Share

Bab 8 (Fatma)

last update Last Updated: 2023-03-17 18:39:24
Seperti saran Mas Hikam dan Mbak Salis, malam ini aku menyiapkan makan malam dan mengajak bicara suamiku secara serius. Hati ini rasanya sudah lelah, jiwa ini rasanya goyah, aku berkali-kali menghela nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Saat Mas Rizki tiba di rumah, aku langsung memberitahunya bahwa malam ini aku memasak.

"Tumben masak," ucapnya. Kuabaikan tanggapan menohok itu karena tujuanku malam ini adalah membicarakan komitmen Mas Rizki sebagai suamiku.

"Ada hal yang akan kutanyakan padamu, Mas. Tidak banyak. Hanya saja, aku butuh jawaban langsung darimu," aku langsung menuju inti pembicaraan.

"Hmm. Jawaban yang bagaimana?"

"Jawaban yang paling dalam dari lubuk hati Mas Rizki. Mas sebenarnya pilih aku atau anak itu?"

"Mengapa tiba-tiba mengungkit hal ini lagi, Fat? Kamu sudah tahu aku tidak lagi punya hubungan apapun dengan anak itu …."

"Karena aku telah mengetahuinya. Tolong dijawab Mas, ini pertanyaan titipan dari Mas Hikam," ucapku tegas.

"Tidak ada alasan bagiku untu
Mahaya Liliana

Kenapa cewek lain lebih menarik di mata Rizki dari pada istrinya? Kayaknya Rizki perlu kacamata

| Like
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
laporkan suami mu dan selingkuhannya. kamu aja yg terlalu tolol dan banyak drama. pantas diselingkuhi krn g ada gambaran klu kamu pantas dipertahankan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 9 (Fatma)

    Akhirnya saat yang sangat mendebarkan di hidupku tiba, aku berbaring dengan nafas terengah-engah setelah pembukaan kelima. Hari ini aku berjuang untuk melahirkan pangeranku. "Lho, di mana Rizki? Kok sampai sekarang nggak datang-datang?" kudengar suara Ibu di luar kamar. "Sudah dikabarin, Bu. Mungkin lagi sibuk di kantornya," Mbak Salis menjawab pelan namun masih terdengar olehku. Aku menghembuskan nafas kasar. Bayangan melahirkan didampingi suami seperti adegan romantis ala film dan novel-novel telah sirna. Kutepiskan segala harapan semu yang tak semua perempuan mendapatkannya termasuk diriku. "Sudahlah, Fatma. Sekarang lebih baik memperjuangkan anakmu dulu," batinku. Kukerahkan seluruh tenagaku, kupertaruhkan jiwa dan ragaku demi kehadiran amanah Alloh yang telah berada di rahimku selama sembilan bulan. Rasa sakit, perih, lelah, dan semua yang mendera diriku tak kuhiraukan. Saat ini, aku hanya ingin bayiku lahir dengan selamat. Bidan dan perawat dengan sabar membantuku dan member

    Last Updated : 2023-03-18
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 10 (Fatma)

    Pangeranku sudah lahir, semoga Kau jadi anak sholeh dan cerdas ya, Nak. Sembilan bulan Bunda mengandungmu dan selalu bersamamu; akhirnya Bunda bisa melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan menggendongmu."Fat, airnya jangan terlalu panas," ucap Ibu saat aku menyiapkan air untuk memandikan anakku."Iya, Bu," sahutku.Ibu sibuk menimang pangeranku sembari menungguku selesai menyiapkan air. Sesuai rencana, Ibu dan Bapak turut tinggal di rumah Mas Hikam sampai urusanku dengan Mas Rizki selesai."Bu, gimana acara sholawatnya?" Sela Bapak yang baru saja kembali dari pasar terdekat. "Lho, coba tanya Hikam maunya gimana," tukas Ibu."Fatma masih ada tabungan, Bu. Jangan khawatir, Ibu sama Mbak Salis tinggal list keperluan acaranya saja," aku menimpali mereka."Maksudnya ngundang warga sini buat acara sholawatan perlu diatur sama Hikam, Fat. Ya, minimal Hikam yang sudah menetap di sini diajak rembugan gitu," ujar Bapak."Nah, urusan ngundang warga kita serahkan ke Hikam, uang Fatma bisa kita p

    Last Updated : 2023-03-20
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 11 (Fatma)

    Orangtua Mas Rizki rencananya akan menjenguk cucu barunya nanti sore. Tadi malam Bapak sudah bicara dengan mantan besannya. Semoga Mas Rizki belum mengabari tentang perceraian kami. Aku sudah paham Mas Rizki adalah tipe yang lebih suka mengambil keputusan tanpa perlu pertimbangan orang lain. Mungkin, termasuk keputusannya menceraikanku. Ah, sudahlah Ia hanya memilih ABG itu.Tak ketinggalan, Mas Hikam ternyata juga sudah meminta Mas Rizki untuk datang pada jam yang tepat. Sungguh rencana yang detail dan hati-hati."Maaf, Fatma hanya merepotkan kalian," gumamku."Fatma, ini urusan keluarga, bukan hanya urusanmu. Menikah dan bercerai adalah urusan antar keluarga, bukan lagi urusan dua pribadi," sanggah Bapak. Mobil Mas Hikam yang membawa kedua orangtua Mas Rizki memasuki halaman rumah, begitu pula mobil Mas Rizki dari arah yang berlawanan. Perasaanku berdesir karena sebentar lagi akan ada pembicaraan yang sangat menyakitkan hatiku. Mungkin juga akan menimbulkan keterkejutan luar biasa

    Last Updated : 2023-03-20
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 12 (Fatma)

    Dua hari yang lalu aku pulang ke rumah Ibu, sebenarnya Mas Hikam dan Mbak Salis sudah mengatakan beberapa kali bahwa aku lebih baik tinggal di rumah mereka. Tapi aku tidak enak hati. Walaupun pada nyatanya akses menuju pasar dan toko-toko keperluan rumah tangga sangat jauh dari rumah orangtuaku. Jika berjalan malam hari saja kami harus membawa senter karena jalanan masih banyak yang belum dipasangi listrik.Ketimpangan sosial dan ekonomi di tempat kami masih sangat tinggi. Banyak rumah yang masih menggunakan bahan dasar kayu dan anyaman bambu. Namun beberapa juga banyak yang sudah seperti gedung bertingkat. Di tempat kami masih jarang penduduk yang menyelesaikan pendidikan tinggi, bahkan masih banyak yang hanya lulusan SMP. Aku bersyukur sekali karena kedua orangtuaku berjuang keras agar aku dan Mas Hikam bisa kuliah di kota. Banyak tetangga yang awalnya mencibir orangtuaku, "Anak perawan satu-satunya kok dilepas. Nanti kalau jauh dari rumah dan salah jalan tahu rasa itu orang," "Unt

    Last Updated : 2023-03-21
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 13 (Fatma)

    Mas Rizki meminta video call, ada apa sebenarnya? "Mohon maaf, Mas. Kita sudah bukan suami isteri lagi!" Balasku singkat."Apakah Mas Rizki tidak ingin menjenguk anak sendiri?" Lanjutku mengalihkan perhatian. Kalimat 'anak sendiri' sengaja kutebalkan agar Ia peka, lalu kuletakkan handphone di atas meja tanpa menunggu balasannya. Kuhela nafas dalam-dalam berharap agar setan yang menghinggapiku pergi. Aku hampir selalu marah jika teringat Mas Rizki, aku takut jika rasa marahku tumbuh menjadi dendam. Hanya aku dan Mbak Salis yang tahu ini, Mbak Salis memang selalu mendengarku tapi Ia hanya bisa menyarankanku untuk beristighfar sebanyak mungkin."Maaf, Fat. Kantorku sedang tidak stabil, mungkin satu bulan lagi aku baru ke situ."Akhirnya setelah hampir setengah jam, kubuka kembali handphone-ku."Boleh aku vidcall Ikhda?" Balasnya lagi."Ikhda sedang tidur," balasku dengan cepat. "Silakan, kalau Mas Rizki mau lihat wajah Ikhda," balasku langsung menghidupkan fitur video call.Ayah dari an

    Last Updated : 2023-03-21
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 14 (Fatma)

