Tubuh Anjani gemetar. Ia tak berani menatap mata Ayudya yang mulai ada rasa curiga. Terdengar lagi suara Ayudya dengan nada menekan agar Anjani menjawab.
"Anjani! Kenapa kau diam?" tanya tegas Ayudya dengan langkah mendekati Anjani."Mm, sa ... Saya ..." gugup Anjani tanpa memandang Ayudya.Belum Anjani meneruskan kata-kata, terdengar suara Barata memotong pembicaraan Anjani."Say, Anjani aku suruh mengganti seprai. Bukankah bibi Suti sedang pulang kampung?" suara lembut Barata menjelaskan, dan melangkah mendekati Ayudya yang terlihat masih tak percaya dengan ucapan Barata. Apalagi Barata tertangkap basah bertelanjang dada yang tak biasa Barata lakukan di depan orang lain selain Ayudya."Anjani, benarkah itu?" tanya Ayudya terlihat tak mempercayai.Anjani masih menunduk, ia masih tak berani menatap sedikitpun Ayudya. Ia berbohong dengan menganggukkan kepala, menyetujui perkataan Barata."Ya nyonya, permisi saya hendak ke kamar nona kecil."Anjani melangkah hendak meninggalkan kamar. Terdengar suara Barata menenangkan Ayudya yang masih shock melihat pemandangan tadi. Ia berusaha merayu dengan memeluk tubuh Ayudya."Say, Anjani bukan level aku, dia wanita kampung yang menjijikkan."Kata-kata Barata terdengar di telinga Anjani sangat menyakitkan, rasanya sakit luar dalam bagi Anjani. Sudah di tampar, dimaki, dihina. Bahkan direnggut kesuciannya hanya karena uang. Uang bisa membuat seseorang menjadi buta.Kata-kata terakhir Barata lah yang membuat hati Anjani sakit."Ya aku menjijikkan, tapi dia rakus dan doyan tubuhku," kata batin Anjani dengan melangkah meninggalkan kamar yang menjadi saksi bisu hilangnya sebuah kesucian.Tapi Anjani bisa memahami, mungkin itu sebuah tameng untuk menyiasati Ayudya, agar Ayudya percaya kalau Barata tidak mungkin melakukan hal yang tak terpuji dengan seorang pengasuh putrinya. Apalagi Barata orang terpandang, memilih wanita tidak sembarangan. Ia sudah memiliki Ayudya yang berparas cantik, berdedikasi tinggi, seorang model ternama. Tentu Ayudya juga percaya. Apa yang dikatakan Barata.Anjani merasa beruntung, tadi Ayudya percaya omongan Barata. Hampir saja Anjani mati berdiri mendapat pertanyaan Ayudya.Anjani dengan cepat menghampiri kamar Aura dan membuka pintunya. Tampak Aura masih tertidur dengan memeluk guling. Mata Anjani langsung tertuju pada jam yang menempel di dinding kamar Aura."Masih jam enam pagi," lirihnya.Anjani menutup kembali pintu kamar Aura. Ia berpikir masih kurang satu setengah jam lagi ia membangunkan Aura untuk berangkat sekolah sekalian mampir ke bank untuk mengirim uang ke Arini adiknya.Ingatan Anjani pada Amplop yang ia bungkus seprai kotor pemberian dari Barata. Ia dengan cepat masuk kamarnya sendiri yang bersebelahan dengan kamar Aura.Anjani ingin tau berapa banyak uang yang di berikan Barata. Apakah Barata tak mengingkari janjinya. Bila Anjani masih suci ia hendak memberikan uang lebih dari apa yang disepakati.Anjani mengeluarkan satu per satu uang lembaran berwarna merah bergambar mawar dari dalam Amplop. ternyata Barata memberikan uang lebih. melebihi dari perjanjiannya.Mata Anjani membulat sempurna, kala menarik sebuah lipatan kertas putih dari amplop itu. Ia dengan cepat membukanya. Dan tertera di atas kertas putih bertulisan tangan.ANJANI DUA PULUH LIMA JUTA UANG KU BERIKAN PADAMU. ITU BUKAN NOMINAL YANG SEDIKIT. AKU INGIN, SEHABIS MENGANTAR PUTRIKU, KAU HARUS TEMUI AKU. TUNGGU AKU DI DEPAN TAMAN SENOPATI JAM SEBELAS. SEHABIS KAMU TRANSFER.Anjani terpana menatap tulisan itu. Ia bingung, ia tak menginginkan kejadian semalam terulang lagi. Ia merasa berdosa sudah mengkhianati kebaikan Ayudya. Tapi bagaimana lagi Anjani tak bisa mengelak, ia takut ancaman Barata kalau sampai Anjani menolak kemauan Barata, Barata akan mengatakan pada Ayudya, kalau Anjani yang menggoda Barata. Dan Anjani bakal tak punya pekerjaan.Disamping itu Anjani butuh uang, uang untuk biaya operasi ibunya secepatnya. Ia lebih mementingkan nyawa ibunya dibanding kesuciannya. Ia tak mau tau bagaimana kedepannya jika suaminya kelak menuntut kesuciannya.Cepat-cepat Anjani memasukkan amplop ke dalam tas kecilnya. Ia takut kalau sampai Ayudya mengetahui Anjani punya uang banyak. Tentu akan menimbulkan kecurigaan Ayudya.Bergegas Anjani hendak keluar untuk menyiapkan sarapan pagi dan memandikan Aura. Serta meletakkan seprai di mesin cuci, rencana nanti sepulang dari mengantar Aura ia hendak mencucinya.Baru saja Anjani melangkah ia dikejutkan suara ponselnya yang tergeletak di tempat tidur berdering.Ting tung ... Ting tung ... Ting tung ...Anjani menghentikan langkahnya secepat kilat ia menyambar ponselnya. Dan memperhatikan tulisan yang tertera pada layar ponselnya."Arini," gumamnya dengan mengarahkan ponselnya ke telinga.Anjani baru menyadari kalau lupa menghubungi adiknya, semalam ia tak menyentuh ponselnya dan membiarkan ponselnya berada di kamarnya. Hingga berderet- deret panggilan tak terjawab dari Arini terpampang di layar ponselnya."Maaf Arini, semalam aku bingung, bagaimana aku harus mencari uang. Tapi Alhamdulilah nanti aku transfer," ucap Anjani dalam telpon. Yang disambut kemarahan Arini yang merasa kesal, Sebab Anjani tak mengangkat telponnya sejak semalam."Aku panik Mbak! Pihak rumah sakit sudah mendesak terus, ya sudah cepat kirim, sama bayaran sekolahku sekalian!" teriak Arini dalam ponsel, serta mematikan ponselnya sebelum Anjani menjawabnya.Anjani kesal dengan sikap adiknya. Ia belum juga menyampaikan kata-kata, ponsel sudah ditutup."Dikira cari uang itu gampang apa?" gerutu Anjani sambil melempar ponselnya ke atas kasur.Anjani tak habis pikir dengan Arini. Padahal baru sebulan yang lalu Anjani mengirimkan uang sekolah hingga gaji satu bulan bekerja tak tersisa sama sekali.Memang kebutuhan keluarga Anjani, Anjani lah yang menanggungnya dari biaya sekolah kedua adiknya sampai biaya hidup makan setiap hari keluarganya. Ia menginginkan adiknya meneruskan sekolahnya hingga lulus. Jangan seperti dirinya, yang putus sekolah sampai kelas dua SMA. Ia ingin menjunjung nama keluarganya dangan mengirim setiap bulan kebutuhan ibunya agar ibunya tak hutang ke sana kemari untuk makan. Apalagi keluarga dari ibu maupun bapaknya yang ada di kampung selalu menghina. Jangankan meminjamkan uang untuk bayar sekolah, pinjam beras untuk makan saja tak bakal diberi. Yang pasti makian dan omelan yang Anjani dapatkan.Beruntung setelah Anjani berhenti sekolah langsung mendapat tawaran pekerjaan dari Astuti teman satu kampung yang hendak menikah. Untuk menggantikan pekerjaannya. Yaitu pekerjaan sebagai baby suster di rumah keluarga Barata yang terkenal kaya raya dengan julukan Sultan.Anjani yang setiap bulan menerima gaji tiga juta dari Ayudya. Itupun ia tak mengambil sepeserpun uang dari gaji itu. Semua ia kirim ke ibunya. Beruntung segala kebutuhan Anjani di rumah Ayudya, semua yang mencukupi Ayudya."Bunda Jani ... Bunda Jani ...!" Suara gadis kecil yang bernama Aura, yang membuat Anjani tersentak dan bergegas keluar kamar menemui Aura setelah mengunci lemarinya."Ya, Nona!" teriak Anjani setengah berlari menghampiri Aura yang hendak menuruni anak tangga, sambil mengusap-usap kedua matanya.Cepat-cepat Anjani berlari kecil menaiki anak tangga menghampiri Aura dan memeluk Aura yang baru bangun tidur, serta mengajaknya masuk kamar untuk mandi dan siap-siap berangkat sekolah.Rasa penat yang dirasakan Anjani pagi ini sangat terasa. Belum juga ia menyiapkan sarapan, Aura sudah keburu bangun. Tubuhnya terasa lelah dengan permainan semalam melayani Barata, dan belum juga nanti Barata meminta bertemu dengan Anjani.Anjani bingung, ada apa Barata meminta Anjani untuk menemuinya. Adakah hal yang sangat rahasia? Anjani tak bisa berpikir. Kalau toh Barata hendak berbuat sesuatu yang berhubungan dengan kejadian semalam, Anjani pasrah.***Jam menunjukkan angka sembilan. Anjani sudah selesai mengantar Aura. Ia pamit sama Andy sopir pribadi Aura, hendak ke bank untuk mengirim uang ibunya. Andy menyetujuinya dengan mengantar Anjani sampai di kantor bank setempat.Anjani menyuruh Andy meninggalkan dirinya di kantor. Ia akan pulang sendiri."Habis ini aku akan kembali ke sekolahan non Aura, Bang! Jemput non Aura jam tiga sore. Dia ada pelajaran tambahan."Andy mengangguk dan meninggalkan Anjani yang masih berdiri di depan pintu gerbang sebuah kantor bank, Anjani memandang mobil Andy hingga hilang dari pandangan.Hanya butuh waktu satu setengah jam, selesai transfer Anjani sudah berada di depan taman Senopati.Anjani berdiri tepat di pinggir trotoar. Dengan sengatan sinar matahari yang membuat wajah Anjani yang putih alami tampak memerah.Anjani tak menghiraukan semua itu. Hanya pikirannya yang bergejolak. Rasanya ia enggan untuk menemui Barata. Anjani sangat takut, takut kalau sampai Ayudya memergokki dirinya bersama suaminya. Padahal semua itu bukan kehendaknya.Sesekali Anjani melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam sebelas lewat sepuluh menit. Berarti Anjani sudah menunggu sepuluh menit.Anjani berpikir, ia akan menunggunya lagi sekitar lima menit, jika Barata tak kunjung datang ia dengan senang hati akan meninggalkan taman. Dan ia punya alasan tersendiri jika Barata marah.Tin, tin ...Sebuah sedan warna hitam berhenti tepat di depan Anjani.Anjani tersentak, ia yakin itu mobil Barata yang setiap hari bertengger di depan rumah. Jendela kaca mobil itu terbuka sendiri."Cepat masuk ...!" suara keras Barata yang duduk di belakang kemudi dengan pandangan lurus ke depan tanpa memandang Anjani.Anjani tanpa pikir panjang membuka pintu mobil dan segera masuk mobil.Jantung Anjani mulai berdetak kencang. Tubuhnya gemetar, telapak tangannya mulai dingin. Pandangan Anjani lurus ke depan melihat lalu lalang manusia dengan aktivitasnya lewat bentangan kaca mobil di depannya.Anjani tetap diam, ia tak berani berkata sepatah kata pun. Hanya sesekali ia melihat Barata yang tampak garang duduk di belakang setir lewat sudut matanya."Anjani, kau tau kamu akan aku bawa kemana?"Pertanyaan Barata memecah keheningan dan membuat Anjani tersentak dengan masih diliputi rasa ketakutan."Saya tak tau, Tuan. Tapi saya mohon jangan sakiti saya, jangan bunuh saya tuan," mohon Anjani menghiba, dengan menatap Barata."Bodoh!" gumam Barata, masih tanpa memandang Anjani.Tiga puluh menit kemudian, Barata menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah besar berpagar tinggi, yang membuat Anjani tampak panik dan ketakutan.Ia bertanya pada dirinya sendiri. "Tempat apa ini?"Seorang laki-laki berpakaian hitam-hitam membuka pintu gerbang pagar setelah mendengar klakson mobil Barata berbunyi. Mobil memasuki halaman rumah, dan berhenti tepat di samping rumah mewah yang bernuansa klasik modernAnjani semakin panik. Ia tak tau apa yang bakal terjadi pada dirinya. Jangan-jangan Barata hendak menghabisi nyawanya.Anjani berpikir, kemungkinan besar Ayudya mengetahui dan terjadi pertengkaran tadi pagi dengan Barata. Ayudya tau apa yang dilakukan Barata semalam dengan dirinya.Dan Barata hendak membunuhnya agar Anjani tidak membuka rahasia pada Ayudya."Tidaakkk ...!" tiba -tiba Anjani menjerit dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.Bersambung.Nah, benarkah apa yang ada dalam pikiran Anjani terjadi? dirinya hendak di bunuh Barata? Baca lanjutannya guys.Teriakan Anjani membuat Barata yang masih duduk di dekatnya tersentak, ia memandang Anjani lewat kerling matanya, dengan wajah yang kurang suka pada sikap Anjani. "Disgusting." lirih Barata. Anjani tersentak kaget, dan sekilas memandang Barata, ia tak mengerti dengan bahasa yang barusan diucapkan Barata. Anjani mengalihkan pandangannya. Ia menatap sekeliling lewat kaca mobil. Dan bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa Barata membawa dirinya ke sini? Dan rumah siapa ini? Anjani yang buta akan perkotaan hanya membisu seribu basa, hendak menanyakan pada Barata, tak ada keberanian untuk bertanya. Yang ia pikirkan hanya bagaimana nanti kalau sampai Barata menganiaya dan membunuhnya. "Kenapa diam? Ayo keluar?" ucap Barata bernada tinggi sambil membuka pintu mobil, dan beranjak dari jog mobil untuk keluar. Anjani tetap diam tak menghiraukan ucapan Barata. Ia tak bergerak dari posisinya yang masih duduk di dalam jog mobil. Dan hanya melirik pada Barata lewat kaca mobil tanpa ingin ke
"Kurang ajar kau!" Laki-laki itu melepas tubuh Anjani, dan mengangkat tubuh Anjani, serta melemparnya ke atas ranjang. Anjani menjerit, ia merasakan kesakitan, Dan mencoba berdiri serta turun dari ranjang hendak lari keluar. Namun belum sampai Anjani turun, laki-laki itu dengan sigap meraih kaki Anjani dan menyeret Anjani ke arah pinggir serta menindih tubuh Anjani. Anjani masih berusaha melepas tubuh laki-laki itu. Tapi sia-sia tangan laki-laki itu lebih kuat mencengkeram tubuh Anjani. Anjani tak kehabisan akal, ia dengan cepat menggigit lagi lengan laki-laki itu hingga laki-laki itu merasakan kesakitan ke dua kalinya gigitan Anjani. Plaaak ... Plaaak ... Dua tamparan mendarat pada kedua pipi Anjani, tubuh Anjani limbung dan Anjani tak sadarkan diri. Laki-laki itu tak menyia-nyiakan kesempatan. ia dengan leluasa menikmati tubuh Anjani. Anjani merasakan antara sadar dan tidak. Anjani juga masih bisa merasakan apa yang di lakukan laki-laki itu pada dirinya. Namun matanya ber
Dalam lingkup sekolahan siapa yang tak kenal Aura, putri seorang konglomerat ternama, dan nama orang tuanya sangat populer, di samping mamanya Aura juga berprofesi sebagai artis ternama. "Saya kurang tau, kalau nggak salah mobilnya berwarna hitam, sebab mobilnya terparkir di sana." Satpam menunjuk seberang jalan yang berjarak lima puluh meter. "Tapi yang jelas bukan bang Andi yang biasa menjemput nona Aura, laki-laki tadi mengatakan kalau dia anak buah tuan Barata," ungkap satpam. "Apa ...?!" teriak Anjani dengan mata membulat sempurna. Anjani semakin panik tubuhnya gemetar. Ia takut, kalau sampai yang menjemput Aura bukan perintah Barata. Apalagi Barata tak mengatakan apa-apa semenjak berada di rumah tadi. Tanpa pikir Panjang dan tanpa pamit satpam, Anjani bergegas menghampiri tukang ojeg yang masih menunggu dirinya. "Bang ke perumahan Permata Indah." Tanpa menjawab kata-kata Anjani, tukang ojeg dengan cepat menjalankan sepeda motornya. Pikiran Anjani semakin t
Anjani membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati ranjang tempat Aura berbaring, dengan detak jantung tak beraturan. Ia menghela nafas panjang dan menghempaskan dengan kasar, perasaannya kembali lega melihat mata Aura yang masih terpejam sambil berpindah posisi membelakangi Anjani. "Ia mengigau," lirih Anjani dan beralih pandangan ke arah Barata yang masih berdiri menegang. "Tuan, maaf tinggalkan saya disini. Saya takut nona Aura terbangun." Barata menanggapi perkataan Anjani dengan manggut-manggut. "Ya, tapi aku ingin besok kau temani aku tidur di hotel." Anjani tersentak, matanya membulat sempurna menatap tajam Barata. "Bagaimana mungkin Tuan! Bibi Suti pasti curiga, trus apa alasan saya nanti pada bibi Suti? Dan siapa yang menjemput nona Aura nanti?" "Dasar bodoh." Barata tersenyum sinis, menghampiri Anjani yang masih berdiri dekat ranjang. "Bilang kalau kau ingin pulang ke kampung dan ibumu sakit?" ucap Barata dengan nada lirih. Anjani diam tatapan matanya masih
Anjani yang semula pandangannya mengarah ke samping dengan melihat suasana kota lewat jendela kaca mobil, beralih pandangan ke arah sopir. Ia hendak menanyakan tentang tiket kereta api yang kata Ayudya sudah di bawa sopir. "Bang maaf, apakah tiket kereta api, Abang yang bawa?" Sopir yang memakai topi hitam dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya hanya menjawab singkat. "Ya." Anjani lega tanpa mengatakan apa- apa. Ia diam lagi dengan pikiran tentang Barata yang menyuruh dirinya menunggu di taman Senopati. Dalam hati Anjani ia tak ingin menemui Barata. Ini kesempatan Anjani pergi dari rumah Barata dan pulang kampung dan tak menginginkan kembali lagi ke kota. Ia berencana akan mencari pekerjaan di kotanya. Entah menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci baju para tetangga, yang penting ia terlepas dari budak nafsu Barata. Tiba- tiba Anjani merasakan kepalanya pusing serta berputar- putar. Anjani mencoba memijat - mijat keningnya dengan jari-jarinya. Agar sedikit agak h
Apa ...?!" mata Anjani melotot memandang Barata yang masih juga tak beranjak dari pembaringannya.Anjani menarik nafas dalam- dalam dengan memejamkan mata menahan kekesalan mendengar ucapan Barata. Ia berpikir kalau Barata benar-benar memperlakukan dirinya sebagai budak nafsu. Bukan nafsu Barata saja, tapi nafsu temannya juga. "Tuan, maafkan saya. Kali ini saya mohon jangan lakukan itu. saya melakukan semua ini karena dulu saya butuh uang untuk biaya sakit ibuku. Kalau tidak saya tak akan melakukannya. Semua ini sebuah keterpaksaan."Barata tersenyum sinis dengan cepat menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, serta turun dari ranjang. Anjani hanya menatap diam, menunggu jawaban dari Barata dengan jantung berdebar-debar. Dan melihat Barata meraih handuk yang ada di sandaran kursi, serta melilitkan ke bagian pinggangnya. "Dia membayarmu, aku tau kau butuh uang untuk menghidupi keluargamu di kampung. Jangan tolak itu sebuah rejeki." Barata melirik ekspresi wajah Anjani.
Anjani menguap terus menerus, telapak tangannya sebagai nampan mulutnya yang terbuka lebar. Semakin lama mata Anjani semakin berat, ia tak bisa mengedalikannya, tubuhnya lemas dan terkulai di atas sofa tak berdaya. Matanya mulai susah untuk dibuka. Dan Anjani tertidur pulas meringkuk diatas sofa. Namun tidurnya Anjani masih bisa merasakan apa yang dilakukan Bima. Ia merasakan tubuhnya diangkat oleh Bima dan dibaringkan di sebuah ranjang yang semalam sebagai saksi bisu pergulatan antara Barata dan Anjani. Namun kali ini ganti Bima yang merajai tubuh Anjani. Dalam tidurnya Anjani berpikir. Kenapa matanya begitu berat untuk dibuka, padahal secapek apapun tubuhnya jika ia tidur, dan ada sosok yang ada didekatnya Anjani terasa dan terjaga dari tidurnya, Namun kali ini Anjani tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya begitu lemah. Anjani juga bisa merasakan, apa yang dilakukan Bima pada dirinya, dengan melucuti pakaiannya satu per satu, serta mempermainkan sesuatu bagian tubuh Anjani yang s
Barata segera berlari menghampiri Anjani dan menarik tubuh Anjani hingga Anjani jatuh ke lantai. "Tolol, apa kau ingin mati konyol?" Barata berkacak pinggang memandang Anjani yang jatuh terduduk di lantai. Anjani diam sejenak dengan nafas memburu memandang Barata, ia berdiri sempoyongan dan melangkah menjauhi Barata. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, melirik Barata yang tampak ketakutan diam kaku tak bergeming. perlahan Barata menghampiri duduk Anjani. Ia berusaha menenangkan Anjani dengan menepuk-nepuk pundak Anjani. "Ya sudah besok pagi biar taksi menjemputmu, kembalilah pulang. Ingat, jangan lagi kau minta bantuan aku, dan perlu kau ingat lagi jangan sampai kau membocorkan rahasia ini."Barata melangkah meninggalkan Anjani yang duduk dengan mata menerawang jauh ke depan, matanya berkaca-kaca. Kesal, capek, kecewa, itu yang dirasakan Anjani. Ia membenarkan kata-kata Barata, ia tak ingin mati konyol dengan terjun dari lantai sebelas. Bagaimana nanti nasib ibunya dan kedua adi