Anjani yang semula pandangannya mengarah ke samping dengan melihat suasana kota lewat jendela kaca mobil, beralih pandangan ke arah sopir. Ia hendak menanyakan tentang tiket kereta api yang kata Ayudya sudah di bawa sopir.
"Bang maaf, apakah tiket kereta api, Abang yang bawa?" Sopir yang memakai topi hitam dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya hanya menjawab singkat. "Ya." Anjani lega tanpa mengatakan apa- apa. Ia diam lagi dengan pikiran tentang Barata yang menyuruh dirinya menunggu di taman Senopati. Dalam hati Anjani ia tak ingin menemui Barata. Ini kesempatan Anjani pergi dari rumah Barata dan pulang kampung dan tak menginginkan kembali lagi ke kota. Ia berencana akan mencari pekerjaan di kotanya. Entah menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci baju para tetangga, yang penting ia terlepas dari budak nafsu Barata. Tiba- tiba Anjani merasakan kepalanya pusing serta berputar- putar. Anjani mencoba memijat - mijat keningnya dengan jari-jarinya. Agar sedikit agak hilang. Anjani berpikir mungkin dirinya masuk angin yang mana semalam sampai pagi ini. perutnya belum terisi sama sekali. Padahal bibi Suti tadi sudah mengingatkan agar Anjani sarapan dulu sebelum berangkat. Tapi mana mungkin Anjani bisa menelan makanan, sedangkan batin dan pikirannya sedang kacau. Anjani menyandarkan kepalanya di sandaran jog mobil. " Pak, masih jauh kah stasiun dari sini?" tanya Anjani yang berencana kalau sampai di stasiun akan membeli sarapan dulu. "Nggak Sus, sepuluh menit lagi sudah sampai." Anjani diam sejenak, tiba-tiba ia merasakan perutnya begitu mual, rasa neg menyerang tenggorokannya, rasa ingin muntah tak terkendalikan. Hingga Anjani memberanikan diri agar sopir menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Ada apa Sus?" tanya sopir bingung. Tanpa menjawab pertanyaan sopir, Anjani segera membuka pintu mobi, dan berlari ke pinggir. Hoek ... Hoek ... Hoek ... Anjani mengeluarkan isi perutnya dengan membungkukkan tubuhnya. Sopir hanya diam menatap Anjani dari dalam mobil. Anjani kembali lagi ke dalam mobil, setelah merasakan lega pada perutnya. "Suster sakit?" tanya sopir kembali menjalankan mobilnya. "Mungkin saya sedikit kelelahan Bang," ujar Anjani tanpa memperhatikan sang sopir. "Nanti sesampai di stasiun saya cari makanan dulu ya Bang," ujar Anjani sambil mengambil tissue yang ada di dalam tasnya. Padahal Anjani tau kalau ada tissue di dasboard depan. perlahan tissue itu di usap-usapkan pada bibirnya. "kenapa, dengan tubuhku? padahal pagi tadi aku tak merasakan apa-apa?" pikirnya Anjani Dalam hitungan menit mobil yang di tumpangi Anjani berhenti, terdengar suara sopir mengatakan kalau sudah sampai. Dan sang sopir segera membuka pintu mobil untuk Anjani. Anjani kaget, setelah tau laki- laki yang membukakan pintu mobil. Anjani dengan cepat keluar. "Bapak! Bukankah bapak yang menjemput saya di rumah singgah seminggu yang lalu?" Sopir itu mengangguk, membenarkan ucapan Anjani. Anjani kembali menatap sekeliling dengan mata berputar- putar memandang setiap sudut dimana ia berdiri. "Ini bukan stasiun Pak? Kenapa bapak menurunkan saya di sini?" "Saya hanya mengikuti perintah tuan Barata. Tuan Barata sudah menunggu di kamar hotel," ucap sopir menyuruh Anjani segera mengikuti sang Sopir. "Jadi ... Tuan Barata sudah merencanakan sebelumnya," batin Anjani . Pupus sudah harapan Anjani yang hendak pulang kampung. Anjani yang tadinya merasa senang dan tenang kesempatan emas untuk pulang kampung dan tak kembali lagi, serta mengira Barata menggagalkan pertemuanya. Ternyata Barata lebih pintar membuat skenario semua ini. Anjani melangkah mengikuti sopir yang sudah berjalan di depannya dengan membawakan tas pakaian Anjani menuju kamar yang sudah di beritahu sebelumnya sama Barata. Hanya butuh waktu lima menit dengan melewati lift kamar menuju lantai dua belas. Anjani semakin gemetar ketika sopir sudah berada di depan sebuah kamar, dan menghubungi seseorang lewat telpon yang entah Anjani tak tau sopir itu bicara sama siapa. Yang pasti dalam hitungan detik kamar didekat Anjani berdiri terbuka sendirinya. Sopir itu menyuruh Anjani masuk dengan terlebih dahulu masukkan tas Anjani. Anjani mengambil nafas dalam-dalam rasa pusing yang tadi mendera hilang seketika, ketika sopir tadi keluar serta menutup kembali pintu kamar meninggalkan Anjani sendiri di kamar. Jantung Anjani semakin berdetak kencang, ia tak beranjak sedikitpun dari depan pintu, Anjani yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di hotel merasa ragu dan bingung. Ia berpikir kalau Barata belum ada di kamar. Dalam kebingungan Anjani, tiba -tiba Anjani mendengar suara laki-laki memanggilnya dari arah ruangan berbeda. "Anjani, masuk lah. Jangan seperti kambing congek.," ucap laki-laki itu yang mana Anjani tidak asing dengan suara itu. Kalau itu suara Barata yang berada di kamar mandi yang terlihat transparan. Perlahan Anjani melangkah mendekati meja dengan meletakkan tas kecilnya ke atas meja. Anjani kembali terdiam, memandang kaca dinding kamar mandi yang terbuat dari kaca transparan samar. Cekrek pintu kamar mandi terbuka, keluar Barata dengan melilitkan handuk untuk menutupi sebagian tubuhnya. Dengan cepat Barata meraih tangan Anjani dan sedikit menyeret Anjani masuk kamar mandi. Tanpa basa basi Barata melepas handuk yang melilit tubuhnya hingga tak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Ia mendekap Anjani erat- erat dengan kedua tangan menyusup ke dalam pakaian Anjani. "Kau sekarang menjadi budakku, dan kau hari ini harus melayani aku. Dan jangan sekali- kali kau menolak, aku tau kau butuh uang," ucap Barata setengah mengejek serta tangannya meremas kasar sesuatu yang sensitif milik Anjani. Anjani tak menghiraukan makian yang keluar dari mulut Barata, bagi Anjani sudah terbiasa mendengarnya. Barata sudah tak bisa menguasai libidonya, ia dengan rakus melumat serta menggigit wajah serta leher Anjani. Anjani hanya bisa melenguh dengan nafas yang memburu. Dan lama kelamaan permainan Barata menjadikan sensasi yang luar biasa bagi Anjani. Barata merenggangkan tubuhnya dari tubuh Anjani, tiba-tiba kedua tangan Barata menarik atasan Anjani. Kreekkk ... Kreeek ... Kreekk ... "Tuan, kenapa di sobek. Saya bisa melepasnya dengan baik- baik." "Bodoh ...! Kenapa sejak tadi tak cepat-cepat kau lepas, cepat lepas!" teriak Barata sambil menarik rok yang dikenakan Anjani dengan kasar. "Sabar Tuan, saya akan melayani tuan dengan lembut dan saya akan memuaskan Tuan, bukankah saya budak nafsu tuan?" suara lembut Anjani dengan melepas satu per satu pakaiannya. Tanpa Anjani sadari, Tiba-tiba tangan Barata menarik rambut Anjani ke belakang. "Nggak usah banyak bicara, layani aku sekarang Sundal!" ucap Barata sambil melepas rambut Anjani dengan kasar. Dan menyuruh Anjani keluar kamar mandi. "Aku tak menginginkan bercinta di sini. Cepat keluar tunggu aku di ranjang." Anjani bungkam, ia kembali tak berdaya. Ia tetap pasrah apa yang di lakukan Barata terhadap dirinya. Barata mendorong tubuh Anjani hingga jatuh ke atas ranjang empuk nan mewah yang mana Anjani tak pernah merasakan kemewahan fasilitas hotel berbintang. Barata menindih tubuh Anjani, dengan brutal dan kasar Barata memperlakukan Anjani. Hingga berkali-kali terdengar suara Anjani yang merasakan kesakitan, bukan suara kenikmatan. Anjani memberanikan diri untuk protes. Agar Barata memperlakukan dirinya tidak kasar Namun lagi- lagi telapak tangan Barata melayang ke wajah Anjani. Plaakk, Plaakk, "Aku tak suka wanita manja," "Aduuh ...!" suara Anjani terdengar merasakan kesakitan sambil menggigit bibirnya sendiri, untuk menahan rasa panas bekas tamparan Barata. "Kau itu budakku! budak nafsuku. Kau tak boleh protes apa yang aku lakukan. Sebab aku berani bayar kamu mahal!" Suasana semakin memanas. Barata yang sudah dirasuki nafsu yang memuncak, seperti Joki penunggang kuda yang gagah, sedangkan Anjani bagaikan kuda liar, yang berlari kencang menuruti apa kemauan si Joki kemana si Joki pergi, untuk mencapai kenikmatan. agar si joki cepat mencapai puncak kenikmatan. Hampir satu hari mereka melakukan itu, tanpa ada kata lelah, serta di lanjut malam hari hingga mereka terkulai lemas tak berdaya terbaring di ranjang hingga menjelang pagi. Pagi itu Anjani sengaja bangun lebih awal. Ia ingin secepat mungkin mandi besar, dan ingin keluar sebentar mencari sarapan pagi di pentry hotel. Anjani yang sudah berpakaian rapi perlahan meraih tas kecilnya untuk mengambil dompet yang ada didalam tas serta melangkah perlahan keluar. "Mau kemana kau lonteku!" Anjani yang hendak membuka pintu kamar tersentak, ia yang mengira Barata masih tidur pulas dengan permainan semalam, ternyata hanya pura- pura tidur. Anjani menghentikan langkahnya dan berdiri di depan pintu kamar sambil melihat Barata yang sudah membuka matanya. "Mau beli sarapan, Tuan?" "Nggak usah beli, sebentar lagi pihak hotel mengirim sarapan pagi." Tanpa berkata apa-apa Anjani mengurungksn niatnya untuk keluar. "Mendekatlah kesini, aku mau bicara." "Ya Tuan." Anjani melangkah mendekati Barata. Barata yang masih berbaring, memandang Anjani lewat sudut matanya ketika Anjani duduk di sisi ranjang. "Anjani! Hari ini aku memberikan bonus untukmu." Anjani menjawab dengan mengangguk pelan dan mengucapan terima kasih. "Nanti ada temanku yang datang ke sini," lanjut Barata meraih tangan Anjani, serta meremas lembut jari jemari Anjani. Anjani mengernyitkan keningnya. "Maksud Tuan?" tanya Anjani yang benar-benar tak mengerti. "Kau harus layani temanku, seperti kau melayani aku." Anjani tersentak dengan cepat menarik tangannya dari tangan Barata. Ia berdiri sambil berteriak. "Apaa?!" Bersambung.Apa ...?!" mata Anjani melotot memandang Barata yang masih juga tak beranjak dari pembaringannya.Anjani menarik nafas dalam- dalam dengan memejamkan mata menahan kekesalan mendengar ucapan Barata. Ia berpikir kalau Barata benar-benar memperlakukan dirinya sebagai budak nafsu. Bukan nafsu Barata saja, tapi nafsu temannya juga. "Tuan, maafkan saya. Kali ini saya mohon jangan lakukan itu. saya melakukan semua ini karena dulu saya butuh uang untuk biaya sakit ibuku. Kalau tidak saya tak akan melakukannya. Semua ini sebuah keterpaksaan."Barata tersenyum sinis dengan cepat menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, serta turun dari ranjang. Anjani hanya menatap diam, menunggu jawaban dari Barata dengan jantung berdebar-debar. Dan melihat Barata meraih handuk yang ada di sandaran kursi, serta melilitkan ke bagian pinggangnya. "Dia membayarmu, aku tau kau butuh uang untuk menghidupi keluargamu di kampung. Jangan tolak itu sebuah rejeki." Barata melirik ekspresi wajah Anjani.
Anjani menguap terus menerus, telapak tangannya sebagai nampan mulutnya yang terbuka lebar. Semakin lama mata Anjani semakin berat, ia tak bisa mengedalikannya, tubuhnya lemas dan terkulai di atas sofa tak berdaya. Matanya mulai susah untuk dibuka. Dan Anjani tertidur pulas meringkuk diatas sofa. Namun tidurnya Anjani masih bisa merasakan apa yang dilakukan Bima. Ia merasakan tubuhnya diangkat oleh Bima dan dibaringkan di sebuah ranjang yang semalam sebagai saksi bisu pergulatan antara Barata dan Anjani. Namun kali ini ganti Bima yang merajai tubuh Anjani. Dalam tidurnya Anjani berpikir. Kenapa matanya begitu berat untuk dibuka, padahal secapek apapun tubuhnya jika ia tidur, dan ada sosok yang ada didekatnya Anjani terasa dan terjaga dari tidurnya, Namun kali ini Anjani tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya begitu lemah. Anjani juga bisa merasakan, apa yang dilakukan Bima pada dirinya, dengan melucuti pakaiannya satu per satu, serta mempermainkan sesuatu bagian tubuh Anjani yang s
Barata segera berlari menghampiri Anjani dan menarik tubuh Anjani hingga Anjani jatuh ke lantai. "Tolol, apa kau ingin mati konyol?" Barata berkacak pinggang memandang Anjani yang jatuh terduduk di lantai. Anjani diam sejenak dengan nafas memburu memandang Barata, ia berdiri sempoyongan dan melangkah menjauhi Barata. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, melirik Barata yang tampak ketakutan diam kaku tak bergeming. perlahan Barata menghampiri duduk Anjani. Ia berusaha menenangkan Anjani dengan menepuk-nepuk pundak Anjani. "Ya sudah besok pagi biar taksi menjemputmu, kembalilah pulang. Ingat, jangan lagi kau minta bantuan aku, dan perlu kau ingat lagi jangan sampai kau membocorkan rahasia ini."Barata melangkah meninggalkan Anjani yang duduk dengan mata menerawang jauh ke depan, matanya berkaca-kaca. Kesal, capek, kecewa, itu yang dirasakan Anjani. Ia membenarkan kata-kata Barata, ia tak ingin mati konyol dengan terjun dari lantai sebelas. Bagaimana nanti nasib ibunya dan kedua adi
pov Ayudya dan Barata. Bergegas Barata mendekati meja, dan meraih gelas yang berisi minuman berwarna oranye serta menciumnya. "Tak ada bau aneh? Tapi kenapa Anjani terkapar?" Barata meletakkan lagi gelas itu, melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ruang tengah tanpa ingin ke kamar Anjani. Ia merasa gengsi di depan Ayudya jika dirinya memperhatikan Anjani seorang babu. Sedangkan di kamar Anjani. Ayudya sibuk menghubungi dokter pribadinya yang sebentar lagi akan datang memeriksa Anjani. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah sadar dari pingsannya. Ia kaget melihat Ayudya dan bibi Suti ada di kamarnya. Mata Anjani berputar -putar memandang orang- orang yang berdiri di depannya secara bergantian. "Bik, kenapa semua ada di sini?" tanya Anjani sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Kamu pingsan Anjani," sela Ayudya. "Istirahatlah dulu, dokter akan segera datang." "Terima kasih Nyonya," ucap Anjani pelan. Ayudya hanya memgangguk, dan mengatakan sama bibi Suti agar bibi Suti t
Pov Ayudya dan Barata. Andi menyipitkan matanya, ia terlihat bingung dengan pertanyaan bos wanitanya ini. "Memang kenapa dengan suster Anjani, Nyonya?" Ayudya manggut- manggut dan tersenyum, "Bukankah kalian sudah dewasa, tak usah menutup- nutupi. Aku tau kalau kalian pacaran." Andi tersentak. Sambil geleng-geleng kepala. "Mmm, saya ... Saya tidak pacaran Nyonya, sama suster Anjani." Ayudya tak percaya begitu saja, mendengar ucapan Andi, ia yakin ada kedekatan khusus antara Andi dan Anjani yang mereka rahasiakan. Sebab Andi punya istri. Ayudya menghela nafas, seperti menahan beban yang menghimpit. Ia diam sejenak. "Tapi apakah ucapanmu dapat dipercaya? Coba bicara jujur padaku Andi. Yakinlah aku tak akan membocorkan semua ini. Sebab kau tau Anjani Hamil!" "Hah, Hamil ...?!" Mata Andi membulat sempurna. "Ya Andi, maka aku ingin penjelasan kamu, kasian Anjani, dia belum bisa diajak bicara danasih syok. "Demi Allah Nyonya, saya nggak ada apa apa sama suster Anja
"Dasar wanita jalang, kenapa sampai hamil? Bodoh kenapa tak memakai alat kontrasepsi?" umpat Barata yang ingin rasanya Anjani menampar mulut bosnya itu. Perlahan Anjani bangkit dan duduk, memandang tajam Barata, seolah merasa dialah yang benar. Anjani tetap mengambil sikap diam, ia tak mau amarah Barata semakin memuncak. "Kamu tau resiko apa yang bakal menimpaku? kalau sampai orang tau, dan menyebar luaskan ke awak media, aku menghamili seorang babu sepertimu, bakal jatuh reputasiku!" Pikir pakai otak, Anjani." Barata tak bisa menahan emosinya, bergegas melangkah keluar serta kembali dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat. "Ini, biaya untuk menggugurkan kandunganmu, aku tak mau bayi itu lahir." Barata melempar amplop itu tepat mengenai wajah Anjani. Anjani tetap tak menyurakan suara sepatah kata pun. Hanya nafasnya yang memburu dan matanya berkedip kedip menahan amarah yang tersimpan dan bakalan meledak. "Mulai besok kamu harus meninggalkan kota ini." Barata m
Anjani terdiam sesaat sewaktu berada di pertigaan jalan, ia bingung harus pergi kemana. Hari merayap semakin gelap. Ia berjalan ke arah kiri mengikuti arah ketika Anjani mengantar Aura ke sekolah. Ia berjalan lurus dengan tas pakaiannya berada di pundak kanan sedang tas kecilnya berada di pundak kiri. Mata Anjani terus menatap kiri dan kanan. Siapa tau ada rumah yang di kontrakan. Tapi Anjani tak yakin kontrakan itu bisa Anjani bayar. Sebab kota besar apalagi di pinggiran jalan pastilah mahal. Dan uang yang di kumpulkan Anjani dari Barata sudah terkumpul tiga puluh juta, tambahan kemarin lima belas juta. Semua terkumpul empat puluh lima juta. Tapi hidup di Jakarta segalanya serba mahal, ia kalau di kampung Anjani. Anjani berhenti tepat di perempatan jalan. Ia berdiri termangu di bawah rambu- rambu lalu lintas, ia memandang sekeliling gedung- gedung bertingkat dengan gemerlapnya lampu warna warni. Ia semakin bingung harus kemana lagi. Kalau lurus pastinya menuju kota besar, ke
Tangan dan bibir Anjani gemetar, saat terdengar suara dari dalam ponsel. "Haloo Mbak, aku Arini." Anjani menarik nafas lega. Dirinya yang mengira yang telpon adalah keluarga dari Barata ternyata Arini adiknya dari kampung. "Ya Allah Arini, kenapa nomormu kamu ganti?" "Ia mbak ke blok, gimana mbak uang bulananku sudah habis, kok belum Mbak kirim?" Anjani kembali menarik nafas panjang, dengan mata melirik Ranti yang duduk di pojok kamar dengan pura-pura tak mendengar pembicaraan Anjani. "Arini ... Kau tau, Mbak sekarang lagi nggak bekerja di rumah tuan Barata, sekarang aku sedang mencari pekerjaan. Aku menginap di rumah teman sambil cari pekerjaan." "Lho kok bisa, Mbak dipecat ya? Tapi aku tak mau tau, Mbak harus mengirim uang secepatnya, hidup keluarga kita bergantung pada Mbak? Bagaimana sekolahku, dan sekolah Alfan? Aku nggak mau tau, besok Mbak segera kirim uang untuk keluarga kita, sudah itu titik." uncap kesal Arini sambil menutup pembicaraannya, tak menggubris