Tiba jam makan malam, tentu saja Haris bertanya di mana putranya, jadi Mia mengatakan jika Satria akan terlambat pulang karena memiliki banyak tugas kuliah. Kalimat ini dikatakan karena Mia masih berharap malam ini Satria pulang walau Isabella sudah mengatakan jika putranya tidak akan pulang.
“Papa ingin membahas pekerjaan dengan Satria karena sekarang Satria sudah memiliki tanggungjawab pada Abel.” Pria ini belum menyuap menu karena menantunya belum menyusul ke ruang makan.
“Pekerjaan apa?” Mia menyajikan teh hangat untuk suaminya.
“Papa akan menjadikan Satria sebagai manager. Tapi, itupun jika anak itu bisa dibimbing.” Teh diseruput saat hatinya banyak meragukan putranya yang pembangkang dan tidak bisa dinasihati.
“Manager perusahaan?” heran Mia yang juga meragukan Satria.
“Restoran. Biarkan Satria memegang cabang restoran yang baru buka, itu bisa dijadikan tempat yang pas untuk dia belajar bisnis.” Suara santai Haris.
“Yang mama tahu, papa sudah menempatan penanggung jawab di sana.” Masih heran Mia.
“Ya, dia bertugas memegang restoran sekalian mengajari Satria. Jika Satria dirasa siap maka biarkan Satria yang menjadi owner cabang restoran kita,” kekeh Haris penuh harapan pada putranya walaupun mungkin lebih banyak harapan kosong.
Mia mendesah. “Mama tidak yakin. Mama minta maaf jika mama meragukan Satria-putra kita ....”
Haris tersenyum lembut. “Mama memiliki pemikiran yang sama dengan papa, tapi sebagai orangtua kita tidak bisa menyerah mengarahkan masa depan Satria. Bagaimanapun caranya dan rintangannya kita harus bertanggungjawab pada semua hal dan hak Satria sebagai putra kita.”
Kalimat Haris membuat Mia merasa sedikit tenang saat hatinya selalu mengatakan jika Satria adalah putra mereka yang memiliki ego tinggi dan kepala batu. Namun, orangtua memang tidak dapat mengabaikan anaknya bagaimanapun sifat dan sikap buruk Satria.
Isabella berdiri di balik dinding, bukan maksudnya menguping hanya saja tanpa sengaja pembicaraan mertuanya terdengar. Kini, Isabella muncul. “Selamat malam, Pa, Ma ....” Senyumannya santun dan manis.
“Kami sudah menunggu,” sambutan hangat Mia.
“Abel harus menyelesaikan tugas materi dari rumah sakit karena Abel masih magang jadi banyak sekali yang harus Abel pelajari. Maaf, jadi membuat Papa dan Mama menunggu,” kekeh kecilnya juga sangat santun.
Haris menyahut hangat, “Tidak apa, Nak. Raih cita-cita kamu.” Kalimat ini tidak pernah disampaikan pada Satria karena putranya tidak pernah berusaha menggapai cita-cita dan dia tidak pernah melihat Satria memiliki keinginan khusus seperti yang dilakukan menantunya.
Di sisi lain, Satria sedang mengendarai motornya menuju lokasi yang dijanjikan bersama geng musuh. Rombongan motor gede menyapu jalanan sepi karena mereka tidak ingin tersandung kasus dengan polisi.
Saat ini yang ada dalam kepala Satria hanya mengalahkan musuh, tidak terlintas wajah orangtuanya apalagi wajah Isabella.
Tengah malam tiba, Isabella sudah selesai mempelajari materi tambahan yang didapatkannya lewat internet, tetapi hingga jam menunjukan pukul satu, Satria masih belum kembali. “Apa Satria memang tidak akan pulang? Kasihan papa, saya masih mendengar papa mondar-mandir.”
Isabella ingin mengatakan pada Haris jika Satria sudah mengirimkan chat, dia sudah mengatakan malam ini tidak akan pulang bahkan Mia sudah tahu, tetapi dia berpikir jika mungkin Haris memang sudah tahu, tetapi masih berharap putranya pulang. Maka, Isabella segera terlelap setelah tubuhnya sudah sangat lelah.
