"Mas, bisa tolong jawab pertanyaan saya?" Ucapku setelah menghembuskan nafas.
"Aku hanya membantunya, Fatma. Tidak ada hal lain yang kuinginkan darinya karena Engkau bagiku sudah cukup," ucap Mas Rizki dengan memandang wajahku.
"Tapi … apa maksud Mas Rizki membantu anak itu? Sudah jelas-jelas Ia menggoda Mas Rizki," ucapku dengan gamblang.
Mas Rizki menyipitkan netranya, "Atas dasar apa Kau berkata seperti itu, Fatma?"
"Atas dasar chat Fani dan Mas Rizki. Mohon maaf Mas, aku sudah mengetahui semuanya termasuk pembahasan-pembahasan yang asing bagiku. Aku juga meminta bantuan teman-teman untuk menyelidiki si Fani," paparku dengan kesal.
"Astaghfirullah, Fatma! Kau membeberkan urusan rumah tangga kita kepada orang lain?"
Mas Rizki tidak terima dengan apa yang kulakukan.
Aku memang keliru, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki orang lain untuk sekedar bercerita selain ibu-ibu satu grup arisan. Membeberkan urusan rumah tangga adalah hal yang sangat tabu, apalagi membuka aib suami. Tapi jika aku terus-terusan terbelenggu dalam dogma itu, sama saja aku menutup diri dari keadilan.
"Tujuanku baik, Mas. Aku hanya memperjuangkan keadilan. Pada siapa lagi aku bicara selain pada mereka?" Aku menundukkan kepala sambil memikirkan kalimat yang akan kuucapkan selanjutnya.
"Kamu salah, Fatma!" Ucap Mas Rizki.
"Apakah jika aku salah sudah tentu Mas Rizki selalu benar?"
"Tapi Kau membeberkan masalah yang sebenarnya bisa kita selesaikan berdua," sanggahnya.
"Mas, jika aku tidak bicara pada orang lain, aku mungkin tidak tahu bagaimana mengungkap perselingkuhan Mas Rizki," belaku untuk diriku sendiri.
"Seharusnya kita selesaikan bersama dulu. Jika tidak bisa, baru kita bicara pada orang lain," ucap Mas Rizki.
Aku heran pada pada apa yang Ia pikirkan, apakah Ia tidak punya rasa malu?
"Aku sudah mencobanya kemarin, tapi Mas Rizki terus mengelak. Lalu sekarang Mas Rizki berusaha menyangkal. Mas, sepandai-pandainya tupai melompat, suatu hari nanti Ia akan jatuh juga."
"Fatma, apa yang Kau katakan padaku sebenarnya hanya asumsimu saja. Kau tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sudah kukatakan padamu, jika aku hanya menolong anak itu …."
"Tapi, aku sudah membaca chat itu dengan kepalaku sendiri bahwa Ia tidak hanya berhubungan denganmu untuk mendapatkan uangmu saja, tetapi …."
"Fatma, …."
"Mas Rizki mau terus-terusan mengelak? Apa aku perlu membuktikan itu semua?" Ucapku.
"Hanya Alloh yang tahu kebenaran setiap yang ada di bumi ini, termasuk apa yang Kau masih anggap salah."
"Terimakasih. Tidak baik membawa-bawa nama Alloh untuk pembenaran sepihak tapi menindas orang lain."
Aku lelah dengan sikap Mas Rizki. Setelah mendengarnya bicara panjang lebar, aku berlenggang masuk ke kamarku sendiri, kamar yang terpisah dengan Mas Rizki. Aku berpikir sejenak bagaimana caranya aku mengungkapkan perasaanku pada suamiku; ruang bicaraku memang sedikit, tenagaku juga terbatas. Akhirnya aku mengirimkan chat panjang lebar kepada Mas Rizki, tak peduli Ia akan membacanya atau tidak.
Engkau sebagai lelaki tak sepantasnya melakukan itu semua pada perempuan. Engkau memang diciptakan untuk menjadi pemimpin keluarga yang pantas dihormati, tapi sikapmu menghancurkan semuanya. Perempuan manapun jika mendapatkan perlakuan seperti yang Kau lakukan itu, akan terlukai hatinya.
Hati siapa yang tak luka ketika Ia dibohongi dan dianggap nomor dua setelah wanita asing yang tidak memiliki ikatan resmi? Engkau telah melanggar kaidah agama, secara undang-undang pun Engkau tidak dibenarkan untuk melakukan semua ini. Tinggalkan wanita asing itu! Biarkan Ia kembali kepada walinya karena kewajiban memenuhi kebutuhan apapun ada pada mereka, bukan pada Engkau.
****
"Apa yang Kau lakukan adalah wujud rasa cintamu pada suamimu, Mbak. Itu tidak salah sekalipun suamimu bersikukuh menyalahkanmu dengan dalih taat agama."
Suamiku termasuk lelaki yang taat beragama; sepengetahuanku Ia selalu sholat wajib tepat waktu, setelah shubuh Ia juga sering tadarus jika pekerjaan kantor tidak menumpuk. Tapi lelaki tetaplah lelaki, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka tertarik pada wanita di luar sana walaupun di rumah ada isteri yang menunggu.
"Kalau suamiku dulu mengata-ngataiku 'cemburu', Mbak Fat. Tapi itu juga tidak salah kok," chat Mbak Tiara.
"Iya, kita sebagai isteri juga wajib menjaga keutuhan rumah tangga."
Aku menyimak grup sambil sesekali mengirimkan komen tanggapan. Ketika orang terdekat sudah tidak membuatku lega dan nyaman, aku mencari pelarian. Di sinilah pelarianku, teman-teman sesama ibu muda yang kukenal dari grup arisan.
Aku merasa, sifat Mas Rizki berubah. Atau jangan-jangan ini sifat aslinya? Mas Rizki yang kutahu dulu adalah orang yang sangat baik, penyayang, dan taat beragama.
"Eh, aku tahu seragam sekolah mana yang anak itu pakai,"
Tiba-tiba ada chat yang menarik perhatianku. Aku langsung me-reply chat tersebut. "Di mana, Mbak?"
Ia menjelaskan analisis pribadinya tentang kemungkinan di mana Fani bersekolah. Sepandai-pandainya anak itu bersembunyi di balik nama-nama samaran yang Ia gunakan, pada akhirnya akan terungkap juga.
Suasana rumah tanggaku dengan Mas Rizki terasa dingin, lelaki yang kukenal baik budinya ternyata sangat mengecewakanku dengan cara yang tak kuduga. Anak pertama kami yang ada di perutku berubah menjadi seperti beban, bayanganku untuk menjadi seorang ibu sekaligus isteri yang sempurna, sirnalah sudah.
Aku dan Mas Rizki saling diam, tak ada tegur sapa untuk sekedar menanyakan 'sudah makan atau belum?' di antara kami. Aku pun tak pernah memasak, aku memilih untuk makan di warung makan cepat saji. Untuk apa masak? Toh, Mas Rizki juga sudah makan di luar sana.
Hatiku teriris ketika teman-teman arisanku justru memberiku semangat untuk mendatangi sekolah anak itu.
"Tapi, alangkah baiknya jika aku komunikasi secara personal dulu sama anak itu. Ada yang bisa bantu cari nomor HP-nya?" Chatku dengan ringan.
"Oh, kami usahakan, Mbak. Kebetulan teman saya ada yang membidangi dunia maya. Mbak Fat, mau nunggu?"
"Iya, mau. Btw terimakasih ya, Mbak."
***
Aku melangkah perlahan karena beban perutku tak mungkin bisa diajak berjalan tergesa-gesa. Satpam yang berdiri di samping pintu gerbang menyapaku ramah. "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Saya mau menemui guru BK dan Wali kelas XI Adm 16," jawabku langsung menuju inti. Satpam tersebut terlihat bingung. Mungkin kedatanganku terlihat aneh. Di saat yang sama, handphone-ku berdering. "Apakah Ibu sudah membuat janji dengan beliau-beliau?" Tanya Satpam. "Belum, Pak," "Ibu wali murid?" "Bukan, tapi saya ada urusan dengan salah satu murid di sini," jawabku lagi. Satpam terlihat sedikit terkejut. Handphone-ku berdering lagi. Tiara menelpon. Aku mematikan teleponnya dan mengirimkan pesan bahwa aku sudah sampai di sekolah tujuanku. "Oh, kalau begitu mari saya antar, Bu," Ia membukakan pintu gerbang dan memanduku menuju ruang BK. Ia juga menyampaikan maksudku secara singkat kepada guru BK tersebut. Guru BK menyilakan aku untuk duduk. "Mari, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" "Selamat pagi, Bu.
"Hah? Saling menguntungkan bagaimana?" Timpal Guru BK."Mas Rizky harus memenuhi kebutuhan saya kalau mau tidur dengan saya," jawab Fani sangat ringan."Tidur?" Kali ini Bu Zara mengeluarkan suara. "Iya," tegas Fani.Perutku sudah tidak tahan lagi, akhir-akhir ini tubuhku memang sering lemas, tidak sekuat sebelumnya. Aku kehilangan mood untuk debat kusir dengan anak tidak tahu diri ini, biarlah aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya.Guru BK menarik nafas sebelum Ia pamit ke ruangan lain. Bu Zara mengambil kesempatan untuk bicara pada Fani."Falen, sejak kapan kamu menjalin hubungan seperti itu?""Belum lama, kok. Saya tahu sekitar setengah tahun yang lalu, Bu," jawabnya seperti sudah akrab dengan Bu Zara.Guru BK kembali masuk ke ruangan. Wajahnya sedikit lega. "Nah, orangtua Falen sebentar lagi ke sini," ujarnya."Apa Bu? Mengapa harus bawa-bawa orangtua saya? Ini kan urusan saya bukan urusan orangtua," teriak Fani. Kami bertiga hampir terlonjak bersamaan."Falen, duduk dulu Nak
Setelah peristiwa di sekolah yang sangat tidak anggun itu, aku fokus mengawasi pergerakan Mas Rizki. Wanita asing yang kurang pendidikan dan tidak punya tata krama, memang susah fix dikeluarkan dari sekolah, namun aku justru harus lebih waspada. Pasalnya, Mas Rizki dituntut orangtua Fani untuk bertanggung jawab menikahinya. Mereka menemui Mas Rizki di kantornya. Ini tidak bisa diterima oleh akal sehatku, "Siapa yang salah dan siapa yang dituntut?" "Fatma," panggil Mas Rizki suatu hari. "Apa Mas? Pokoknya aku tidak sudi bersanding dengan anak itu! Kalau Mas Rizki memang lebih cinta sama anak itu dari pada aku, aku rela dicerai. Lebih baik pisah dengan laki-laki yang mengkhianati agamanya." Sahutku sebelum aku mendengar alasan apapun dari Mas rizki. "Aku sudah terlanjur salah. Tapi bagaimanapun, Fani juga sudah sah untuk menikah, Ia sudah baligh," tukas Mas rizki. "Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran Mas Rizki, yang perlu Mas Rizki pertimbangkan sebelum memutuskan apapun adalah
Perempuan manapun yang mendapati suaminya selingkuh pasti akan sakit hati, itulah yang sedang kurasakan. Tidak hanya aku, perempuan-perempuan yang berakal sehat dan telah mengetahui semua ini merasa geram. Aku benci pada wanita yang telah melakukan ini padaku, tapi bukan berarti aku membela Mas Rizki. Aku juga sangat sakit hati pada apa yang Mas Rizki lakukan padaku. Apakah ketika di luar sana Ia melupakanku yang sedang menunggunya pulang? Apakah Ia tidak ingat akan buah cintanya yang ada di rahimku? Pembicaraan mengenai poligami yang dilontarkan Mas Rizki bagaikan anak tangga yang meruntuhiku saat aku terjatuh. Bagaimana bisa Ia berpikir untuk poligami dengan perempuan yang tidak punya akhlak? Hanya untuk menutupi kelakuan yang sama-sama bejad? Walaupun aku memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidupku sendiri, namun aku tidak ingin menyerah begitu saja saat wanita lain berusaha merebut kasih sayang suamiku. Aku punyak hak untuk bersuara dan hak untuk tidak setuju jika mas Ri
Seperti saran Mas Hikam dan Mbak Salis, malam ini aku menyiapkan makan malam dan mengajak bicara suamiku secara serius. Hati ini rasanya sudah lelah, jiwa ini rasanya goyah, aku berkali-kali menghela nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Saat Mas Rizki tiba di rumah, aku langsung memberitahunya bahwa malam ini aku memasak. "Tumben masak," ucapnya. Kuabaikan tanggapan menohok itu karena tujuanku malam ini adalah membicarakan komitmen Mas Rizki sebagai suamiku. "Ada hal yang akan kutanyakan padamu, Mas. Tidak banyak. Hanya saja, aku butuh jawaban langsung darimu," aku langsung menuju inti pembicaraan. "Hmm. Jawaban yang bagaimana?" "Jawaban yang paling dalam dari lubuk hati Mas Rizki. Mas sebenarnya pilih aku atau anak itu?" "Mengapa tiba-tiba mengungkit hal ini lagi, Fat? Kamu sudah tahu aku tidak lagi punya hubungan apapun dengan anak itu …." "Karena aku telah mengetahuinya. Tolong dijawab Mas, ini pertanyaan titipan dari Mas Hikam," ucapku tegas. "Tidak ada alasan bagiku untu
