Share

Bab 2. Saya Hanya Meminta Satu Hal

Isabella mengerti situasi yang sedang dihadapinya, tetapi kalimat yang keluar dari mulut Satria terdengar menyakitkan karena ucapan Satria seolah menggambarkan kehidupan rumah tangga mereka yang buruk dan mungkin bagaikan neraka. “Saya tidak akan meminta apapun dari kamu, kecuali satu hal.” Tatapan Isabella dipenuhi sendu karena dia harus menghadapi kehancuran hidupnya.

Satria melirik dingin sesaat. “Jangan berharap saya akan mengabulkan permintaan kamu!”

“Hanya satu. Tolong jaga sikap kamu di depan orangtua kita, saya tidak ingin mereka bersedih saat tahu isi pernikahan kita ....” Dunia Isabella sudah rubuh, tetapi dia masih mencoba berdiri tegap dan tetap menggapai cita-cita apapun yang terjadi. Dia tidak ingin menyia-nyiakan usaha orangtuanya selama ini.

Raut wajah Satria sangat datar, dan tatapannya sangat dingin. “Hari ini saya tetap ke kampus. Kalau mau pergi ke rumah sakit, pergi saja dengan sopir.” Satria berlalu meninggalkan Isabella yang hanya mampu menatap punggungnya yang dingin.

Di kampus, hari ini Satria terkesan pendiam, tetapi syukurnya tidak satupun mengetahui pernikahannya dengan Isabella kecuali Naura karena mereka tinggal di daerah yang sama. “Nay.” Satria segera menghampiri Naura yang sedang berjalan sendiri.

“Satria!” Tentu saja Naura kaget melihat Satria yang kini sudah menjadi suami Isabella. “Kamu sudah kuliah?” Gadis ini menjaga jarak dari Satria. Mereka memang berjalan beriringan, tetapi terdapat jarak sekitar satu meter dari keduanya.

“Ya. Saya tidak ingin ketinggalan materi,” kekeh Satria masih sangat hangat seperti biasanya.

“Oh ...,” sahut Naura, tetapi terkesan lebih kaku dan canggung dari biasanya. “Satria, saya harus ke perpustakaan. Maaf ya, saya duluan.” Segera, Naura mengambil langkah meninggalkan Satria.

“Ya, itu kebiasan kamu,” gumam Satria seiring melihat punggung Naura yang semakin menjauh. “Kamu tidak pernah memberikan kesempatan untuk saya mendekati kamu, kecuali di awal kedatangan saya ke kota ini. Saya kembali karena kita pernah berjanji akan menjadi sepasang kekasih dan menikah. Saya memaafkan kamu karena mengingkari janji, tapi sampai sekarang saya tetap menyukai kamu.” Cinta yang ada di dalam hati Satria bukan cinta monyet, ini adalah cinta yang tulus untuk Naura.

Di sisi lain, Isabella menjalani hari-harinya sebagai perawat. Hari ini dia membuat laporan yang menyatakan jika dia telah bebas bertugas untuk merawat Satria secara pribadi, maka kini dia kembali menjadi perawat magang di rumah sakit hingga sore tiba. Namun, dia kaget saat melihat Satria sudah menunggu di halaman rumah sakit. “Kamu kesini?”

“Ya. Mama yang menyuruh saya menjemput kamu.” Tatapan serta gaya bicara Satria selalu dingin.

“Sejak kapan kamu di sini?” Namun, raut wajah Isabella berbeda. Dia menunjukan senyuman dan selalu bersikap santun pada suaminya.

“Lumayan lama. Apa yang kamu lakukan di sana?” Namun, alih-alih senyuman justru yang didapatkan Isabella adalah bentakan dari Satria. Bukan bentakan keras, tetapi suara Satria terdengar lebih bertenaga ditambah raut wajahnya yang terlihat marah.

“Sebelum pulang saya harus memastikan pasien yang saya tangani baik-baik saja,” penjelasan Isabella menggunakan suara santun walau sekarang senyumannya hilang. Terdapat kesedihan dan rasa terancam dalam matanya.

“Cepat naik!” Suara datar dan dingin Satria. Dia menyodorkan helm ke arah Isabella, tetapi matanya tidak pernah menatap istrinya.

Mereka berboncengan. Satria menggunakan motor gede yang satu minggu lalu baru selesai diperbaiki. Motor ini yang pernah membuatnya kecelakaan hingga mengalami cedera kaki, tulangnya patah, maka dari itu Satria memerlukan perawatan lebih lama dari cedera kaki biasa dan karena alasan itu juga akhirnya Isabella harus bersedia menginap di rumah Satria untuk menjadi perawat pribadinya.

“Jangan ngebut. Saya takut ....” Suara Isabella bergetar karena ini pertama kalinya Satria memboncengnya menggunakan motor.

Satria tidak menyahut, tetapi menambah kecepatan hingga akhirnya Isabella harus memeluk perut Satria erat-erat. Tubuh lelaki itu dipenuhi tatto, sekarang semua tatto tersebunyi di balik t-shirt hitam serta jaket kulit hitam, tetapi walaupun jaketnya cukup tebal dia masih bisa merasakan tangan Isabella yang gemetar, hanya saja hal itu tidak menyurutkan aksinya kebut-kebutan di jalan.

“Hanya seperti ini saja takut. Pantas saja kamu tidak bisa melawan orangtua!” celetuk Satria yang sudah menginjak rem dadakan hingga tubuh Isabella menempel di punggungnya.

Isabella tidak lantas mengangkat wajahnya yang sejak tadi tenggelam di punggung Satria, tetapi dia segera sadar kala Satria melepaskan kedua tangannya cukup kasar. “Maaf ....” Kalimat pertama yang diucapkan Isabella.

Satria berdecak. Dia sudah melepas helmnya. “Kalau kamu lebih tegas, kita tidak akan menikah!”

Isabella segera mengerti maksud Satria. “Kenapa kamu seolah menyalahkan saya? Saya sudah mencoba menjelaskan di depan orangtua kita jika kita tidak berzina, tapi papa kamu yang selalu berambisi menikahkan kita dan berulang kali mengatakan kita berzina.”

Satria kembali mendengus, kemudian menyalakan mesin motornya lalu menerobos jalan tol untuk sedikit melepaskan kecewa pada kenyataan yang sedang dijalaninya.

Isabella kembali memeluk perut Satria erat-erat, tetapi kali ini seiring memohon, “Tolong jangan seperti ini. Ini membahayakan kita berdua. Lagipula kamu melanggar, kenapa kamu masuk ke jalan tol ... tolong berhenti ....”

Angin sangat kencang, entah berapa banyak kecepatan motor yang sedang dilajukan oleh Satria hingga Isabella merasa kehidupannya sedang berada di ujung tanduk.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status