Namun, sebelum subuh Isabella mendengar bentakan Haris pada Satria. “Kapan kamu berubah? Jangankan mengangkat derajat keluarga, berubah menjadi lebih baik saja tidak bisa. Apa yang ada di kepala kamu!”
“Satria banyak tugas kuliah.” Namun, bentakan Haris dibalas suara terjaga Satria.
“Kamu pikir papa tidak tahu kamu kemana!”
“Satria di kampus.” Suaranya masih terjaga dan terkesan santun.
“Minta maaf pada Abel!” Haris menyudahi argumentasi dengan putranya, kemudian duduk di sofa, mencoba menenangkan diri.
Lalu, Satria membuka pintu kamar. Dia segera bertatapan dengan Isabella, tetapi tatapannya tidak bersahabat. “Apa yang kamu katakan?” desisnya.
“Mengatakan sesuai permintaan kamu ....” Isabella selalu takut mendapatkan tatapan mengerikan dari Satria.
Jaket kulit dibuka oleh Satria, maka Isabella dapat melihat luka dengan darah yang sudah mengering. Dia berkata perlahan dan tetap santun, “Saya mendengar pembicaraan kamu dan papa. Papa tidak akan bisa dibohongi karena luka sayatan di tangan kamu membuat jaket kamu sobek.”
Satria mengabaikan lukanya sekalian mengabaikan ucapan Isabella. Dia meraih kotak P3K yang tersedia di dalam kamar karena semenjak menikah dengan Isabella, maka beberapa pengobatan darurat disediakan oleh istrinya.
Isabella tidak diam, dia menghampiri Satria dan bergegas membantu merawat luka suaminya. Saat ini Satria tidak menolak, tetapi dia tidak pernah menatap Isabella.
Beberapa menit kemudian, Isabella baru saja berkata, “Lukanya cukup dalam, pasti awalnya ada banyak darah yang keluar. Tapi kamu tenang saja, luka seperti ini masih bisa ditangani dengan perawatan rumahan.” Tatapannya mengarah pada Satria yang sedang memalingkan wajahnya, kemudian laki-laki ini masuk ke dalam kamar mandi.
Isabella memiliki perasaan tulus mengkhawatirkan Satria walaupun dia hanya menerima perlakuan buruk dari suaminya.
Tidak lama Satria di dalam kamar mandi, dia hanya membersihkan wajah dan rambutnya, kemudian berbaring di tempat tidur karena tidak ingin menambah rumit masalah jika tanpa sengaja orangtuanya melihatnya tidur di sofa.
“Sebentar lagi waktu subuh.” Isabella mengingatkan menggunakan suara lembut dan santun, tetapi Satria segera menutup matanya menggunakan satu lengannya yang dipenuhi tatto dan berotot padat.
Adzan berkumandang, Isabella segera mengambil air wudhu kemudian melirik Satria yang tidak bergeming. Namun, sebelum alat shalat digunakan. Satria berkata, “Apa yang akan kamu lakukan saat saya menginginkan tubuh kamu. Sekarang.”
Bersambung ....
Isabella menoleh santun bersama senyuman ke arah Satria. “Saya akan mengabulkan keinginan kamu, tapi sebelumnya saya meminta izin untuk shalat subuh terlebih dahulu.”“Sekarang!” Senyuman Satria terlihat cabul, tetapi matanya menyiratkan niat licik.Isabella menyimpan kembali alat shalat yang siap digunakan, kemudian naik ke atas tempat tidur, berbaring canggung di sisi Satria.Satria tersenyum meremehkan, kemudian tubuhnya miring ke arah Isabella. “Jadi, melayani suami kamu lebih penting dibandingkan beribadah pada Tuhan kamu?”Isabella menatap mata Satria yang lagi-lagi seolah sedang merendahkannya. “Saya ingin melakukan ibadah wajib, sholat subuh, tapi melayani kamu juga kewajiban.”Tangan kanan Satria yang dingin mulai mengelus garis bibir Isabella, tatapannya hanya tertuju pada bibir yang membuatnya bergairah walaupun hatinya untuk Naura, tetapi Isabella siap memberikan tubuhnya walaupun tidak ada cinta di antara mereka. Wajahnya mendekat perlahan dan mulai melakukan penyatuan bi
Satria melanjutkan aktivitas panasnya yang sempat terganggu, bahkan sekarang dia mulai menindih tubuh Isabella hingga posisi seperti ini semakin membuat gairahnya membuncai. Satria bersikap sebagaimana seorang suami yang sedang menikmati tubuh istrinya walaupun hatinya tetap diisi oleh Naura, sedangkan Isabella merasa terluka, luka yang tidak dapat dijelaskan.Kini, keperawanannya sudah diambil oleh Satria, tetapi Isabella menangis membatin. “Kenapa? Kita adalah pasangan suami dan istri ....” Dia sesenggukan di dalam kamar mandi.Pada pukul delapan pagi, Satria mengantar Isabella ke rumah sakit karena permintaan Haris dan Mia. Tetapi kali ini dia mempedulikan keselamatan Isabella, jadi tidak ada kebut-kebutan di jalanan. Namun, tujuannya bukan ingin melindungi Isabella, tetapi karena dia membutuhkan tubuh istrinya.Satria tiba di kampus dengan wajah ceria karena untuk kedua kalinya dia mendapatkan kesempatan berbicara lebih banyak dengan Naura. “Saya membawa gantungan kunci dari kamu.
Satria segera mengunjungi restoran dan kedatangannya segera disambut oleh karyawan yang bertugas menyambut pengunjung. Dia sudah tahu kali ini restoran mendapatkan kunjungan dari putranya Hendri. Lelaki ini menyapa santun, tetapi Satria hanya tersenyum kecil dan terkesan angkuh karena tidak memiliki niat berada di sini. Pun, orang yang bertanggungjawab pada restoran segera menyambut kedatangan Satria, "Selamat siang, Tuan." Sikapnya sangat ramah, tetapi lagi-lagi Satria menunjukan sikap berbeda. "Apa yang harus saya lakukan disini?" Satria tidak berbasa-basi. Pria bernama Galih tersenyum ramah saat melihat reaksi Satria yang langsung masuk ke inti tujuan. "Saya akan menjelaskan di dalam ruangan." Jadi, kini Satria dan Galih duduk berhadapan. Namun, segera lelaki ini terkejut setelah mendengarkan sedikit penjelasan yang diberikan Galih. "Tidak mungkin papa menempatkan saya di bagian writer!""Tuan Satria adalah owner di restoran ini, tetapi Tuan harus mengerti cara kerja di sini, d
Satria tersenyum acuh tak acuh mendengar pertanyaan dari Isabella. "Memangnya kenapa? Kamu juga menikmatinya, kan.""Kita tidak bisa seperti ini ...." Sepasang manik mata Isabella masih berkaca-kaca bahkan sekarang air matanya hampir menetes."Jangan munafik. Saya memberikan kepuasan pada kamu. Seharusnya itu sudah cukup." Lagi, tatapan Satria meremehkan Isabella. "Isi berumah tangga bukan seperti itu." Satria menyunggingkan setengah bibirnya, tersenyum meremehkan. "Kemarin kamu memang masih perawan. Saya berterimakasih karena saya tidak menikahi sampah. Tapi seharusnya kamu jujur saja, kalau saya bisa memuaskan kamu, jadi seharusnya tidak ada masalah."Isabella semakin bersedih, tetapi justru kesedihannya memberinya kekuatan. "Jangan sentuh saya!" Segera, tatapan Satria berubah heran. "Saya suami kamu dan sejak kapan kamu bisa membantah?""Bukan maksud saya membantah, tapi kamu keterlaluan. Jangan melihat saya sebagai pelacur dan jangan menganggap saya rendahan seperti yang selalu
Isabella tidak mengatakan apapun karena ucapan Satria hanya mengulang argumentasi sebelumnya. Namun, sikapnya membuat Satria semakin kesal. "Kenapa mengabaikan saya? Apa kamu menganggap saya tidak ada?"Isabella menatap Satria. "Lebih baik kita menjalani propesi masing-masing dan biarkan semuanya mengalir." Suaranya sangat santun. Namun, saat ini Satria baru saja mengingat chat dari Devan. "Saya harus pergi. Katakan pada mama dan papa, saya sedang bersama pemuda karang taruna." Isabella tidak menahan kepergian Satria, lalu mengatakan pesan suaminya saat dia menghampiri kedua mertuanya di ruang keluarga. Haris dan Mia tidak curiga sama sekali karena memang Satria cukup aktif di karang taruna. Saat ini Satria sedang menuju markas gengnya. Hatinya merasa lebih senang dan tenang setelah meninggalkan rumah. "Sekarang rumah menjadi tempat masalah. Padahal dari awal saya sudah banyak masalah sama papa, tapi adanya Isabella semakin menambah masalah. Ck!"Sebelum meninggalkan daerah, Satria
Hari ini Satria tidak segera mengunjungi restoran karena dia segera datang ke rumah sakit untuk mencari Isabella. "Maaf, perawat Isabella ditempatkan di mana, di bagian apa dan sekarang dia di mana?" Dia menanyai perawat yang kebetulan berpapasan.Jadi, akhirnya Satria menemukan Isabella yang sedang menenteng nampan berisi obat-obatan. Tanpa basa-basi, Satria meraih lengan Isabella dari belakang hingga hampir saja obat-obatan itu terjatuh."Satria?" Isabella baru saja menyadari kehadiran suaminya saat berbalik, saat kagetnya belum hilang."Saya mau bicara!""Ta-tapi ... saya harus mengantar obat pada pasien ...." Selain kaget dengan kedatangan Satria, Isabella juga khawatir tindakan Satria dianggap membahayakan karena di atas mereka terdapat CCTV.Satria menatap mata Isabella menggunakan tatapan yang sangat tajam. "Apa yang kamu katakan pada Naura? Hari ini dia menghindari
Satria kembali ke rumah, tetapi kali ini dia segera mencari Isabella. "Abel sudah pulang?" pertanyaan segera dilontarkan pada ibunya yang sedang menyiram tanaman di halaman."Sudah, baru saja. Kenapa tidak menjemput Abel?" Banyak perasaan bahagia dalam hati Mia karena putra dan menantunya sangat harmonis, bahkan seolah Satria tidak tahan setelah tidak melihat Isabella hampir seharian."Satria tidak tahu jadwal Abel." Senyuman lebar Satria.Namun, Mia mengatakan hal hangat alih-alih menasihati, "Papa baru saja mengatakan pencapaian kamu di restoran. Terimakasih sudah membanggakan kami dan terimakasih karena kamu dan Isabella hidup sangat harmonis." Senyumannya sangat lembut dan tatapannya hanya menggambarkan perasaan bangga.Kali ini Satria tersenyum kecil karena yang dilihat Mia dan Haris hanya kepalsuan jadi sedikitnya dia merasa bersalaha hanya saja tidak mungkin mengatakan yang s
Satria kembali pukul tiga pagi, hanya saja karena perintahnya pada Isabella, sialnya Satria tidak bisa membuka pintu kamar karena terkunci dari dalam. Jadi, terpaksa dia berbaring di sofa dengan tv menyala hingga menciptakan alasan seolah tanpa sengaja dia tertidur saat menyaksikan acara televisi. Maka, saat subuh menjelang Mia menemukan putranya tertidur di sofa. "Sejak kapan kamu menonton tv malam-malam," teguran sayangnya pada Satria yang terlelap, kemudian mengguncang pelan tubuh Satria hingga terbangun dengan mata merah. "Sudah mau subuh, cepat ke kamar, shalat bersama Abel ... atau kalian juga bisa berjamaah dengan mama dan papa di musola.""Sebentar lagi, Ma ...." Satria meninggikan selimut yang sejak awal ada di atas sofa untuk menutupi celana jeans yang dipakainya, sedangkan jaket kulitnya disembunyikan di bawah punggung. "Jangan lupa pindah ...." Senyuman hangat Mia kemudian menyalakan semua lampu besar di semua ruangan. Ini dijadikan kesempatan oleh Satria untuk segera ma