Saat ini tatapan Satria dan Isabella saling bertemu, keduanya tidak berhenti saling menatap hingga beberapa saat, kemudian Satria meninggalkan Isabella begitu saja. Malam ini dia kembali tidur di sofa.
Isabella merasa malam ini selamat walaupun dia yakin seharusnya tidak boleh memiliki perasaan seperti ini, tetapi karena keadaan mereka sedang rumit, Isabella pikir jika malam pertama mereka terjadi malam ini, itu sama sekali bukan hal baik.
Isabella menyodorkan selimut ke arah Satria yang sedang bermain handphone, tetapi dia sempat melihat layar handphone milik Satria yang isinya foto Naura. Hatinya sakit, tetapi ini kenyataan yang sejak awal dia ketahui. “Pakai selimut untuk menjaga kesehatan, cuaca sedang dingin.” Suaranya masih lembut dan santun.
“Simpan saja.” Suara datar dan dingin Satria yang sudah mematikan layar handphonenya.
“Kamu bisa tidur di kasur,” tawaran Isabella, tetapi bukan berarti dia murahan seperti yang dipikirkan Satria. Wanita ini hanya tidak ingin Satria kedinginan dan tubuhnya sakit karena tidur meringkuk.
Satria tidak menyahut, dia segera meraih selimut yang masih berada di tangan Isabella kemudian memejamkan mata.
Isabella tidak mengatakan apapun lagi. Dia segera menuju tempat tidur, tetapi tatapannya sibuk memandangi Satria. ‘Saya tahu kamu tidak mungkin menerima saya dan pernikahan kita karena saya juga merasakannya. Tapi saya masih bisa menjaga perasaan kamu, tidak seperti kamu yang tidak pernah peduli pada perasaan saya ....’
Malam ini Isabella dan Satria tetap tidur terpisah, tetapi saat tengah malam Satria memutuskan pindah ke atas tempat tidur yang nyaman dan hangat karena hujan di luar sangat deras maka udara berubah sangat dingin.
Isabella mampu merasakan kedatangan Satria lewat tempat tidur yang berguncang, tetapi dia berpura-pura terlelap.
Saat ini tubuh Satria meringkuk menghadap pada Isabella yang tertidur terlentang. Dia memandangi istrinya tanpa makna dan hanya terdapat kebencian dalam bola matanya.
Pada pagi harinya, Isabella menyelesaikan shalat subuh seperti kemarin, tapi dia tidak pernah berani membangunkan Satria. Namun, pada pukul tujuh pagi Isabella mengguncang pelan bahu suaminya. “Mama sama papa sudah menunggu di bawah.”
Satria membuka kelopak matanya sangat malas, tetapi dia tetap mendudukan dirinya lalu meninggalkan sofa karena sebenarnya Satria sudah terbangun sebelum subuh, tetapi hanya untuk kembali meringkuk di sofa. Tidak ada kata apapun yang keluar dari mulutnya hingga dia meninggalkan kamar setelah mencuci wajahnya.
Isabella mendesah, dia harus tetap sabar menghadapi sikap suaminya. “Kami menikah karena papanya Satria menuduh kami berzina. Tapi mungkin beberapa bulan ke depan akhirnya orangtua kami percaya bahwa kami tidak berzina. Walaupun hal itu tidak bisa membuat kami berpisah, tapi setidaknya mama dan papa tidak akan kecewa lagi.” Selimut yang dipakai Satria dirapikan, disimpan ke tempat semula.
Saat ini Mia menyapa menantunya, “Sayang, sedang apa ....” Suaranya sangat lembut senada dengan langkahnya kala masuk ke dalam kamar putranya.
“Selamat pagi, Ma.” Isabella segera menyematkan senyuman seiring berbalik ke arah mertuanya. “Abel belum selesai merapikan kamar.”
Mia tersenyum lembut. “Mama sudah menyiapkan sarapan. Mari sarapan bersama ....”
“Iya. Tapi ... maaf, Abel tidak membantu di dapur. Selesai shalat subuh, Abel mempelajari materi kebidanan.” Terdapat penyesalan dan rasa malu dalam wajahnya.
Mia masih tersenyum lembut. “Tidak apa-apa. Ada bibi di dapur.” Mia memandangi menantunya sangat lembut dan bermakna dalam. “Mama sudah mendengar dari papa tentang pembicaraan kalian kemarin. Mama minta maaf mewakili Satria dan mama berterimakasih karena kamu bersedia menjaga aib Satria dari orangtua kamu.”
Isabella tersenyum kecil, tetapi sangat santun. “Itu salah satu kewajiban Abel sebagai istrinya Satria.”
“Mama tahu kamu dapat menyikapinya dengan cara dewasa. Tapi jangan sungkan mengatakan perasaan kamu pada mama dan papa. Jika Abel tidak nyaman atau mungkin tidak sengaja Satria menyakiti hati Abel, bicaralah pada kami. Kami tidak bermaksud mencampuri rumah tangga kalian, tapi kami sangat mengerti sikap dan sifat Satria. Jangan dipendam sendiri ya, Sayang ....” Bukan hanya kalimat lembut, tetapi Mia memeluk menantunya sebagai salah satu caranya menunjukan kasih sayang.
Saat ini Isabella mulai membuang perasaan kesepian yang kemarin memeluknya, tetapi Isabella tidak akan mengadukan apapun yang didapatkannya dari suaminya walaupun perih sekalipun dan walaupun Mia sudah menyiapkan ruang dan waktu untuknya. Isabella tidak ingin memberikan beban pikiran pada mertuanya.
Pelukan Mia sudah dilepaskan, tetapi tatapannya tetap menggambarkan kasih sayangnya pada Isabella. “Kamu wanita hebat, kamu punya karier cemerlang. Mama dan papa bangga memiliki kamu sebagai menantu.” Senyuman dan kalimatnya sangat tulus.
“Terimakasih, Ma.” Isabella tersenyum senang dan merasa nyaman bersama Mia.
Mia mendesah kecil, kemudian kembali berkata seiring menatap menantunya, tatapan penyesalan, kecewa dan sendu. “Kalian menikah karena kami melihat kalian melakukan posisi insten. Mama dan papa minta maaf jika ternyata kami salah paham dan berakhir memitnah kalian, terutama mama dan papa meminta maaf pada kamu.”
Isabella tersenyum kecil tanpa memberikan jawaban apapun karena rasa kecewa dan sakit hati yang didapatkannya terlalu dalam, fitnah yang didapatkannya terlalu mengerikan.
Kini, mereka sarapan bersama. Pagi ini tidak seperti pagi kemarin, Haris memiliki lebih banyak waktu dengan keluarganya. “Nak, pergilah bersama istrimu. Antar Abel ke rumah sakit,” titahnya pada Satria menggunakan nada suara biasa saja walaupun pria ini masih ingin meluapkan amarahnya karena kejadian kemarin.
“Satria buru-buru. Hari ini ada jadwal tambahan di kampus.” Pun, suaranya terdengar biasanya saja, tetapi Isabella sangat mengerti maksudnya.
Haris mengalihkan tatapan pada menantunya. “Pukul berapa Abel pergi?”
“Pukul delapan, Pa.” Sikap santun Isabella tetap dipakai walaupun atmosfer dirinya dan Satria sangat dingin.
Tatapan Haris kembali mengarah pada Satria. “Ajak Abel, tapi jangan kebut-kebutan. Kampus dan rumah sakit satu arah ....”
Satria belum menjawab karena Isabella yang segera berkata walau bukan maksudnya menyela, tapi dia tahu Satria tidak akan melakukan permintaan ayahnya dan andaipun dilakukan mungkin kejadian kemarin akan terulang. Isabella tidak ingin nyawanya kembali di ujung tanduk. “Tidak apa-apa. Abel tidak ingin mengganggu jadwal Satria. Abel bisa naik bus bersama teman-teman perawat, kami biasa membuat janji,” kekeh ditambahkan walaupun ini hanya sebagai pemanis.
Haris dan Mia tidak mengkritik keputusan Isabella, hanya saja mereka dapat menebak jika hubungan putra dan menantunya sedang sangat buruk. “Papa yang akan antar Abel, kebetulan hari ini papa pergi pukul delapan.” Senyuman lembut Haris.
‘Jadi hari ini kamu menyelamatkan diri? Tapi lihat saja nanti apa kamu masih bisa menyelamatkan diri? Intinya, aku akan membuat kamu tidak betah dengan pernikahan kita dan kamu sendiri yang meminta bercerai.’ Satria menyeringai licik.
Bersambung ....
Jangan lupa follow sosmedku di ig _destiangraeni, ya!
Satria tiba di kampus, tetapi kali ini orang pertama yang ditemuinya adalah kawan satu gengnya-Devan. “Kemarin hujan besar, saya juga tidak bisa keluar malam,” ucapnya pada Devan yang memiliki penampilan sama. Lak-laki ini memiliki tatto yang tersembunyi di balik jaketnya.“Kemana kamu beberapa hari ini? Sekarang setiap malam kamu tidak di markas.” Rokok dihisap kala mereka masih berada di luar kampus.“Ada hal yang membuat saya tidak bisa keluar. Ck!” Itu adalah Isabella. Pernikahan mereka membuatnya terkekang walaupun Isabella tidak melarangnya keluar, tapi orangtuanya yang akan melarang.“Malam ini ada balapan.”“Ya.” Satria tidak tahan berada di rumah. Apalagi kini dia satu kamar dengan Isabella.“Kamu harus datang karena musuh kita bertambah. Mereka berniat membalas!”“Ck, padahal balapan kemarin-kemarin membuat kaki saya cedera!” Hatinya melanjutkan dengan sangat kesal. ‘Dan berakhir menikah dengan Isabella.’Devan tersenyum kecut. “Apapun yang terjadi kamu harus datang. Kita ti
Tiba jam makan malam, tentu saja Haris bertanya di mana putranya, jadi Mia mengatakan jika Satria akan terlambat pulang karena memiliki banyak tugas kuliah. Kalimat ini dikatakan karena Mia masih berharap malam ini Satria pulang walau Isabella sudah mengatakan jika putranya tidak akan pulang.“Papa ingin membahas pekerjaan dengan Satria karena sekarang Satria sudah memiliki tanggungjawab pada Abel.” Pria ini belum menyuap menu karena menantunya belum menyusul ke ruang makan.“Pekerjaan apa?” Mia menyajikan teh hangat untuk suaminya.“Papa akan menjadikan Satria sebagai manager. Tapi, itupun jika anak itu bisa dibimbing.” Teh diseruput saat hatinya banyak meragukan putranya yang pembangkang dan tidak bisa dinasihati.“Manager perusahaan?” heran Mia yang juga meragukan Satria.“Restoran. Biarkan Satria memegang cabang restoran yang baru buka, itu bisa dijadikan tempat yang pas untuk dia belajar bisnis.” Suara santai Haris.“Yang mama tahu, papa sudah menempatan penanggung jawab di sana.
Isabella menoleh santun bersama senyuman ke arah Satria. “Saya akan mengabulkan keinginan kamu, tapi sebelumnya saya meminta izin untuk shalat subuh terlebih dahulu.”“Sekarang!” Senyuman Satria terlihat cabul, tetapi matanya menyiratkan niat licik.Isabella menyimpan kembali alat shalat yang siap digunakan, kemudian naik ke atas tempat tidur, berbaring canggung di sisi Satria.Satria tersenyum meremehkan, kemudian tubuhnya miring ke arah Isabella. “Jadi, melayani suami kamu lebih penting dibandingkan beribadah pada Tuhan kamu?”Isabella menatap mata Satria yang lagi-lagi seolah sedang merendahkannya. “Saya ingin melakukan ibadah wajib, sholat subuh, tapi melayani kamu juga kewajiban.”Tangan kanan Satria yang dingin mulai mengelus garis bibir Isabella, tatapannya hanya tertuju pada bibir yang membuatnya bergairah walaupun hatinya untuk Naura, tetapi Isabella siap memberikan tubuhnya walaupun tidak ada cinta di antara mereka. Wajahnya mendekat perlahan dan mulai melakukan penyatuan bi
Satria melanjutkan aktivitas panasnya yang sempat terganggu, bahkan sekarang dia mulai menindih tubuh Isabella hingga posisi seperti ini semakin membuat gairahnya membuncai. Satria bersikap sebagaimana seorang suami yang sedang menikmati tubuh istrinya walaupun hatinya tetap diisi oleh Naura, sedangkan Isabella merasa terluka, luka yang tidak dapat dijelaskan.Kini, keperawanannya sudah diambil oleh Satria, tetapi Isabella menangis membatin. “Kenapa? Kita adalah pasangan suami dan istri ....” Dia sesenggukan di dalam kamar mandi.Pada pukul delapan pagi, Satria mengantar Isabella ke rumah sakit karena permintaan Haris dan Mia. Tetapi kali ini dia mempedulikan keselamatan Isabella, jadi tidak ada kebut-kebutan di jalanan. Namun, tujuannya bukan ingin melindungi Isabella, tetapi karena dia membutuhkan tubuh istrinya.Satria tiba di kampus dengan wajah ceria karena untuk kedua kalinya dia mendapatkan kesempatan berbicara lebih banyak dengan Naura. “Saya membawa gantungan kunci dari kamu.
Satria segera mengunjungi restoran dan kedatangannya segera disambut oleh karyawan yang bertugas menyambut pengunjung. Dia sudah tahu kali ini restoran mendapatkan kunjungan dari putranya Hendri. Lelaki ini menyapa santun, tetapi Satria hanya tersenyum kecil dan terkesan angkuh karena tidak memiliki niat berada di sini. Pun, orang yang bertanggungjawab pada restoran segera menyambut kedatangan Satria, "Selamat siang, Tuan." Sikapnya sangat ramah, tetapi lagi-lagi Satria menunjukan sikap berbeda. "Apa yang harus saya lakukan disini?" Satria tidak berbasa-basi. Pria bernama Galih tersenyum ramah saat melihat reaksi Satria yang langsung masuk ke inti tujuan. "Saya akan menjelaskan di dalam ruangan." Jadi, kini Satria dan Galih duduk berhadapan. Namun, segera lelaki ini terkejut setelah mendengarkan sedikit penjelasan yang diberikan Galih. "Tidak mungkin papa menempatkan saya di bagian writer!""Tuan Satria adalah owner di restoran ini, tetapi Tuan harus mengerti cara kerja di sini, d
Satria tersenyum acuh tak acuh mendengar pertanyaan dari Isabella. "Memangnya kenapa? Kamu juga menikmatinya, kan.""Kita tidak bisa seperti ini ...." Sepasang manik mata Isabella masih berkaca-kaca bahkan sekarang air matanya hampir menetes."Jangan munafik. Saya memberikan kepuasan pada kamu. Seharusnya itu sudah cukup." Lagi, tatapan Satria meremehkan Isabella. "Isi berumah tangga bukan seperti itu." Satria menyunggingkan setengah bibirnya, tersenyum meremehkan. "Kemarin kamu memang masih perawan. Saya berterimakasih karena saya tidak menikahi sampah. Tapi seharusnya kamu jujur saja, kalau saya bisa memuaskan kamu, jadi seharusnya tidak ada masalah."Isabella semakin bersedih, tetapi justru kesedihannya memberinya kekuatan. "Jangan sentuh saya!" Segera, tatapan Satria berubah heran. "Saya suami kamu dan sejak kapan kamu bisa membantah?""Bukan maksud saya membantah, tapi kamu keterlaluan. Jangan melihat saya sebagai pelacur dan jangan menganggap saya rendahan seperti yang selalu
Isabella tidak mengatakan apapun karena ucapan Satria hanya mengulang argumentasi sebelumnya. Namun, sikapnya membuat Satria semakin kesal. "Kenapa mengabaikan saya? Apa kamu menganggap saya tidak ada?"Isabella menatap Satria. "Lebih baik kita menjalani propesi masing-masing dan biarkan semuanya mengalir." Suaranya sangat santun. Namun, saat ini Satria baru saja mengingat chat dari Devan. "Saya harus pergi. Katakan pada mama dan papa, saya sedang bersama pemuda karang taruna." Isabella tidak menahan kepergian Satria, lalu mengatakan pesan suaminya saat dia menghampiri kedua mertuanya di ruang keluarga. Haris dan Mia tidak curiga sama sekali karena memang Satria cukup aktif di karang taruna. Saat ini Satria sedang menuju markas gengnya. Hatinya merasa lebih senang dan tenang setelah meninggalkan rumah. "Sekarang rumah menjadi tempat masalah. Padahal dari awal saya sudah banyak masalah sama papa, tapi adanya Isabella semakin menambah masalah. Ck!"Sebelum meninggalkan daerah, Satria
Hari ini Satria tidak segera mengunjungi restoran karena dia segera datang ke rumah sakit untuk mencari Isabella. "Maaf, perawat Isabella ditempatkan di mana, di bagian apa dan sekarang dia di mana?" Dia menanyai perawat yang kebetulan berpapasan.Jadi, akhirnya Satria menemukan Isabella yang sedang menenteng nampan berisi obat-obatan. Tanpa basa-basi, Satria meraih lengan Isabella dari belakang hingga hampir saja obat-obatan itu terjatuh."Satria?" Isabella baru saja menyadari kehadiran suaminya saat berbalik, saat kagetnya belum hilang."Saya mau bicara!""Ta-tapi ... saya harus mengantar obat pada pasien ...." Selain kaget dengan kedatangan Satria, Isabella juga khawatir tindakan Satria dianggap membahayakan karena di atas mereka terdapat CCTV.Satria menatap mata Isabella menggunakan tatapan yang sangat tajam. "Apa yang kamu katakan pada Naura? Hari ini dia menghindari