Setelah peristiwa di sekolah yang sangat tidak anggun itu, aku fokus mengawasi pergerakan Mas Rizki. Wanita asing yang kurang pendidikan dan tidak punya tata krama, memang susah fix dikeluarkan dari sekolah, namun aku justru harus lebih waspada.
Pasalnya, Mas Rizki dituntut orangtua Fani untuk bertanggung jawab menikahinya. Mereka menemui Mas Rizki di kantornya. Ini tidak bisa diterima oleh akal sehatku, "Siapa yang salah dan siapa yang dituntut?"
"Fatma," panggil Mas Rizki suatu hari.
"Apa Mas? Pokoknya aku tidak sudi bersanding dengan anak itu! Kalau Mas Rizki memang lebih cinta sama anak itu dari pada aku, aku rela dicerai. Lebih baik pisah dengan laki-laki yang mengkhianati agamanya." Sahutku sebelum aku mendengar alasan apapun dari Mas rizki.
"Aku sudah terlanjur salah. Tapi bagaimanapun, Fani juga sudah sah untuk menikah, Ia sudah baligh," tukas Mas rizki.
"Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran Mas Rizki, yang perlu Mas Rizki pertimbangkan sebelum memutuskan apapun adalah anak itu memang sudah baligh tapi belum memasuki batas usia minimal untuk menikah di Indonesia," aku menahan suaraku agar tidak meninggi.
"Yang kedua, dari sisi agama Mas Rizki belum memenuhi syarat sah untuk berpoligami. Karena, aku yang masih menjadi isteri sah Mas Rizki tidak mengizinkan poligami. Aku normal, Mas. Aku bisa hamil, aku bisa menghasilkan keturunan buat Mas Rizki. Apa yang kurang dari aku Mas?"
"Sayangnya, nafsu Mas Rizki terlalu dimanjakan. Bagaimana bisa Mas Rizki merendahkan isteri yang sedang hamil dengan berzina di luaran sana?"
"Awalnya, aku hanya berniat membantu anak itu," dalih Mas Rizki.
"Bukan kewenangan Mas Rizki untuk memenuhi kebutuhan anak itu, apalagi bukan kebutuhan darurat. Hanya saja anak itu tahu kalau Mas Rizki punya banyak uang," celaku.
"Yang ada anak itu membayar bantuan Mas Rizki dengan mengajak berzina!" Lagi-lagi aku mengeluarkan suara karena Mas Rizki belum juga menanggapi ucapanku.
Hari-hariku semakin dingin dan kelam, terkadang aku menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menangisi semua ini. Tidak ada yang membelaku, bahkan orangtua anak itu yang jelas-jelas bersalah justru terus saja menuntut Mas Rizki dan memojokkanku sebagai wanita yang tidak bisa merawat diri.
"Makanya, jadi perempuan itu dandan yang cantik, biar suami kalau pulang kerja tidak kecewa," oceh Ibunya Fani saat teman-teman arisanku mendatangi rumahnya agar mereka berhenti menuntut Mas Rizki.
Otak bebal mereka tak mampu menyerap penjelasan bagaimana seharusnya mendidik anak perempuan dan menyikapi hal yang sudah terlanjur terjadi. Penjelasan tentang batas minimal usia menikah pun, mereka sanggah dengan dalih anaknya sudah baligh.
Aku menitipkan pesan pada teman-teman bahwa aku pribadi menolak dengan tegas untuk dimadu. Situasi dan kondisi kami tidak tepat digunakan sebagai alasan poligami. Mereka yang seharusnya memperbaiki anaknya, bukan menyerahkan anaknya untuk diperistri dengan mengkambinghitamkan laki-laki yang telah digoda.
"Kalau Fatma tidak mau dimadu ya lepaskan saja, dasar isteri nggak berguna," ucap Ayahnya. Rekaman yang disimpan teman-temanku beberapa hasilnya sangat menyayat hatiku.
"Kalau Bapak terus menuntut Mas Rizki menikahinya, kami tidak segan-segan melaporkan Bapak kepada lembaga yang berwenang," suara Tiara.