    Aku melemparkan handphone ke lemari baju yang masih terbuka. Jika kuingat-ingat inilah kemarahanku yang paling besar. Mengapa ada lelaki yang begitu mudahnya mempermainkan perempuan? Aku merasa dihina meski belum mengerti maksud pertanyaan Mas Rizki. Apakah Ia bertanya untuk menghinaku atau benar-benar memintaku kembali padanya. Menyadari Ikhda masih tertidur lelap, aku bergegas mengambil air wudhu. Aku menekadkan diri untuk bertadarus beberapa saat hingga kekacauanku sedikit reda. Rasanya sangat sulit untuk berkonsentrasi pada huruf-huruf al-Quran dan air mataku malah mengalir semakin deras. Aku kembali berwudhu dan melanjutkan tadarusku. Semoga semua ini adalah Kuasa Alloh untuk menguji kesabaranku dan sarana untuk mengangkat derajatku. "Ibu, apa semua perempuan mengalami seperti apa yang kualami, Bu?" Gumamku saat Ibu sedang menyisihkan butiran gabah di beras yang akan ditanak. "Tidak Fat, tapi semua manusia akan diuji dengan cara yang berbeda-beda sesuai batas kemampuannya," jaw

    Last Updated : 2023-03-22
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 15 (Fatma)

    "Saya bersedia menerima tawaran Mas Reza dengan beberapa syarat. Yang pertama, Ikhda hanya boleh dibawa ketika Mas Rizki mengizinkan karena beliaulah Ayah Ikhda. Yang kedua, Ikhda tidak akan ikut bersama Anda sekalian hingga Mbak Putri bisa mengandung, tetapi dalam jangka waktu dua minggu saja. Jika belum genap dua minggu namun terjadi sesuatu pada Ikhda, misalnya sakit mungkin, maka saya akan mengambil anak saya kembali," ucapku panjang lebar. Kedua suami istri di depanku, Mas Hikam, dan Ibu menyimak ucapanku hingga selesai. Mas Reza dan Mbak Putri saling berpandangan, lalu Mbak Putri mengangguk pada suaminya. "Baik," ucap Mas Reza padaku dengan tegas. "Kami setuju," lanjutnya. Mas Reza memintaku untuk menghubungi Mas Rizki hari ini juga, Mas Hikam berbicara pada Ibu dan Bapak di ruang tengah karena kedua orangtua kami sepertinya belum sepenuhnya paham dengan maksudku. "Mengapa tidak telepon saja, Mbak?" Mbak Putri terlihat tidak sabar melihatku mengetikkan sesuatu di layar handpho

    Last Updated : 2023-03-22
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 16 (Fatma)

    Hari keempat belas pun tiba, aku menunggu kedatangan Mbak Putri dan Mas Reza yang hari ini akan memulangkan Ikhda ke rumah kami. Bapak dan Ibu sedang mengurus sawah bersama para tetangga, sementara Mas Hikam sudah memberitahuku bahwa Ia harus mendampingi Mbak Salis periksa ke dokter. Mobil Avanza biru berhenti di halaman rumah kami disertai bunyi klakson. Aku yang sedari tadi menunggu di jendela ruang tamu bergegas keluar dan menyambut kedatangan anakku. Mas Reza membuka pintu penumpang dan anakku keluar bersama perempuan berhijab biru muda. Ikhda tampak bahagia di gendongan Mbak Putri, aku mengambilnya dengan hati-hati. "Wah, anak Bunda akhirnya pulang. Gimana belajarnya sama Tante Putri, Sayang?" Kukecup keningnya. Mbak Putri tersenyum senang. "Akhirnya saya bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki anak walaupun cuma dua minggu," ujarnya. Mas Reza mengiyakan ucapan istrinya. Setelah berbasa-basi sejenak di emperan rumah, aku menyilakan kedua tamuku masuk lalu menyuguhkan air p

    Last Updated : 2023-03-23

Latest chapter

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 100 (Rizki) TAMAT

    "Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 99 (Febi)

    Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 98 (Hikam)

    Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 97 (Salis)

    Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 96 (Putri)

    Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 95 (Hikam)

    "Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 94 (Muniroh)

    Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 93 (Febi)

    Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 92 (Salis)

    Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka

DMCA.com Protection Status