Akhirnya saat yang sangat mendebarkan di hidupku tiba, aku berbaring dengan nafas terengah-engah setelah pembukaan kelima. Hari ini aku berjuang untuk melahirkan pangeranku. "Lho, di mana Rizki? Kok sampai sekarang nggak datang-datang?" kudengar suara Ibu di luar kamar. "Sudah dikabarin, Bu. Mungkin lagi sibuk di kantornya," Mbak Salis menjawab pelan namun masih terdengar olehku. Aku menghembuskan nafas kasar. Bayangan melahirkan didampingi suami seperti adegan romantis ala film dan novel-novel telah sirna. Kutepiskan segala harapan semu yang tak semua perempuan mendapatkannya termasuk diriku. "Sudahlah, Fatma. Sekarang lebih baik memperjuangkan anakmu dulu," batinku. Kukerahkan seluruh tenagaku, kupertaruhkan jiwa dan ragaku demi kehadiran amanah Alloh yang telah berada di rahimku selama sembilan bulan. Rasa sakit, perih, lelah, dan semua yang mendera diriku tak kuhiraukan. Saat ini, aku hanya ingin bayiku lahir dengan selamat. Bidan dan perawat dengan sabar membantuku dan member
Pangeranku sudah lahir, semoga Kau jadi anak sholeh dan cerdas ya, Nak. Sembilan bulan Bunda mengandungmu dan selalu bersamamu; akhirnya Bunda bisa melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan menggendongmu."Fat, airnya jangan terlalu panas," ucap Ibu saat aku menyiapkan air untuk memandikan anakku."Iya, Bu," sahutku.Ibu sibuk menimang pangeranku sembari menungguku selesai menyiapkan air. Sesuai rencana, Ibu dan Bapak turut tinggal di rumah Mas Hikam sampai urusanku dengan Mas Rizki selesai."Bu, gimana acara sholawatnya?" Sela Bapak yang baru saja kembali dari pasar terdekat. "Lho, coba tanya Hikam maunya gimana," tukas Ibu."Fatma masih ada tabungan, Bu. Jangan khawatir, Ibu sama Mbak Salis tinggal list keperluan acaranya saja," aku menimpali mereka."Maksudnya ngundang warga sini buat acara sholawatan perlu diatur sama Hikam, Fat. Ya, minimal Hikam yang sudah menetap di sini diajak rembugan gitu," ujar Bapak."Nah, urusan ngundang warga kita serahkan ke Hikam, uang Fatma bisa kita p
Orangtua Mas Rizki rencananya akan menjenguk cucu barunya nanti sore. Tadi malam Bapak sudah bicara dengan mantan besannya. Semoga Mas Rizki belum mengabari tentang perceraian kami. Aku sudah paham Mas Rizki adalah tipe yang lebih suka mengambil keputusan tanpa perlu pertimbangan orang lain. Mungkin, termasuk keputusannya menceraikanku. Ah, sudahlah Ia hanya memilih ABG itu.Tak ketinggalan, Mas Hikam ternyata juga sudah meminta Mas Rizki untuk datang pada jam yang tepat. Sungguh rencana yang detail dan hati-hati."Maaf, Fatma hanya merepotkan kalian," gumamku."Fatma, ini urusan keluarga, bukan hanya urusanmu. Menikah dan bercerai adalah urusan antar keluarga, bukan lagi urusan dua pribadi," sanggah Bapak. Mobil Mas Hikam yang membawa kedua orangtua Mas Rizki memasuki halaman rumah, begitu pula mobil Mas Rizki dari arah yang berlawanan. Perasaanku berdesir karena sebentar lagi akan ada pembicaraan yang sangat menyakitkan hatiku. Mungkin juga akan menimbulkan keterkejutan luar biasa
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka