Share

Bukan Indahnya Berbagi
Bukan Indahnya Berbagi
Author: Mahaya Liliana

Bab 1 (Fatma)

last update Last Updated: 2023-03-06 10:23:02

Demi Allah yang menciptakan ruh beserta udara yang mengiringi deru nafas ini, aku sangat beruntung menjadi perempuan yang memiliki suami penyayang. Denyut jantung janin di rahimku inilah buah cinta kasih sayangnya. Bayi yang kukandung sudah mulai memasuki bulan ke sembilan, senyum bahagia tiada tara tak bisa berhenti di wajahku. 

'Fatma' begitu Ia memanggilku, suaranya begitu lembut saat menyebut namaku. Satu tahun yang lalu aku telah resmi bersanding dengan Mas Rizki, Nahru Rizki Budiman. Aku mengenalnya saat Ia berkunjung ke rumah orangtuaku untuk melamarku.

Aku menyibakkan tirai jendela yang menghalangi sinar mentari pagi, dalam sekejap cahaya oranye melesat menembus ruang tengah. 

Drrrrt

Getar handphone terdengar dari meja di belakangku, handphone Mas Rizki tertinggal. Tadi pagi Mas Rizki memang tergesa-gesa saat bersiap-siap menuju kantornya. Perlahan, aku melangkah menuju meja di mana handphone itu berada. Perutku yang sudah membesar, membuat pergerakanku tidak selincah sebelumnya.

Sepertinya handphone Mas Rizki tidak dikunci, ada chat W******p yang masuk. 'Fani' begitu nama kontaknya. Siapa itu Fani? Aku mengetuk pesannya,

"Daddy lagi sibuk enggak?"

Hah, Daddy? 

Tendangan kecil dari pangeranku membuat tanganku beralih untuk mengelusnya. Aku mendaratkan tubuhku ke kursi dan terus mengelusnya. "Pangeranku, Bunda di sini. Bunda bersamamu, Nak."

Sembari menyandarkan punggungku, aku membuka WhatssApp di handphone Mas Rizki. Ini mungkin terlihat lancang, namun rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Sesekali, aku menghirup dan menghembuskan nafasku untuk mengumpulkan konsentrasiku.

Rupanya si Fani sudah lama chatting dengan suamiku, jejak chattingnya sudah sangat panjang. Aku membaca percakapan di chatting ini, chatting suamiku dengan wanita ini. Hari kemarin,

"Iya, Dad. Udah habis yang kemarin, ini sabun cuci muka juga habis."

"Boros ya? Cepat banget habisnya,"

"Hmmm. Kalau Daddy nggak mau ngasih juga nggak apa-apa, kok. Tapi jangan harap buat ketemu aku lagi,"

"Fan?"

"Aku cuma mau sama yang ada aja, Dad. Hidup ini nggak ada yang gratis."

"Lho, sebentar-sebentar. Maunya gimana, Fani Sayang?"

"Kalau Dad mau gratis, ya sudah tuh garap istri Dad yang lagi bunting. Emang enak sama orang bunting?!"

Apa? Astaghfirullah.

Astaghfirullah Ya Allah.

Jadi, selama ini Mas Rizki main-main di belakangku?

Degup jantungku bertambah kencang. Mataku terasa panas dan pedas, pandanganku sedikit kabur. Bibirku bergetar dan aku berusaha melafalkan istighfar berkali-kali. Apakah ini nyata, apakah benar Mas Rizki bermain di belakangku?

"Fatma, kendalikan dirimu. Bayimu lebih penting," bisik dewi batinku.

Aku meng-export pesan ini ke nomorku. Aku harus membaca semua percakapan suamiku dengan wanita asing ini. Semoga ini hanya prasangkaku saja. Semoga prasangkaku tidak benar. 

Sakit hati dan kecewa semakin kurasakan saat aku membaca semua percakapan antara wanita ini dengan suamiku. Aku tidak mengenal wanita ini, tapi rupanya Ia memang nekat mendekati laki-laki yang sudah jelas memiliki isteri dan sedang mengandung.

Aku memiliki praduga bahwa anak ini masih mengenyam pendidikan karena beberapa kali Ia menagih tambahan jatah untuk menge-print dan fotocopy. Jatah macam apa yang diberikan Mas Rizki kepadanya? Mengapa Kau bersikap begitu, Mas? Isteri di rumah diberi uang pas-pasan hanya untuk keperluan sehari-hari, tapi ternyata hartamu disetorkan ke wanita lain yang entah siapa.

"Mas, bagaimana kerjaan di kantor?" sapaku saat Ia sudah menanggalkan kemeja kerjanya.

"Baik-baik saja," sahutnya dengan nada biasa tanpa menatapku.

"Mas juga baik-baik saja?" Lanjutku. Ia menoleh dan menatapku sejenak. 

"Kau lihat sendiri, Fatma. Aku baik-baik saja," ucapnya kemudian.

"Syukurlah. Mas tolong jaga kesehatan ya, kalau bisa jangan lembur terus. Anak kita sudah mulai masuk bulan sembilan," ucapku dengan berat. Aku ingin sekali berterus terang menanyakan tentang Fani dan hubungannya. Namun, kuurungkan. 

*** 

Perselisihan berawal ketika aku menyampaikan apa yang sebenarnya kurasakan, Mas Rizki mengelak dan menyangkal ucapanku. Ia juga menuduhku hanya mencari gara-gara agar diberi perhatian lebih.

"Jujur, aku terkejut waktu nggak sengaja membuka handphone-nya Mas Rizki waktu itu. Siapa Fani itu, Mas? Selingkuhanmu?"

"Hah? Selingkuhan? Yang benar saja Kau, Fat. Untuk apa aku berpaling darimu sementara urusanku hanya kamu dan pekerjaan kantor," jawabnya setelah sempat terkejut selama beberapa detik.

"Kalau begitu, Mas ke mana saja setelah pulang kantor? Kenapa harus pulang telat terus?" 

"Aku lembur, Fat," jawabnya singkat.

"Apa setiap hari harus lembur?" 

"Tidak,"

"Lalu ke mana?"

"Kalau kamu memang butuh perhatianku mengapa harus menuduhku selingkuh segala, Fatma?"

"Mas! Aku memang butuh perhatianmu karena aku isterimu, tapi perasaanku terlanjur hancur setelah mengerti apa yang Mas Rizki lakukan di belakangku," tanggapku.

"Aku tidak selingkuh, Fatma!"

"Tapi chat itu…."

"Itu hanya chat biasa. Kami sesama rekan kerja sudah biasa chatting seperti itu," potong Mas Rizki.

"Baiklah kalau begitu, aku hargai pengakuan Mas Rizki walau aku belum sepenuhnya percaya. Hati siapa yang tak sakit ketika dibohongi dan diduakan di belakang, Mas?"

"Terserah, aku lelah Fat. Yang penting aku tidak selingkuh seperti tuduhanmu," ucapnya.

Aku kembali ke kamarku dengan perasaan campur aduk. Pengalamanku yang sangat hijau mengenai rasa cinta dan kehidupan keluarga, membuatku terlalu banyak berpikir ketika terbesit dalam benakku untuk mengusut siapa sebenarnya Fani.

Kondisi kandunganku yang kian membesar mungkin lebih baik untuk kupikirkan dari pada si Fani itu. Namun di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Mas Rizki dariku.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Pipit Pitriyana
🥹🥹🥹🥹🥹
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 2 (Fatma)

    Pagi ini aku memutar otak bagaimana caranya agar bisa mengungkap siapa Fani. Aku men-stalking Instagram Mas Rizki siapa tahu ada akun yang memberiku petunjuk. Namun hasilnya nihil, following Instagram suamiku tak lain hanyalah rekan-rekan kerjanya yang juga ada di list followingku. Lalu dari mana mereka berkenalan?"Coba cek followersmu, Mbak Fat," saran teman arisanku di grup ibu-ibu arisan. Aku memang mengungkapkan rasa resahku di grup arisan ibu-ibu, grup chat yang juga biasa digunakan sebagai tempat untuk membicarakan urusan perempuan. "Benar juga ya, Mbak," tanggapku."Iya, cek satu-satu. Kalau ada yang nggak dikenal sama Mbak Fatma, kemungkinan akun itu perlu diawasi," balas yang lain. Kebetulan aku bukanlah perempuan sosialita yang gila sosmed, followersku hanya beberapa."Ayo, Mbak. Semangat, jangan menyerah. Dulu Mbak Tiara juga bisa," ujar yang lain.Beberapa bulan sebelum aku tertimpa ujian ini, teman seusiaku juga pernah mengalami hal yang sama. Tiara, perempuan 27 tahun

    Last Updated : 2023-03-06
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 3 (Fatma)

    "Mas, bisa tolong jawab pertanyaan saya?" Ucapku setelah menghembuskan nafas. "Aku hanya membantunya, Fatma. Tidak ada hal lain yang kuinginkan darinya karena Engkau bagiku sudah cukup," ucap Mas Rizki dengan memandang wajahku. "Tapi … apa maksud Mas Rizki membantu anak itu? Sudah jelas-jelas Ia menggoda Mas Rizki," ucapku dengan gamblang. Mas Rizki menyipitkan netranya, "Atas dasar apa Kau berkata seperti itu, Fatma?" "Atas dasar chat Fani dan Mas Rizki. Mohon maaf Mas, aku sudah mengetahui semuanya termasuk pembahasan-pembahasan yang asing bagiku. Aku juga meminta bantuan teman-teman untuk menyelidiki si Fani," paparku dengan kesal. "Astaghfirullah, Fatma! Kau membeberkan urusan rumah tangga kita kepada orang lain?" Mas Rizki tidak terima dengan apa yang kulakukan. Aku memang keliru, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki orang lain untuk sekedar bercerita selain ibu-ibu satu grup arisan. Membeberkan urusan rumah tangga adalah hal yang sangat tabu, apalagi membuka aib s

    Last Updated : 2023-03-06
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 4 (Fatma)

    Aku melangkah perlahan karena beban perutku tak mungkin bisa diajak berjalan tergesa-gesa. Satpam yang berdiri di samping pintu gerbang menyapaku ramah. "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Saya mau menemui guru BK dan Wali kelas XI Adm 16," jawabku langsung menuju inti. Satpam tersebut terlihat bingung. Mungkin kedatanganku terlihat aneh. Di saat yang sama, handphone-ku berdering. "Apakah Ibu sudah membuat janji dengan beliau-beliau?" Tanya Satpam. "Belum, Pak," "Ibu wali murid?" "Bukan, tapi saya ada urusan dengan salah satu murid di sini," jawabku lagi. Satpam terlihat sedikit terkejut. Handphone-ku berdering lagi. Tiara menelpon. Aku mematikan teleponnya dan mengirimkan pesan bahwa aku sudah sampai di sekolah tujuanku. "Oh, kalau begitu mari saya antar, Bu," Ia membukakan pintu gerbang dan memanduku menuju ruang BK. Ia juga menyampaikan maksudku secara singkat kepada guru BK tersebut. Guru BK menyilakan aku untuk duduk. "Mari, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" "Selamat pagi, Bu.

    Last Updated : 2023-03-06
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 5 (Fatma)

    "Hah? Saling menguntungkan bagaimana?" Timpal Guru BK."Mas Rizky harus memenuhi kebutuhan saya kalau mau tidur dengan saya," jawab Fani sangat ringan."Tidur?" Kali ini Bu Zara mengeluarkan suara. "Iya," tegas Fani.Perutku sudah tidak tahan lagi, akhir-akhir ini tubuhku memang sering lemas, tidak sekuat sebelumnya. Aku kehilangan mood untuk debat kusir dengan anak tidak tahu diri ini, biarlah aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya.Guru BK menarik nafas sebelum Ia pamit ke ruangan lain. Bu Zara mengambil kesempatan untuk bicara pada Fani."Falen, sejak kapan kamu menjalin hubungan seperti itu?""Belum lama, kok. Saya tahu sekitar setengah tahun yang lalu, Bu," jawabnya seperti sudah akrab dengan Bu Zara.Guru BK kembali masuk ke ruangan. Wajahnya sedikit lega. "Nah, orangtua Falen sebentar lagi ke sini," ujarnya."Apa Bu? Mengapa harus bawa-bawa orangtua saya? Ini kan urusan saya bukan urusan orangtua," teriak Fani. Kami bertiga hampir terlonjak bersamaan."Falen, duduk dulu Nak

    Last Updated : 2023-03-06
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 6 (Fatma)

    Setelah peristiwa di sekolah yang sangat tidak anggun itu, aku fokus mengawasi pergerakan Mas Rizki. Wanita asing yang kurang pendidikan dan tidak punya tata krama, memang susah fix dikeluarkan dari sekolah, namun aku justru harus lebih waspada. Pasalnya, Mas Rizki dituntut orangtua Fani untuk bertanggung jawab menikahinya. Mereka menemui Mas Rizki di kantornya. Ini tidak bisa diterima oleh akal sehatku, "Siapa yang salah dan siapa yang dituntut?" "Fatma," panggil Mas Rizki suatu hari. "Apa Mas? Pokoknya aku tidak sudi bersanding dengan anak itu! Kalau Mas Rizki memang lebih cinta sama anak itu dari pada aku, aku rela dicerai. Lebih baik pisah dengan laki-laki yang mengkhianati agamanya." Sahutku sebelum aku mendengar alasan apapun dari Mas rizki. "Aku sudah terlanjur salah. Tapi bagaimanapun, Fani juga sudah sah untuk menikah, Ia sudah baligh," tukas Mas rizki. "Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran Mas Rizki, yang perlu Mas Rizki pertimbangkan sebelum memutuskan apapun adalah

    Last Updated : 2023-03-06
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 7 (Fatma)

    Perempuan manapun yang mendapati suaminya selingkuh pasti akan sakit hati, itulah yang sedang kurasakan. Tidak hanya aku, perempuan-perempuan yang berakal sehat dan telah mengetahui semua ini merasa geram. Aku benci pada wanita yang telah melakukan ini padaku, tapi bukan berarti aku membela Mas Rizki. Aku juga sangat sakit hati pada apa yang Mas Rizki lakukan padaku. Apakah ketika di luar sana Ia melupakanku yang sedang menunggunya pulang? Apakah Ia tidak ingat akan buah cintanya yang ada di rahimku? Pembicaraan mengenai poligami yang dilontarkan Mas Rizki bagaikan anak tangga yang meruntuhiku saat aku terjatuh. Bagaimana bisa Ia berpikir untuk poligami dengan perempuan yang tidak punya akhlak? Hanya untuk menutupi kelakuan yang sama-sama bejad? Walaupun aku memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidupku sendiri, namun aku tidak ingin menyerah begitu saja saat wanita lain berusaha merebut kasih sayang suamiku. Aku punyak hak untuk bersuara dan hak untuk tidak setuju jika mas Ri

    Last Updated : 2023-03-17
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 8 (Fatma)

    Seperti saran Mas Hikam dan Mbak Salis, malam ini aku menyiapkan makan malam dan mengajak bicara suamiku secara serius. Hati ini rasanya sudah lelah, jiwa ini rasanya goyah, aku berkali-kali menghela nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Saat Mas Rizki tiba di rumah, aku langsung memberitahunya bahwa malam ini aku memasak. "Tumben masak," ucapnya. Kuabaikan tanggapan menohok itu karena tujuanku malam ini adalah membicarakan komitmen Mas Rizki sebagai suamiku. "Ada hal yang akan kutanyakan padamu, Mas. Tidak banyak. Hanya saja, aku butuh jawaban langsung darimu," aku langsung menuju inti pembicaraan. "Hmm. Jawaban yang bagaimana?" "Jawaban yang paling dalam dari lubuk hati Mas Rizki. Mas sebenarnya pilih aku atau anak itu?" "Mengapa tiba-tiba mengungkit hal ini lagi, Fat? Kamu sudah tahu aku tidak lagi punya hubungan apapun dengan anak itu …." "Karena aku telah mengetahuinya. Tolong dijawab Mas, ini pertanyaan titipan dari Mas Hikam," ucapku tegas. "Tidak ada alasan bagiku untu

    Last Updated : 2023-03-17
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 9 (Fatma)

    Akhirnya saat yang sangat mendebarkan di hidupku tiba, aku berbaring dengan nafas terengah-engah setelah pembukaan kelima. Hari ini aku berjuang untuk melahirkan pangeranku. "Lho, di mana Rizki? Kok sampai sekarang nggak datang-datang?" kudengar suara Ibu di luar kamar. "Sudah dikabarin, Bu. Mungkin lagi sibuk di kantornya," Mbak Salis menjawab pelan namun masih terdengar olehku. Aku menghembuskan nafas kasar. Bayangan melahirkan didampingi suami seperti adegan romantis ala film dan novel-novel telah sirna. Kutepiskan segala harapan semu yang tak semua perempuan mendapatkannya termasuk diriku. "Sudahlah, Fatma. Sekarang lebih baik memperjuangkan anakmu dulu," batinku. Kukerahkan seluruh tenagaku, kupertaruhkan jiwa dan ragaku demi kehadiran amanah Alloh yang telah berada di rahimku selama sembilan bulan. Rasa sakit, perih, lelah, dan semua yang mendera diriku tak kuhiraukan. Saat ini, aku hanya ingin bayiku lahir dengan selamat. Bidan dan perawat dengan sabar membantuku dan member

    Last Updated : 2023-03-18

Latest chapter

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 100 (Rizki) TAMAT

    "Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 99 (Febi)

    Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 98 (Hikam)

    Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 97 (Salis)

    Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 96 (Putri)

    Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 95 (Hikam)

    "Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 94 (Muniroh)

    Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 93 (Febi)

    Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 92 (Salis)

    Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka

DMCA.com Protection Status