Kini mereka akan merasakan varian rasa yang berbeda, dengan suasana yang berbeda pula. Apa yang terjadi saat ini sungguh sangat dinikmatinya. Setelah puas menikmati bibir nan ranum milik Hana, barulah dilepaskannya. "Duduk di sini sayang." Daffin menunjukkan meja kerjanya. Dengan cepat, laptop di atas meja, disingkirkannya terlebih dahulu. Hana diam memandang suaminya. "Ayolah sayang." Senyum mengembang di bibirnya. Pria itu kembali mencium bibir istrinya.Meskipun sadar sudah dijahili oleh suaminya sendiri, namun Hana tetap menurut. Mana mungkin ia tega menolak, ketika melihat wajah suaminya yang seperti ini. "Abang, mainnya jangan di sini ya?" tanyanya, ketika sudah duduk di atas meja kerja.Daffin hanya tersenyum tanpa menjawab. Pria itu kemudian berdiri dengan posisi tubuh yang membungkuk dan mencium bibir istrinya. Setelah puas mencium bibir, ia berpindah ke telinga. Sedangkan tangannya, sangat cepat membuka pakaian yang dipakai Hana.Apa yang dilakukan Daffin, sungguh memb
Senyum mengembang di bibir pria berwajah tampan tersebut, ketika melihat foto-foto yang dikirimkan gadis pujaan hatinya. "Abang, Nara sudah belanja." Fatan membaca isi chat yang dikirimkan Nara.Dengan segera dihubunginya nomor WhatsApp Nara, lewat sambungan video call. Panggilan video call itu, dengan cepat diangkat oleh pemilik nomor."Abang, Nara sudah selesai belanjanya." Nara tersenyum dengan sangat manis, memandang layar ponselnya. "Apa sudah dibeli semua?" tanya Fatan."Sudah, tapi uangnya habis banyak." Nara tersenyum nyengir."Nggak apa-apa, nanti abang transfer lagi."Matanya terbuka lebar, mendengar apa yang dikatakan Fatan. "Nggak usah bang." Dengan cepat menolak."Nggak apa-apa dek, itu uang dikirimin, memang untuk beli kebutuhan kantor, sekalian untuk mama shopping." Fatan tersenyum."Tapi jangan kirim lagi." Nara merasa tidak enak hati. Pria itu belum tentu menjadi suaminya dan uangnya sudah habis dibuatnya."Ngga ada doa nolak rezeki, yang ada, doa meminta rezeki." F
Berulang kali, ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan kemudian memandang layar ponsel. Menunggu seperti ini membuat dirinya tidak nyaman. "Kenapa dia belum juga mengirimkan aku pesan." Emilia berencana akan langsung menuju ke tempat yang ditentukan Fatan, untuk bertemu dengannya. Matanya memandang panggilan yang masuk di ponselnya. Ada rasa kecewa, ketika melihat telpon yang masuk, tidak dari orang yang di tunggunya. Agar tidak ada yang mendengarkan obrolan yang dilakukanya, Emilia sedikit menjauh dari meja kerjanya. Ia tidak ingin, ada teman-temannya yang mendengar obrolannya lewat via telepon tersebut "Halo Emilia." Terdengar suara wanita di seberang sana, menyapanya dengan penuh kepanikan."Iya ma, kenapa tidak kirim aku chat saja.""Mama tidak sabar kalau menunggu balasan chat dari kamu. Ngetik juga lambat. Bagaimana dengan uang yang dijanjikan Fatan, apa dia sudah memberikannya?" "Aku belum pulang dari kantor ma, tadi dia mengatakan akan menghubungi aku.
"Mas." Emilia berkata dengan sangat ragu. Jujur saja, ia begitu sangat malu ketika harus mendesak uang pernikahan seperti ini. Yang lebih ironisnya, uang itu tidak akan dipakai untuk acara pernikahannya, namun dipakai untuk membayar hutang kedua orang tuanya kepada nasabah."Masalah uang?" tanya Fatan tanpa basa-basiEmilia menganggukkan kepalanya.Fatan memberikan amplop berwarna coklat di depan Emilia.Senyum mengembang di bibirnya, ketika melihat amplop tersebut. Ia yakin bahwa isi dalam amplop itu adalah uang. Sungguh tidak diduganya bawa Fatan akan memberikan uang secara cash seperti ini. "Kenapa tidak ditransfer?" tanya Emilia yang mengambil amplop amplop di depannya.Fatan hanya diamEmilia membuka amplop tersebut dan mengintip ke dalam. Keningnya berkerut ketika melihat isi dari amplop itu yang ternyata bukan uang. "Ini maksudnya apa mas?" tanya Emilia yang menutup amplop di tangannya."Bukankah, sudah ada di tanganmu, jadi lihat saja,' jawab Fatan.Emilia mengeluarkan isi dal
"Mumpung bang Daffin lagi di ruang kerja, aku mau telpon Nara." Hana tersenyum memandang ponsel yang di tangannya. Dengan segera dihubunginya nomor WhatsApp sahabatnya tersebut. Rasanya sudah tidak sabar, ingin mendengar kabar mengenai pekerjaan. "Halo." Nara tersenyum ketika mengangkat sambungan video call yang dilakukan Hana."Halo,0 mentang-mentang sudah jadi orang kantoran, sombong. Gak mau nelpon aku," sindir Hana. "Ha... ha..., Ada kerjaan atau nggak ada kerjaan, sama aja. Pasti kamu yang selalu telpon aku, terkecuali bila jam bang Daffin ke kantor." Nara tersenyum. Setelah Sahabatnya menikah, ia sudah mulai menjaga batasan-batasan. Dalam arti lain, ia tidak ingin menganggu Sahanaya bila bersama dengan suami.Hana tertawa ketika mendengar ucapan dari sahabatnya. "Bagaimana kerjaannya, asik nggak?" tanyanya penasaran."Asyik sekali, kerja di kantor papa Surya sangat menyenangkan. Meskipun lebel pegawai baru, tapi sudah sangat dihormati sama karyawan yang lain. Aku aja sampai m
Marno diam memandang putrinya. Pria itu kemudian menggelengkan kepalanya. "Papa yang akan bertanggung jawab. Papa akan menyerahkan diri ke kantor polisi. Rumah ini sudah digadaikan ke bank. Namun sebelum rumah disita bank, papa akan menjualnya. Tadi si pembeli sudah menghubungi papa. Kamu dan mama, hubungi si pembeli. Jual rumah ini segera. Uang dari penjualan rumah, bayar hutang bank, sisanya, belikan rumah atau uang muka untuk ambil rumah." Marno berkata dengan air mata yang menetes.Emilia menangis saat mendengar ucapan papanya. Segala usaha, sudah dilakukannya, namun tetap tidak bisa menyelamatkan orang tuanya, dari jeratan hukum. Rina memeluk suaminya dengan air mata yang terus saja menetes. Sejujurnya, ia tidak sanggup bila harus melihat pria yang sangat dicintainya, meringkuk di tahanan. "Mas, aku tidak ingin kamu ditahan.""Tidak apa, aku ingin kamu hidup bahagia bersama dengan Emilia. Jaga anak kita baik-baik." Tubuhnya bergetar saat memberikan amanat untuk istrinya. Perusa
Hana, daffin dan kedua mertuanya, berada di rumah milik almarhum papa Hana. Melihat rumah yang masih dalam proses direnovasi seperti ini, membuatnya tidak sabar menunggu kapan akan selesai. Setiap kali berada di rumah ini, ia selalu merasa rindu dengan kedua orangtuanya.Mita tersenyum memandang menantunya."Hana beneran nggak sabar pengen cepat-cepat rumah ini selesai." Hana tersenyum memandang Daffin."Iya moga-moga cepat siap." Daffin mengusap kepala istrinya."Renovasi rumah seperti ini, tidak bisa buru-buru," jelas Mita."Iya ma, Hana tahu, tapi tetap saja tidak sabaran. "Hana tersenyum. Dipandangnya ke seluruh sudut ruangan tamu yang berukuran besar."Karena kita tidak ada niat untuk buru-buru, papa minta kepada pekerja untuk mengerjakan rumah ini dengan sangat baik, rapi dan bersih." Surya tersenyum memandang Hana."Iya pa, Hana akan sangat sabar untuk menunggu. Papa, terima kasih." Dengan sangat manja, ia bergelayut di tangan pria yang berstatus papa mertua. Surya tersenyum
"Pakai sabuk pengaman!" perintah Fatan, ketika mobil itu, kembali menyenggol mobilnya. Emilia sangat gugup, tangannya gemetar ketika memasang sabuk pengaman. Dengan cepat, dipasangnya sabuk tersebut. Rina dan Marno, dengan cepat memasang sabuk pengaman yang berada di samping kursi mereka masing-masing. "Bagaimana ini mas, aku sangat takut." Rina menggenggam tangan suaminya. Air matanya tidak ada henti-hentinya menetes. Tubuhnya terhentak dengan keras, ketika mobil milik Fatan, dihantam dengan keras oleh Mobil yang dibelakangnya. Bersyukur, kepala hanya membentuk kursi didepannya. Marno hanya diam tanpa bisa menjawab ucapan istrinya. Jika seandainya, nyawanya diambil saat ini, maka tidak akan pernah disesalinya. Namun kini, anak dan istrinya juga ikut bersama dengannya."Apa kantor polisi masih jauh?' Fatan bertanya."1 km lagi," jawab Emilia dengan terbata-bata. Dipandangnya Fatan secara diam-diam. "Betapa baiknya kamu. Melihat kamu yang begitu baik seperti ini, sungguh aku mera