Isabella mengerti situasi yang sedang dihadapinya, tetapi kalimat yang keluar dari mulut Satria terdengar menyakitkan karena ucapan Satria seolah menggambarkan kehidupan rumah tangga mereka yang buruk dan mungkin bagaikan neraka. “Saya tidak akan meminta apapun dari kamu, kecuali satu hal.” Tatapan Isabella dipenuhi sendu karena dia harus menghadapi kehancuran hidupnya.
Satria melirik dingin sesaat. “Jangan berharap saya akan mengabulkan permintaan kamu!”
“Hanya satu. Tolong jaga sikap kamu di depan orangtua kita, saya tidak ingin mereka bersedih saat tahu isi pernikahan kita ....” Dunia Isabella sudah rubuh, tetapi dia masih mencoba berdiri tegap dan tetap menggapai cita-cita apapun yang terjadi. Dia tidak ingin menyia-nyiakan usaha orangtuanya selama ini.
Raut wajah Satria sangat datar, dan tatapannya sangat dingin. “Hari ini saya tetap ke kampus. Kalau mau pergi ke rumah sakit, pergi saja dengan sopir.” Satria berlalu meninggalkan Isabella yang hanya mampu menatap punggungnya yang dingin.
Di kampus, hari ini Satria terkesan pendiam, tetapi syukurnya tidak satupun mengetahui pernikahannya dengan Isabella kecuali Naura karena mereka tinggal di daerah yang sama. “Nay.” Satria segera menghampiri Naura yang sedang berjalan sendiri.
“Satria!” Tentu saja Naura kaget melihat Satria yang kini sudah menjadi suami Isabella. “Kamu sudah kuliah?” Gadis ini menjaga jarak dari Satria. Mereka memang berjalan beriringan, tetapi terdapat jarak sekitar satu meter dari keduanya.
“Ya. Saya tidak ingin ketinggalan materi,” kekeh Satria masih sangat hangat seperti biasanya.
“Oh ...,” sahut Naura, tetapi terkesan lebih kaku dan canggung dari biasanya. “Satria, saya harus ke perpustakaan. Maaf ya, saya duluan.” Segera, Naura mengambil langkah meninggalkan Satria.
“Ya, itu kebiasan kamu,” gumam Satria seiring melihat punggung Naura yang semakin menjauh. “Kamu tidak pernah memberikan kesempatan untuk saya mendekati kamu, kecuali di awal kedatangan saya ke kota ini. Saya kembali karena kita pernah berjanji akan menjadi sepasang kekasih dan menikah. Saya memaafkan kamu karena mengingkari janji, tapi sampai sekarang saya tetap menyukai kamu.” Cinta yang ada di dalam hati Satria bukan cinta monyet, ini adalah cinta yang tulus untuk Naura.
Di sisi lain, Isabella menjalani hari-harinya sebagai perawat. Hari ini dia membuat laporan yang menyatakan jika dia telah bebas bertugas untuk merawat Satria secara pribadi, maka kini dia kembali menjadi perawat magang di rumah sakit hingga sore tiba. Namun, dia kaget saat melihat Satria sudah menunggu di halaman rumah sakit. “Kamu kesini?”
“Ya. Mama yang menyuruh saya menjemput kamu.” Tatapan serta gaya bicara Satria selalu dingin.
“Sejak kapan kamu di sini?” Namun, raut wajah Isabella berbeda. Dia menunjukan senyuman dan selalu bersikap santun pada suaminya.
“Lumayan lama. Apa yang kamu lakukan di sana?” Namun, alih-alih senyuman justru yang didapatkan Isabella adalah bentakan dari Satria. Bukan bentakan keras, tetapi suara Satria terdengar lebih bertenaga ditambah raut wajahnya yang terlihat marah.
“Sebelum pulang saya harus memastikan pasien yang saya tangani baik-baik saja,” penjelasan Isabella menggunakan suara santun walau sekarang senyumannya hilang. Terdapat kesedihan dan rasa terancam dalam matanya.
“Cepat naik!” Suara datar dan dingin Satria. Dia menyodorkan helm ke arah Isabella, tetapi matanya tidak pernah menatap istrinya.
Mereka berboncengan. Satria menggunakan motor gede yang satu minggu lalu baru selesai diperbaiki. Motor ini yang pernah membuatnya kecelakaan hingga mengalami cedera kaki, tulangnya patah, maka dari itu Satria memerlukan perawatan lebih lama dari cedera kaki biasa dan karena alasan itu juga akhirnya Isabella harus bersedia menginap di rumah Satria untuk menjadi perawat pribadinya.
“Jangan ngebut. Saya takut ....” Suara Isabella bergetar karena ini pertama kalinya Satria memboncengnya menggunakan motor.
Satria tidak menyahut, tetapi menambah kecepatan hingga akhirnya Isabella harus memeluk perut Satria erat-erat. Tubuh lelaki itu dipenuhi tatto, sekarang semua tatto tersebunyi di balik t-shirt hitam serta jaket kulit hitam, tetapi walaupun jaketnya cukup tebal dia masih bisa merasakan tangan Isabella yang gemetar, hanya saja hal itu tidak menyurutkan aksinya kebut-kebutan di jalan.
“Hanya seperti ini saja takut. Pantas saja kamu tidak bisa melawan orangtua!” celetuk Satria yang sudah menginjak rem dadakan hingga tubuh Isabella menempel di punggungnya.
Isabella tidak lantas mengangkat wajahnya yang sejak tadi tenggelam di punggung Satria, tetapi dia segera sadar kala Satria melepaskan kedua tangannya cukup kasar. “Maaf ....” Kalimat pertama yang diucapkan Isabella.
Satria berdecak. Dia sudah melepas helmnya. “Kalau kamu lebih tegas, kita tidak akan menikah!”
Isabella segera mengerti maksud Satria. “Kenapa kamu seolah menyalahkan saya? Saya sudah mencoba menjelaskan di depan orangtua kita jika kita tidak berzina, tapi papa kamu yang selalu berambisi menikahkan kita dan berulang kali mengatakan kita berzina.”
Satria kembali mendengus, kemudian menyalakan mesin motornya lalu menerobos jalan tol untuk sedikit melepaskan kecewa pada kenyataan yang sedang dijalaninya.
Isabella kembali memeluk perut Satria erat-erat, tetapi kali ini seiring memohon, “Tolong jangan seperti ini. Ini membahayakan kita berdua. Lagipula kamu melanggar, kenapa kamu masuk ke jalan tol ... tolong berhenti ....”
Angin sangat kencang, entah berapa banyak kecepatan motor yang sedang dilajukan oleh Satria hingga Isabella merasa kehidupannya sedang berada di ujung tanduk.
Bersambung ....
Aksi tidak terpuji yang dilakukan Satria tidak berlangsung lama karena akhirnya dia diinterograsi polisi, lalu Haris datang pada malam hari, tepatnya pukul tujuh. Orang pertama yang ditemuinya adalah menantunya yang terlihat tidak baik-baik saja, tubuhnya menggigil ketakutan. “Nak, papa minta maaf mewakili Satria.”Isabella mengangguk kecil dengan wajah pucat. Lalu, Haris kembali berkata dengan lembut, “Mama akan segera datang. Mama akan menjemput kamu.” Tidak banyak yang bisa dilakukan Haris pada menantunya yang kini duduk di atas kursi dengan keadaan menggigil ketakutan. Lalu, dia menemui Satria yang sedang diamankan polisi. “Apa yang kamu lakukan? Kapan kamu akan berubah!”Polisi segera menghampiri dan menyuruh mereka membicarakan hal ini secara kekeluargaan. Beberapa lama kemudian, Haris sudah lebih tenang, tetapi tidak dengan hatinya. “Papa mendengar kamu menerobos jalan tol, kamu kebut-kebutan membawa Abel. Di mana otak kamu!” Suaranya terjaga walau membentak.Satria tidak menga
