Satria tiba di kampus, tetapi kali ini orang pertama yang ditemuinya adalah kawan satu gengnya-Devan. “Kemarin hujan besar, saya juga tidak bisa keluar malam,” ucapnya pada Devan yang memiliki penampilan sama. Lak-laki ini memiliki tatto yang tersembunyi di balik jaketnya.
“Kemana kamu beberapa hari ini? Sekarang setiap malam kamu tidak di markas.” Rokok dihisap kala mereka masih berada di luar kampus.
“Ada hal yang membuat saya tidak bisa keluar. Ck!” Itu adalah Isabella. Pernikahan mereka membuatnya terkekang walaupun Isabella tidak melarangnya keluar, tapi orangtuanya yang akan melarang.
“Malam ini ada balapan.”
“Ya.” Satria tidak tahan berada di rumah. Apalagi kini dia satu kamar dengan Isabella.
“Kamu harus datang karena musuh kita bertambah. Mereka berniat membalas!”
“Ck, padahal balapan kemarin-kemarin membuat kaki saya cedera!” Hatinya melanjutkan dengan sangat kesal. ‘Dan berakhir menikah dengan Isabella.’
Devan tersenyum kecut. “Apapun yang terjadi kamu harus datang. Kita tidak boleh kalah!”
Di tengah-tengah obrolan, Naura baru saja keluar dari mobil. Gadis itu melambai ke arah ayahnya yang berada di dalam mobil, kemudian berlalu. Maka, Satria segera menghampiri. “Pagi, Naura ....” Senyumannya sangat ramah.
“Eh, Satria.” Naura balik menyapa, tetapi terkesan kaku.
“Dianter sama siapa?” Basa-basi Satria untuk memperpanjang obrolan.
“Sama papa. Eu ... saya duluan karena ....” Belum selesai Naura berkata, Satia memotong.
“Sorry. Tapi saya bisa antar kamu. Mau kemana?” Senyumannya masih ramah.
“Saya mau ke toilet!” celetuk Naura untuk menghindari Satria. Maka, kali ini Satria yang bersikap kaku. Dia menggaruk kepala tidak gatal.
“Ya sudah ....”
Naura berjalan mendahului, tetapi Satria tetap mengikuti walaupun jarak antara mereka cukup jauh. Ternyata Naura segera masuk ke dalam kelas. Maka, Satria pikir dia masih memiliki kesempatan mendekati gadis itu walaupun Naura berbohong padanya.
Satria duduk di belakang Naura. “Saya masih menyimpan kenang-kenangan terakhir dari kamu.”
Naura sedikit mengerjap, kemudian menoleh ke arah Satria. “Gantungan kunci?”
“Ya. Ada di rumah.” Senyuman Satria melengkung bahagia karena akhirnya memiliki kesempatan berbicara lebih banyak dengan Naura.
“Tapi ... gantungan kunci dari kamu sudah tidak ada,” aku Naura dengan wajah sedikit menyesal.
Satria segera berpindah tempat duduk ke sisi Naura. “Tidak apa. Lagian itu zaman kita SD, umur kita masih sekitar dua belas tahun. Wajar sudah hilang.” Wajahnya dipenuhi kebahagiaan.
Naura tidak lantas menyahut, gadis ini sempat sedikit menggeser kursi untuk menjaga jarak dengan Satria.
“Tidak usah canggung. Kita bukan baru kenal,” kekeh Satria.
“Tapi kamu sudah menikah.” Naura bukan gadis berhijab seperti Isabella, tetapi dia gadis baik-baik dan lugu, semua orang di daerahnya sangat mengenal Naura.
Satria segera memperhatikan persekitaran mereka. “Kalau bisa sih, jangan dibahas di sini karena cuma kamu yang tahu.”
Naura mengeryitkan dahinya heran. “Harusnya kamu membiarkan teman-teman kita tahu, kan.”
“Teman yang mana. Ini kampus, bukan SMA. Mereka mana peduli pada kabar terkini. Wkwk.” Saat ini Satria mulai berani berkelakar dengan Naura karena merasa diberi kesempatan.
