Share

Bab 7. Saya Menginginkan Tubuh Kamu. Sekarang!

Tiba jam makan malam, tentu saja Haris bertanya di mana putranya, jadi Mia mengatakan jika Satria akan terlambat pulang karena memiliki banyak tugas kuliah. Kalimat ini dikatakan karena Mia masih berharap malam ini Satria pulang walau Isabella sudah mengatakan jika putranya tidak akan pulang.

“Papa ingin membahas pekerjaan dengan Satria karena sekarang Satria sudah memiliki tanggungjawab pada Abel.” Pria ini belum menyuap menu karena menantunya belum menyusul ke ruang makan.

“Pekerjaan apa?” Mia menyajikan teh hangat untuk suaminya.

“Papa akan menjadikan Satria sebagai manager. Tapi, itupun jika anak itu bisa dibimbing.” Teh diseruput saat hatinya banyak meragukan putranya yang pembangkang dan tidak bisa dinasihati.

“Manager perusahaan?” heran Mia yang juga meragukan Satria.

“Restoran. Biarkan Satria memegang cabang restoran yang baru buka, itu bisa dijadikan tempat yang pas untuk dia belajar bisnis.” Suara santai Haris.

“Yang mama tahu, papa sudah menempatan penanggung jawab di sana.” Masih heran Mia.

“Ya, dia bertugas memegang restoran sekalian mengajari Satria. Jika Satria dirasa siap maka biarkan Satria yang menjadi owner cabang restoran kita,” kekeh Haris penuh harapan pada putranya walaupun mungkin lebih banyak harapan kosong.

Mia mendesah. “Mama tidak yakin. Mama minta maaf jika mama meragukan Satria-putra kita ....”

Haris tersenyum lembut. “Mama memiliki pemikiran yang sama dengan papa, tapi sebagai orangtua kita tidak bisa menyerah mengarahkan masa depan Satria. Bagaimanapun caranya dan rintangannya kita harus bertanggungjawab pada semua hal dan hak Satria sebagai putra kita.”

Kalimat Haris membuat Mia merasa sedikit tenang saat hatinya selalu mengatakan jika Satria adalah putra mereka yang memiliki ego tinggi dan kepala batu. Namun, orangtua memang tidak dapat mengabaikan anaknya bagaimanapun sifat dan sikap buruk Satria.

Isabella berdiri di balik dinding, bukan maksudnya menguping hanya saja tanpa sengaja pembicaraan mertuanya terdengar. Kini, Isabella muncul. “Selamat malam, Pa, Ma ....” Senyumannya santun dan manis.

“Kami sudah menunggu,” sambutan hangat Mia.

“Abel harus menyelesaikan tugas materi dari rumah sakit karena Abel masih magang jadi banyak sekali yang harus Abel pelajari. Maaf, jadi membuat Papa dan Mama menunggu,” kekeh kecilnya juga sangat santun.

Haris menyahut hangat, “Tidak apa, Nak. Raih cita-cita kamu.” Kalimat ini tidak pernah disampaikan pada Satria karena putranya tidak pernah berusaha menggapai cita-cita dan dia tidak pernah melihat Satria memiliki keinginan khusus seperti yang dilakukan menantunya.

Di sisi lain, Satria sedang mengendarai motornya menuju lokasi yang dijanjikan bersama geng musuh. Rombongan motor gede menyapu jalanan sepi karena mereka tidak ingin tersandung kasus dengan polisi.

Saat ini yang ada dalam kepala Satria hanya mengalahkan musuh, tidak terlintas wajah orangtuanya apalagi wajah Isabella.

Tengah malam tiba, Isabella sudah selesai mempelajari materi tambahan yang didapatkannya lewat internet, tetapi hingga jam menunjukan pukul satu, Satria masih belum kembali. “Apa Satria memang tidak akan pulang? Kasihan papa, saya masih mendengar papa mondar-mandir.”

Isabella ingin mengatakan pada Haris jika Satria sudah mengirimkan chat, dia sudah mengatakan malam ini tidak akan pulang bahkan Mia sudah tahu, tetapi dia berpikir jika mungkin Haris memang sudah tahu, tetapi masih berharap putranya pulang. Maka, Isabella segera terlelap setelah tubuhnya sudah sangat lelah.

Namun, sebelum subuh Isabella mendengar bentakan Haris pada Satria. “Kapan kamu berubah? Jangankan mengangkat derajat keluarga, berubah menjadi lebih baik saja tidak bisa. Apa yang ada di kepala kamu!”

“Satria banyak tugas kuliah.” Namun, bentakan Haris dibalas suara terjaga Satria.

“Kamu pikir papa tidak tahu kamu kemana!”

“Satria di kampus.” Suaranya masih terjaga dan terkesan santun.

“Minta maaf pada Abel!” Haris menyudahi argumentasi dengan putranya, kemudian duduk di sofa, mencoba menenangkan diri.

Lalu, Satria membuka pintu kamar. Dia segera bertatapan dengan Isabella, tetapi tatapannya tidak bersahabat. “Apa yang kamu katakan?” desisnya.

“Mengatakan sesuai permintaan kamu ....” Isabella selalu takut mendapatkan tatapan mengerikan dari Satria.

Jaket kulit dibuka oleh Satria, maka Isabella dapat melihat luka dengan darah yang sudah mengering. Dia berkata perlahan dan tetap santun, “Saya mendengar pembicaraan kamu dan papa. Papa tidak akan bisa dibohongi karena luka sayatan di tangan kamu membuat jaket kamu sobek.”

Satria mengabaikan lukanya sekalian mengabaikan ucapan Isabella. Dia meraih kotak P3K yang tersedia di dalam kamar karena semenjak menikah dengan Isabella, maka beberapa pengobatan darurat disediakan oleh istrinya.

Isabella tidak diam, dia menghampiri Satria dan bergegas membantu merawat luka suaminya. Saat ini Satria tidak menolak, tetapi dia tidak pernah menatap Isabella.

Beberapa menit kemudian, Isabella baru saja berkata, “Lukanya cukup dalam, pasti awalnya ada banyak darah yang keluar. Tapi kamu tenang saja, luka seperti ini masih bisa ditangani dengan perawatan rumahan.” Tatapannya mengarah pada Satria yang sedang memalingkan wajahnya, kemudian laki-laki ini masuk ke dalam kamar mandi.

Isabella memiliki perasaan tulus mengkhawatirkan Satria walaupun dia hanya menerima perlakuan buruk dari suaminya.

Tidak lama Satria di dalam kamar mandi, dia hanya membersihkan wajah dan rambutnya, kemudian berbaring di tempat tidur karena tidak ingin menambah rumit masalah jika tanpa sengaja orangtuanya melihatnya tidur di sofa.

“Sebentar lagi waktu subuh.” Isabella mengingatkan menggunakan suara lembut dan santun, tetapi Satria segera menutup matanya menggunakan satu lengannya yang dipenuhi tatto dan berotot padat.

Adzan berkumandang, Isabella segera mengambil air wudhu kemudian melirik Satria yang tidak bergeming. Namun, sebelum alat shalat digunakan. Satria berkata, “Apa yang akan kamu lakukan saat saya menginginkan tubuh kamu. Sekarang.”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status