"Pakai sabuk pengaman!" perintah Fatan, ketika mobil itu, kembali menyenggol mobilnya. Emilia sangat gugup, tangannya gemetar ketika memasang sabuk pengaman. Dengan cepat, dipasangnya sabuk tersebut. Rina dan Marno, dengan cepat memasang sabuk pengaman yang berada di samping kursi mereka masing-masing. "Bagaimana ini mas, aku sangat takut." Rina menggenggam tangan suaminya. Air matanya tidak ada henti-hentinya menetes. Tubuhnya terhentak dengan keras, ketika mobil milik Fatan, dihantam dengan keras oleh Mobil yang dibelakangnya. Bersyukur, kepala hanya membentuk kursi didepannya. Marno hanya diam tanpa bisa menjawab ucapan istrinya. Jika seandainya, nyawanya diambil saat ini, maka tidak akan pernah disesalinya. Namun kini, anak dan istrinya juga ikut bersama dengannya."Apa kantor polisi masih jauh?' Fatan bertanya."1 km lagi," jawab Emilia dengan terbata-bata. Dipandangnya Fatan secara diam-diam. "Betapa baiknya kamu. Melihat kamu yang begitu baik seperti ini, sungguh aku mera
Fatan hanya diam memandang Emilia yang menangis histeris. Cukup lama Emilia menangis, hingga tangisnya mereda dengan sendirinya."Aku harap, kamu bisa menerima ini semua. Menurutku, di sini adalah tempat yang teraman untuk orang tuamu." Fatan memberikan nasehat untuk Emilia."Apa maksud kamu, berkata seperti ini, mas?" tanyanya dengan terisak. Dipandangnya Fatan dengan matanya yang sembab. Hatinya sakit dan hancur, ketika mendengar apa yang dikatakan Fatan. "Kamu lihat sendiri, seperti apa orang-orang mencari kedua orang tuamu. Mereka merasa sangat tertipu dengan apa yang dilakukan kedua orangtuamu. Wajar saja bila mereka marah, dan bukan hanya sekedar marah, namun juga ingin menghabisi nyawa kedua orang tuamu. Yakinlah, di sini mereka akan aman."Emillia diam sesaat menahan rasa sakit di dadanya. Apakah benar, rumah tahanan, merupakan rumah yang terbaik untuk kedua orangtuanya. Tatapan matanya, mengarah ke pintu kamar tahanan. Air matanya mengalir dengan derasnya. "Aku berharap,
Daffin hanya diam dan mendengarkan cerita Mama serta istrinya. "Iya juga, soalnya kembar." Mita juga bingung untuk memprediksikan kandungan menantunya berhubung, hamilnya kembar." "Mau perempuan semua, atau satu pasangan, papa tetap senang." Surya tertawa lepas, sambil memandang foto hasil USG kedua cucunya. Melihat kondisi kedua cucunya sehat seperti ini, membuatnya sangat senang. Hana tersenyum saat mendengar apa yang dikatakan papa mertuanya. "Mama, Hana ke kamar ya, pinggang anak pegel banget," rengeknya. "Tapi makan dulu." Mita mengingatkan menantunya."Makannya di kamar aja ya ma, pinggang Hana, kaki juga." Hana mengusap bagian pinggang belakangnya. Bila kondisi tubuhnya seperti ini, ia tidak akan berselera untuk makan."Iya gak apa, makan dikamar saja. Mama sudah pesan kursi roda untuk Hana. Mungkin besok sudah datang. Jadi mulai besok, Hana pakai kursi roda aja ya?" tanya Mita."Nggak usah ma, Hana masih sanggup kok," jawabnya dengan tersenyum. "Sanggup apanya? Biar mama
Setelah melakukan ibadah subuh di masjid dekat rumah, bersama dengan suaminya, Laras langsung pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamarnya. Setelah menyimpan perlengkapan ibadahnya, wanita itu naik ke atas tempat tidur dan membuka ponselnya, untuk melihat pesan WhatsApp yang masuk. "Mama, papa mau lari pagi, apa Mama mau ikut?" tanya Herman."Lagi malas pa," jawab Laras dengan tersenyum."Apa benar Fatan pulang, soalnya si bibi bilang semalam Fatan datang dengan membawa tas?" Herman memandang Laras."Mama nggak tahu, Mama nggak ada dengar si bibi cerita." Tidak biasanya, Fatan pulang ke rumah dengan membawa tas. Di rumah ini, pakaian putra bungsunya juga ada.'Ya udah kalau gitu, papa mau cek dulu." Herman ingin memastikan, bahwa informasi itu benar."Iya pa," jawab Laras. Laras melihat grup ibu-ibu sosialita yang merupakan teman-teman arisannya. Sudah banyak chat masuk yang tidak diketahuinya, karena chat itu masuk, ketika ia sudah tertidur. Awalnya Laras tidak berniat untuk mengeta
"Aku belum memberikan uang, kepadanya," ungkap Fatan.Wajah Laras yang tadi tegang kini tampak lega setelah mendengar jawaban dari putranya. "Ada apa ini? "Herman memandang istrinya dan kemudian memandang putra bungsunya.Laras diam saat mendengar pertanyaan dari suaminya. Apa yang dilakukan Rina beserta Marno, sungguh sangat mencoreng nama baik keluarganya. Mengingat mereka sudah akan menjadi keluarga. Fatan hanya diam dan menunggu mamanya menjelaskan. Ia juga tidak tahu, apa yang sudah di ketahui mamanya. "Mama tidak pernah tahu pa, kalau ternyata Marno bersama dengan Rina itu penipu. Bisnis yang mereka jalankan beserta perusahaan tanam saham milik Marno, ternyata penipuan. Sudah banyak yang menjadi korban penipuan mereka." Laras berkata dengan takut-takut dan nada suara yang rendah. "Mama bagaimana sih, katanya mereka orang hebat, pengusaha sukses." Herman memandang istrinya dengan wajah yang memerah menahan rasa marah.Laras hanya menundukkan kepalanya. Ia tidak sanggup meliha
Melihat rona kebahagiaan yang terpancar di wajah tampan putranya, membuat hati Laras menjadi senang. Tampak jelas di matanya, bawah putra bungsunya sedang jatuh cinta dan bahkan sekarang sedang tersenyum dengan malu-malu."Mengapa tidak mengatakan, bahwa kamu, punya pilihan lain. Jika seandainya kamu memberitahu kami, hal seperti ini tidak terjadi." Pria yang berusia 65 tahun itu, memandang putranya."Aku baru kenal Nara, ketika cari istri pak Daffin pa," ungkap Fatan. Pria berambut putih itu, tersenyum dan kemudian menganggukkan kepala. Walau bagaimanapun, ia bersyukur karena putra bungsunya terlepas dari jeratan Marno dan keluarganya. Herman tahu, bahwa Fatan, memang tidak pernah dekat dengan gadis manapun. Anaknya jenis pekerja keras dan sibuk bekerja, selain itu juga, tidak pandai mendekati para gadis. Hal ini yang membuat Fatan sulit mendapatkan calon istri. "Apa kamu yakin akan diterima oleh keluarga cewek itu? siapa namanya?" tanya Herman."Namanya Nara, pa. Insyaallah diteri
Senyum di bibirnya hilang seketika, saat melihat sosok yang sudah berdiri di depan pintu. Ada rasa kecewa, ketika yang dilihatnya bukanlah orang yang diharapkan. "Kenapa bukan dia yang datang," batin Emilia. Laras dan Herman hanya diam berdiri di depan pintu sambil memandang Emilia. "Om, Tante." Wajah Emilia memuncak ketika memandang wanita yang akan menjadi mertuanya. Melihat cara Laras memandangnya, tampak jelas, bahwa wanita itu, begitu sangat marah. "Mama sudah janji untuk tidak emosi. Ingat tujuan kita datang ke sini." Ia berbisik di telinga Laras, sambil memegang tangan wanita yang sudah mulai keriput tersebut. Herman dengan sengaja mengikuti istrinya untuk bertemu dengan Emilia, ia tidak ingin istrinya meluapkan emosinya.Laras diam saat suaminya mengingatkan."Om, tante." Emilia dengan sangat sopan menyalami tangan pasangan suami istri yang berdiri di depannya. Sampai saat ini, ia masih tidak tahu, alasan pasangan suami-isteri itu datang.Laras memandang Emilia dengan mara
"Mama aku akan ke kantor, apa mama jadi menghubungi mamanya, Nara?" Fatan bertanya dengan tersenyum malu."Nggak sabaran sekali sih kamu, nggak sabar pengen nikah ya?" ejek Herman."Walau bagaimanapun, aku ingin menjadi anak yang berbakti untuk papa dan mama. Agar mama dan papa tidak pusing lagi memikirkan nasib aku yang tidak kawin-kawin," jawabnya dengan tertawa."Kemarin aja disuruh nikah banyak gaya. Sok-sok nolak, sekarang minta-minta." Herman tak ada hentinya menggoda putranya yang saat ini sedang jatuh cinta.Laras yang duduk di posisi tengah, hanya bisa tersenyum, memandang ke arah putranya. Fatan hanya tersenyum malu saat mendengar ucapan dari papanya tersebut."Kamu tidak usah pikirkan masalah menghubungi Mama Nara. Ini urusan orang tua, jadi biar mama selaku orang tua yang akan menghubunginya. Mama akan menghubungi abang-abang dulu dan menanyakan, kira-kira kapan kita datang berkunjung ke rumah orang tua Nara. Jadi nanti ketika Mama menghubungi keluarga Nara, Mama sudah b