"Bubu... Huaaa..."Suara tangisan Fatih semakin menggelegar. Aditya tak bisa lagi membendung kegelisahannya. "Fatih!" Aditya kembali memanggil nama anaknya dengan keras."Siapa ini? Di mana anak saya?" Aditya seketika menjadi emosi. Seseorang dibalik telepon itu seperti sengaja ingin mempermainkannya."Anda jangan khawatir. Anak Anda dalam keadaan baik-baik saja. Fatih akan aman dalam penjagaan saya." Suara sopran dengan lembut berbicara dari balik telepon. Sepertinya Aditya kenal dengan suara wanita yang barusan berbicara. Itu seperti suara Elsa. Iya, Aditya sangat yakin kalau itu adalah suara Elsa, yang sedikit cempreng."Elsa! Ke mana kamu membawa Fatih pergi?" Aditya Sagara bertanya dengan tegas. "Wow! Ternyata Tuan Aditya seperti paranormal. Pintar sekali menebak kalau ini adalah saya." Elsa menertawakan. terdengar meledek. "Anda jangan khawatir, Tuan. Fatih dalam keadaan sehat dan aman dalam pangkuan saya," lanjutnya. "Brengsek! Kamu telah bermain-main dengan saya. Kembalika
"Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sedikit menganga. Air matanya seketika luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati—sang mertua mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya. Wati marah karena Raya nekad pergi ke Jakarta sendirian. Akibatnya Raya harus mendadak melahirkan karena batinnya terguncang usai memergoki sang suami bersama seorang wanita paruh baya tengah berduaan di kamar kostnya. Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingg
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu. "Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya. "Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias. "Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal." Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya. "Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu. "Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak." Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin ta
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda. "Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya. "Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal." Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka. "Sebentar, Pak." Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu. Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah. "Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya b
Beberapa jam setelah Wati dan Winda berlalu, kini tinggalah Raya sendiri d rumah yang sederhana itu. Keadaan rumah masih berantakan, Raya berusaha membereskan semuanya. Tapi pekerjaannya harus tertunda ketika mendengar pintu di depan rumah diketuk seseorang. Tok tok tok! Apakah Wati dan Winda sudah kembali? Secepat itukah? Raya bergegas mengelap tangannya yang basah usai mencuci piring. Ia segera melangkah menuju pintu utama. Ketika Raya membuka pintu, yang datang ternyata Raihan. Sedikit tercengang namun Raya berusaha tenang. "Kemana saja kamu, Mas?" tanya Raya pada suaminya. Namun tanggapan Raihan terlihat sinis. "Harusnya aku yang bertanya, kamu yang ke mana saja? Anak meninggal malah keluyuran!" geramnya. Mendengar itu, Raya menautkan kedua alisnya. "Aku keluyuran? Gak salah dengar aku?" Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Sudahlah! Aku tidak bisa kamu bodohi." Raihan melangkah masuk, melewati tubuh Raya tanpa perduli. Pria itu seolah amnesia akan kesalahan sebelumnya. "Aku ba