"Lho, apa maksudnya?"
"Pertama, lembaga perlindungan anak. Kedua, lembaga perlindungan perempuan. Ketiga, kami bisa menuntut Bapak karena merendahkan perempuan hamil dengan mendukung putri Bapak untuk menggodanya, serta menuduh Mbak Fatma sebagai isteri tidak berguna,"
"Terimakasih atas waktunya, Pak. Kami mohon pamit."
Aku menyandarkan punggungku seusai menyapu ruang tamu dan ruang tengah. Layar handphone-ku sudah penuh dengan notifikasi WhatssApp, salah satunya dari Mbak Salis. Kakak ipar dari satu-satunya kakakku memberi kabar bahwa Ia akan datang hari ini.
Nikmat yang tak disangka-sangka saat aku merasa terpojok dan berjuang sendirian di antara ribuan manusia. Mbak Salis sudah akrab denganku sejak sebelum kakakku menikahinya. Tak berselang lama, terdengar suara ketukan di pintu depan.
"Assalamu'alaikum. Fatma?"
"Wa'alaikumussalam, Mbak Salis. Ayo masuk," sahutku sambil berusaha bangkit dari kursi.
"Wah, udah besar. Seminggu lagi ya, Fat?" Ujar Mbak Salis sambil memandangi perutku yang membuncit.
"Mungkin, Mbak. Sepuluh hari lagi kalau menurut hitungan dokter," jawabku.
"Ini Mbak bawa bubur ayam, Fat. Kamu nggak alergi amis-amis, kan?"
"Wah, makasih lho, Mbak. Kok malah kebalik, harusnya Fatma yang nyuguh Mbak Salis. Sebentar ya Mbak, Fatma bikinin teh dulu.
"Nggak usah repot-repot, Fat. Aku bisa nyeduh sendiri biar pas takarannya," sahut Mbak Salis sambil membukakan kotak makan.
Kami berbincang-bincang tentang keseharian kami, Mbak Fatma menceritakan sedikit keseruannya di butik tempat Ia bekerja. Aku tersenyum tipis saat mengungkapkan bagaimana ngidamku beberapa bulan lalu.
"Enak ya, langsung dikaruniai bayi di tahun pertama menikah," sela Mbak Salis.
"Halah Mbak, yang penting bisa berbakti dan menyenangkan suami. Nanti kalau nggak bisa, suami cari lagi, lho," ucapku sambil berusaha menguatkan hati sebisa mungkin.
"Ada-ada saja, Masmu itu sayang banget sama aku, Fat. Memangnya Rizki nggak sayang sama kamu?" Ujar Mbak Salis tanpa rasa bersalah.
Aku tahu Mbak Salis belum mendengar semua ini karena aku memendam dan menutup rapat-rapat permasalahan rumah tangga kami dari keluargaku.
"Ada apa, Fat? Kamu melamun?" Ucapan Mbak Salis mengagetkanku.
"Mmm, enggak kok. Hanya saja, Mas Rizki menawariku poligami," ucapku tanpa pikir panjang. Aku pun tidak tahu mengapa kalimat itu keluar dengan lancar dari mulutku. Mungkin karena aku tidak tahu harus bercerita dari mana kepada Mbak Salis.
"Hah, apa?! Kok bisa?!" Teriak Mbak Salis.
"Iya, Mbak," jawabku terdengar pelan di telingaku sendiri.
"Apa dasarnya Rizki menginginkan hal itu?" Mbak Salis sedikit menggeram sambil menyipitkan mata.
"Ada sesuatu yang mengganggu rumah tangga kami, Mbak. Mas Rizki selingkuh, selingkuhannya masih sekolah. Tapi sekarang Ia sudah dikeluarkan dari sekolah. Mbak tahu apa yang terjadi? Ternyata suamiku hampir setiap sore tidur dengannya," lirihku dengan cepat.
Mbak Salis memelukku erat, aku menahan diri agar air mata yang sudah mengembun di mataku tidak tumpah.
"Orangtuanya tidak terima, mereka menuntut agar Mas Rizki menikahinya, Mbak. Sungguh tidak adil hanya karena anak itu masih di bawah umur, semua kesalahannya dilimpahkan ke Mas Rizki,"
"Mbak mengapa semua ini terasa tidak adil bagiku? Aku tidak hanya sakit hati dengan mereka berdua tapi pada semua orang yang memaklumi kelakuan bejad anak itu,"
"Apakah kita sebagai perempuan dibenarkan untuk menggoda laki-laki yang bukan hak kita? Lalu menyalahkannya karena tergoda dan menuntutnya?" Ucapku panjang lebar.
"Bego banget sih Rizki. Sama anak kecil aja lengket!" desis Mbak Salis.
"Karena anak itu cantik, Mbak. Ia jauh lebih cantik dari pada kita. Apalagi kondisiku lagi hamil, aku dianggapnya perempuan tak berguna yang tidak bisa melayani suami, Mbak," ucapku.
"Ya iyalah hasil perawatan, duitnya melorot dari Rizki. Tapi kurang ajar banget mereka merendahkan orang hamil," cibir Mbak Salis.
Aku menceritakan semuanya pada Mbak Salis termasuk usahaku meminta bantuan teman-teman arisan dan mendatangi sekolah.
"Mbak, maaf udah bikin Mbak Salis jadi pelampiasan Fatma. Fatma udah sakit banget sama semua ini,"
"Nggak apa-apa, Fatma. Aku tahu apa yang kamu rasain karena aku perempuan waras. Itu si Kunyuk itu nggak bisa donk semena-mena minta dinikahin. Selain nggak ada ada sebab untuk poligami, anak itu juga masih di bawah umur," Mbak Salis terengah-engah di tengah ucapannya.
"Mau ngotot yang disalahin si Rizki karena dia meniduri anak di bawah umur; orangtuanya juga salah, kenapa anak dibiarin keluyuran nggak jelas, bohong pula ngakunya ke mesjid. Nikah pun masih di bawah umur. Ini ya, yakin Mbak jadi benci banget, Fat. Ini semua nggak adil! Bego semua."
***
Perempuan manapun yang mendapati suaminya selingkuh pasti akan sakit hati, itulah yang sedang kurasakan. Tidak hanya aku, perempuan-perempuan yang berakal sehat dan telah mengetahui semua ini merasa geram. Aku benci pada wanita yang telah melakukan ini padaku, tapi bukan berarti aku membela Mas Rizki. Aku juga sangat sakit hati pada apa yang Mas Rizki lakukan padaku. Apakah ketika di luar sana Ia melupakanku yang sedang menunggunya pulang? Apakah Ia tidak ingat akan buah cintanya yang ada di rahimku? Pembicaraan mengenai poligami yang dilontarkan Mas Rizki bagaikan anak tangga yang meruntuhiku saat aku terjatuh. Bagaimana bisa Ia berpikir untuk poligami dengan perempuan yang tidak punya akhlak? Hanya untuk menutupi kelakuan yang sama-sama bejad? Walaupun aku memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidupku sendiri, namun aku tidak ingin menyerah begitu saja saat wanita lain berusaha merebut kasih sayang suamiku. Aku punyak hak untuk bersuara dan hak untuk tidak setuju jika mas Ri
Seperti saran Mas Hikam dan Mbak Salis, malam ini aku menyiapkan makan malam dan mengajak bicara suamiku secara serius. Hati ini rasanya sudah lelah, jiwa ini rasanya goyah, aku berkali-kali menghela nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Saat Mas Rizki tiba di rumah, aku langsung memberitahunya bahwa malam ini aku memasak. "Tumben masak," ucapnya. Kuabaikan tanggapan menohok itu karena tujuanku malam ini adalah membicarakan komitmen Mas Rizki sebagai suamiku. "Ada hal yang akan kutanyakan padamu, Mas. Tidak banyak. Hanya saja, aku butuh jawaban langsung darimu," aku langsung menuju inti pembicaraan. "Hmm. Jawaban yang bagaimana?" "Jawaban yang paling dalam dari lubuk hati Mas Rizki. Mas sebenarnya pilih aku atau anak itu?" "Mengapa tiba-tiba mengungkit hal ini lagi, Fat? Kamu sudah tahu aku tidak lagi punya hubungan apapun dengan anak itu …." "Karena aku telah mengetahuinya. Tolong dijawab Mas, ini pertanyaan titipan dari Mas Hikam," ucapku tegas. "Tidak ada alasan bagiku untu
