Share

Bab 6. Lebih Baik Tidur di Jalanan Dibandingkan Satu Kamar Sama Kamu!

Satria tiba di kampus, tetapi kali ini orang pertama yang ditemuinya adalah kawan satu gengnya-Devan. “Kemarin hujan besar, saya juga tidak bisa keluar malam,” ucapnya pada Devan yang memiliki penampilan sama. Lak-laki ini memiliki tatto yang tersembunyi di balik jaketnya.

“Kemana kamu beberapa hari ini? Sekarang setiap malam kamu tidak di markas.” Rokok dihisap kala mereka masih berada di luar kampus.

“Ada hal yang membuat saya tidak bisa keluar. Ck!” Itu adalah Isabella. Pernikahan mereka membuatnya terkekang walaupun Isabella tidak melarangnya keluar, tapi orangtuanya yang akan melarang.

“Malam ini ada balapan.”

“Ya.” Satria tidak tahan berada di rumah. Apalagi kini dia satu kamar dengan Isabella.

“Kamu harus datang karena musuh kita bertambah. Mereka berniat membalas!”

“Ck, padahal balapan kemarin-kemarin membuat kaki saya cedera!” Hatinya melanjutkan dengan sangat kesal. ‘Dan berakhir menikah dengan Isabella.’

Devan tersenyum kecut. “Apapun yang terjadi kamu harus datang. Kita tidak boleh kalah!”

Di tengah-tengah obrolan, Naura baru saja keluar dari mobil. Gadis itu melambai ke arah ayahnya yang berada di dalam mobil, kemudian berlalu. Maka, Satria segera menghampiri. “Pagi, Naura ....” Senyumannya sangat ramah.

“Eh, Satria.” Naura balik menyapa, tetapi terkesan kaku.

“Dianter sama siapa?” Basa-basi Satria untuk memperpanjang obrolan.

“Sama papa. Eu ... saya duluan karena ....” Belum selesai Naura berkata, Satia memotong.

“Sorry. Tapi saya bisa antar kamu. Mau kemana?” Senyumannya masih ramah.

“Saya mau ke toilet!” celetuk Naura untuk menghindari Satria. Maka, kali ini Satria yang bersikap kaku. Dia menggaruk kepala tidak gatal.

“Ya sudah ....”

Naura berjalan mendahului, tetapi Satria tetap mengikuti walaupun jarak antara mereka cukup jauh. Ternyata Naura segera masuk ke dalam kelas. Maka, Satria pikir dia masih memiliki kesempatan mendekati gadis itu walaupun Naura berbohong padanya.

Satria duduk di belakang Naura. “Saya masih menyimpan kenang-kenangan terakhir dari kamu.”

Naura sedikit mengerjap, kemudian menoleh ke arah Satria. “Gantungan kunci?”

“Ya. Ada di rumah.” Senyuman Satria melengkung bahagia karena akhirnya memiliki kesempatan berbicara lebih banyak dengan Naura.

“Tapi ... gantungan kunci dari kamu sudah tidak ada,” aku Naura dengan wajah sedikit menyesal.

Satria segera berpindah tempat duduk ke sisi Naura. “Tidak apa. Lagian itu zaman kita SD, umur kita masih sekitar dua belas tahun. Wajar sudah hilang.” Wajahnya dipenuhi kebahagiaan.

Naura tidak lantas menyahut, gadis ini sempat sedikit menggeser kursi untuk menjaga jarak dengan Satria.

“Tidak usah canggung. Kita bukan baru kenal,” kekeh Satria.

“Tapi kamu sudah menikah.” Naura bukan gadis berhijab seperti Isabella, tetapi dia gadis baik-baik dan lugu, semua orang di daerahnya sangat mengenal Naura.

Satria segera memperhatikan persekitaran mereka. “Kalau bisa sih, jangan dibahas di sini karena cuma kamu yang tahu.”

Naura mengeryitkan dahinya heran. “Harusnya kamu membiarkan teman-teman kita tahu, kan.”

“Teman yang mana. Ini kampus, bukan SMA. Mereka mana peduli pada kabar terkini. Wkwk.” Saat ini Satria mulai berani berkelakar dengan Naura karena merasa diberi kesempatan.

“Tentang pertemanan kita dulu ..., saya memang sangat nyaman bersahabat sama kamu, tapi sekarang kita tidak bisa bersahabat seperti dulu karena kamu sudah menikah.”

Segera, embusan udara kecewa dibuang Satria. ‘Sebelum saya menikah, kamu sudah menghindari saya. Padahal alasan saya kembali ke kota ini karena kamu.’ Dia berkata, “Kita masih bisa bersahabat.”

“Tidak bisa ..., bagaimana istri kamu? Dia akan cemburu!” Naura semakin menjaga jarak dengan Satria, dia semakin menggeser kursi walau hanya beberapa senti meter.

“Dia tidak di sini, kan,” kekeh kosong Satria yang dibuat biasa saja.

Naura berhenti memandangi Satria bahkan dia enggan melakukan kontak mata. “Sebentar lagi dosen datang. Tempat itu akan ditempati oleh teman saya.”

Satria tersenyum getir, kemudian memandangi Naura yang sudah berhenti memandangnya. Tidak ada kata apapun, tapi tangan kanannya segera menarik kursi yang diduduki Naura hingga tempat duduk gadis itu segera kembali ke tempat semula. Naura kaget, tetapi belum sempat diungkapkan Satria berkata, “Jangan digeser terus. Jadi tidak pas dan barisannya kelihatan berantakan.” Dia tersenyum, lalu pindah ke bangku paling belakang.

Naura sempat melihat punggung Satria yang menjauh, tetapi kemudian kembali mengarahkan tatapannya ke depan dengan gugup.

Seusai materi, Satria mengirimkan chat pada Isabella. [Hari ini saya tidak akan pulang. Katakan pada mama dan papa saya banyak tugas kuliah!]

Isabella segera membaca chat dari Satria karena ini adalah jam makan siangnya, tetapi dia tidak membalas. “Pasti Satria sengaja menghindar.”

Jadi, saat sore hari Mia sudah mendengar kabar dari menantunya tentang putranya. “Seharusnya sesibuk apapun Satria tetap pulang. Biar mama yang menelepon.” Wanita ini kesal karena Satria tidak bisa membedakan kebiasaan saat bujangan dan setelah menikah.

Namun, nomor putranya tidak aktif hingga membuat Mia jengkel sekaligus khawatir karena Satria barusaja sembuh setelah mengalami cedera kaki akibat kebut-kebutan. Namun, Isabella mencoba menenangkan. “Mungkin Satria masih di kampus dan lupa cas hp karena banyak tugas.”

“Mama akan menghubungi lagi nanti ...,” cemas yang dirasakan Mia sangat nyata di atas permukaan wajahnya.

Isabella tidak bisa berbuat apapun, jadi dia menyetujui niat mertuanya lalu kembali ke kamar. “Saya tidak tahu kamu di mana, tapi saya harap kamu baik-baik saja.” Doa tulus seorang istri dipanjatkan walaupun dia tidak lupa bagaimana cara Satria memperlakukannya.

Di seberang sana, Satria sedang mempersiapkan motornya untuk balapan malam ini. “Malam ini dan malam berikutnya saya tidak akan pulang. Lebih baik tidur di jalanan dibandingkan satu kamar sama kamu!” Laki-laki ini sedang menghina bayangan Isabella.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status