Ketika jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan Raya sudah menunjukan pukul lima sore, wanita berbulu mata lentik itu baru saja tiba di rumah Wati. Sempat ragu untuk masuk rumah karena takut dimarahi mertua, tapi Raya belum punya pilihan lain. Pintu utama di rumah Wati nampak terbuka, Raya tak usah repot mengetuk pintu. Ketika Raya sudah berdiri di ambang pintu, ia melihat Wati dan Raihan tengah berbincang serius di ruang tamu. "Begitulah istri kamu, Raihan. Kerjaannya hanya keluyuran. Menghabiskan semua uang hasil kerja kerasmu. Itulah alasan mengapa Mama tak pernah suka dengan Raya." Wati kembali memanipulasi keadaan dengan melempar bensin di atas bara yang tengah menyala. Degh! Dada Raya terasa geram mendengar ucapan Wati dari balik celah pintu. Langkahnya seketika tertahan. Bisa-bisanya Wati berbohong pada anaknya. Padahal selama ini Wati dan Winda yang telah menghabiskan uang kiriman dari Raihan. "Dulu, aku pikir Raya adalah wanita lugu, Ma. Tak disangka kalau
Setiap pagi, ASI Raya selalu diperas, dibawa Wati dan Winda pergi untuk kemudian diberikan kepada Aditya Fadillah. Mereka bilang, ASI itu akan didonorkan pada bayi yang membutuhkan. Tapi ketika Raya meminta ikut, Wati langsung melarangnya. "Aku ingin melihat bayi yang aku beri ASI setiap hari itu." "Memangnya kamu tidak percaya pada Mama? Kamu pikir Mama berbohong?" "Tentu saja bukan itu alasannya, Ma. Aku hanya ingin ketemu saja dengan bayinya." "Tidak perlu. Pekerjaan di rumah masih banyak. Kamu cukup selesaikan pekerjaan kamu. Jangan membantah. Jangan membuat Mama marah dan kecewa. Diam di rumah, bereskan rumah, jangan kemana-mana!" Karena Raya banyak protes, pagi ini pintu rumah bahkan di kunci dari luar. Artinya, Raya tidak bisa kemana-mana. Kondisi saat ini membuat Raya kian tertekan. Sementara dalam hati, ia ingin sekali pergi ke Jakarta. Ada yang harus diselidiki. Raya tidak bisa diam saja. Ia segera berganti pakaian. Namun ketika melihat isi dompet, seketika tubuhnya l
"Tidak mungkin!" Raya menggelengkan kepala, menepis berita mengejutkan itu. "Belum cukupkah bukti-bukti poto itu, Raya?" Raya menutup wajah sendunya dengan kedua telapak tangan. Seketika tangisannya kembali pecah. Wanita bernasib malang itu harus kembali merasakan duka yang mendalam. Mengapa hidupnya semakin kacau? "Aku tidak berniat mengompori. Aku hanya tidak mau kamu semakin terluka, Raya." Hani mengusap bahu Raya guna menenangkannya. "Iya, aku paham itu." Raya segera mengusap pipinya yang kembali basah. "Mungkin aku tidak perlu lagi pergi ke Jakarta. Aku percaya dengan keteranganmu, Han." "Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Hani nampak memastikan. "Aku akan pergi dari Mas Raihan. Aku akan mencari pekerjaan." Raya nampak yakin. "Tapi sepertinya, mencari pekerjaan di jaman sekarang tidaklah mudah. Aku sudah melamar kemana-mana, tapi sampai detik ini sama sekali belum ada kabar dari salah satu perusahaan yang aku tuju," tuturnya. "Aku akan membantumu. Berikan nomor
"Bubu... Huaaa..."Suara tangisan Fatih semakin menggelegar. Aditya tak bisa lagi membendung kegelisahannya. "Fatih!" Aditya kembali memanggil nama anaknya dengan keras."Siapa ini? Di mana anak saya?" Aditya seketika menjadi emosi. Seseorang dibalik telepon itu seperti sengaja ingin mempermainkannya."Anda jangan khawatir. Anak Anda dalam keadaan baik-baik saja. Fatih akan aman dalam penjagaan saya." Suara sopran dengan lembut berbicara dari balik telepon. Sepertinya Aditya kenal dengan suara wanita yang barusan berbicara. Itu seperti suara Elsa. Iya, Aditya sangat yakin kalau itu adalah suara Elsa, yang sedikit cempreng."Elsa! Ke mana kamu membawa Fatih pergi?" Aditya Sagara bertanya dengan tegas. "Wow! Ternyata Tuan Aditya seperti paranormal. Pintar sekali menebak kalau ini adalah saya." Elsa menertawakan. terdengar meledek. "Anda jangan khawatir, Tuan. Fatih dalam keadaan sehat dan aman dalam pangkuan saya," lanjutnya. "Brengsek! Kamu telah bermain-main dengan saya. Kembalika
Ketika malam sudah semakin larut, Aditya baru saja membuka kelopak matanya. Dia terlihat meregangkan kedua tangannya. Tidurnya yang lelap membuat dia sedikit lemas. Aditya segera beranjak dari tempat tidur. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 02.30 pagi. Beberapa jam berlalu telah Aditya lewatkan, akibat kelelahan sepulang dari rumah sakit.Aditya melangkah menuju pintu kamar. Ia segera memutar handle pintu. Tapi ternyata, pintu kamar Aditya telah dikunci. "Loh mana kuncinya?" Aditya sedikit tercengang manakala tak mendapati kunci pada lubang pintu.Aditya mengedip-ngedipkan kelopak matanya. Mengatur pandangannya yang sedikit buram. Dia juga segera menyalakan lampu di kamar, agar bisa memastikan kalau ia tidak salah lihat. Ternyata, Aditya baru sadar kalau kunci di kamarnya benar-benar telah hilang. Pintu kamar telah terkunci. Beruntung Aditya mengingat kunci serep yang tersimpan di dalam laci lemarinya. Ia segera mengambil kunci serep
Ruangan Fatih benar-benar kosong. Dibawa ke mana perginya anak tunggal Aditya Fadilah itu. Ucapan Anita tadi membuat pikiran Aditya menjadi paranoid."Ada apa, Tuan?" Tiba-tiba suara sopran terdengar dari pintu kamar mandi yang baru saja dibuka. Elsa baru saja keluar dari sana sambil menggendong Fatih di pangkuannya.Seketika Aditya menoleh terkejut. Bola matanya sampai membulat sempurna. "Ngapain kamu membawa Fatih ke kamar mandi?" tanyanya sambil melayangkan tatapan nanar penuh selidik kepada Elsa yang baru saja ia kenal. "Barusan Fatih buang air besar cukup banyak, Tuan. Saya sudah membersihkannya dengan tisu basah, tapi tidak terlalu bersih. Makanya saya bersihkan di kamar mandi," jelas Elsa terlihat tenang. Akhirnya Aditya pun menghela nafas lega. Padahal dia sudah berpikir yang aneh-aneh. Merasa bersalah karena sempat berpikir negatif, Aditya akhirhya mengangguk paham, ia segera duduk di sofa empuk yang ada di ruangan Fatih.Aditya melihat Fatih yang kini sudah tenang dalam pa
Ketika mentari sudah turun di ufuk Barat pertanda malam akan segera tiba, Raya dan Hani baru saja tiba di cafe—tempat bertemunya raya dan Selin tempo lalu. Hani segera mendatangi pihak pemilik cafe untuk meminta rekaman CCTV dua hari yang lalu, tepat di waktu yang telah disebutkan Raya.Namun nampaknya permintaan Hani seperti dipersulit. Pihak cafe tidak bisa memberikan hasil rekaman CCTV sebagaimana permintaan Hani dan Raya dengan alasan privasi.Tapi Hani tak tinggal diam. Sahabat Raya itu terus berusaha meminta izin kepada pihak cafe dengan tujuan demi mendapatkan barang bukti. Hingga setelah beberapa jam kemudian usaha Hani tidak sia-sia. Hani dan Raya akhirnya diizinkan untuk melihat rekaman CCTV di cafe tersebut dengan tujuan mencari bukti dari sebuah kejahatan. Di depan layar laptop Hani dan Raya menyaksikan dengan teliti kejadian ketika Raya dan Seline mendatangi kafe tersebut.Sialnya, tak ada barang bukti yang menyudutkan Selin. Tidak ada video yang memutar gerak-gerik Se
"Tunggu, Han. Aku belum selesai bicara," tahan Raya. Hani pun Kembali ke tempat duduknya. Dia merasa tidak percaya dengan keterangan Raya barusan."Aku juga meragukan hasil tes itu. Aku percaya kalau kamu tidak mungkin mengkonsumsi obat-obatan terlarang," kata Hani. "Coba ceritakan kepadaku sebelum kesalahpahaman itu terjadi," lanjutnya penuh selidik. "Aku juga tidak tahu seperti apa pastinya. Hari itu aku berniat untuk pergi ke kantor Pak Aditya, tapi tiba-tiba di tengah jalan aku melihat mama Wati dan Mas Raihan kecelakaan. Pikiranku buyar, aku melupakan tujuan awal. Aku beralih menolong mama Wati dan Mas Raihan, segera membawa mereka ke rumah sakit. Setelah sadar, aku segera pergi ke kantor Pak Aditya untuk mengantarkan ponsel Pak Aditya pada sore harinya. Pak Aditya langsung marah, aku pun menyadari kesalahanku. Aku memilih mengalah dan keluar dari ruangan Pak Aditya dengan rasa penyesalan. Tapi tiba-tiba aku bertemu dengan Selin di ujung koridor kantor. Selin mengajakku untuk b
Aditya tercengang. "Tolong jangan bicara sembarangan, Selin." Dia pura-pura tidak tahu. Aditya hanya khawatir kalau Seline melapor pada orang tuanya mengenai berita Raya yang mengkonsumsi barang haram."Aku tidak sembarangan, Mas. Aku lihat dengan mata kepala sendiri. Kemarin kebetulan aku sedang berada di cafe yang sama, bersama temanku. Temanku sendiri yang mengatakan, pria yang bersama Raya kemarin adalah pengedar narkoba," tekan Seline berusaha meyakinkan Aditya."Mas, kamu jangan membiarkan Raya terus-menerus tinggal di rumah kamu. Wanita pemakai barang haram itu sangat berbahaya. Bisa mengancam keselamatan Fatih. Kamu lihat 'kan buktinya sekarang, aku sudah bisa menebak sakit yang di alami Fatih saat ini. Itu pasti gara-gara air susu dari Raya. Wanita menyusui tidak boleh mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Kita tidak pernah tahu sejak kapan Raya mengkonsumsinya. Jangan ambil resiko, Mas. Ini semua demi kebaikan Fatih," tambah Selin dengan penjelasan yang panjang lebar, berusaha
Aditya masih kebingungan di tepi jalan. Ia masih termenung di dalam mobilnya sendirian. Tak ada jalan keluar dari Hani. Jemari tangannya terlihat sibuk menekan kontak bernama Raya pada layar ponselnya. Aditya berusaha menghubungi Raya melalui sambungan telepon.Namun detik itu pula Aditya harus kecewa manakala nomor yang dia tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area.Aditya berdecak kesal. Ia melempar ponselnya ke kursi sebelah. Terlihat sangat menyesal. "Aku tidak menyangka kalau akan seperti ini jadinya. Aku egois. Aku tidak memikirkan hal yang lebih penting daripada mengusir Raya dari rumah," desis Aditya berbicara sendirian penuh rasa sesal.Namun tak lama ponselnya kembali berdering. Panggilan masuk datang dari Selin.Sebenarnya Aditya sangat malas menjawab sambungan telepon dari Selin. Tapi biar bagaimanapun Selin adalah adik iparnya. Akhirnya Aditya tetap menjawab telepon yang masuk dari Selin."Hallo, Mas Aditya. Kamu di mana? Aku datang ingin bertemu Fatih, ta
Pagi yang menegangkan itu membuat Aditya menunda pekerjaannya untuk pergi ke kantor. Aditya segera membawa Fatih ke Dokter. Perasaannya cemas memikirkan anak semata wayangnya yang tengah mengalami demam yang cukup tinggi pada suhu badannya. "Bisakah lebih cepat, Adit?" Anita yang duduk di kursi belakang di mobil Aditya terlihat resah sambil mengusap-ngusap punggung Fatih yang kini berada pada pangkuannya.Padahal Adit sudah melajukan kendaraan yang dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Anita hanya risau. Iya benar-benar khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada cucunya."Iya, Mah," jawab Aditya dengan singkat sambil fokus ke jalan Raya. Hanya Aditya dan Anita yang membawa Fatih ke rumah sakit. Mereka tidak mengajak Susi, karena pembantu rumah tangga itu masih banyak tugas dan pekerjaan di rumah."Bubu..." rengek Fatih. Dalam tangisannya, anak tampan itu terus saja memanggil nama bubu sebagai sebutan sayangnya kepada Raya. Padahal baru satu hari satu malam Raya meninggalkan
"Biaya perawatan atas nama Nyonya Wati dan Tuan Raihan sudah ditanggung BPJS kesehatan." Keterangan dari pihak kasir membuat Raya menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi Wati berbohong kepadanya, padahal Raya ingin berbaik hati dan berdamai dengan mantan mertuanya. Sebelum Raya berlalu dari rumah sakit, ia kembali ke ruangan Wati. Raya melihat Wati masih menangis di kamarnya, entah tangisan apa yang tengah dikeluarkan oleh Wati. "Kenapa Mama berbohong?" Raya bertanya ketika sudah kembali menghadap Wati.Melihat Raya sudah kembali, Wati pun mendongak terkejut mendengar pertanyaan dari mantan menantunya. "Mama tidak bermaksud membohongi kamu. Jika Mama jujur, kamu tak akan percaya," elak Wati. "Aku sudah menemui pihak kasir. Semua biaya rumah sakit Mama dan Mas Raihan sudah ditanggung BPJS kesehatan." Raut wajah Raya terlihat kecewa. "Maafkan mama, Raya. Mama terpaksa berbohong, agar kamu mau meminjamkan uangmu pada Mama," elak Wati lagi."Sudah, Ma. Tidak apa-apa. Tolong jangan ulan