, saat ini Isabella hanya memandang kosong ke arah Naura. ‘Semalam dan tadi pagi Satria sangat perhatian. Jadi Satria punya maksud terselubung. Apa Satria ingin membahagiakan saya sebelum perceraian?’“Abel. Saya mohon ... jangan pernah bercerai dengan Satria.” Naura mengulang kalimatnya bahkan lebih tatapannya lebih dalam.Saat ini Isabella tersadar, lalu tersenyum kecil. “Ini rumah tangga saya dan Satria.” Isabella menjawab dengan bijak, tetapi berhasil menyentil Naura.Naura mendesah. “Saya memang tidak punya hak apapun, dan tidak sepantasnya saya mencampuri rumah tangga kamu dan Satria. Tapi ... kalau alasan kamu bersedia bercerai karena saya, saya akan merasa sangat bersalah. Jadi tolong jangan bercerai, karena walaupun kalian b
Pagi ini Satria menuntun Isabella hingga tiba di ruang makan. Mia sudah di sana, maka salah satu telapak tangannya dipakai menutup mulutnya yang menganga.“Pagi, Ma ....” Satria menyapa ibunya dengan hangat tanpa melepaskan telapak tangan Isabella. Laki-laki ini memperlakukan istrinya dengan lembut, dia juga yang menggeser kursi hingga Isabella duduk nyaman.Mia membalas sapa Satria dengan suasana hati berjuta bahagia karena ini adalah pagi yang sangat indah. “Pagi, Sayang ....”“Kok Mama sendiri? Mana Papa?” Bukan hanya hangat dan perhatian pada Isabella, tetapi Satria melakukannya pada ibunya juga.“Papa masih di halaman. Sebentar lagi nyusul,” kekeh Mia. Perubahan Satria membuatnya linglung karena terlalu mendadak, tetapi sangat disyukuri.“Satria panggil Papa dulu deh, Mama di sini saja sama Abel.”“Iya, Sayang ....” Mia tidak bisa berhenti tersenyum atas perubahan baik Satria.Saat Satria berlalu, Mia segera bertanya pada Isabella untuk menjawab penasarannya, “Apa yang terjadi pa
Malam ini Satria menjamah Isabella. Ini adalah pertama kalinya setelah beberapa bulan istrinya diabaikan. Saat ini Isabella melayani suaminya dengan baik, tetapi tidak berharap Satria berubah menjadi lebih baik karena dirasa tidak seinstan itu atau tidak mungkin.Setelah memuaskan nafsunya, Satria berkata jahat saat mereka masih berada di bawah selimut yang sama, “Saya kira anak itu sudah tidak ada!”Isabella segera menegur, “Jangan asal bicara!”Satria tidak merespon karena segera meninggalkan kamar, tapi rupanya Haris masih berada di ruang tengah. Maka pria ini segera mengatakan isi hatinya saat bertemu putranya, “Apa yang kamu dapatkan setelah meninggalkan anak dan istri kamu selama dua bulan?” Wajahnya datar.Satria tahu ayahnya tidak mungkin menyambut hangat kepulangannya. “Satria butuh waktu sendiri.”“Lalu, apa hikmah yang kamu dapat?”Sejenak, Satria tidak bisa mengatakan apapun. “Mendinginkan kepala.”“Abel adalah istri salihah. Kamu harus tahu jika selama kamu menghilang, Ab