Beranda / Pernikahan / Bukan Istri Yang Diinginkan Tuan Muda / Bab 5. Menjaga Aib Suami adalah Salah Satu Kewajiban Istri

Share

Bab 5. Menjaga Aib Suami adalah Salah Satu Kewajiban Istri

Saat ini tatapan Satria dan Isabella saling bertemu, keduanya tidak berhenti saling menatap hingga beberapa saat, kemudian Satria meninggalkan Isabella begitu saja. Malam ini dia kembali tidur di sofa.

Isabella merasa malam ini selamat walaupun dia yakin seharusnya tidak boleh memiliki perasaan seperti ini, tetapi karena keadaan mereka sedang rumit, Isabella pikir jika malam pertama mereka terjadi malam ini, itu sama sekali bukan hal baik.

Isabella menyodorkan selimut ke arah Satria yang sedang bermain handphone, tetapi dia sempat melihat layar handphone milik Satria yang isinya foto Naura. Hatinya sakit, tetapi ini kenyataan yang sejak awal dia ketahui. “Pakai selimut untuk menjaga kesehatan, cuaca sedang dingin.” Suaranya masih lembut dan santun.

“Simpan saja.” Suara datar dan dingin Satria yang sudah mematikan layar handphonenya.

“Kamu bisa tidur di kasur,” tawaran Isabella, tetapi bukan berarti dia murahan seperti yang dipikirkan Satria. Wanita ini hanya tidak ingin Satria kedinginan dan tubuhnya sakit karena tidur meringkuk.

Satria tidak menyahut, dia segera meraih selimut yang masih berada di tangan Isabella kemudian memejamkan mata.

Isabella tidak mengatakan apapun lagi. Dia segera menuju tempat tidur, tetapi tatapannya sibuk memandangi Satria. ‘Saya tahu kamu tidak mungkin menerima saya dan pernikahan kita karena saya juga merasakannya. Tapi saya masih bisa menjaga perasaan kamu, tidak seperti kamu yang tidak pernah peduli pada perasaan saya ....’

Malam ini Isabella dan Satria tetap tidur terpisah, tetapi saat tengah malam Satria memutuskan pindah ke atas tempat tidur yang nyaman dan hangat karena hujan di luar sangat deras maka udara berubah sangat dingin.

Isabella mampu merasakan kedatangan Satria lewat tempat tidur yang berguncang, tetapi dia berpura-pura terlelap.

Saat ini tubuh Satria meringkuk menghadap pada Isabella yang tertidur terlentang. Dia memandangi istrinya tanpa makna dan hanya terdapat kebencian dalam bola matanya.

Pada pagi harinya, Isabella menyelesaikan shalat subuh seperti kemarin, tapi dia tidak pernah berani membangunkan Satria. Namun, pada pukul tujuh pagi Isabella mengguncang pelan bahu suaminya. “Mama sama papa sudah menunggu di bawah.”

Satria membuka kelopak matanya sangat malas, tetapi dia tetap mendudukan dirinya lalu meninggalkan sofa karena sebenarnya Satria sudah terbangun sebelum subuh, tetapi hanya untuk kembali meringkuk di sofa. Tidak ada kata apapun yang keluar dari mulutnya hingga dia meninggalkan kamar setelah mencuci wajahnya.

Isabella mendesah, dia harus tetap sabar menghadapi sikap suaminya. “Kami menikah karena papanya Satria menuduh kami berzina. Tapi mungkin beberapa bulan ke depan akhirnya orangtua kami percaya bahwa kami tidak berzina. Walaupun hal itu tidak bisa membuat kami berpisah, tapi setidaknya mama dan papa tidak akan kecewa lagi.” Selimut yang dipakai Satria dirapikan, disimpan ke tempat semula.

Saat ini Mia menyapa menantunya, “Sayang, sedang apa ....” Suaranya sangat lembut senada dengan langkahnya kala masuk ke dalam kamar putranya.

“Selamat pagi, Ma.” Isabella segera menyematkan senyuman seiring berbalik ke arah mertuanya. “Abel belum selesai merapikan kamar.”

Mia tersenyum lembut. “Mama sudah menyiapkan sarapan. Mari sarapan bersama ....”

“Iya. Tapi ... maaf, Abel tidak membantu di dapur. Selesai shalat subuh, Abel mempelajari materi kebidanan.” Terdapat penyesalan dan rasa malu dalam wajahnya.

Mia masih tersenyum lembut. “Tidak apa-apa. Ada bibi di dapur.” Mia memandangi menantunya sangat lembut dan bermakna dalam. “Mama sudah mendengar dari papa tentang pembicaraan kalian kemarin. Mama minta maaf mewakili Satria dan mama berterimakasih karena kamu bersedia menjaga aib Satria dari orangtua kamu.”

Isabella tersenyum kecil, tetapi sangat santun. “Itu salah satu kewajiban Abel sebagai istrinya Satria.”

“Mama tahu kamu dapat menyikapinya dengan cara dewasa. Tapi jangan sungkan mengatakan perasaan kamu pada mama dan papa. Jika Abel tidak nyaman atau mungkin tidak sengaja Satria menyakiti hati Abel, bicaralah pada kami. Kami tidak bermaksud mencampuri rumah tangga kalian, tapi kami sangat mengerti sikap dan sifat Satria. Jangan dipendam sendiri ya, Sayang ....” Bukan hanya kalimat lembut, tetapi Mia memeluk menantunya sebagai salah satu caranya menunjukan kasih sayang.

Saat ini Isabella mulai membuang perasaan kesepian yang kemarin memeluknya, tetapi Isabella tidak akan mengadukan apapun yang didapatkannya dari suaminya walaupun perih sekalipun dan walaupun Mia sudah menyiapkan ruang dan waktu untuknya. Isabella tidak ingin memberikan beban pikiran pada mertuanya.

Pelukan Mia sudah dilepaskan, tetapi tatapannya tetap menggambarkan kasih sayangnya pada Isabella. “Kamu wanita hebat, kamu punya karier cemerlang. Mama dan papa bangga memiliki kamu sebagai menantu.” Senyuman dan kalimatnya sangat tulus.

“Terimakasih, Ma.” Isabella tersenyum senang dan merasa nyaman bersama Mia.

Mia mendesah kecil, kemudian kembali berkata seiring menatap menantunya, tatapan penyesalan, kecewa dan sendu. “Kalian menikah karena kami melihat kalian melakukan posisi insten. Mama dan papa minta maaf jika ternyata kami salah paham dan berakhir memitnah kalian, terutama mama dan papa meminta maaf pada kamu.”

Isabella tersenyum kecil tanpa memberikan jawaban apapun karena rasa kecewa dan sakit hati yang didapatkannya terlalu dalam, fitnah yang didapatkannya terlalu mengerikan.

Kini, mereka sarapan bersama. Pagi ini tidak seperti pagi kemarin, Haris memiliki lebih banyak waktu dengan keluarganya. “Nak, pergilah bersama istrimu. Antar Abel ke rumah sakit,” titahnya pada Satria menggunakan nada suara biasa saja walaupun pria ini masih ingin meluapkan amarahnya karena kejadian kemarin.

“Satria buru-buru. Hari ini ada jadwal tambahan di kampus.” Pun, suaranya terdengar biasanya saja, tetapi Isabella sangat mengerti maksudnya.

Haris mengalihkan tatapan pada menantunya. “Pukul berapa Abel pergi?”

“Pukul delapan, Pa.” Sikap santun Isabella tetap dipakai walaupun atmosfer dirinya dan Satria sangat dingin.

Tatapan Haris kembali mengarah pada Satria. “Ajak Abel, tapi jangan kebut-kebutan. Kampus dan rumah sakit satu arah ....”

Satria belum menjawab karena Isabella yang segera berkata walau bukan maksudnya menyela, tapi dia tahu Satria tidak akan melakukan permintaan ayahnya dan andaipun dilakukan mungkin kejadian kemarin akan terulang. Isabella tidak ingin nyawanya kembali di ujung tanduk. “Tidak apa-apa. Abel tidak ingin mengganggu jadwal Satria. Abel bisa naik bus bersama teman-teman perawat, kami biasa membuat janji,” kekeh ditambahkan walaupun ini hanya sebagai pemanis.

Haris dan Mia tidak mengkritik keputusan Isabella, hanya saja mereka dapat menebak jika hubungan putra dan menantunya sedang sangat buruk. “Papa yang akan antar Abel, kebetulan hari ini papa pergi pukul delapan.” Senyuman lembut Haris.

‘Jadi hari ini kamu menyelamatkan diri? Tapi lihat saja nanti apa kamu masih bisa menyelamatkan diri? Intinya, aku akan membuat kamu tidak betah dengan pernikahan kita dan kamu sendiri yang meminta bercerai.’ Satria menyeringai licik.

Bersambung ....

Desti Angraeni

Jangan lupa follow sosmedku di ig _destiangraeni, ya!

| 3

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status