Akhirnya saat yang sangat mendebarkan di hidupku tiba, aku berbaring dengan nafas terengah-engah setelah pembukaan kelima. Hari ini aku berjuang untuk melahirkan pangeranku. "Lho, di mana Rizki? Kok sampai sekarang nggak datang-datang?" kudengar suara Ibu di luar kamar. "Sudah dikabarin, Bu. Mungkin lagi sibuk di kantornya," Mbak Salis menjawab pelan namun masih terdengar olehku. Aku menghembuskan nafas kasar. Bayangan melahirkan didampingi suami seperti adegan romantis ala film dan novel-novel telah sirna. Kutepiskan segala harapan semu yang tak semua perempuan mendapatkannya termasuk diriku. "Sudahlah, Fatma. Sekarang lebih baik memperjuangkan anakmu dulu," batinku. Kukerahkan seluruh tenagaku, kupertaruhkan jiwa dan ragaku demi kehadiran amanah Alloh yang telah berada di rahimku selama sembilan bulan. Rasa sakit, perih, lelah, dan semua yang mendera diriku tak kuhiraukan. Saat ini, aku hanya ingin bayiku lahir dengan selamat. Bidan dan perawat dengan sabar membantuku dan member
Pangeranku sudah lahir, semoga Kau jadi anak sholeh dan cerdas ya, Nak. Sembilan bulan Bunda mengandungmu dan selalu bersamamu; akhirnya Bunda bisa melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan menggendongmu."Fat, airnya jangan terlalu panas," ucap Ibu saat aku menyiapkan air untuk memandikan anakku."Iya, Bu," sahutku.Ibu sibuk menimang pangeranku sembari menungguku selesai menyiapkan air. Sesuai rencana, Ibu dan Bapak turut tinggal di rumah Mas Hikam sampai urusanku dengan Mas Rizki selesai."Bu, gimana acara sholawatnya?" Sela Bapak yang baru saja kembali dari pasar terdekat. "Lho, coba tanya Hikam maunya gimana," tukas Ibu."Fatma masih ada tabungan, Bu. Jangan khawatir, Ibu sama Mbak Salis tinggal list keperluan acaranya saja," aku menimpali mereka."Maksudnya ngundang warga sini buat acara sholawatan perlu diatur sama Hikam, Fat. Ya, minimal Hikam yang sudah menetap di sini diajak rembugan gitu," ujar Bapak."Nah, urusan ngundang warga kita serahkan ke Hikam, uang Fatma bisa kita p
Orangtua Mas Rizki rencananya akan menjenguk cucu barunya nanti sore. Tadi malam Bapak sudah bicara dengan mantan besannya. Semoga Mas Rizki belum mengabari tentang perceraian kami. Aku sudah paham Mas Rizki adalah tipe yang lebih suka mengambil keputusan tanpa perlu pertimbangan orang lain. Mungkin, termasuk keputusannya menceraikanku. Ah, sudahlah Ia hanya memilih ABG itu.Tak ketinggalan, Mas Hikam ternyata juga sudah meminta Mas Rizki untuk datang pada jam yang tepat. Sungguh rencana yang detail dan hati-hati."Maaf, Fatma hanya merepotkan kalian," gumamku."Fatma, ini urusan keluarga, bukan hanya urusanmu. Menikah dan bercerai adalah urusan antar keluarga, bukan lagi urusan dua pribadi," sanggah Bapak. Mobil Mas Hikam yang membawa kedua orangtua Mas Rizki memasuki halaman rumah, begitu pula mobil Mas Rizki dari arah yang berlawanan. Perasaanku berdesir karena sebentar lagi akan ada pembicaraan yang sangat menyakitkan hatiku. Mungkin juga akan menimbulkan keterkejutan luar biasa
