Hana menggelengkan kepalanya"Kenapa nggak mau?" tanya Daffin"Baru saja kemarin dari dokter, masa sekarang sudah ke dokter lagi. Nanti kalau kita dokter, pasti dokter akan berkata, hamil besar memang seperti ini mak Hana, apa lagi kalau sudah dekat dengan jadwal persalinan." Hana berkata seperti apa yang selama ini dijawab oleh dokter spesialis kandungannya. Hana sudah sangat hafal dengan jawaban dari dokter spesialis kandungannya.Daffin menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan. Apa yang dikatakan oleh istrinya, memang benar. Biasanya dokter akan memberi jawaban seperti yang diucapkan Hana. Tentunya setelah memeriksa kondisi kehamilan istri tercintanya."Anak-anak Daddy, sehat-sehat ya disini. Sebentar lagi, kita akan bertemu dan berkumpul. Papi sudah tidak sabar ingin memeluk kalian, mendengar suara kalian." Daffin mengusap perut Hana dan menciumnya dengan penuh kasih sayang."Hana tersenyum memandang wajah suaminya. "Abang, jangan jauh-jauh dari Ha
Susi memandang nasi yang ada di dalam piringnya. Meskipun perutnya terasa perih, namun tetap saja tidak berselera untuk menyentuh nasi putih dengan menu tempe goreng dan sayur bening. "Aku sangat bosan makan seperti ini. Setiap hari menunya seperti ini selalu," batinnya. "Sudah beberapa bulan ini, kenapa adik, kamu tidak pernah nganterin lagi makanan ke sini?" tanya seorang narapidana yang sedang menyuapkan nasi kedalam mulutnya. Berliana hanya diam tanpa menjawab. Dimasukkannya nasi ke dalam mulutnya dan langsung menelan begitu saja. Setelah Hana tidak pernah lagi mengantarkan makanan-makanan enak untuknya, ia murni memakan makanan dari jatah tahanan saja. Meskipun sudah berbulan-bulan berada di sini, namun tetap saja lidahnya belum bisa menerima rasa makanan jatah dari tahanan. Terkadang, ia makan hanya untuk mengisi lambungnya saja. Susi memandang wajah narapidana yang sedang berbicara tersebut. Telinganya panas ketika orang itu menanyakan tentang anak tiri yang sudah menjebloska
Daffin masuk ke dalam kamar, dilihatnya Hana yang sedang berbaring miring ke arah dinding sambil memijat tulang punggung bagian belakang. Melihat gerak tangan sang istri, ia tahu bahwa wanita berperut besar itu sedang merasa sakit. Tanpa bertanya, pria itu duduk di belakang punggung dan mulai memijit istrinya.Hana memandang ke belakang dan tersenyum ketika melihat Daffin yang ternyata sudah duduk di belakangnya "Kok nggak kedengaran sih suaranya.""Tadi masuknya memang pelan-pelan kirain lagi tidur, takut ganggu. Sakit ya dek, pinggangnya?" Daffin berkata sambil mencium pipi istrinya."Iya, sejak tadi bangun tidur, pinggang Hana sakit sekali. Hana kasihan lihat mama yang sejak tadi pijat pinggang Hana." Hana teringat mama mertuanya yang tidak ada henti-hentinya melepaskan tangan dari pinggang bagian belakang, panggul dan kakinya. Wanita itu begitu sangat sabar menemaninya. "Sabar ya sayang, sebentar lagi anak kita akan lahir." Meskipun hanya tinggal menunggu hari, namun mengapa tera
Surya duduk dengan gelisah. Berulang kali pria itu menempelkan telinganya di daun pintu dan berharap bisa mendengarkan suara tangis kedua cucunya. Namun lagi-lagi ia harus kecewa dan pada akhirnya kembali duduk di kursi yang berada di depan ruang persalinan. "Pa gimana kabar Hana?" Nara bertanya sambil mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan."Papa belum tahu," jawab Surya. "Apa dokter atau perawat belum ada yang keluar dari ruangan untuk kita tanyain?" Mengetahui sahabatnya menjalin persalinan hari ini, membuat dirinya panik. Nara takut ada sesuatu yang buruk terjadi dengan kandungan sahabatnya. Surya menggelengkan kepalanya"Apa Hana tidak jadi Cesar pa?" Seharusnya ia berada di depan ruangan operasi bukan ruangan persalinan. "Papa nggak tahu, tadi papa lagi di kantor terus mama nelpon kata Mama, papa langsung ke rumah sakit karena Hana mau melahirkan. Jadi belum sempat banyak tanya." Surya berkata dengan raut wajah cemas. Nara diam mendengar ucapan dari papa mertua sahabatny
Bab 222"Kak Nara, apa kak Hana sudah lahiran?" Cinta bertanya dengan napas ngos-ngosan. Gadis itu kemudian duduk di samping Nara. Nara menggelengkan kepalanya. "Belum ya?" Melihat gelengan kepala Nara, Cinta mengambil kesimpulan."Gak tahu maksudnya, sejak tadi belum ada perawat atau dokter yang keluar." Nara menjelaskan."Sudah berapa jam, pa?" Cinta memandang Surya."Sudah 3 jam." Surya berkata dengan sangat pelan, namun bisa didengar jelas oleh Cinta dan Nara."Apa, sudah tiga jam pa? Perawat atau dokter belum juga ada yang keluar?" Cinta berkata dengan mata yang terbelalak besar. Kehadiran gadis itu bukan untuk menenangkan hatinya, namun semakin membuat ia pusin dan cemas. "Bagaimana mana ini, apa papa harus ketuk pintu." Surya panik dan beranjak dari duduknya. "Papa jangan, kita tidak tahu seperti apa kondisi Hana. Bila papa berbuat seperti itu, yang ada menganggu pekerjaan dokter." Nara dengan cepat menarik tangan Surya dan memaksa pria itu untuk kembali duduk. Ia berharap
Hana sudah berada di dalam ruangan perawatannya. Meskipun tubuhnya terasa amat lelah, namun hatinya sangat senang ketika melihat kedua anaknya yang saat ini sedang tertidur di sampingnya. "Kak Hana, kalau ngantuk tidur aja, Cinta yang bakal jagain si kembar." Cinta tersenyum dan mengambil satu bayi yang memakai bedong berwarna pink dengan sangat hati-hati. Gadis berwajah cantik itu sudah pandai mengambil bayi dan menggendongnya. Hal ini yang membuatnya menjadi candu dan ingin selalu mengendong bayi tersebut. "Iya kalau kamu capek istirahat, biar aku yang jagain si kembar." Nara tersenyum dan mengambil satu bayi yang memakai bedong berwarna biru."Iya sih ngantuk, tapi belum mau tidur. Soalnya masih pengen lihat si kembar," jawab Hana . Tatapan matanya terus saja memandang wajah cantik dan juga tampan kedua bayi kembarnya. "Enak ya kak kalau dua gini jadi kita nggak perlu rebutan. Kak Nara ayo semangat biar bisa punya seperti ini." Cinta tersenyum memandang Nara. Gadis itu memajukan
Karin masuk kedalam kamar rawat Hana sambil menggandeng tangan Rafasya. Ia tersenyum ramah menyapa Mita dan bertegur sapa terlebih dahulu dengan Daffin dan Surya. Setelah sedikit Berbasa-basi barulah wanita itu bergabung dengan Hana. "Hana selamat ya, aku terkejut ketika Abang Rafa mengatakan kalau kamu sudah lahiran. Padahal tanggal Cesar belum ya. Begitu aku pulang dari syuting, aku langsung mengajak Abang Rafa ke sini. Aku sudah tidak sabar ingin berkenalan dengan si kembar. Lihat ini pakaianku saja belum sempat aku ganti. "Karin berbicara dengan penuh semangat. Anak-anak nggak sabar nunggu jadwal Caesar kak," jawab Hana sambil tersenyum.Karin tertawa ketika mendengar jawaban dari Hana. Dipandangnya kedua bayi yang saat ini ada di tangan Cinta dan juga Nara. "Aku ingin mencoba memegang salah satunya. Yang ini, yang pakai bedong biru." Wanita itu meminta bayi yang di tangan Nara.Nada memberikan bayi itu dengan tersenyum."Tampan sekali ini laki-laki ya?" Tanya Karin. "Iya kak,
"Menegur nggak mau, tapi tiba orang mau pergi beli minuman nitip. Dasar sombong dan gak tahu malu, gak berakhlak juga. Sejak tadi Cinta duduk di sana, jangankan diajak bicara, ditegur juga gak." Hana mengomel di dalam hati. Ia sangat tidak suka melihat sikap Karin yang sombong dan memilih-milih teman. Hana sudah kesal melihat Karin, sejak acara pertunangan Nara. "Iya kak," jawab Cinta yang kemudian beranjak dari duduknya."Cinta mau ke mana?" tanya Mita."Mau beli jus di bawah ma, apa Mama, papa, bang Daffin, bang Fatan ada yang mau?" tanya Cinta.Rafasya kesal karena Cinta tidak menyebut namanya. Gadis itu seperti sengaja melakukan hal ini agar membuatnya malu. "Nggak, ini sudah minum kopi," jawab Daffin."Mama sama papa juga nggak, nih sudah minum kopi," jawab Mita.Cinta hanya tersenyum tanpa menegur Rafasya. Ia tahu, bahwa pria itu tidak akan menjawab bila ditanya. "Bang Fatan mau apa?" Cinta bertanya dengan tersenyum. "Samakan sama Nara aja," jawab pria yang sedang dimabuk
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat