pov Ayudya dan Barata. Bergegas Barata mendekati meja, dan meraih gelas yang berisi minuman berwarna oranye serta menciumnya. "Tak ada bau aneh? Tapi kenapa Anjani terkapar?" Barata meletakkan lagi gelas itu, melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ruang tengah tanpa ingin ke kamar Anjani. Ia merasa gengsi di depan Ayudya jika dirinya memperhatikan Anjani seorang babu. Sedangkan di kamar Anjani. Ayudya sibuk menghubungi dokter pribadinya yang sebentar lagi akan datang memeriksa Anjani. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah sadar dari pingsannya. Ia kaget melihat Ayudya dan bibi Suti ada di kamarnya. Mata Anjani berputar -putar memandang orang- orang yang berdiri di depannya secara bergantian. "Bik, kenapa semua ada di sini?" tanya Anjani sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Kamu pingsan Anjani," sela Ayudya. "Istirahatlah dulu, dokter akan segera datang." "Terima kasih Nyonya," ucap Anjani pelan. Ayudya hanya memgangguk, dan mengatakan sama bibi Suti agar bibi Suti t
Pov Ayudya dan Barata. Andi menyipitkan matanya, ia terlihat bingung dengan pertanyaan bos wanitanya ini. "Memang kenapa dengan suster Anjani, Nyonya?" Ayudya manggut- manggut dan tersenyum, "Bukankah kalian sudah dewasa, tak usah menutup- nutupi. Aku tau kalau kalian pacaran." Andi tersentak. Sambil geleng-geleng kepala. "Mmm, saya ... Saya tidak pacaran Nyonya, sama suster Anjani." Ayudya tak percaya begitu saja, mendengar ucapan Andi, ia yakin ada kedekatan khusus antara Andi dan Anjani yang mereka rahasiakan. Sebab Andi punya istri. Ayudya menghela nafas, seperti menahan beban yang menghimpit. Ia diam sejenak. "Tapi apakah ucapanmu dapat dipercaya? Coba bicara jujur padaku Andi. Yakinlah aku tak akan membocorkan semua ini. Sebab kau tau Anjani Hamil!" "Hah, Hamil ...?!" Mata Andi membulat sempurna. "Ya Andi, maka aku ingin penjelasan kamu, kasian Anjani, dia belum bisa diajak bicara danasih syok. "Demi Allah Nyonya, saya nggak ada apa apa sama suster Anja
"Dasar wanita jalang, kenapa sampai hamil? Bodoh kenapa tak memakai alat kontrasepsi?" umpat Barata yang ingin rasanya Anjani menampar mulut bosnya itu. Perlahan Anjani bangkit dan duduk, memandang tajam Barata, seolah merasa dialah yang benar. Anjani tetap mengambil sikap diam, ia tak mau amarah Barata semakin memuncak. "Kamu tau resiko apa yang bakal menimpaku? kalau sampai orang tau, dan menyebar luaskan ke awak media, aku menghamili seorang babu sepertimu, bakal jatuh reputasiku!" Pikir pakai otak, Anjani." Barata tak bisa menahan emosinya, bergegas melangkah keluar serta kembali dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat. "Ini, biaya untuk menggugurkan kandunganmu, aku tak mau bayi itu lahir." Barata melempar amplop itu tepat mengenai wajah Anjani. Anjani tetap tak menyurakan suara sepatah kata pun. Hanya nafasnya yang memburu dan matanya berkedip kedip menahan amarah yang tersimpan dan bakalan meledak. "Mulai besok kamu harus meninggalkan kota ini." Barata m
Anjani terdiam sesaat sewaktu berada di pertigaan jalan, ia bingung harus pergi kemana. Hari merayap semakin gelap. Ia berjalan ke arah kiri mengikuti arah ketika Anjani mengantar Aura ke sekolah. Ia berjalan lurus dengan tas pakaiannya berada di pundak kanan sedang tas kecilnya berada di pundak kiri. Mata Anjani terus menatap kiri dan kanan. Siapa tau ada rumah yang di kontrakan. Tapi Anjani tak yakin kontrakan itu bisa Anjani bayar. Sebab kota besar apalagi di pinggiran jalan pastilah mahal. Dan uang yang di kumpulkan Anjani dari Barata sudah terkumpul tiga puluh juta, tambahan kemarin lima belas juta. Semua terkumpul empat puluh lima juta. Tapi hidup di Jakarta segalanya serba mahal, ia kalau di kampung Anjani. Anjani berhenti tepat di perempatan jalan. Ia berdiri termangu di bawah rambu- rambu lalu lintas, ia memandang sekeliling gedung- gedung bertingkat dengan gemerlapnya lampu warna warni. Ia semakin bingung harus kemana lagi. Kalau lurus pastinya menuju kota besar, ke
Tangan dan bibir Anjani gemetar, saat terdengar suara dari dalam ponsel. "Haloo Mbak, aku Arini." Anjani menarik nafas lega. Dirinya yang mengira yang telpon adalah keluarga dari Barata ternyata Arini adiknya dari kampung. "Ya Allah Arini, kenapa nomormu kamu ganti?" "Ia mbak ke blok, gimana mbak uang bulananku sudah habis, kok belum Mbak kirim?" Anjani kembali menarik nafas panjang, dengan mata melirik Ranti yang duduk di pojok kamar dengan pura-pura tak mendengar pembicaraan Anjani. "Arini ... Kau tau, Mbak sekarang lagi nggak bekerja di rumah tuan Barata, sekarang aku sedang mencari pekerjaan. Aku menginap di rumah teman sambil cari pekerjaan." "Lho kok bisa, Mbak dipecat ya? Tapi aku tak mau tau, Mbak harus mengirim uang secepatnya, hidup keluarga kita bergantung pada Mbak? Bagaimana sekolahku, dan sekolah Alfan? Aku nggak mau tau, besok Mbak segera kirim uang untuk keluarga kita, sudah itu titik." uncap kesal Arini sambil menutup pembicaraannya, tak menggubris
Anjani menatap sekeliling, ia merasakan berada di tempat yang aneh. Segalanya serba putih. Kepala di perban dan tangannya di beri selang infus. "Kenapa aku ada di sini?" batin Anjani sembari mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Dua orang wanita memakai baju putih- putih masuk, tersenyum menyapa Anjani. "Alhamdullilah, Nyonya sudah melampaui masa kritis, semalam Nyonya mengigau terus memanggil nama Barata."Anjani tersentak. "Aku mengigau? Menyebut nama Barata?" lirihnya, yang terdengar ke dua suster itu. "Ya, Nyonya, Nyonya mengalami kecelakaan, beruntung kandungan ibu baik- baik saja. Kalau boleh tau siapa tuan Barata. Biar pihak rumah sakit yang menghubungi."Dengan cepat Anjani mengatakan, "Tidak ...! Mungkin itu faktor kebetulan saja." ucap Anjani. Suster itu tersenyum. "Ya tapi Nyonya tak usah khawatir, sebentar lagi keluarga Nyonya datang kesini, semalam sudah menyelesaikan administrasinya." Anjani semakin bingung, mendengar kata-kata suster menyebut keluarganya
"Maaf saya tadi ketiduran," ucap Anjani tergagap, "dimana bibi Nur sama Ain Tante?" "Ain sudah ada yang mengurusi, sengaja aku membayar suster ini. Untuk mengurus Ain," ungkap tante Bety datar. Anjani tersentak. "Apa? Dia anakku Tante, yang ber hak mengurus aku?" Dengan senyum sinis tante Bety memandang lekat Anjani. "Memang selama ini, kau mengasuhnya?" Tante Bety berdiri menghampiri Anjani. "Sudah kau tak usah mengurusi Ain, kamu urusi pekerjaan yang baru aku berikan padamu, paham!" Anjani dengan cepat melangkah ke belakang dengan memanggil- manggil Ain. Namun tak terdengar suara anak kecil. Bahkan bibi Nur juga tak terlihat batang hidungnya. Dengan rasa jengkel Anjani kembali menemui tante Bety. "Tante, kemana Ain? Aku ingin menemuinya sebentar!" Anjani mengucapkan dengan nada tinggi. Namun perkataan Anjani tak digubris oleh tante Bety, tante Bety malah asyik mengobrol dengan suster Mila, yang mana nantinya bakal mengasuh Ain. Anjani semakin jengkel melihat ke tid
Mobil berhenti tepat di sebuah hotel yang nampak hotel ber kelas. Sangat terlihat bangunannya bertingkat menjulang tinggi. Dan kamar tampak besar dan tertata rapi serta terdapat kolam renang di belakangnya. "Anjani, nama yang cantik, sesuai dengan wajahnya yang cantik pula" Puji Antony sembari menyibakkan rambut Anjani yang tergerai tak beraturan ke belakang telinga. Anjani hanya berdiri terpaku di depan Antony dengan menundukkan kepala. Ia hanya diam menikmati alunan jari-jari tangan kekar Antony yang menelusuri setiap lekuk tubuh Anjani. Ia teringat ancaman tante Bety. Kalau dirinya tak boleh berbuat ulah. Ia harus menuruti kemauan Antony sebab Antony sudah membayarnya. Disamping itu, Anjani merasakan dirinya sangat kotor dan percuma jika ia menolak dan memberontak pada Antony. Anjani pun pasrah ketika Antoni mendorong tubuhnya ke atas ranjang. Serta melucuti pakaian Anjani Namun Anjani menemukan Antony bukan laki-laki kasar, tidak seperti Barata dan teman-temannya yang
"Nyonya?" ucap tante Rita lirih dengan memandang pak Sastro dan Anjani secara bergantian. "udah Mbak, ajak Ain kesini," sela Arini. "Ya Anjani, suruh suster Mery sama Ain ke sini?" ungkap bu Ayu. "Tapi Nyonya, Ain tak mau diajak suster ke sini, maunya sama Nyonya," sela Romi. Anjani mengangguk, dengan cepat Anjani melangkah keluar kantin. "Dia bangun tidur, jadi rewel," ungkap Arini yang dibarengi berdirinya Irfan hendak menyusul Anjani. "Sudah Ma, ayok silahkan makan dulu, biasa anak kecil rewel. Jangan di buat ribut." Bu Ayu berdiri menghampiri tante Rita dan pak Sastro untuk mengajak mengambil makanan terlebih dahulu.Tante Rita berdiri di ikuti pak Sastro untuk mengambil hidangan prasmanan yang sudah disajikan. Ia mendekati bu Ayu sambil berbisik. "Memang kerja suami Mbak Anjani itu apa sih Bu?" Bu Ayu tersenyum, "pengusaha jeng, kemarin bilang kalau suaminya punya perusahaan, tapi saya juga nggak tau persisnya bekerja apa, nikah saja saya nggak di kabari. Itu yang membuat
Hari yang indah untuk keluarga bu Ayu, dengan berakhirnya kelulusan Arini, Sarjana Ekonomi di sandang Arini. Ucapan selamat untuk Arini berdatangan, di loby gedung kampus tempat acara wisuda Arini. Anjani yang diam berdiri di dekat kerumunan teman-teman Arini, menatap adiknya yang tersirat aura kebahagiaan. Ia hanya bisa memandang kebahagiaan adiknya. Tanpa harus ikut dalam jepretan fto- fto yang akan di abadikan. Arini juga tampak cuek dengan Anjani, ia sibuk berfto-fto ria dengan teman- temannya. Bahkan dengan keluarga Galang calon suami Arini yang hari ini juga ikut moment wisuda Arini. Bu Ayu tampak tersenyum bangga, sesekali berbicara pada orang tua teman Arini dan orang tua Galang, yang kebetulan berdiri di dekat bu Ayu."Ayo ganti fto keluarga tante Rita," ucap Arini memanggil nama orang tua Galang dengan sebutan tante Rita. Entah pemandangan itu membuat Anjani bukannya bahagia, ia malah sedih. Sedikitpun tak tersentuh panggilan Arini pada dirinya, apa memang lupa atau mal
Anjani ragu, ketika menginjakkan kakinya ke kampung halaman. Dan tentu keluarganya akan menanyakan siapa Airin. Sebegitu cepat Anjani mempunyai anak, dan kenapa menikah tanpa kabar- kabar keluarga di kampung. Namun Suster Mery yang sudah di gembleng lebih dahulu oleh Anjani tentang nama Anjani yang berganti Lolita, Anjani mengatakan kalau itu nama panggilan kesayangan Abilawa pada dirinya. Suster Mery menuruti apa yang dikatakan Anjani. Ia tak mau tau dengan hal itu. Yang di utamakan suster Mery bekerja dan bekerja. Seandainya bos nya meminta suster Mery harus melakukan ini itu, kalau demi kebaikan ya tentu menuruti. "Duh anak Mbak, cantik," ungkap Arini yang gemas dengan mentowel pipi Ain. "Ikut tante yok? Ajak Arini dengan menjulurkan tangannya ke arah Ain, yang tengah duduk di pangkuan bu Ayu dengan memainkan layar ponsel. Biasa anak jaman sekarang anteng bila di beri mainan ponsel. Tapi Anjani maupun suster Mery selalu membatasi, hanya jam tertentu Ain diperbolehkan main Pons
Anjani punya masukan lagi dari bibi Narti sebagai bahan bukti kalau Grace benar- benar memasukkan Faizal ke dalam kamar. Anjani harus mempertahankan kebenaran. Urusan Abilawa membeliksn mobil Grace itu urusan lain. Bagaimanapun Grace adalah anak sambung. Tapi Anjani juga tak mau Abilawa di peras hartanya oleh manusia manusia picik seperti Istri-istri Abilawa. Ia hanya butuh harta Abilawa tapi tak mencintainya. Bahkan Anjani juga mendengar cerita dari bibi Narti, kalau Lidya atau Dewi sering memasukkan laki laki lain di rumahnya jika Abilawa sedang luar kota. Cerita itu didapat bibi Narti dari teman kampungnya yang bekerja sebagai pembantu di rumah Lidya. Tapi untuk masalah itu, Anjani tak mau mengurusinya, itu pribadi mereka.***Tiga hari Anjani belajar di kantor Abilawa, ia begitu bersemangat. Niat untuk belajar ada dan tak sedikitpun mempunyai keinginan menguasai perusahaan apabila Anjani sudah pinter. Ilmu buat Anjani segala-galanya, dan tiba waktunya Anjani harus libur sementar
Anjani panik, berjalan kesana kemari, mencari keberadaan Denis. Namun ia tak menemukan Denis ada di ruangan. Perlahan Anjani melangkah mendekati kamar Grace. Ia ingin tau apakah laki- laki bernama Faizal ada di dalam kamar Grace. Kalau memang ada di kamar Grace, bagaimana jika terjadi sesuatu. Mereka bukan suami istri, Grace masih status pelajar dan sudah dewasa, dikamar berdua lain jenis apa yang bakal dilakukan kalau bukan hal semacam itu. Anjani berdiri diam di depan pintu kamar Grace, ia mengangkat tangannya, dan menempelkan ke pintu kamar Grace, hendak mengetuk, namun tiba- tiba niatnya terhenti, ia takut jika Grace benar-benar ada di kamar berduaan dengan Faizal. "Ma ...!" suara dari belakang mengagetkan Anjani. Anjani menoleh ke belakang dengan gugup ia menyapa. "Ohh ... Papa ... Anu eh, aku ingin menemui Grace tapi takut mengganggu sebab baru saja dia pulang sekolah. Tanpa basa-basi Abilawa langsung mendekati pintu kamar Grace. Melihat hal itu Anjani bingung ia hendak me
Anjani diam menatap Grace yang bertingkah tak sopan. Tanpa bicara sedikitpun Anjani nemunguti dua lembar uang di lantai. Ia tak ambil pusing dengan ejekan Grace. "Uhh, ternyata di ambil juga tuh uang, dasar kere, kampungan." Grace meninggal kan Anjani yang menyayangkan uang dua ratus ribu fi buang begitu saja, ingat jaman masih di kampung uang segitu begitu banyak. Jangankan uang dua ratus ribu. Uang seribu saja susah untuk mendapatkannya. Anjani membiarkan Grace meninggalkan dirinya, namun dalam hati Anjani tak tega juga, ia berpikir bagaimana nanti kalau Grace di luar tak punya uang. Ia diam sejenak sembari berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk Grace, ia harus keluar dulu ke ATM. Anjani kembali masuk kamar, mengambil dompet yang berisi ATM. Ia melangkah keluar hendak menyuruh Romi mengantar ke depan. Bari saja kaki. Anjani menginginjakkan ruang tamu. Ia melihat Grace duduk di ruang tamu dengan seorang laki-laki. Yang usianya lebih tua dari Grace. Anjani menghentikan langk
Dalam hati Anjani tertawa melihat kelakuan Lidya dan Grace. Ia membiarkan kecurigaan itu berlanjut, justru Anjani hendak membuat Lidya dan Grace semakin curiga, dan mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Denis. Hari-hari pun di gunakan Anjani semakin dekat dengan Denis. Siang itu sengaja kepulangan Grace dari sekolah yang di jemput oleh Romi sang sopir. Grace keluar dari mobil tampak marah. Grace masuk rumah dengan wajah tak bersahabat ketika melintasi duduk Anjani dan Denis di ruang tamu. Ia berlalu begitu saja tanpa menyapa Anjani. Anjani memandang Denis, menarik ujung matanya ke atas. Sepertinya menanyakan kelakuan Grace dalam bahasa isyarat. Denis hanya menggelengkan kepala, dan mengatakan agar Anjani tidak ikut campur urusan pribadi Grace. "Masuk lah ke dalam Nyonya Loli, biarkan nona Grace." Anjani berdiri, tapi dirinya tak merasa enak jika membiarkan keadaan Grace. Nanti bakal di salahkan, tanpa persetujuan Denis Anjani melangkah menuju kamar Grace. Tok, tok, tok ..
Klik Tangan Denis menekan tombol listrik, ruangan yang gelap berubah terang. "Maaf Nyonya, saya tinggal dulu," pamit Danis dengan membungkukkan tubuhnya tanda hormat. Anjani menganggukkan kepala. Dan beralih pandangan ke ekspresi Grace yang sepertinya jijik dan tak suka. Grace menggeleng-gelengkan kepala. "Tak seindah kamarku di rumah, ini mah gudang!""Graceee ...!" suara keras Lidya memperingatkan agar Grace tak banyak bicara. "Ini kamar sudah di bersihkan, dan semua ini kehendak tuan Abilawa, tuan Abilawa memberikan yang terbaik untuk Nona Grace," ungkap Anjani. "Maaf saya harus pergi, melihat Ain anak saya." Anjani membalikkan tubuhnya serta keluar dari kamar. Namun Anjani tidaklah meninggalkan ruangan. Ia sembunyi di dekat dinding, ingin mendengarkan apa rencana Lidya dan Grace.Dugaan Anjani tak meleset, Lidya merencanakan sesuatu, Anjani mendengar jelas percakapan Lidya dan Grace. Dengan cepat Anjani mengeluarkan ponselnya dan merekam semua percakapan Mereka. "Diamlah
Pikiran Anjani terus terbayang Grace yang akan tinggal satu atap dengannya, dan kata-kata bibi Narti tadi siang yang membeberkan tentang kelakuan Grace. Hingga menjelang pagi mata Anjani tak bisa terpejam. Dentangan jam di sudut ruang kamar Anjani sudah menunjukkan angka empat pagi, Anjani beranjak dari tempat tidurnya. Tampak Airin yang tidur disebalahnya tampak pulas, entah sudah dia malam Anjani menginginkan tidur sama Airin yang biasanya Airin tidur di kamarnya sendiri, kadang Anjani yang pindah tempat ke kamar Airin. Anjani tau semua itu ia lakukan karena Abilawa tentu berada di kamarnya sendiri, jika tidak tentu berada di rumah salah satu istrinya. Anjani melangkah ke kamar mandi, hendak menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Apalagi sudah terdengar azan shubuh dari kejauhan. Anjani masih duduk tepekur di atas sajadah dengan tangan menengadah ke atas, ia merasa bersyukur dalam keadaan bagaimanapun masih ingat akan Tuhannya. Walau Allah memberikan pekerjaan sebagai wani