Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Demi Allah yang menciptakan ruh beserta udara yang mengiringi deru nafas ini, aku sangat beruntung menjadi perempuan yang memiliki suami penyayang. Denyut jantung janin di rahimku inilah buah cinta kasih sayangnya. Bayi yang kukandung sudah mulai memasuki bulan ke sembilan, senyum bahagia tiada tara tak bisa berhenti di wajahku. 'Fatma' begitu Ia memanggilku, suaranya begitu lembut saat menyebut namaku. Satu tahun yang lalu aku telah resmi bersanding dengan Mas Rizki, Nahru Rizki Budiman. Aku mengenalnya saat Ia berkunjung ke rumah orangtuaku untuk melamarku.Aku menyibakkan tirai jendela yang menghalangi sinar mentari pagi, dalam sekejap cahaya oranye melesat menembus ruang tengah. DrrrrtGetar handphone terdengar dari meja di belakangku, handphone Mas Rizki tertinggal. Tadi pagi Mas Rizki memang tergesa-gesa saat bersiap-siap menuju kantornya. Perlahan, aku melangkah menuju meja di mana handphone itu berada. Perutku yang sudah membesar, membuat pergerakanku tidak selincah sebelumn
Pagi ini aku memutar otak bagaimana caranya agar bisa mengungkap siapa Fani. Aku men-stalking Instagram Mas Rizki siapa tahu ada akun yang memberiku petunjuk. Namun hasilnya nihil, following Instagram suamiku tak lain hanyalah rekan-rekan kerjanya yang juga ada di list followingku. Lalu dari mana mereka berkenalan?"Coba cek followersmu, Mbak Fat," saran teman arisanku di grup ibu-ibu arisan. Aku memang mengungkapkan rasa resahku di grup arisan ibu-ibu, grup chat yang juga biasa digunakan sebagai tempat untuk membicarakan urusan perempuan. "Benar juga ya, Mbak," tanggapku."Iya, cek satu-satu. Kalau ada yang nggak dikenal sama Mbak Fatma, kemungkinan akun itu perlu diawasi," balas yang lain. Kebetulan aku bukanlah perempuan sosialita yang gila sosmed, followersku hanya beberapa."Ayo, Mbak. Semangat, jangan menyerah. Dulu Mbak Tiara juga bisa," ujar yang lain.Beberapa bulan sebelum aku tertimpa ujian ini, teman seusiaku juga pernah mengalami hal yang sama. Tiara, perempuan 27 tahun
"Mas, bisa tolong jawab pertanyaan saya?" Ucapku setelah menghembuskan nafas. "Aku hanya membantunya, Fatma. Tidak ada hal lain yang kuinginkan darinya karena Engkau bagiku sudah cukup," ucap Mas Rizki dengan memandang wajahku. "Tapi … apa maksud Mas Rizki membantu anak itu? Sudah jelas-jelas Ia menggoda Mas Rizki," ucapku dengan gamblang. Mas Rizki menyipitkan netranya, "Atas dasar apa Kau berkata seperti itu, Fatma?" "Atas dasar chat Fani dan Mas Rizki. Mohon maaf Mas, aku sudah mengetahui semuanya termasuk pembahasan-pembahasan yang asing bagiku. Aku juga meminta bantuan teman-teman untuk menyelidiki si Fani," paparku dengan kesal. "Astaghfirullah, Fatma! Kau membeberkan urusan rumah tangga kita kepada orang lain?" Mas Rizki tidak terima dengan apa yang kulakukan. Aku memang keliru, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki orang lain untuk sekedar bercerita selain ibu-ibu satu grup arisan. Membeberkan urusan rumah tangga adalah hal yang sangat tabu, apalagi membuka aib s
Aku melangkah perlahan karena beban perutku tak mungkin bisa diajak berjalan tergesa-gesa. Satpam yang berdiri di samping pintu gerbang menyapaku ramah. "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Saya mau menemui guru BK dan Wali kelas XI Adm 16," jawabku langsung menuju inti. Satpam tersebut terlihat bingung. Mungkin kedatanganku terlihat aneh. Di saat yang sama, handphone-ku berdering. "Apakah Ibu sudah membuat janji dengan beliau-beliau?" Tanya Satpam. "Belum, Pak," "Ibu wali murid?" "Bukan, tapi saya ada urusan dengan salah satu murid di sini," jawabku lagi. Satpam terlihat sedikit terkejut. Handphone-ku berdering lagi. Tiara menelpon. Aku mematikan teleponnya dan mengirimkan pesan bahwa aku sudah sampai di sekolah tujuanku. "Oh, kalau begitu mari saya antar, Bu," Ia membukakan pintu gerbang dan memanduku menuju ruang BK. Ia juga menyampaikan maksudku secara singkat kepada guru BK tersebut. Guru BK menyilakan aku untuk duduk. "Mari, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" "Selamat pagi, Bu.
"Hah? Saling menguntungkan bagaimana?" Timpal Guru BK."Mas Rizky harus memenuhi kebutuhan saya kalau mau tidur dengan saya," jawab Fani sangat ringan."Tidur?" Kali ini Bu Zara mengeluarkan suara. "Iya," tegas Fani.Perutku sudah tidak tahan lagi, akhir-akhir ini tubuhku memang sering lemas, tidak sekuat sebelumnya. Aku kehilangan mood untuk debat kusir dengan anak tidak tahu diri ini, biarlah aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya.Guru BK menarik nafas sebelum Ia pamit ke ruangan lain. Bu Zara mengambil kesempatan untuk bicara pada Fani."Falen, sejak kapan kamu menjalin hubungan seperti itu?""Belum lama, kok. Saya tahu sekitar setengah tahun yang lalu, Bu," jawabnya seperti sudah akrab dengan Bu Zara.Guru BK kembali masuk ke ruangan. Wajahnya sedikit lega. "Nah, orangtua Falen sebentar lagi ke sini," ujarnya."Apa Bu? Mengapa harus bawa-bawa orangtua saya? Ini kan urusan saya bukan urusan orangtua," teriak Fani. Kami bertiga hampir terlonjak bersamaan."Falen, duduk dulu Nak
Setelah peristiwa di sekolah yang sangat tidak anggun itu, aku fokus mengawasi pergerakan Mas Rizki. Wanita asing yang kurang pendidikan dan tidak punya tata krama, memang susah fix dikeluarkan dari sekolah, namun aku justru harus lebih waspada. Pasalnya, Mas Rizki dituntut orangtua Fani untuk bertanggung jawab menikahinya. Mereka menemui Mas Rizki di kantornya. Ini tidak bisa diterima oleh akal sehatku, "Siapa yang salah dan siapa yang dituntut?" "Fatma," panggil Mas Rizki suatu hari. "Apa Mas? Pokoknya aku tidak sudi bersanding dengan anak itu! Kalau Mas Rizki memang lebih cinta sama anak itu dari pada aku, aku rela dicerai. Lebih baik pisah dengan laki-laki yang mengkhianati agamanya." Sahutku sebelum aku mendengar alasan apapun dari Mas rizki. "Aku sudah terlanjur salah. Tapi bagaimanapun, Fani juga sudah sah untuk menikah, Ia sudah baligh," tukas Mas rizki. "Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran Mas Rizki, yang perlu Mas Rizki pertimbangkan sebelum memutuskan apapun adalah
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka