Aksi tidak terpuji yang dilakukan Satria tidak berlangsung lama karena akhirnya dia diinterograsi polisi, lalu Haris datang pada malam hari, tepatnya pukul tujuh. Orang pertama yang ditemuinya adalah menantunya yang terlihat tidak baik-baik saja, tubuhnya menggigil ketakutan. “Nak, papa minta maaf mewakili Satria.”
Isabella mengangguk kecil dengan wajah pucat. Lalu, Haris kembali berkata dengan lembut, “Mama akan segera datang. Mama akan menjemput kamu.” Tidak banyak yang bisa dilakukan Haris pada menantunya yang kini duduk di atas kursi dengan keadaan menggigil ketakutan. Lalu, dia menemui Satria yang sedang diamankan polisi. “Apa yang kamu lakukan? Kapan kamu akan berubah!”
Polisi segera menghampiri dan menyuruh mereka membicarakan hal ini secara kekeluargaan. Beberapa lama kemudian, Haris sudah lebih tenang, tetapi tidak dengan hatinya. “Papa mendengar kamu menerobos jalan tol, kamu kebut-kebutan membawa Abel. Di mana otak kamu!” Suaranya terjaga walau membentak.
Satria tidak mengatakan apapun, bahkan raut wajahnya seakan tidak peduli karena ini bukan yang pertama polisi mengamankannya dan juga bukan yang pertama Haris memarahinya.
“Papa tidak ingin terus memarahi kamu, tapi kenapa kamu selalu membuat masalah. Kapan kamu akan berhenti? Apa kamu akan merasa puas setelah papa mati!”
Satria masih tidak menyahut, raut wajahnya masih datar dan tidak peduli. Saat ini Mia datang lalu segera memeluk putranya sesaat. “Abel sudah di dalam mobil. Kamu bisa meninggalkan tempat ini ....”
Haris tidak dapat berkata apapun lagi karena ini adalah kantor polisi, dia tidak bisa membahas prihal masalah keluarganya di sini. Akhirnya Satria dibebaskan setelah melalui beberapa prosedur.
Setibanya di rumah, Mia menemui Satria di teras. “Papa memiliki penyakit asma. Jangan berbuat hal tidak terpuji. Papa seperti itu karena kamu, papa lelah menghadapi kamu yang tidak pernah berubah. Papa juga sedih dan membatin setiap kali setelah memarahi kamu apalagi sampai memukul kamu. Tolong mengertilah ....” Mia menjatuhkan sebutir air mata. “Mama dan papa tidak pernah membenci kamu, apapun yang kamu lakukan dan masalah apapun yang kamu lakukan di belakang kami. Tapi cobalah untuk berubah, tidak masalah walau perlahan ....”
Ini pertama kalinya Mia menangis di depan Satria hingga membuat Satria berlutut di depan ibunya. “Satria minta maaf sudah membuat mama repot dan sedih.” Wajahnya tenggelam di kedua lutut ibunya.
Mia mengusap puncak kepala Satria, belaiannya sangat halus sebagaimana seorang ibu. “Kamu anak satu-satunya yang kami miliki. Kami tidak ingin kehilangan kamu ....”
“Satria minta maaf ....”
Namun, di atas sana Isabella memulihkan dirinya sendiri tanpa belaian lembut ibunya bahkan kedua orangtuanya tidak tahu yang barusaja terjadi padanya. Isabella hanya mampu mengusap tangannya sendiri dan memeluk dirinya sendiri. “Saya sudah menikah, saya harus mandiri. Tapi ... andai hari ini saya belum menikah, pasti papa dan mama ada di sini, memeluk saya, menenangkan saya. Saya sangat takut ....”
Isabella pernah berpikir jika dia akan mati sia-sia, tapi akhirnya polisi menghentikan motor yang dilajukan Satria, tetapi itu tidak memperbaiki semua ketakutan yang ada di kepalanya bahkan hingga detik ini tubunya masih mengigigil ketakutan.
Ketukan pintu halus terdengar, jadi Isabella bangkit dari duduknya dan membuka pintu pelahan. “Selamat malam, pa ...,” sapanya dengan senyuman walaupun saat ini ekspresi seperti ini sangat sulit dilakukan.
“Bagaimana keadaan kamu, Nak?” Suara lembut Haris begitupun dengan tatapannya.
“Abel baik-baik saja. Papa bagaimana, apa obatnya masih ada? Abel akan memeriksa keadaan papa.” Alih-alih mengutamakan dirinya, justru Isabella mengkhawatirkan keadaan Haris, dia bertindak sebagaimana seorang perawat saat melihat seseorang membutuhkan jasanya.
“Papa baik-baik saja, mama sudah merawat papa,” kekeh Haris yang masih berdiri di depan pintu.
“Syukurlah ..., tapi papa tidak perlu sungkan saat membutuhkan bantuan Abel.” Tawaran tulus Isabella sebagaimana seorang perawat, apalagi sekarang dia adalah menantu Haris.
“Terimakasih. Papa akan banyak mengeluhkan tubuh papa saat merasa tidak sehat.” Tawa renyah Haris hingga matanya menghilang. Maka, Isabella tertawa kecil. “Papa ingin bicara. Apa papa menganggu?”
“Tidak pa. Silakan masuk.” Isabella membuka pintu selebar mungkin.
“Tidak di sini, Nak. Kita bicara di sopa saja, di ruang tengah,” kekeh Haris yang kini cukup canggung saat memasuki kamar putranya, tidak seperti saat Satria masih lajang.
Jadi, kini Haris dan Isabella duduk berhadapan di ruang tengah. “Papa tidak akan berhenti meminta maaf mewakilkan Satria.”
“Tidak apa-apa, papa tidak perlu minta maaf.” Isabella tidak akan menuntut maaaf dari Haris walaupun putra pria itu pernah membuatnya hingga mengigigil ketakutan dan pernah mengancam keselamatannya.
“Bagaimana keadaan kamu sekarang?” Haris sangat mengkhawatirkan menantunya hingga pertanyaan ini diulangi.
“Abel baik-baik saja.” Ada dusta di dalam jawabannya, tetapi menurut Isabella inilah yang terbaik.
“Papa menyayangi kamu sebagaimana menyayangi Satria. Jadi papa juga mengkhawatirkan Abel dan mungkin lebih dari pada yang Abel pikirkan.”
Isabella tersenyum ramah menanggapi ucapan Haris. Lalu, pria itu melanjutkan, “Tapi papa minta jangan pernah mengadu pada orangtua Abel tentang sikap Satria. Papa selalu mencoba menasihati Satria, papa tidak akan menyerah dan papa berjanji akhirnya Satria akan menjadi suami yang baik untuk Abel.”
Isabella merasa keberatan mendengar permintaan Haris, tetapi tanpa Haris minta dia sudah melakukannya, dia tidak pernah mengadu bahkan hingga detik ini orangtua tidak tahu apapun. Isabella mengerti posisinya sebagai menantu dan sebagai seorang istri yang juga diwajibkan untuk menjaga nama baik keluarga suaminya, salah satu caranya adalah menutup aib keluarga suaminya walaupun keadaan membuatnya dirugikan dan membuatnya merasa menelan sendiri rasa sakitnya.
“Iya, pa,” jawaban ini dibumbui rasa sakit yang tidak dapat dijelaskan.
Bersambung ....
Mia dan Satria tiba di ruang tengah saat obrolan Haris dan Isabella berakhir. “Beristirahatlah ....” senyuman lembut Mia mengarah pada putra dan menantunya. Jadi, kini Satria dan Isabellla masuk ke dalam kamar.“Apa yang kamu bicarakan sama papa?” tanya dingin Satria.“Tentang yang tadi.” Isabella tidak bertele-tele dan tidak menyembunyikan apapun.“Orangtua kamu tahu?” Tatapan Satria segera menyelidik.“Tidak.” Isabella menatap Satria, tetapi Satria tidak terlihat sebagaimana suami, justru sejak peristiwa tadi Isabella selalu merasa jika Satria adalah ancaman.“Katakan saja!”“Heuh?” Tentu saja ucapan Satria di luar dugaan Isabella.“Kalau kamu mengadu, ada kemungkinan orangtua kamu semakin tidak menyukai saya, dan mungkin tidak lama lagi orangtua kamu meminta saya menceraikan kamu. Itu bagus.” Kini, Satria menyeringai.“Saya tidak akan mengatakan apapun pada mama dan papa.” Kalimat Satria berbanding terbalik dengan orangtuanya. Itu mengejutkan, tetapi setelah mendengar alasannya, Is
Saat ini tatapan Satria dan Isabella saling bertemu, keduanya tidak berhenti saling menatap hingga beberapa saat, kemudian Satria meninggalkan Isabella begitu saja. Malam ini dia kembali tidur di sofa.Isabella merasa malam ini selamat walaupun dia yakin seharusnya tidak boleh memiliki perasaan seperti ini, tetapi karena keadaan mereka sedang rumit, Isabella pikir jika malam pertama mereka terjadi malam ini, itu sama sekali bukan hal baik.Isabella menyodorkan selimut ke arah Satria yang sedang bermain handphone, tetapi dia sempat melihat layar handphone milik Satria yang isinya foto Naura. Hatinya sakit, tetapi ini kenyataan yang sejak awal dia ketahui. “Pakai selimut untuk menjaga kesehatan, cuaca sedang dingin.” Suaranya masih lembut dan santun.“Simpan saja.” Suara datar dan dingin Satria yang sudah mematikan layar handphonenya.“Kamu bisa tidur di kasur,” tawaran Isabella, tetapi bukan berarti dia murahan seperti yang dipikirkan Satria. Wanita ini hanya tidak ingin Satria kedingin
Satria tiba di kampus, tetapi kali ini orang pertama yang ditemuinya adalah kawan satu gengnya-Devan. “Kemarin hujan besar, saya juga tidak bisa keluar malam,” ucapnya pada Devan yang memiliki penampilan sama. Lak-laki ini memiliki tatto yang tersembunyi di balik jaketnya.“Kemana kamu beberapa hari ini? Sekarang setiap malam kamu tidak di markas.” Rokok dihisap kala mereka masih berada di luar kampus.“Ada hal yang membuat saya tidak bisa keluar. Ck!” Itu adalah Isabella. Pernikahan mereka membuatnya terkekang walaupun Isabella tidak melarangnya keluar, tapi orangtuanya yang akan melarang.“Malam ini ada balapan.”“Ya.” Satria tidak tahan berada di rumah. Apalagi kini dia satu kamar dengan Isabella.“Kamu harus datang karena musuh kita bertambah. Mereka berniat membalas!”“Ck, padahal balapan kemarin-kemarin membuat kaki saya cedera!” Hatinya melanjutkan dengan sangat kesal. ‘Dan berakhir menikah dengan Isabella.’Devan tersenyum kecut. “Apapun yang terjadi kamu harus datang. Kita ti
Tiba jam makan malam, tentu saja Haris bertanya di mana putranya, jadi Mia mengatakan jika Satria akan terlambat pulang karena memiliki banyak tugas kuliah. Kalimat ini dikatakan karena Mia masih berharap malam ini Satria pulang walau Isabella sudah mengatakan jika putranya tidak akan pulang.“Papa ingin membahas pekerjaan dengan Satria karena sekarang Satria sudah memiliki tanggungjawab pada Abel.” Pria ini belum menyuap menu karena menantunya belum menyusul ke ruang makan.“Pekerjaan apa?” Mia menyajikan teh hangat untuk suaminya.“Papa akan menjadikan Satria sebagai manager. Tapi, itupun jika anak itu bisa dibimbing.” Teh diseruput saat hatinya banyak meragukan putranya yang pembangkang dan tidak bisa dinasihati.“Manager perusahaan?” heran Mia yang juga meragukan Satria.“Restoran. Biarkan Satria memegang cabang restoran yang baru buka, itu bisa dijadikan tempat yang pas untuk dia belajar bisnis.” Suara santai Haris.“Yang mama tahu, papa sudah menempatan penanggung jawab di sana.
Isabella menoleh santun bersama senyuman ke arah Satria. “Saya akan mengabulkan keinginan kamu, tapi sebelumnya saya meminta izin untuk shalat subuh terlebih dahulu.”“Sekarang!” Senyuman Satria terlihat cabul, tetapi matanya menyiratkan niat licik.Isabella menyimpan kembali alat shalat yang siap digunakan, kemudian naik ke atas tempat tidur, berbaring canggung di sisi Satria.Satria tersenyum meremehkan, kemudian tubuhnya miring ke arah Isabella. “Jadi, melayani suami kamu lebih penting dibandingkan beribadah pada Tuhan kamu?”Isabella menatap mata Satria yang lagi-lagi seolah sedang merendahkannya. “Saya ingin melakukan ibadah wajib, sholat subuh, tapi melayani kamu juga kewajiban.”Tangan kanan Satria yang dingin mulai mengelus garis bibir Isabella, tatapannya hanya tertuju pada bibir yang membuatnya bergairah walaupun hatinya untuk Naura, tetapi Isabella siap memberikan tubuhnya walaupun tidak ada cinta di antara mereka. Wajahnya mendekat perlahan dan mulai melakukan penyatuan bi
Satria melanjutkan aktivitas panasnya yang sempat terganggu, bahkan sekarang dia mulai menindih tubuh Isabella hingga posisi seperti ini semakin membuat gairahnya membuncai. Satria bersikap sebagaimana seorang suami yang sedang menikmati tubuh istrinya walaupun hatinya tetap diisi oleh Naura, sedangkan Isabella merasa terluka, luka yang tidak dapat dijelaskan.Kini, keperawanannya sudah diambil oleh Satria, tetapi Isabella menangis membatin. “Kenapa? Kita adalah pasangan suami dan istri ....” Dia sesenggukan di dalam kamar mandi.Pada pukul delapan pagi, Satria mengantar Isabella ke rumah sakit karena permintaan Haris dan Mia. Tetapi kali ini dia mempedulikan keselamatan Isabella, jadi tidak ada kebut-kebutan di jalanan. Namun, tujuannya bukan ingin melindungi Isabella, tetapi karena dia membutuhkan tubuh istrinya.Satria tiba di kampus dengan wajah ceria karena untuk kedua kalinya dia mendapatkan kesempatan berbicara lebih banyak dengan Naura. “Saya membawa gantungan kunci dari kamu.
Satria segera mengunjungi restoran dan kedatangannya segera disambut oleh karyawan yang bertugas menyambut pengunjung. Dia sudah tahu kali ini restoran mendapatkan kunjungan dari putranya Hendri. Lelaki ini menyapa santun, tetapi Satria hanya tersenyum kecil dan terkesan angkuh karena tidak memiliki niat berada di sini. Pun, orang yang bertanggungjawab pada restoran segera menyambut kedatangan Satria, "Selamat siang, Tuan." Sikapnya sangat ramah, tetapi lagi-lagi Satria menunjukan sikap berbeda. "Apa yang harus saya lakukan disini?" Satria tidak berbasa-basi. Pria bernama Galih tersenyum ramah saat melihat reaksi Satria yang langsung masuk ke inti tujuan. "Saya akan menjelaskan di dalam ruangan." Jadi, kini Satria dan Galih duduk berhadapan. Namun, segera lelaki ini terkejut setelah mendengarkan sedikit penjelasan yang diberikan Galih. "Tidak mungkin papa menempatkan saya di bagian writer!""Tuan Satria adalah owner di restoran ini, tetapi Tuan harus mengerti cara kerja di sini, d
Satria tersenyum acuh tak acuh mendengar pertanyaan dari Isabella. "Memangnya kenapa? Kamu juga menikmatinya, kan.""Kita tidak bisa seperti ini ...." Sepasang manik mata Isabella masih berkaca-kaca bahkan sekarang air matanya hampir menetes."Jangan munafik. Saya memberikan kepuasan pada kamu. Seharusnya itu sudah cukup." Lagi, tatapan Satria meremehkan Isabella. "Isi berumah tangga bukan seperti itu." Satria menyunggingkan setengah bibirnya, tersenyum meremehkan. "Kemarin kamu memang masih perawan. Saya berterimakasih karena saya tidak menikahi sampah. Tapi seharusnya kamu jujur saja, kalau saya bisa memuaskan kamu, jadi seharusnya tidak ada masalah."Isabella semakin bersedih, tetapi justru kesedihannya memberinya kekuatan. "Jangan sentuh saya!" Segera, tatapan Satria berubah heran. "Saya suami kamu dan sejak kapan kamu bisa membantah?""Bukan maksud saya membantah, tapi kamu keterlaluan. Jangan melihat saya sebagai pelacur dan jangan menganggap saya rendahan seperti yang selalu