Mia dan Satria tiba di ruang tengah saat obrolan Haris dan Isabella berakhir. “Beristirahatlah ....” senyuman lembut Mia mengarah pada putra dan menantunya. Jadi, kini Satria dan Isabellla masuk ke dalam kamar.“Apa yang kamu bicarakan sama papa?” tanya dingin Satria.“Tentang yang tadi.” Isabella tidak bertele-tele dan tidak menyembunyikan apapun.“Orangtua kamu tahu?” Tatapan Satria segera menyelidik.“Tidak.” Isabella menatap Satria, tetapi Satria tidak terlihat sebagaimana suami, justru sejak peristiwa tadi Isabella selalu merasa jika Satria adalah ancaman.“Katakan saja!”“Heuh?” Tentu saja ucapan Satria di luar dugaan Isabella.“Kalau kamu mengadu, ada kemungkinan orangtua kamu semakin tidak menyukai saya, dan mungkin tidak lama lagi orangtua kamu meminta saya menceraikan kamu. Itu bagus.” Kini, Satria menyeringai.“Saya tidak akan mengatakan apapun pada mama dan papa.” Kalimat Satria berbanding terbalik dengan orangtuanya. Itu mengejutkan, tetapi setelah mendengar alasannya, Is
Saat ini tatapan Satria dan Isabella saling bertemu, keduanya tidak berhenti saling menatap hingga beberapa saat, kemudian Satria meninggalkan Isabella begitu saja. Malam ini dia kembali tidur di sofa.Isabella merasa malam ini selamat walaupun dia yakin seharusnya tidak boleh memiliki perasaan seperti ini, tetapi karena keadaan mereka sedang rumit, Isabella pikir jika malam pertama mereka terjadi malam ini, itu sama sekali bukan hal baik.Isabella menyodorkan selimut ke arah Satria yang sedang bermain handphone, tetapi dia sempat melihat layar handphone milik Satria yang isinya foto Naura. Hatinya sakit, tetapi ini kenyataan yang sejak awal dia ketahui. “Pakai selimut untuk menjaga kesehatan, cuaca sedang dingin.” Suaranya masih lembut dan santun.“Simpan saja.” Suara datar dan dingin Satria yang sudah mematikan layar handphonenya.“Kamu bisa tidur di kasur,” tawaran Isabella, tetapi bukan berarti dia murahan seperti yang dipikirkan Satria. Wanita ini hanya tidak ingin Satria kedingin
Satria tiba di kampus, tetapi kali ini orang pertama yang ditemuinya adalah kawan satu gengnya-Devan. “Kemarin hujan besar, saya juga tidak bisa keluar malam,” ucapnya pada Devan yang memiliki penampilan sama. Lak-laki ini memiliki tatto yang tersembunyi di balik jaketnya.“Kemana kamu beberapa hari ini? Sekarang setiap malam kamu tidak di markas.” Rokok dihisap kala mereka masih berada di luar kampus.“Ada hal yang membuat saya tidak bisa keluar. Ck!” Itu adalah Isabella. Pernikahan mereka membuatnya terkekang walaupun Isabella tidak melarangnya keluar, tapi orangtuanya yang akan melarang.“Malam ini ada balapan.”“Ya.” Satria tidak tahan berada di rumah. Apalagi kini dia satu kamar dengan Isabella.“Kamu harus datang karena musuh kita bertambah. Mereka berniat membalas!”“Ck, padahal balapan kemarin-kemarin membuat kaki saya cedera!” Hatinya melanjutkan dengan sangat kesal. ‘Dan berakhir menikah dengan Isabella.’Devan tersenyum kecut. “Apapun yang terjadi kamu harus datang. Kita ti
Tiba jam makan malam, tentu saja Haris bertanya di mana putranya, jadi Mia mengatakan jika Satria akan terlambat pulang karena memiliki banyak tugas kuliah. Kalimat ini dikatakan karena Mia masih berharap malam ini Satria pulang walau Isabella sudah mengatakan jika putranya tidak akan pulang.“Papa ingin membahas pekerjaan dengan Satria karena sekarang Satria sudah memiliki tanggungjawab pada Abel.” Pria ini belum menyuap menu karena menantunya belum menyusul ke ruang makan.“Pekerjaan apa?” Mia menyajikan teh hangat untuk suaminya.“Papa akan menjadikan Satria sebagai manager. Tapi, itupun jika anak itu bisa dibimbing.” Teh diseruput saat hatinya banyak meragukan putranya yang pembangkang dan tidak bisa dinasihati.“Manager perusahaan?” heran Mia yang juga meragukan Satria.“Restoran. Biarkan Satria memegang cabang restoran yang baru buka, itu bisa dijadikan tempat yang pas untuk dia belajar bisnis.” Suara santai Haris.“Yang mama tahu, papa sudah menempatan penanggung jawab di sana.
Isabella menoleh santun bersama senyuman ke arah Satria. “Saya akan mengabulkan keinginan kamu, tapi sebelumnya saya meminta izin untuk shalat subuh terlebih dahulu.”“Sekarang!” Senyuman Satria terlihat cabul, tetapi matanya menyiratkan niat licik.Isabella menyimpan kembali alat shalat yang siap digunakan, kemudian naik ke atas tempat tidur, berbaring canggung di sisi Satria.Satria tersenyum meremehkan, kemudian tubuhnya miring ke arah Isabella. “Jadi, melayani suami kamu lebih penting dibandingkan beribadah pada Tuhan kamu?”Isabella menatap mata Satria yang lagi-lagi seolah sedang merendahkannya. “Saya ingin melakukan ibadah wajib, sholat subuh, tapi melayani kamu juga kewajiban.”Tangan kanan Satria yang dingin mulai mengelus garis bibir Isabella, tatapannya hanya tertuju pada bibir yang membuatnya bergairah walaupun hatinya untuk Naura, tetapi Isabella siap memberikan tubuhnya walaupun tidak ada cinta di antara mereka. Wajahnya mendekat perlahan dan mulai melakukan penyatuan bi
Satria melanjutkan aktivitas panasnya yang sempat terganggu, bahkan sekarang dia mulai menindih tubuh Isabella hingga posisi seperti ini semakin membuat gairahnya membuncai. Satria bersikap sebagaimana seorang suami yang sedang menikmati tubuh istrinya walaupun hatinya tetap diisi oleh Naura, sedangkan Isabella merasa terluka, luka yang tidak dapat dijelaskan.Kini, keperawanannya sudah diambil oleh Satria, tetapi Isabella menangis membatin. “Kenapa? Kita adalah pasangan suami dan istri ....” Dia sesenggukan di dalam kamar mandi.Pada pukul delapan pagi, Satria mengantar Isabella ke rumah sakit karena permintaan Haris dan Mia. Tetapi kali ini dia mempedulikan keselamatan Isabella, jadi tidak ada kebut-kebutan di jalanan. Namun, tujuannya bukan ingin melindungi Isabella, tetapi karena dia membutuhkan tubuh istrinya.Satria tiba di kampus dengan wajah ceria karena untuk kedua kalinya dia mendapatkan kesempatan berbicara lebih banyak dengan Naura. “Saya membawa gantungan kunci dari kamu.
Satria segera mengunjungi restoran dan kedatangannya segera disambut oleh karyawan yang bertugas menyambut pengunjung. Dia sudah tahu kali ini restoran mendapatkan kunjungan dari putranya Hendri. Lelaki ini menyapa santun, tetapi Satria hanya tersenyum kecil dan terkesan angkuh karena tidak memiliki niat berada di sini. Pun, orang yang bertanggungjawab pada restoran segera menyambut kedatangan Satria, "Selamat siang, Tuan." Sikapnya sangat ramah, tetapi lagi-lagi Satria menunjukan sikap berbeda. "Apa yang harus saya lakukan disini?" Satria tidak berbasa-basi. Pria bernama Galih tersenyum ramah saat melihat reaksi Satria yang langsung masuk ke inti tujuan. "Saya akan menjelaskan di dalam ruangan." Jadi, kini Satria dan Galih duduk berhadapan. Namun, segera lelaki ini terkejut setelah mendengarkan sedikit penjelasan yang diberikan Galih. "Tidak mungkin papa menempatkan saya di bagian writer!""Tuan Satria adalah owner di restoran ini, tetapi Tuan harus mengerti cara kerja di sini, d