Share

Bab 3. Menelan Rasa Sakit Seorang Diri

Aksi tidak terpuji yang dilakukan Satria tidak berlangsung lama karena akhirnya dia diinterograsi polisi, lalu Haris datang pada malam hari, tepatnya pukul tujuh. Orang pertama yang ditemuinya adalah menantunya yang terlihat tidak baik-baik saja, tubuhnya menggigil ketakutan. “Nak, papa minta maaf mewakili Satria.”

Isabella mengangguk kecil dengan wajah pucat. Lalu, Haris kembali berkata dengan lembut, “Mama akan segera datang. Mama akan menjemput kamu.” Tidak banyak yang bisa dilakukan Haris pada menantunya yang kini duduk di atas kursi dengan keadaan menggigil ketakutan. Lalu, dia menemui Satria yang sedang diamankan polisi. “Apa yang kamu lakukan? Kapan kamu akan berubah!”

Polisi segera menghampiri dan menyuruh mereka membicarakan hal ini secara kekeluargaan. Beberapa lama kemudian, Haris sudah lebih tenang, tetapi tidak dengan hatinya. “Papa mendengar kamu menerobos jalan tol, kamu kebut-kebutan membawa Abel. Di mana otak kamu!” Suaranya terjaga walau membentak.

Satria tidak mengatakan apapun, bahkan raut wajahnya seakan tidak peduli karena ini bukan yang pertama polisi mengamankannya dan juga bukan yang pertama Haris memarahinya.

“Papa tidak ingin terus memarahi kamu, tapi kenapa kamu selalu membuat masalah. Kapan kamu akan berhenti? Apa kamu akan merasa puas setelah papa mati!”

Satria masih tidak menyahut, raut wajahnya masih datar dan tidak peduli. Saat ini Mia datang lalu segera memeluk putranya sesaat. “Abel sudah di dalam mobil. Kamu bisa meninggalkan tempat ini ....”

Haris tidak dapat berkata apapun lagi karena ini adalah kantor polisi, dia tidak bisa membahas prihal masalah keluarganya di sini. Akhirnya Satria dibebaskan setelah melalui beberapa prosedur.

Setibanya di rumah, Mia menemui Satria di teras. “Papa memiliki penyakit asma. Jangan berbuat hal tidak terpuji. Papa seperti itu karena kamu, papa lelah menghadapi kamu yang tidak pernah berubah. Papa juga sedih dan membatin setiap kali setelah memarahi kamu apalagi sampai memukul kamu. Tolong mengertilah ....” Mia menjatuhkan sebutir air mata. “Mama dan papa tidak pernah membenci kamu, apapun yang kamu lakukan dan masalah apapun yang kamu lakukan di belakang kami. Tapi cobalah untuk berubah, tidak masalah walau perlahan ....”

Ini pertama kalinya Mia menangis di depan Satria hingga membuat Satria berlutut di depan ibunya. “Satria minta maaf sudah membuat mama repot dan sedih.” Wajahnya tenggelam di kedua lutut ibunya.

Mia mengusap puncak kepala Satria, belaiannya sangat halus sebagaimana seorang ibu. “Kamu anak satu-satunya yang kami miliki. Kami tidak ingin kehilangan kamu ....”

“Satria minta maaf ....”

Namun, di atas sana Isabella memulihkan dirinya sendiri tanpa belaian lembut ibunya bahkan kedua orangtuanya tidak tahu yang barusaja terjadi padanya. Isabella hanya mampu mengusap tangannya sendiri dan memeluk dirinya sendiri. “Saya sudah menikah, saya harus mandiri. Tapi ... andai hari ini saya belum menikah, pasti papa dan mama ada di sini, memeluk saya, menenangkan saya. Saya sangat takut ....”

Isabella pernah berpikir jika dia akan mati sia-sia, tapi akhirnya polisi menghentikan motor yang dilajukan Satria, tetapi itu tidak memperbaiki semua ketakutan yang ada di kepalanya bahkan hingga detik ini tubunya masih mengigigil ketakutan.

Ketukan pintu halus terdengar, jadi Isabella bangkit dari duduknya dan membuka pintu pelahan. “Selamat malam, pa ...,” sapanya dengan senyuman walaupun saat ini ekspresi seperti ini sangat sulit dilakukan.

“Bagaimana keadaan kamu, Nak?” Suara lembut Haris begitupun dengan tatapannya.

“Abel baik-baik saja. Papa bagaimana, apa obatnya masih ada? Abel akan memeriksa keadaan papa.” Alih-alih mengutamakan dirinya, justru Isabella mengkhawatirkan keadaan Haris, dia bertindak sebagaimana seorang perawat saat melihat seseorang membutuhkan jasanya.

“Papa baik-baik saja, mama sudah merawat papa,” kekeh Haris yang masih berdiri di depan pintu.

“Syukurlah ..., tapi papa tidak perlu sungkan saat membutuhkan bantuan Abel.” Tawaran tulus Isabella sebagaimana seorang perawat, apalagi sekarang dia adalah menantu Haris.

“Terimakasih. Papa akan banyak mengeluhkan tubuh papa saat merasa tidak sehat.” Tawa renyah Haris hingga matanya menghilang. Maka, Isabella tertawa kecil. “Papa ingin bicara. Apa papa menganggu?”

“Tidak pa. Silakan masuk.” Isabella membuka pintu selebar mungkin.

“Tidak di sini, Nak. Kita bicara di sopa saja, di ruang tengah,” kekeh Haris yang kini cukup canggung saat memasuki kamar putranya, tidak seperti saat Satria masih lajang.

Jadi, kini Haris dan Isabella duduk berhadapan di ruang tengah. “Papa tidak akan berhenti meminta maaf mewakilkan Satria.”

“Tidak apa-apa, papa tidak perlu minta maaf.” Isabella tidak akan menuntut maaaf dari Haris walaupun putra pria itu pernah membuatnya hingga mengigigil ketakutan dan pernah mengancam keselamatannya.

“Bagaimana keadaan kamu sekarang?” Haris sangat mengkhawatirkan menantunya hingga pertanyaan ini diulangi.

“Abel baik-baik saja.” Ada dusta di dalam jawabannya, tetapi menurut Isabella inilah yang terbaik.

“Papa menyayangi kamu sebagaimana menyayangi Satria. Jadi papa juga mengkhawatirkan Abel dan mungkin lebih dari pada yang Abel pikirkan.”

Isabella tersenyum ramah menanggapi ucapan Haris. Lalu, pria itu melanjutkan, “Tapi papa minta jangan pernah mengadu pada orangtua Abel tentang sikap Satria. Papa selalu mencoba menasihati Satria, papa tidak akan menyerah dan papa berjanji akhirnya Satria akan menjadi suami yang baik untuk Abel.”

Isabella merasa keberatan mendengar permintaan Haris, tetapi tanpa Haris minta dia sudah melakukannya, dia tidak pernah mengadu bahkan hingga detik ini orangtua tidak tahu apapun. Isabella mengerti posisinya sebagai menantu dan sebagai seorang istri yang juga diwajibkan untuk menjaga nama baik keluarga suaminya, salah satu caranya adalah menutup aib keluarga suaminya walaupun keadaan membuatnya dirugikan dan membuatnya merasa menelan sendiri rasa sakitnya.

“Iya, pa,” jawaban ini dibumbui rasa sakit yang tidak dapat dijelaskan.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status