Dua hari yang lalu aku pulang ke rumah Ibu, sebenarnya Mas Hikam dan Mbak Salis sudah mengatakan beberapa kali bahwa aku lebih baik tinggal di rumah mereka. Tapi aku tidak enak hati. Walaupun pada nyatanya akses menuju pasar dan toko-toko keperluan rumah tangga sangat jauh dari rumah orangtuaku. Jika berjalan malam hari saja kami harus membawa senter karena jalanan masih banyak yang belum dipasangi listrik.Ketimpangan sosial dan ekonomi di tempat kami masih sangat tinggi. Banyak rumah yang masih menggunakan bahan dasar kayu dan anyaman bambu. Namun beberapa juga banyak yang sudah seperti gedung bertingkat. Di tempat kami masih jarang penduduk yang menyelesaikan pendidikan tinggi, bahkan masih banyak yang hanya lulusan SMP. Aku bersyukur sekali karena kedua orangtuaku berjuang keras agar aku dan Mas Hikam bisa kuliah di kota. Banyak tetangga yang awalnya mencibir orangtuaku, "Anak perawan satu-satunya kok dilepas. Nanti kalau jauh dari rumah dan salah jalan tahu rasa itu orang," "Unt
Mas Rizki meminta video call, ada apa sebenarnya? "Mohon maaf, Mas. Kita sudah bukan suami isteri lagi!" Balasku singkat."Apakah Mas Rizki tidak ingin menjenguk anak sendiri?" Lanjutku mengalihkan perhatian. Kalimat 'anak sendiri' sengaja kutebalkan agar Ia peka, lalu kuletakkan handphone di atas meja tanpa menunggu balasannya. Kuhela nafas dalam-dalam berharap agar setan yang menghinggapiku pergi. Aku hampir selalu marah jika teringat Mas Rizki, aku takut jika rasa marahku tumbuh menjadi dendam. Hanya aku dan Mbak Salis yang tahu ini, Mbak Salis memang selalu mendengarku tapi Ia hanya bisa menyarankanku untuk beristighfar sebanyak mungkin."Maaf, Fat. Kantorku sedang tidak stabil, mungkin satu bulan lagi aku baru ke situ."Akhirnya setelah hampir setengah jam, kubuka kembali handphone-ku."Boleh aku vidcall Ikhda?" Balasnya lagi."Ikhda sedang tidur," balasku dengan cepat. "Silakan, kalau Mas Rizki mau lihat wajah Ikhda," balasku langsung menghidupkan fitur video call.Ayah dari an
Aku melemparkan handphone ke lemari baju yang masih terbuka. Jika kuingat-ingat inilah kemarahanku yang paling besar. Mengapa ada lelaki yang begitu mudahnya mempermainkan perempuan? Aku merasa dihina meski belum mengerti maksud pertanyaan Mas Rizki. Apakah Ia bertanya untuk menghinaku atau benar-benar memintaku kembali padanya. Menyadari Ikhda masih tertidur lelap, aku bergegas mengambil air wudhu. Aku menekadkan diri untuk bertadarus beberapa saat hingga kekacauanku sedikit reda. Rasanya sangat sulit untuk berkonsentrasi pada huruf-huruf al-Quran dan air mataku malah mengalir semakin deras. Aku kembali berwudhu dan melanjutkan tadarusku. Semoga semua ini adalah Kuasa Alloh untuk menguji kesabaranku dan sarana untuk mengangkat derajatku. "Ibu, apa semua perempuan mengalami seperti apa yang kualami, Bu?" Gumamku saat Ibu sedang menyisihkan butiran gabah di beras yang akan ditanak. "Tidak Fat, tapi semua manusia akan diuji dengan cara yang berbeda-beda sesuai batas kemampuannya," jaw
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka