"Hah? Saling menguntungkan bagaimana?" Timpal Guru BK.
"Mas Rizky harus memenuhi kebutuhan saya kalau mau tidur dengan saya," jawab Fani sangat ringan.
"Tidur?" Kali ini Bu Zara mengeluarkan suara.
"Iya," tegas Fani.
Perutku sudah tidak tahan lagi, akhir-akhir ini tubuhku memang sering lemas, tidak sekuat sebelumnya. Aku kehilangan mood untuk debat kusir dengan anak tidak tahu diri ini, biarlah aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Guru BK menarik nafas sebelum Ia pamit ke ruangan lain. Bu Zara mengambil kesempatan untuk bicara pada Fani.
"Falen, sejak kapan kamu menjalin hubungan seperti itu?"
"Belum lama, kok. Saya tahu sekitar setengah tahun yang lalu, Bu," jawabnya seperti sudah akrab dengan Bu Zara.
Guru BK kembali masuk ke ruangan. Wajahnya sedikit lega. "Nah, orangtua Falen sebentar lagi ke sini," ujarnya.
"Apa Bu? Mengapa harus bawa-bawa orangtua saya? Ini kan urusan saya bukan urusan orangtua," teriak Fani. Kami bertiga hampir terlonjak bersamaan.
"Falen, duduk dulu Nak," ucap Bu Zara sambil menarik tangan Fani.
"Karena kamu masih jadi tanggung jawab orangtua kamu, Nak," ucap Guru BK dengan tegas.
Suasana ruang BK menjadi dingin, kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Aku tidak tahu apakah keputusan Guru BK untuk memanggil orangtua Fani akan lebih baik, atau justru memperkeruh. Kemungkinan orangtua membela anaknya mati-matian memang ada di dunia ini, apalagi di zaman seperti ini. Orangtua yang gagal memberikan pendidikan keluarga lalu semakin menjerumuskan anaknya untuk victim playing sudah menjadi hal lumrah.
"Assalamu'alaikum," ucap laki-laki yang usianya terlihat sekitar 50an tahun.
"Wa'alaikum salam," jawabku, Guru BK, dan Bu Zara. Laki-laki itu masuk ruangan diikuti Ibu-ibu di belakangnya.
Setelah menyilakan kedua orangtua Fani untuk duduk, Guru BK kembali menjelaskan pokok permasalahan ini dengan pelan. Fani tampak berusaha membuat wajahnya biasa saja meski aku tahu Ia merasa bersalah. Ayah Fani tampak mengerutkan dahi, sementara Ibunya terlihat sangat terkejut.
"Ha? Tidak mungkin! Anak saya selalu pergi mengaji setelah pulang sekolah sampai habis 'isya!" teriak Ibunya.
"Iya, anak kami selalu pergi ke masjid. Anda semua jangan sembarangan berbicara tentang anak kami, ya!" bela Ayahnya sambil berkacak pinggang.
"Mohon tenang, Bapak Ibu. Kami tidak sembarangan berbicara, Bu Fatma memiliki bukti chat. Falencia pun juga mengakui hal ini, oleh karena itu kami memanggil Bapak Ibu ke sini untuk bersama-sama menyelesaikan perkara ini," ujar Guru BK.
"Apakah Bapak Ibu yakin Falencia pergi mengaji?" Tanyaku dengan pelan. Namun kusadari setelah itu, ucapanku justru mirip dengan tuduhan.
"Mungkin perlu ditelisik lagi, Pak, Bu. Apakah putri Anda benar-benar pergi mengaji," dukung Guru BK.
"Iya, kan Fan? Kamu mengaji tiap pulang sekolah? Tante ini nggak bener kan, Fan?" Ibu Fani meminta jawaban pada Fani. Anak itu tak bergeming sedikitpun. Aku menatap tepat ke matanya, berharap anak itu memberi jawab jujur pada orangtuanya.
"Pihak sekolah tidak keberatan untuk menghubungi tempat di mana Falencia mengaji," ujar Guru BK tegas. Ia memberi peringatan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa sekolah tidak tanggung-tanggung untuk menjaga nama baik institusinya.
Fani hanya memutar bola matanya. Kelakuan yang tidak menyenangkan, mungkin anak ini kurang serius untuk belajar tata krama.
"Falen kalau ngaji di mana, Nak?" Tanya Bu Zara.
"Di rumah Pak Ustadz Arkan," jawabnya singkat.
"Oh, bareng sama Aldin ya?" Bu Zara menanggapi jawaban Fani seolah tahu siapa Ustadz yang dimaksud.
"Iya, Bu," jawabnya singkat tanpa bertatap muka.
"Falencia punya nomor Pak Ustadz?" Guru BK bertanya dan berusaha fokus pada masalah.
"Tidak, Bu," sahut Fani mantap. Entah dia berbohong atau tidak.
"Kalau begitu, tolong panggil Aldin ke sini, Bu Zara. Siapa tahu dia punya," ujar Guru BK.
Bu Zara menuruti permintaan Guru BK dan membawa Aldin yang menampilkan wajah kebingungan.
"Lu, kenapa Fan?" remaja yang rambutnya disisir rapi dan sedikit mengkilap, membuka suara.
"Nak Aldin punya nomornya Pak Ustadz Arkan? Ibu boleh minta, Nak?" Guru BK langsung melemparkan pertanyaan sebelum Fani membuka suara pada Aldin.
"Oh, ada Bu. Saya kirim ke W******p ya, Bu," jawabnya dengan cepat sambil mengeluarkan handphone dari saku celananya.
"Baik, Nak. Terimakasih, kamu boleh kembali ke kelas," tanggap Guru BK.
"...."
"Wa'alaikum salam, perkenalkan ini Yuni, guru BK SMK tempat Falencia Nikita belajar,"
"...."
"Eh, iya, Fani, Bapak. Mohon maaf Bapak, mengganggu waktunya, kami ingin bertanya, …."
"Ibu, boleh dihidupkan speaker-nya?" sergah Ayah Fani. Guru BK dengan sabar mengatur handphone-nya.
"Apakah Bapak yang diamanahi oleh orangtua Fani untuk belajar mengaji?"
"Iya, betul. Ada apa Bu?"
"Fani masih belajar mengaji kepada Bapak?"
"Hmmm, seharusnya sih masih. Tapi kok anaknya nggak pernah kelihatan ya? Orangtuanya juga nggak ngasih kabar," jawab Pak Ustadz melalui telepon.
Deg
Kedua orangtua Fani terlonjak. Fani mengerutkan dahi seakan kesal dengan jawaban Pak Ustadz.
"Karena saya berangkatnya telat, jadi Pak Ustadz nggak lihat," kilah Fani tanpa diminta. Guru BK yang masih memegang handphone dan belum memutuskan panggilan, menoleh kepada Fani.
"Ssst, sopan, Nak," desis Ibu Fani.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Pak Ustadz karena Guru BK tidak menjelaskan latar belakang pertanyaannya.
"Ada urusan penting di sekolah, Pak. Terimakasih atas waktunya, mohon maaf sudah mengganggu," ucap Guru BK.
"Nggak apa-apa, mungkin pihak sekolah bisa menyampaikan ini kepada yang bersangkutan, Bu. Biar anaknya ada kejelasan, masih mau mengaji atau tidak," ujar Pak Ustadz.
"Baik, Pak. Akan kami sampaikan, terimakasih banyak atas waktunya, Pak Ustadz. Wassalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh,"
Aku menghembuskan nafas lega, terima kasih Ya Alloh.
"Falencia dan Bapak Ibu sudah mendengar keterangan dari Pak Ustadz secara langsung, kan?" Ujar Guru BK yang ternyata bernama Bu Yuni.
Orangtua Fani terkejut dan bingung, mereka menatap wajah anaknya lekat-lekat.
"Kemana saja Kau, Nak?" Ujar Ayahnya.
"Sudah kubilang, aku datangnya telat, Ayah! Makanya Pak Ustadz nggak lihat aku datang," ototnya.
"Ehm, Bapak Ibu. Mungkin urusan Fani dengan Pak Ustadz bisa diselesaikan baik-baik dengan Pak Ustadz. Maaf saya ke WaKa Kesiswaan dulu," ujar Bu Yuni. Ia berlenggang keluar ruangan.
"Jangan bohong Kau, Nak!" Teriak Ibunya.
"Aku nggak bohong. Ini Mbaknya aja yang kompor biar Bu Yuni telpon Pak Ustadz."
"Bukan urusan saya kalau Bu Yuni telepon Pak Ustadz, beliau berusaha membuktikan pengakuanmu," sahutku.
WaKa Kesiswaan dan Bu Yuni masuk ruangan setelah beberapa lama. Lelaki yang tidak muda lagi dengan rambut beruban dan kacamata tebal, menyapa semuanya. Lalu Ia menyampaikan inti maksudnya,
"Mohon maaf, dengan berat hati kami kembalikan tanggung jawab pendidikan atas nama Falencia Nikita kepada Bapak Ibu sekalian,"
"Maksudnya?" tanya Ibu Fani sambil mengerutkan dahi.
"Saya dikeluarkan dari sekolah, Pak?" teriak Fani. Kedua orangtuanya yang baru menangkap maksud tersebut terlonjak.
"Kenapa anak kami dikeluarkan dari sekolah Pak? Saya sudah membayar tagihan sekolah ini!"
"Karena putri Bapak Ibu sudah mencemarkan nama baik sekolah ini," jawab WaKa Kesiswaan dengan tenang.
"Masalah rumah tangga itu biasa, Pak. Jangan mengkambinghitamkan anak saya!"
"Putri Bapak yang sudah membuat masalah di rumah tangga orang. Gara-gara putri Bapak, Ibu ini membuat pengaduan ke sekolah ini,"
"Pokoknya saya tidak terima anak saya dikeluarkan dari sekolah!" Otot Ayah Fani.
"Saya lebih tidak terima suami saya digoda dan dipalakkin perempuan asing," ucapku sambil menahan gejolak di perutku.
"Saya nggak malak, Mbak. Sudah saya bilang, Mas Rizki juga menikmatinya," Fani ikut menimbrung.
Ayah Fani dan WaKa Kesiswaan mengalihkan wajah ke Fani. Beberapa saat hening.
"Mas Rizki?" Tanya WaKa Kesiswaan.
"Suami saya," sahutku memberi keterangan.
"Perbuatan tidak terpuji yang putri Bapak lakukan benar-benar keterlaluan. Tidak salah saya membuat keputusan ini," ucap WaKa Kesiswaan.
"Fan, kamu sudah berapa kali dengan orang itu, Nak?" tanya Ibu sambil terisak.
Fani hanya memutar bola matanya lagi.
"Falen?" Ulang Bu Yuni dengan lembut.
"Hampir tiap malam, Bu,"
"APA?"
Ayah Ibu Fani, Bu Yuni, Bu Zara, WaKa Kesiswaan, dan aku terlonjak.
"Kalau kamu hamil bagaimana, Nak?" Ucap Bapak Fani dengan suara bergetar.
"Kalau Fani sampai hamil, orang itu harus bertanggung jawab!" Teriak Ibu Fani sambil menyipitkan matanya kepadaku.
Aku terbelalak.
***
Setelah peristiwa di sekolah yang sangat tidak anggun itu, aku fokus mengawasi pergerakan Mas Rizki. Wanita asing yang kurang pendidikan dan tidak punya tata krama, memang susah fix dikeluarkan dari sekolah, namun aku justru harus lebih waspada. Pasalnya, Mas Rizki dituntut orangtua Fani untuk bertanggung jawab menikahinya. Mereka menemui Mas Rizki di kantornya. Ini tidak bisa diterima oleh akal sehatku, "Siapa yang salah dan siapa yang dituntut?" "Fatma," panggil Mas Rizki suatu hari. "Apa Mas? Pokoknya aku tidak sudi bersanding dengan anak itu! Kalau Mas Rizki memang lebih cinta sama anak itu dari pada aku, aku rela dicerai. Lebih baik pisah dengan laki-laki yang mengkhianati agamanya." Sahutku sebelum aku mendengar alasan apapun dari Mas rizki. "Aku sudah terlanjur salah. Tapi bagaimanapun, Fani juga sudah sah untuk menikah, Ia sudah baligh," tukas Mas rizki. "Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran Mas Rizki, yang perlu Mas Rizki pertimbangkan sebelum memutuskan apapun adalah
Perempuan manapun yang mendapati suaminya selingkuh pasti akan sakit hati, itulah yang sedang kurasakan. Tidak hanya aku, perempuan-perempuan yang berakal sehat dan telah mengetahui semua ini merasa geram. Aku benci pada wanita yang telah melakukan ini padaku, tapi bukan berarti aku membela Mas Rizki. Aku juga sangat sakit hati pada apa yang Mas Rizki lakukan padaku. Apakah ketika di luar sana Ia melupakanku yang sedang menunggunya pulang? Apakah Ia tidak ingat akan buah cintanya yang ada di rahimku? Pembicaraan mengenai poligami yang dilontarkan Mas Rizki bagaikan anak tangga yang meruntuhiku saat aku terjatuh. Bagaimana bisa Ia berpikir untuk poligami dengan perempuan yang tidak punya akhlak? Hanya untuk menutupi kelakuan yang sama-sama bejad? Walaupun aku memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidupku sendiri, namun aku tidak ingin menyerah begitu saja saat wanita lain berusaha merebut kasih sayang suamiku. Aku punyak hak untuk bersuara dan hak untuk tidak setuju jika mas Ri
Seperti saran Mas Hikam dan Mbak Salis, malam ini aku menyiapkan makan malam dan mengajak bicara suamiku secara serius. Hati ini rasanya sudah lelah, jiwa ini rasanya goyah, aku berkali-kali menghela nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Saat Mas Rizki tiba di rumah, aku langsung memberitahunya bahwa malam ini aku memasak. "Tumben masak," ucapnya. Kuabaikan tanggapan menohok itu karena tujuanku malam ini adalah membicarakan komitmen Mas Rizki sebagai suamiku. "Ada hal yang akan kutanyakan padamu, Mas. Tidak banyak. Hanya saja, aku butuh jawaban langsung darimu," aku langsung menuju inti pembicaraan. "Hmm. Jawaban yang bagaimana?" "Jawaban yang paling dalam dari lubuk hati Mas Rizki. Mas sebenarnya pilih aku atau anak itu?" "Mengapa tiba-tiba mengungkit hal ini lagi, Fat? Kamu sudah tahu aku tidak lagi punya hubungan apapun dengan anak itu …." "Karena aku telah mengetahuinya. Tolong dijawab Mas, ini pertanyaan titipan dari Mas Hikam," ucapku tegas. "Tidak ada alasan bagiku untu
Akhirnya saat yang sangat mendebarkan di hidupku tiba, aku berbaring dengan nafas terengah-engah setelah pembukaan kelima. Hari ini aku berjuang untuk melahirkan pangeranku. "Lho, di mana Rizki? Kok sampai sekarang nggak datang-datang?" kudengar suara Ibu di luar kamar. "Sudah dikabarin, Bu. Mungkin lagi sibuk di kantornya," Mbak Salis menjawab pelan namun masih terdengar olehku. Aku menghembuskan nafas kasar. Bayangan melahirkan didampingi suami seperti adegan romantis ala film dan novel-novel telah sirna. Kutepiskan segala harapan semu yang tak semua perempuan mendapatkannya termasuk diriku. "Sudahlah, Fatma. Sekarang lebih baik memperjuangkan anakmu dulu," batinku. Kukerahkan seluruh tenagaku, kupertaruhkan jiwa dan ragaku demi kehadiran amanah Alloh yang telah berada di rahimku selama sembilan bulan. Rasa sakit, perih, lelah, dan semua yang mendera diriku tak kuhiraukan. Saat ini, aku hanya ingin bayiku lahir dengan selamat. Bidan dan perawat dengan sabar membantuku dan member
Pangeranku sudah lahir, semoga Kau jadi anak sholeh dan cerdas ya, Nak. Sembilan bulan Bunda mengandungmu dan selalu bersamamu; akhirnya Bunda bisa melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan menggendongmu."Fat, airnya jangan terlalu panas," ucap Ibu saat aku menyiapkan air untuk memandikan anakku."Iya, Bu," sahutku.Ibu sibuk menimang pangeranku sembari menungguku selesai menyiapkan air. Sesuai rencana, Ibu dan Bapak turut tinggal di rumah Mas Hikam sampai urusanku dengan Mas Rizki selesai."Bu, gimana acara sholawatnya?" Sela Bapak yang baru saja kembali dari pasar terdekat. "Lho, coba tanya Hikam maunya gimana," tukas Ibu."Fatma masih ada tabungan, Bu. Jangan khawatir, Ibu sama Mbak Salis tinggal list keperluan acaranya saja," aku menimpali mereka."Maksudnya ngundang warga sini buat acara sholawatan perlu diatur sama Hikam, Fat. Ya, minimal Hikam yang sudah menetap di sini diajak rembugan gitu," ujar Bapak."Nah, urusan ngundang warga kita serahkan ke Hikam, uang Fatma bisa kita p
Orangtua Mas Rizki rencananya akan menjenguk cucu barunya nanti sore. Tadi malam Bapak sudah bicara dengan mantan besannya. Semoga Mas Rizki belum mengabari tentang perceraian kami. Aku sudah paham Mas Rizki adalah tipe yang lebih suka mengambil keputusan tanpa perlu pertimbangan orang lain. Mungkin, termasuk keputusannya menceraikanku. Ah, sudahlah Ia hanya memilih ABG itu.Tak ketinggalan, Mas Hikam ternyata juga sudah meminta Mas Rizki untuk datang pada jam yang tepat. Sungguh rencana yang detail dan hati-hati."Maaf, Fatma hanya merepotkan kalian," gumamku."Fatma, ini urusan keluarga, bukan hanya urusanmu. Menikah dan bercerai adalah urusan antar keluarga, bukan lagi urusan dua pribadi," sanggah Bapak. Mobil Mas Hikam yang membawa kedua orangtua Mas Rizki memasuki halaman rumah, begitu pula mobil Mas Rizki dari arah yang berlawanan. Perasaanku berdesir karena sebentar lagi akan ada pembicaraan yang sangat menyakitkan hatiku. Mungkin juga akan menimbulkan keterkejutan luar biasa
Dua hari yang lalu aku pulang ke rumah Ibu, sebenarnya Mas Hikam dan Mbak Salis sudah mengatakan beberapa kali bahwa aku lebih baik tinggal di rumah mereka. Tapi aku tidak enak hati. Walaupun pada nyatanya akses menuju pasar dan toko-toko keperluan rumah tangga sangat jauh dari rumah orangtuaku. Jika berjalan malam hari saja kami harus membawa senter karena jalanan masih banyak yang belum dipasangi listrik.Ketimpangan sosial dan ekonomi di tempat kami masih sangat tinggi. Banyak rumah yang masih menggunakan bahan dasar kayu dan anyaman bambu. Namun beberapa juga banyak yang sudah seperti gedung bertingkat. Di tempat kami masih jarang penduduk yang menyelesaikan pendidikan tinggi, bahkan masih banyak yang hanya lulusan SMP. Aku bersyukur sekali karena kedua orangtuaku berjuang keras agar aku dan Mas Hikam bisa kuliah di kota. Banyak tetangga yang awalnya mencibir orangtuaku, "Anak perawan satu-satunya kok dilepas. Nanti kalau jauh dari rumah dan salah jalan tahu rasa itu orang," "Unt
Mas Rizki meminta video call, ada apa sebenarnya? "Mohon maaf, Mas. Kita sudah bukan suami isteri lagi!" Balasku singkat."Apakah Mas Rizki tidak ingin menjenguk anak sendiri?" Lanjutku mengalihkan perhatian. Kalimat 'anak sendiri' sengaja kutebalkan agar Ia peka, lalu kuletakkan handphone di atas meja tanpa menunggu balasannya. Kuhela nafas dalam-dalam berharap agar setan yang menghinggapiku pergi. Aku hampir selalu marah jika teringat Mas Rizki, aku takut jika rasa marahku tumbuh menjadi dendam. Hanya aku dan Mbak Salis yang tahu ini, Mbak Salis memang selalu mendengarku tapi Ia hanya bisa menyarankanku untuk beristighfar sebanyak mungkin."Maaf, Fat. Kantorku sedang tidak stabil, mungkin satu bulan lagi aku baru ke situ."Akhirnya setelah hampir setengah jam, kubuka kembali handphone-ku."Boleh aku vidcall Ikhda?" Balasnya lagi."Ikhda sedang tidur," balasku dengan cepat. "Silakan, kalau Mas Rizki mau lihat wajah Ikhda," balasku langsung menghidupkan fitur video call.Ayah dari an
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka