"Mas." Emilia berkata dengan sangat ragu. Jujur saja, ia begitu sangat malu ketika harus mendesak uang pernikahan seperti ini. Yang lebih ironisnya, uang itu tidak akan dipakai untuk acara pernikahannya, namun dipakai untuk membayar hutang kedua orang tuanya kepada nasabah."Masalah uang?" tanya Fatan tanpa basa-basiEmilia menganggukkan kepalanya.Fatan memberikan amplop berwarna coklat di depan Emilia.Senyum mengembang di bibirnya, ketika melihat amplop tersebut. Ia yakin bahwa isi dalam amplop itu adalah uang. Sungguh tidak diduganya bawa Fatan akan memberikan uang secara cash seperti ini. "Kenapa tidak ditransfer?" tanya Emilia yang mengambil amplop amplop di depannya.Fatan hanya diamEmilia membuka amplop tersebut dan mengintip ke dalam. Keningnya berkerut ketika melihat isi dari amplop itu yang ternyata bukan uang. "Ini maksudnya apa mas?" tanya Emilia yang menutup amplop di tangannya."Bukankah, sudah ada di tanganmu, jadi lihat saja,' jawab Fatan.Emilia mengeluarkan isi dal
"Mumpung bang Daffin lagi di ruang kerja, aku mau telpon Nara." Hana tersenyum memandang ponsel yang di tangannya. Dengan segera dihubunginya nomor WhatsApp sahabatnya tersebut. Rasanya sudah tidak sabar, ingin mendengar kabar mengenai pekerjaan. "Halo." Nara tersenyum ketika mengangkat sambungan video call yang dilakukan Hana."Halo,0 mentang-mentang sudah jadi orang kantoran, sombong. Gak mau nelpon aku," sindir Hana. "Ha... ha..., Ada kerjaan atau nggak ada kerjaan, sama aja. Pasti kamu yang selalu telpon aku, terkecuali bila jam bang Daffin ke kantor." Nara tersenyum. Setelah Sahabatnya menikah, ia sudah mulai menjaga batasan-batasan. Dalam arti lain, ia tidak ingin menganggu Sahanaya bila bersama dengan suami.Hana tertawa ketika mendengar ucapan dari sahabatnya. "Bagaimana kerjaannya, asik nggak?" tanyanya penasaran."Asyik sekali, kerja di kantor papa Surya sangat menyenangkan. Meskipun lebel pegawai baru, tapi sudah sangat dihormati sama karyawan yang lain. Aku aja sampai m
Marno diam memandang putrinya. Pria itu kemudian menggelengkan kepalanya. "Papa yang akan bertanggung jawab. Papa akan menyerahkan diri ke kantor polisi. Rumah ini sudah digadaikan ke bank. Namun sebelum rumah disita bank, papa akan menjualnya. Tadi si pembeli sudah menghubungi papa. Kamu dan mama, hubungi si pembeli. Jual rumah ini segera. Uang dari penjualan rumah, bayar hutang bank, sisanya, belikan rumah atau uang muka untuk ambil rumah." Marno berkata dengan air mata yang menetes.Emilia menangis saat mendengar ucapan papanya. Segala usaha, sudah dilakukannya, namun tetap tidak bisa menyelamatkan orang tuanya, dari jeratan hukum. Rina memeluk suaminya dengan air mata yang terus saja menetes. Sejujurnya, ia tidak sanggup bila harus melihat pria yang sangat dicintainya, meringkuk di tahanan. "Mas, aku tidak ingin kamu ditahan.""Tidak apa, aku ingin kamu hidup bahagia bersama dengan Emilia. Jaga anak kita baik-baik." Tubuhnya bergetar saat memberikan amanat untuk istrinya. Perusa
Hana, daffin dan kedua mertuanya, berada di rumah milik almarhum papa Hana. Melihat rumah yang masih dalam proses direnovasi seperti ini, membuatnya tidak sabar menunggu kapan akan selesai. Setiap kali berada di rumah ini, ia selalu merasa rindu dengan kedua orangtuanya.Mita tersenyum memandang menantunya."Hana beneran nggak sabar pengen cepat-cepat rumah ini selesai." Hana tersenyum memandang Daffin."Iya moga-moga cepat siap." Daffin mengusap kepala istrinya."Renovasi rumah seperti ini, tidak bisa buru-buru," jelas Mita."Iya ma, Hana tahu, tapi tetap saja tidak sabaran. "Hana tersenyum. Dipandangnya ke seluruh sudut ruangan tamu yang berukuran besar."Karena kita tidak ada niat untuk buru-buru, papa minta kepada pekerja untuk mengerjakan rumah ini dengan sangat baik, rapi dan bersih." Surya tersenyum memandang Hana."Iya pa, Hana akan sangat sabar untuk menunggu. Papa, terima kasih." Dengan sangat manja, ia bergelayut di tangan pria yang berstatus papa mertua. Surya tersenyum
"Pakai sabuk pengaman!" perintah Fatan, ketika mobil itu, kembali menyenggol mobilnya. Emilia sangat gugup, tangannya gemetar ketika memasang sabuk pengaman. Dengan cepat, dipasangnya sabuk tersebut. Rina dan Marno, dengan cepat memasang sabuk pengaman yang berada di samping kursi mereka masing-masing. "Bagaimana ini mas, aku sangat takut." Rina menggenggam tangan suaminya. Air matanya tidak ada henti-hentinya menetes. Tubuhnya terhentak dengan keras, ketika mobil milik Fatan, dihantam dengan keras oleh Mobil yang dibelakangnya. Bersyukur, kepala hanya membentuk kursi didepannya. Marno hanya diam tanpa bisa menjawab ucapan istrinya. Jika seandainya, nyawanya diambil saat ini, maka tidak akan pernah disesalinya. Namun kini, anak dan istrinya juga ikut bersama dengannya."Apa kantor polisi masih jauh?' Fatan bertanya."1 km lagi," jawab Emilia dengan terbata-bata. Dipandangnya Fatan secara diam-diam. "Betapa baiknya kamu. Melihat kamu yang begitu baik seperti ini, sungguh aku mera
Fatan hanya diam memandang Emilia yang menangis histeris. Cukup lama Emilia menangis, hingga tangisnya mereda dengan sendirinya."Aku harap, kamu bisa menerima ini semua. Menurutku, di sini adalah tempat yang teraman untuk orang tuamu." Fatan memberikan nasehat untuk Emilia."Apa maksud kamu, berkata seperti ini, mas?" tanyanya dengan terisak. Dipandangnya Fatan dengan matanya yang sembab. Hatinya sakit dan hancur, ketika mendengar apa yang dikatakan Fatan. "Kamu lihat sendiri, seperti apa orang-orang mencari kedua orang tuamu. Mereka merasa sangat tertipu dengan apa yang dilakukan kedua orangtuamu. Wajar saja bila mereka marah, dan bukan hanya sekedar marah, namun juga ingin menghabisi nyawa kedua orang tuamu. Yakinlah, di sini mereka akan aman."Emillia diam sesaat menahan rasa sakit di dadanya. Apakah benar, rumah tahanan, merupakan rumah yang terbaik untuk kedua orangtuanya. Tatapan matanya, mengarah ke pintu kamar tahanan. Air matanya mengalir dengan derasnya. "Aku berharap,
Daffin hanya diam dan mendengarkan cerita Mama serta istrinya. "Iya juga, soalnya kembar." Mita juga bingung untuk memprediksikan kandungan menantunya berhubung, hamilnya kembar." "Mau perempuan semua, atau satu pasangan, papa tetap senang." Surya tertawa lepas, sambil memandang foto hasil USG kedua cucunya. Melihat kondisi kedua cucunya sehat seperti ini, membuatnya sangat senang. Hana tersenyum saat mendengar apa yang dikatakan papa mertuanya. "Mama, Hana ke kamar ya, pinggang anak pegel banget," rengeknya. "Tapi makan dulu." Mita mengingatkan menantunya."Makannya di kamar aja ya ma, pinggang Hana, kaki juga." Hana mengusap bagian pinggang belakangnya. Bila kondisi tubuhnya seperti ini, ia tidak akan berselera untuk makan."Iya gak apa, makan dikamar saja. Mama sudah pesan kursi roda untuk Hana. Mungkin besok sudah datang. Jadi mulai besok, Hana pakai kursi roda aja ya?" tanya Mita."Nggak usah ma, Hana masih sanggup kok," jawabnya dengan tersenyum. "Sanggup apanya? Biar mama
Setelah melakukan ibadah subuh di masjid dekat rumah, bersama dengan suaminya, Laras langsung pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamarnya. Setelah menyimpan perlengkapan ibadahnya, wanita itu naik ke atas tempat tidur dan membuka ponselnya, untuk melihat pesan WhatsApp yang masuk. "Mama, papa mau lari pagi, apa Mama mau ikut?" tanya Herman."Lagi malas pa," jawab Laras dengan tersenyum."Apa benar Fatan pulang, soalnya si bibi bilang semalam Fatan datang dengan membawa tas?" Herman memandang Laras."Mama nggak tahu, Mama nggak ada dengar si bibi cerita." Tidak biasanya, Fatan pulang ke rumah dengan membawa tas. Di rumah ini, pakaian putra bungsunya juga ada.'Ya udah kalau gitu, papa mau cek dulu." Herman ingin memastikan, bahwa informasi itu benar."Iya pa," jawab Laras. Laras melihat grup ibu-ibu sosialita yang merupakan teman-teman arisannya. Sudah banyak chat masuk yang tidak diketahuinya, karena chat itu masuk, ketika ia sudah tertidur. Awalnya Laras tidak berniat untuk mengeta