“Tentang pertemanan kita dulu ..., saya memang sangat nyaman bersahabat sama kamu, tapi sekarang kita tidak bisa bersahabat seperti dulu karena kamu sudah menikah.”
Segera, embusan udara kecewa dibuang Satria. ‘Sebelum saya menikah, kamu sudah menghindari saya. Padahal alasan saya kembali ke kota ini karena kamu.’ Dia berkata, “Kita masih bisa bersahabat.”
“Tidak bisa ..., bagaimana istri kamu? Dia akan cemburu!” Naura semakin menjaga jarak dengan Satria, dia semakin menggeser kursi walau hanya beberapa senti meter.
“Dia tidak di sini, kan,” kekeh kosong Satria yang dibuat biasa saja.
Naura berhenti memandangi Satria bahkan dia enggan melakukan kontak mata. “Sebentar lagi dosen datang. Tempat itu akan ditempati oleh teman saya.”
Satria tersenyum getir, kemudian memandangi Naura yang sudah berhenti memandangnya. Tidak ada kata apapun, tapi tangan kanannya segera menarik kursi yang diduduki Naura hingga tempat duduk gadis itu segera kembali ke tempat semula. Naura kaget, tetapi belum sempat diungkapkan Satria berkata, “Jangan digeser terus. Jadi tidak pas dan barisannya kelihatan berantakan.” Dia tersenyum, lalu pindah ke bangku paling belakang.
Naura sempat melihat punggung Satria yang menjauh, tetapi kemudian kembali mengarahkan tatapannya ke depan dengan gugup.
Seusai materi, Satria mengirimkan chat pada Isabella. [Hari ini saya tidak akan pulang. Katakan pada mama dan papa saya banyak tugas kuliah!]
Isabella segera membaca chat dari Satria karena ini adalah jam makan siangnya, tetapi dia tidak membalas. “Pasti Satria sengaja menghindar.”
Jadi, saat sore hari Mia sudah mendengar kabar dari menantunya tentang putranya. “Seharusnya sesibuk apapun Satria tetap pulang. Biar mama yang menelepon.” Wanita ini kesal karena Satria tidak bisa membedakan kebiasaan saat bujangan dan setelah menikah.
Namun, nomor putranya tidak aktif hingga membuat Mia jengkel sekaligus khawatir karena Satria barusaja sembuh setelah mengalami cedera kaki akibat kebut-kebutan. Namun, Isabella mencoba menenangkan. “Mungkin Satria masih di kampus dan lupa cas hp karena banyak tugas.”
“Mama akan menghubungi lagi nanti ...,” cemas yang dirasakan Mia sangat nyata di atas permukaan wajahnya.
Isabella tidak bisa berbuat apapun, jadi dia menyetujui niat mertuanya lalu kembali ke kamar. “Saya tidak tahu kamu di mana, tapi saya harap kamu baik-baik saja.” Doa tulus seorang istri dipanjatkan walaupun dia tidak lupa bagaimana cara Satria memperlakukannya.
Di seberang sana, Satria sedang mempersiapkan motornya untuk balapan malam ini. “Malam ini dan malam berikutnya saya tidak akan pulang. Lebih baik tidur di jalanan dibandingkan satu kamar sama kamu!” Laki-laki ini sedang menghina bayangan Isabella.
Bersambung ....
Tiba jam makan malam, tentu saja Haris bertanya di mana putranya, jadi Mia mengatakan jika Satria akan terlambat pulang karena memiliki banyak tugas kuliah. Kalimat ini dikatakan karena Mia masih berharap malam ini Satria pulang walau Isabella sudah mengatakan jika putranya tidak akan pulang.“Papa ingin membahas pekerjaan dengan Satria karena sekarang Satria sudah memiliki tanggungjawab pada Abel.” Pria ini belum menyuap menu karena menantunya belum menyusul ke ruang makan.“Pekerjaan apa?” Mia menyajikan teh hangat untuk suaminya.“Papa akan menjadikan Satria sebagai manager. Tapi, itupun jika anak itu bisa dibimbing.” Teh diseruput saat hatinya banyak meragukan putranya yang pembangkang dan tidak bisa dinasihati.“Manager perusahaan?” heran Mia yang juga meragukan Satria.“Restoran. Biarkan Satria memegang cabang restoran yang baru buka, itu bisa dijadikan tempat yang pas untuk dia belajar bisnis.” Suara santai Haris.“Yang mama tahu, papa sudah menempatan penanggung jawab di sana.
Isabella menoleh santun bersama senyuman ke arah Satria. “Saya akan mengabulkan keinginan kamu, tapi sebelumnya saya meminta izin untuk shalat subuh terlebih dahulu.”“Sekarang!” Senyuman Satria terlihat cabul, tetapi matanya menyiratkan niat licik.Isabella menyimpan kembali alat shalat yang siap digunakan, kemudian naik ke atas tempat tidur, berbaring canggung di sisi Satria.Satria tersenyum meremehkan, kemudian tubuhnya miring ke arah Isabella. “Jadi, melayani suami kamu lebih penting dibandingkan beribadah pada Tuhan kamu?”Isabella menatap mata Satria yang lagi-lagi seolah sedang merendahkannya. “Saya ingin melakukan ibadah wajib, sholat subuh, tapi melayani kamu juga kewajiban.”Tangan kanan Satria yang dingin mulai mengelus garis bibir Isabella, tatapannya hanya tertuju pada bibir yang membuatnya bergairah walaupun hatinya untuk Naura, tetapi Isabella siap memberikan tubuhnya walaupun tidak ada cinta di antara mereka. Wajahnya mendekat perlahan dan mulai melakukan penyatuan bi
Satria melanjutkan aktivitas panasnya yang sempat terganggu, bahkan sekarang dia mulai menindih tubuh Isabella hingga posisi seperti ini semakin membuat gairahnya membuncai. Satria bersikap sebagaimana seorang suami yang sedang menikmati tubuh istrinya walaupun hatinya tetap diisi oleh Naura, sedangkan Isabella merasa terluka, luka yang tidak dapat dijelaskan.Kini, keperawanannya sudah diambil oleh Satria, tetapi Isabella menangis membatin. “Kenapa? Kita adalah pasangan suami dan istri ....” Dia sesenggukan di dalam kamar mandi.Pada pukul delapan pagi, Satria mengantar Isabella ke rumah sakit karena permintaan Haris dan Mia. Tetapi kali ini dia mempedulikan keselamatan Isabella, jadi tidak ada kebut-kebutan di jalanan. Namun, tujuannya bukan ingin melindungi Isabella, tetapi karena dia membutuhkan tubuh istrinya.Satria tiba di kampus dengan wajah ceria karena untuk kedua kalinya dia mendapatkan kesempatan berbicara lebih banyak dengan Naura. “Saya membawa gantungan kunci dari kamu.
Satria segera mengunjungi restoran dan kedatangannya segera disambut oleh karyawan yang bertugas menyambut pengunjung. Dia sudah tahu kali ini restoran mendapatkan kunjungan dari putranya Hendri. Lelaki ini menyapa santun, tetapi Satria hanya tersenyum kecil dan terkesan angkuh karena tidak memiliki niat berada di sini. Pun, orang yang bertanggungjawab pada restoran segera menyambut kedatangan Satria, "Selamat siang, Tuan." Sikapnya sangat ramah, tetapi lagi-lagi Satria menunjukan sikap berbeda. "Apa yang harus saya lakukan disini?" Satria tidak berbasa-basi. Pria bernama Galih tersenyum ramah saat melihat reaksi Satria yang langsung masuk ke inti tujuan. "Saya akan menjelaskan di dalam ruangan." Jadi, kini Satria dan Galih duduk berhadapan. Namun, segera lelaki ini terkejut setelah mendengarkan sedikit penjelasan yang diberikan Galih. "Tidak mungkin papa menempatkan saya di bagian writer!""Tuan Satria adalah owner di restoran ini, tetapi Tuan harus mengerti cara kerja di sini, d
Satria tersenyum acuh tak acuh mendengar pertanyaan dari Isabella. "Memangnya kenapa? Kamu juga menikmatinya, kan.""Kita tidak bisa seperti ini ...." Sepasang manik mata Isabella masih berkaca-kaca bahkan sekarang air matanya hampir menetes."Jangan munafik. Saya memberikan kepuasan pada kamu. Seharusnya itu sudah cukup." Lagi, tatapan Satria meremehkan Isabella. "Isi berumah tangga bukan seperti itu." Satria menyunggingkan setengah bibirnya, tersenyum meremehkan. "Kemarin kamu memang masih perawan. Saya berterimakasih karena saya tidak menikahi sampah. Tapi seharusnya kamu jujur saja, kalau saya bisa memuaskan kamu, jadi seharusnya tidak ada masalah."Isabella semakin bersedih, tetapi justru kesedihannya memberinya kekuatan. "Jangan sentuh saya!" Segera, tatapan Satria berubah heran. "Saya suami kamu dan sejak kapan kamu bisa membantah?""Bukan maksud saya membantah, tapi kamu keterlaluan. Jangan melihat saya sebagai pelacur dan jangan menganggap saya rendahan seperti yang selalu
Isabella tidak mengatakan apapun karena ucapan Satria hanya mengulang argumentasi sebelumnya. Namun, sikapnya membuat Satria semakin kesal. "Kenapa mengabaikan saya? Apa kamu menganggap saya tidak ada?"Isabella menatap Satria. "Lebih baik kita menjalani propesi masing-masing dan biarkan semuanya mengalir." Suaranya sangat santun. Namun, saat ini Satria baru saja mengingat chat dari Devan. "Saya harus pergi. Katakan pada mama dan papa, saya sedang bersama pemuda karang taruna." Isabella tidak menahan kepergian Satria, lalu mengatakan pesan suaminya saat dia menghampiri kedua mertuanya di ruang keluarga. Haris dan Mia tidak curiga sama sekali karena memang Satria cukup aktif di karang taruna. Saat ini Satria sedang menuju markas gengnya. Hatinya merasa lebih senang dan tenang setelah meninggalkan rumah. "Sekarang rumah menjadi tempat masalah. Padahal dari awal saya sudah banyak masalah sama papa, tapi adanya Isabella semakin menambah masalah. Ck!"Sebelum meninggalkan daerah, Satria
Hari ini Satria tidak segera mengunjungi restoran karena dia segera datang ke rumah sakit untuk mencari Isabella. "Maaf, perawat Isabella ditempatkan di mana, di bagian apa dan sekarang dia di mana?" Dia menanyai perawat yang kebetulan berpapasan.Jadi, akhirnya Satria menemukan Isabella yang sedang menenteng nampan berisi obat-obatan. Tanpa basa-basi, Satria meraih lengan Isabella dari belakang hingga hampir saja obat-obatan itu terjatuh."Satria?" Isabella baru saja menyadari kehadiran suaminya saat berbalik, saat kagetnya belum hilang."Saya mau bicara!""Ta-tapi ... saya harus mengantar obat pada pasien ...." Selain kaget dengan kedatangan Satria, Isabella juga khawatir tindakan Satria dianggap membahayakan karena di atas mereka terdapat CCTV.Satria menatap mata Isabella menggunakan tatapan yang sangat tajam. "Apa yang kamu katakan pada Naura? Hari ini dia menghindari
Satria kembali ke rumah, tetapi kali ini dia segera mencari Isabella. "Abel sudah pulang?" pertanyaan segera dilontarkan pada ibunya yang sedang menyiram tanaman di halaman."Sudah, baru saja. Kenapa tidak menjemput Abel?" Banyak perasaan bahagia dalam hati Mia karena putra dan menantunya sangat harmonis, bahkan seolah Satria tidak tahan setelah tidak melihat Isabella hampir seharian."Satria tidak tahu jadwal Abel." Senyuman lebar Satria.Namun, Mia mengatakan hal hangat alih-alih menasihati, "Papa baru saja mengatakan pencapaian kamu di restoran. Terimakasih sudah membanggakan kami dan terimakasih karena kamu dan Isabella hidup sangat harmonis." Senyumannya sangat lembut dan tatapannya hanya menggambarkan perasaan bangga.Kali ini Satria tersenyum kecil karena yang dilihat Mia dan Haris hanya kepalsuan jadi sedikitnya dia merasa bersalaha hanya saja tidak mungkin mengatakan yang s