Anjani menguap terus menerus, telapak tangannya sebagai nampan mulutnya yang terbuka lebar. Semakin lama mata Anjani semakin berat, ia tak bisa mengedalikannya, tubuhnya lemas dan terkulai di atas sofa tak berdaya. Matanya mulai susah untuk dibuka. Dan Anjani tertidur pulas meringkuk diatas sofa. Namun tidurnya Anjani masih bisa merasakan apa yang dilakukan Bima. Ia merasakan tubuhnya diangkat oleh Bima dan dibaringkan di sebuah ranjang yang semalam sebagai saksi bisu pergulatan antara Barata dan Anjani. Namun kali ini ganti Bima yang merajai tubuh Anjani. Dalam tidurnya Anjani berpikir. Kenapa matanya begitu berat untuk dibuka, padahal secapek apapun tubuhnya jika ia tidur, dan ada sosok yang ada didekatnya Anjani terasa dan terjaga dari tidurnya, Namun kali ini Anjani tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya begitu lemah. Anjani juga bisa merasakan, apa yang dilakukan Bima pada dirinya, dengan melucuti pakaiannya satu per satu, serta mempermainkan sesuatu bagian tubuh Anjani yang s
Barata segera berlari menghampiri Anjani dan menarik tubuh Anjani hingga Anjani jatuh ke lantai. "Tolol, apa kau ingin mati konyol?" Barata berkacak pinggang memandang Anjani yang jatuh terduduk di lantai. Anjani diam sejenak dengan nafas memburu memandang Barata, ia berdiri sempoyongan dan melangkah menjauhi Barata. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, melirik Barata yang tampak ketakutan diam kaku tak bergeming. perlahan Barata menghampiri duduk Anjani. Ia berusaha menenangkan Anjani dengan menepuk-nepuk pundak Anjani. "Ya sudah besok pagi biar taksi menjemputmu, kembalilah pulang. Ingat, jangan lagi kau minta bantuan aku, dan perlu kau ingat lagi jangan sampai kau membocorkan rahasia ini."Barata melangkah meninggalkan Anjani yang duduk dengan mata menerawang jauh ke depan, matanya berkaca-kaca. Kesal, capek, kecewa, itu yang dirasakan Anjani. Ia membenarkan kata-kata Barata, ia tak ingin mati konyol dengan terjun dari lantai sebelas. Bagaimana nanti nasib ibunya dan kedua adi
pov Ayudya dan Barata. Bergegas Barata mendekati meja, dan meraih gelas yang berisi minuman berwarna oranye serta menciumnya. "Tak ada bau aneh? Tapi kenapa Anjani terkapar?" Barata meletakkan lagi gelas itu, melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ruang tengah tanpa ingin ke kamar Anjani. Ia merasa gengsi di depan Ayudya jika dirinya memperhatikan Anjani seorang babu. Sedangkan di kamar Anjani. Ayudya sibuk menghubungi dokter pribadinya yang sebentar lagi akan datang memeriksa Anjani. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah sadar dari pingsannya. Ia kaget melihat Ayudya dan bibi Suti ada di kamarnya. Mata Anjani berputar -putar memandang orang- orang yang berdiri di depannya secara bergantian. "Bik, kenapa semua ada di sini?" tanya Anjani sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Kamu pingsan Anjani," sela Ayudya. "Istirahatlah dulu, dokter akan segera datang." "Terima kasih Nyonya," ucap Anjani pelan. Ayudya hanya memgangguk, dan mengatakan sama bibi Suti agar bibi Suti t
Pov Ayudya dan Barata. Andi menyipitkan matanya, ia terlihat bingung dengan pertanyaan bos wanitanya ini. "Memang kenapa dengan suster Anjani, Nyonya?" Ayudya manggut- manggut dan tersenyum, "Bukankah kalian sudah dewasa, tak usah menutup- nutupi. Aku tau kalau kalian pacaran." Andi tersentak. Sambil geleng-geleng kepala. "Mmm, saya ... Saya tidak pacaran Nyonya, sama suster Anjani." Ayudya tak percaya begitu saja, mendengar ucapan Andi, ia yakin ada kedekatan khusus antara Andi dan Anjani yang mereka rahasiakan. Sebab Andi punya istri. Ayudya menghela nafas, seperti menahan beban yang menghimpit. Ia diam sejenak. "Tapi apakah ucapanmu dapat dipercaya? Coba bicara jujur padaku Andi. Yakinlah aku tak akan membocorkan semua ini. Sebab kau tau Anjani Hamil!" "Hah, Hamil ...?!" Mata Andi membulat sempurna. "Ya Andi, maka aku ingin penjelasan kamu, kasian Anjani, dia belum bisa diajak bicara danasih syok. "Demi Allah Nyonya, saya nggak ada apa apa sama suster Anja
"Dasar wanita jalang, kenapa sampai hamil? Bodoh kenapa tak memakai alat kontrasepsi?" umpat Barata yang ingin rasanya Anjani menampar mulut bosnya itu. Perlahan Anjani bangkit dan duduk, memandang tajam Barata, seolah merasa dialah yang benar. Anjani tetap mengambil sikap diam, ia tak mau amarah Barata semakin memuncak. "Kamu tau resiko apa yang bakal menimpaku? kalau sampai orang tau, dan menyebar luaskan ke awak media, aku menghamili seorang babu sepertimu, bakal jatuh reputasiku!" Pikir pakai otak, Anjani." Barata tak bisa menahan emosinya, bergegas melangkah keluar serta kembali dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat. "Ini, biaya untuk menggugurkan kandunganmu, aku tak mau bayi itu lahir." Barata melempar amplop itu tepat mengenai wajah Anjani. Anjani tetap tak menyurakan suara sepatah kata pun. Hanya nafasnya yang memburu dan matanya berkedip kedip menahan amarah yang tersimpan dan bakalan meledak. "Mulai besok kamu harus meninggalkan kota ini." Barata m
Anjani terdiam sesaat sewaktu berada di pertigaan jalan, ia bingung harus pergi kemana. Hari merayap semakin gelap. Ia berjalan ke arah kiri mengikuti arah ketika Anjani mengantar Aura ke sekolah. Ia berjalan lurus dengan tas pakaiannya berada di pundak kanan sedang tas kecilnya berada di pundak kiri. Mata Anjani terus menatap kiri dan kanan. Siapa tau ada rumah yang di kontrakan. Tapi Anjani tak yakin kontrakan itu bisa Anjani bayar. Sebab kota besar apalagi di pinggiran jalan pastilah mahal. Dan uang yang di kumpulkan Anjani dari Barata sudah terkumpul tiga puluh juta, tambahan kemarin lima belas juta. Semua terkumpul empat puluh lima juta. Tapi hidup di Jakarta segalanya serba mahal, ia kalau di kampung Anjani. Anjani berhenti tepat di perempatan jalan. Ia berdiri termangu di bawah rambu- rambu lalu lintas, ia memandang sekeliling gedung- gedung bertingkat dengan gemerlapnya lampu warna warni. Ia semakin bingung harus kemana lagi. Kalau lurus pastinya menuju kota besar, ke
Tangan dan bibir Anjani gemetar, saat terdengar suara dari dalam ponsel. "Haloo Mbak, aku Arini." Anjani menarik nafas lega. Dirinya yang mengira yang telpon adalah keluarga dari Barata ternyata Arini adiknya dari kampung. "Ya Allah Arini, kenapa nomormu kamu ganti?" "Ia mbak ke blok, gimana mbak uang bulananku sudah habis, kok belum Mbak kirim?" Anjani kembali menarik nafas panjang, dengan mata melirik Ranti yang duduk di pojok kamar dengan pura-pura tak mendengar pembicaraan Anjani. "Arini ... Kau tau, Mbak sekarang lagi nggak bekerja di rumah tuan Barata, sekarang aku sedang mencari pekerjaan. Aku menginap di rumah teman sambil cari pekerjaan." "Lho kok bisa, Mbak dipecat ya? Tapi aku tak mau tau, Mbak harus mengirim uang secepatnya, hidup keluarga kita bergantung pada Mbak? Bagaimana sekolahku, dan sekolah Alfan? Aku nggak mau tau, besok Mbak segera kirim uang untuk keluarga kita, sudah itu titik." uncap kesal Arini sambil menutup pembicaraannya, tak menggubris
Anjani menatap sekeliling, ia merasakan berada di tempat yang aneh. Segalanya serba putih. Kepala di perban dan tangannya di beri selang infus. "Kenapa aku ada di sini?" batin Anjani sembari mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Dua orang wanita memakai baju putih- putih masuk, tersenyum menyapa Anjani. "Alhamdullilah, Nyonya sudah melampaui masa kritis, semalam Nyonya mengigau terus memanggil nama Barata."Anjani tersentak. "Aku mengigau? Menyebut nama Barata?" lirihnya, yang terdengar ke dua suster itu. "Ya, Nyonya, Nyonya mengalami kecelakaan, beruntung kandungan ibu baik- baik saja. Kalau boleh tau siapa tuan Barata. Biar pihak rumah sakit yang menghubungi."Dengan cepat Anjani mengatakan, "Tidak ...! Mungkin itu faktor kebetulan saja." ucap Anjani. Suster itu tersenyum. "Ya tapi Nyonya tak usah khawatir, sebentar lagi keluarga Nyonya datang kesini, semalam sudah menyelesaikan administrasinya." Anjani semakin bingung, mendengar kata-kata suster menyebut keluarganya