"Hai anak-anak, kenapa bangun di jam sekarang. Lihatlah, hari sudah sangat malam. Papi kalian lagi tidur. Opah, omah, juga lagi tidur. Siapa coba yang mau main sama kalian, mami juga ngantuk." Hana mengusap-usap perutnya. Hana tersenyum, ketika kedua buah hatinya tidak mendengarkan ucapannya. Si kembar masih sibuk menendang-nendang dari dalam perutnya. "Hai, anak-anak yang super pintar, mami ngantuk." Dirasakannya bagian perut yang sedang menonjol. Walaupun kedua anaknya membuat perutnya terasa ngilu, namun ia sangat senang, ketika melihat tonjolan dan tonjolan yang berganti-ganti posisi. Daffin membuka matanya ketika mendengar istrinya berbicara sendiri. Dilihatnya Hana yang sedang terjaga dari tidurnya. "Adek nggak tidur?" tanyanya."Gimana mau tidur, ini si kembar dari tadi gerak. Mereka ngajak main, minta bergelut." Hana tersenyum dan mengambil tangan Daffin. Diletakkannya tangan calon si papi di atas perut yang saat ini sedang terasa berkedut-kedut.Meskipun nyawanya belum te
"Gendong yang besar dan buncit aja bisa, masak bawa ini nggak bisa." Daffin tersenyum ketika melihat istrinya manyun.Hana hanya diam sambil memajukan bibirnya. "Ini bibir di maju-majuin terus, mancing ya." Ditariknya tubuh istrinya hingga semakin merapat dengannya. Daffin mencium bibir Hana dan meletakkan tangannya di belakang tekuk leher, agar istrinya tidak bisa menolak. Pria itu baru melepaskan bibirnya, ketika merasakan cubitan halus di pinggang."Abang, cepat bawa bakinya." Hana tersenyum manja dan mengusap bibirnya yang basah karena ulah suaminya. Apa yang dilakukan Daffin, mengingatkannya dengan peristiwa dulu ketika mereka berada di dapur. Suaminya tidak malu dan dengan santainya melakukan hubungan suami-istri di dapur. Ia takut, lelakinya akan lepas kendali."Iya sayang." Daffin mengangkat Baki yang di yang sudah disiapkannya. Ia berjalan menuju ke ruang makan bersama dengan istrinya.Hana duduk di kursi sambil menunggu Daffin, menyuapkan nasi untuknya. "Sebentar ya ana
Nara menghubungi Fatan lewat sambungan telepon di aplikasi WhatsApp. Jantungnya berdegup cepat ketika mendengar suara Fatan dari dalam telpon seluler yang menempel di telinganya."Iya dek," jawab Fathan"Abang, uangnya sudah masuk ke rekening Nara." Nara memberi tahu. Meskipun hatinya senang melihat nominal yang masuk ke rekeningnya, namun tetap saja, ia takut akan mendengar kata pria tersebut, salah nulis nominal."Iya, nanti kalau mau ke mall ajak Mama ya." "Iya, tapi abang salah kirim.""Salah kirim gimana, tapi katanya masuk, kok salah kirim?" Fatan tidak mengerti dengan maksud dari gadis pujaan hatinya."Itu uangnya.""Enggaklah," jawab Fatan dengan yakin."Abang coba cek lagi nominal yang abang kirim." Nara mengingatkan.Fatan melihat laporan uang yang dikirimkannya ke Nara. "Iya sudah dilihat." "Cek lagi bang, itu yang abang kirim 15 juta, bukan satu setengah juta." "Iya, Abang memang kirim 15 juta." Fatan tersenyum ketika baru memahami maksud Nara. Tangan Nara gemetar meme
Hana merasakan jantungnya yang berdegup dengan hebat, ketika masuk ke dalam ruang pertemuan dengan para wartawan. Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya. Ia kemudian duduk di kursi yang sudah disiapkan dengan gaya elegan. Sedangkan Hana duduk sebelahnya. Didalam ruangan yang besar ini, sudah penuh, oleh para wartawan. Namun wartawan, tidak boleh mendekat ke meja. Fatan sudah mengatur, batas untuk wartawan. Bila ada yang maju ke depan, hanya perwakilan saja. Di atas meja, sudah ada mikrofon, kamera dan alat rekam lainnya. Melihat banyaknya wartawan yang ada, membuat jantung Hana berdegup dengan hebatnya. Ia tidak hanya berdua dengan Daffin. Namun ada 2 orang pengacara yang mendampingi, dan Fatan, yang merupakan orang kepercayaan di perusahaan suaminya. "Selamat pagi, bapak-bapak, ibu-ibu jurnalis semua. Terima kasih sudah datang ke kantor saya. Saya minta maaf, karena baru bisa memberikan klarifikasi. Berhubung, beberapa bulan ini saya sibuk mengurus istri saya. Jadi belum
Wajah Hana bersemu merah ketika mendengar pertanyaan dari wartawan tersebut. "Sudah mau lahir ana,k masa nggak cinta," jawabnya sambil memandang suaminya.Wartawan yang ada di sana tertawa ketika mendengar jawaban singkat dari wanita berwajah cantik itu."Mbak Hana, bila dilihat, anda dengan Berliana, ini begitu sangat jauh berbeda, baik dari penampilan, gaya bicara dan pendidikan ya. Anda tampak jauh lebih santun daripada Berliana. Jadi menurut saya, wajar kalau pak Daffin jatuh cinta kepada Mbak Hana," ucap salah seorang wartawan yang memberikan pujian sesuai dengan apa yang dilihatnya.Daffin memandang istrinya. Sewaktu Hana datang ke kantor dan mendapat pujian dari sekretarisnya, dengan sangat enteng, meminta agar sekretaris pribadinya, diberi bonus karena sudah mengatakan bahwa dirinya lebih unggul daripada kakak tirinya. Kali ini Daffin berharap, istrinya tidak melakukan hal itu. Perkataan wartawan itu, sungguh membuatnya senang. Hana tersenyum dan menjawab terimakasih. Jika
"Jadi kalau masalah di sana belum jelas, nggak boleh deket ya!" tanya Fathan."Nara nggak mau, dijadiin kambing putih. Dibilangin merusak hubungan Abang sama yang di sana." Nara memajukan bibirnya. Rasa cinta, rasa rindu, sudah sangat dirasakannya. Namun ia harus yakin dan percaya, bahwa dirinya bisa dan mampu untuk menahan itu semua."Ya sudah, Abang mau selesaikan dulu sama yang di sana, kalau maunya seperti itu. Tapi kalau Abang rindu gimana?" Pertanyaan ini begitu sangat mengganjal di hatinya. Baru semalam bertemu, sekarang sudah begitu sangat rindu. Bagaimana bila masalahnya tidak bisa selesai, secepat yang diinginkannya. Nara, merasakan debaran di dadanya yang semakin kuat, ketika mendengar Fatan mengatakan rindu kepadanya. "Ya untuk sementara kita komunikasi lewat video call dulu." Ditariknya napas panjang dan kemudian menghembuskan secara berlahan-lahan. "Ya sudah deh kalau gitu. Abang mau lanjut kerja, nanti shopping banyak-banyak ya.""Iya.""I love you, sayang.""I love
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Daffin mematikan layar komputer. Ia kemudian pergi ke kamar untuk membangunkan istrinya yang sedang tertidur."Sudah bangun ya." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya, yang duduk dan menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur."Iya, tadi Hana bangun karena dapat telepon dari Nara," jawabnya"Oh, Nara cerita apa?" tanya Daffin."Nara ngasih tahu, kalau dia diterima kerja di kantor papa." Hana tersenyum. Mendengar sahabatnya itu sudah mendapatkan perkejaan, sungguh membuatnya senang."Wow keren." Daffin tersenyum."Abang, kalau nanti anak-anak sudah lahir, Hana boleh kerja juga nggak?" Hana memandang suaminya. Sejujurnya, ia ingin mencoba bekerja di kantoran dan memakai setelan blazer seperti wanita-wanita karir pada umumnya."Boleh, tapi itu si kembar apa mau dibawa?" tanya Daffin.Hana menggelengkan kepalanya. "Bila si kembar di bawa, ya sama aja, Hana bakalan jagain anak-anak, nggak jadi kerja," jawabnya dengan kesal."Terus anaknya ma
"Apa ini artinya, aku membeli?" Fatan bertanya dengan mengangkat sudut bibir sebelah kiri. Sejak tadi, ia sudah muak dengan keluarga calon istrinya.Wajah Marno, memerah saat mendengar pertanyaan dari pria yang akan menjadi menantunya. "Uang hantaran, bukan uang untuk membeli," jelasnya."Bila uang hantaran bukan uang untuk membeli, mengapa minta sebanyak itu?" tanya Fatan."Apa mas, banyak? Uang segitu nggak banyak mas," jawab Emilia"Oh, ternyata ada yang ngasih jauh lebih besar ya daripada itu?" tanya Fatan.Wajahnya memucat, ketika mendengar pertanyaan dari calon suaminya. Namun Emilia mencoba untuk tetap tenang. "Yang namanya uang hantaran, ada yang sampai miliaran loh." Laras memandang putranya. Ia tidak mengerti, mengapa Fatan mempermasalahkan nominal uang hantaran yang diminta keluarga calon besannya. "Iya, ada yang minta sampai miliaran malah." Rina kini berbicara. "150 juta itu hanya hantaran, belum termasuk mas kawin." Marno menjelaskan.Fatan menarik napas panjang, kem