Share

Bab 7 pasrah.

Anjani yang semula pandangannya mengarah ke samping dengan melihat suasana kota lewat jendela kaca mobil, beralih pandangan ke arah sopir. Ia hendak menanyakan tentang tiket kereta api yang kata Ayudya sudah di bawa sopir.

"Bang maaf, apakah tiket kereta api, Abang yang bawa?"

Sopir yang memakai topi hitam dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya hanya menjawab singkat.

"Ya."

Anjani lega tanpa mengatakan apa- apa. Ia diam lagi dengan pikiran tentang Barata yang menyuruh dirinya menunggu di taman Senopati. Dalam hati Anjani ia tak ingin menemui Barata. Ini kesempatan Anjani pergi dari rumah Barata dan pulang kampung dan tak menginginkan kembali lagi ke kota. Ia berencana akan mencari pekerjaan di kotanya. Entah menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci baju para tetangga, yang penting ia terlepas dari budak nafsu Barata.

Tiba- tiba Anjani merasakan kepalanya pusing serta berputar- putar. Anjani mencoba memijat - mijat keningnya dengan jari-jarinya. Agar sedikit agak hilang. Anjani berpikir mungkin dirinya masuk angin yang mana semalam sampai pagi ini. perutnya belum terisi sama sekali. Padahal bibi Suti tadi sudah mengingatkan agar Anjani sarapan dulu sebelum berangkat. Tapi mana mungkin Anjani bisa menelan makanan, sedangkan batin dan pikirannya sedang kacau.

Anjani menyandarkan kepalanya di sandaran jog mobil. " Pak, masih jauh kah stasiun dari sini?" tanya Anjani yang berencana kalau sampai di stasiun akan membeli sarapan dulu.

"Nggak Sus, sepuluh menit lagi sudah sampai."

Anjani diam sejenak, tiba-tiba ia merasakan perutnya begitu mual, rasa neg menyerang tenggorokannya, rasa ingin muntah tak terkendalikan. Hingga Anjani memberanikan diri agar sopir menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

"Ada apa Sus?" tanya sopir bingung.

Tanpa menjawab pertanyaan sopir, Anjani segera membuka pintu mobi, dan berlari ke pinggir.

Hoek ... Hoek ... Hoek ... Anjani mengeluarkan isi perutnya dengan membungkukkan tubuhnya. Sopir hanya diam menatap Anjani dari dalam mobil.

Anjani kembali lagi ke dalam mobil, setelah merasakan lega pada perutnya.

"Suster sakit?" tanya sopir kembali menjalankan mobilnya.

"Mungkin saya sedikit kelelahan Bang," ujar Anjani tanpa memperhatikan sang sopir. "Nanti sesampai di stasiun saya cari makanan dulu ya Bang," ujar Anjani sambil mengambil tissue yang ada di dalam tasnya. Padahal Anjani tau kalau ada tissue di dasboard depan.

perlahan tissue itu di usap-usapkan pada bibirnya.

"kenapa, dengan tubuhku? padahal pagi tadi aku tak merasakan apa-apa?" pikirnya Anjani

Dalam hitungan menit mobil yang di tumpangi Anjani berhenti, terdengar suara sopir mengatakan kalau sudah sampai. Dan sang sopir segera membuka pintu mobil untuk Anjani.

Anjani kaget, setelah tau laki- laki yang membukakan pintu mobil. Anjani dengan cepat keluar.

"Bapak! Bukankah bapak yang menjemput saya di rumah singgah seminggu yang lalu?"

Sopir itu mengangguk, membenarkan ucapan Anjani. Anjani kembali menatap sekeliling dengan mata berputar- putar memandang setiap sudut dimana ia berdiri.

"Ini bukan stasiun Pak? Kenapa bapak menurunkan saya di sini?"

"Saya hanya mengikuti perintah tuan Barata. Tuan Barata sudah menunggu di kamar hotel," ucap sopir menyuruh Anjani segera mengikuti sang Sopir.

"Jadi ... Tuan Barata sudah merencanakan sebelumnya," batin Anjani .

Pupus sudah harapan Anjani yang hendak pulang kampung. Anjani yang tadinya merasa senang dan tenang kesempatan emas untuk pulang kampung dan tak kembali lagi, serta mengira Barata menggagalkan pertemuanya. Ternyata Barata lebih pintar membuat skenario semua ini.

Anjani melangkah mengikuti sopir yang sudah berjalan di depannya dengan membawakan tas pakaian Anjani menuju kamar yang sudah di beritahu sebelumnya sama Barata.

Hanya butuh waktu lima menit dengan melewati lift kamar menuju lantai dua belas.

Anjani semakin gemetar ketika sopir sudah berada di depan sebuah kamar, dan menghubungi seseorang lewat telpon yang entah Anjani tak tau sopir itu bicara sama siapa. Yang pasti dalam hitungan detik kamar didekat Anjani berdiri terbuka sendirinya. Sopir itu menyuruh Anjani masuk dengan terlebih dahulu masukkan tas Anjani.

Anjani mengambil nafas dalam-dalam rasa pusing yang tadi mendera hilang seketika, ketika sopir tadi keluar serta menutup kembali pintu kamar meninggalkan Anjani sendiri di kamar.

Jantung Anjani semakin berdetak kencang, ia tak beranjak sedikitpun dari depan pintu, Anjani yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di hotel merasa ragu dan bingung. Ia berpikir kalau Barata belum ada di kamar.

Dalam kebingungan Anjani, tiba -tiba Anjani mendengar suara laki-laki memanggilnya dari arah ruangan berbeda.

"Anjani, masuk lah. Jangan seperti kambing congek.," ucap laki-laki itu yang mana Anjani tidak asing dengan suara itu. Kalau itu suara Barata yang berada di kamar mandi yang terlihat transparan.

Perlahan Anjani melangkah mendekati meja dengan meletakkan tas kecilnya ke atas meja.

Anjani kembali terdiam, memandang kaca dinding kamar mandi yang terbuat dari kaca transparan samar.

Cekrek pintu kamar mandi terbuka, keluar Barata dengan melilitkan handuk untuk menutupi sebagian tubuhnya. Dengan cepat Barata meraih tangan Anjani dan sedikit menyeret Anjani masuk kamar mandi.

Tanpa basa basi Barata melepas handuk yang melilit tubuhnya hingga tak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Ia mendekap Anjani erat- erat dengan kedua tangan menyusup ke dalam pakaian Anjani.

"Kau sekarang menjadi budakku, dan kau hari ini harus melayani aku. Dan jangan sekali- kali kau menolak, aku tau kau butuh uang," ucap Barata setengah mengejek serta tangannya meremas kasar sesuatu yang sensitif milik Anjani.

Anjani tak menghiraukan makian yang keluar dari mulut Barata, bagi Anjani sudah terbiasa mendengarnya.

Barata sudah tak bisa menguasai libidonya, ia dengan rakus melumat serta menggigit wajah serta leher Anjani. Anjani hanya bisa melenguh dengan nafas yang memburu. Dan lama kelamaan permainan Barata menjadikan sensasi yang luar biasa bagi Anjani.

Barata merenggangkan tubuhnya dari tubuh Anjani, tiba-tiba kedua tangan Barata menarik atasan Anjani.

Kreekkk ... Kreeek ... Kreekk ...

"Tuan, kenapa di sobek. Saya bisa melepasnya dengan baik- baik."

"Bodoh ...! Kenapa sejak tadi tak cepat-cepat kau lepas, cepat lepas!" teriak Barata sambil menarik rok yang dikenakan Anjani dengan kasar.

"Sabar Tuan, saya akan melayani tuan dengan lembut dan saya akan memuaskan Tuan, bukankah saya budak nafsu tuan?" suara lembut Anjani dengan melepas satu per satu pakaiannya.

Tanpa Anjani sadari, Tiba-tiba tangan Barata menarik rambut Anjani ke belakang.

"Nggak usah banyak bicara, layani aku sekarang Sundal!" ucap Barata sambil melepas rambut Anjani dengan kasar. Dan menyuruh Anjani keluar kamar mandi.

"Aku tak menginginkan bercinta di sini. Cepat keluar tunggu aku di ranjang."

Anjani bungkam, ia kembali tak berdaya. Ia tetap pasrah apa yang di lakukan Barata terhadap dirinya.

Barata mendorong tubuh Anjani hingga jatuh ke atas ranjang empuk nan mewah yang mana Anjani tak pernah merasakan kemewahan fasilitas hotel berbintang.

Barata menindih tubuh Anjani, dengan brutal dan kasar Barata memperlakukan Anjani. Hingga berkali-kali terdengar suara Anjani yang merasakan kesakitan, bukan suara kenikmatan.

Anjani memberanikan diri untuk protes. Agar Barata memperlakukan dirinya tidak kasar Namun lagi- lagi telapak tangan Barata melayang ke wajah Anjani.

Plaakk, Plaakk,

"Aku tak suka wanita manja,"

"Aduuh ...!" suara Anjani terdengar merasakan kesakitan sambil menggigit bibirnya sendiri, untuk menahan rasa panas bekas tamparan Barata.

"Kau itu budakku! budak nafsuku. Kau tak boleh protes apa yang aku lakukan. Sebab aku berani bayar kamu mahal!"

Suasana semakin memanas. Barata yang sudah dirasuki nafsu yang memuncak, seperti Joki penunggang kuda yang gagah, sedangkan Anjani bagaikan kuda liar, yang berlari kencang menuruti apa kemauan si Joki kemana si Joki pergi, untuk mencapai kenikmatan. agar si joki cepat mencapai puncak kenikmatan.

Hampir satu hari mereka melakukan itu, tanpa ada kata lelah, serta di lanjut malam hari hingga mereka terkulai lemas tak berdaya terbaring di ranjang hingga menjelang pagi.

Pagi itu Anjani sengaja bangun lebih awal. Ia ingin secepat mungkin mandi besar, dan ingin keluar sebentar mencari sarapan pagi di pentry hotel.

Anjani yang sudah berpakaian rapi perlahan meraih tas kecilnya untuk mengambil dompet yang ada didalam tas serta melangkah perlahan keluar.

"Mau kemana kau lonteku!"

Anjani yang hendak membuka pintu kamar tersentak, ia yang mengira Barata masih tidur pulas dengan permainan semalam, ternyata hanya pura- pura tidur.

Anjani menghentikan langkahnya dan berdiri di depan pintu kamar sambil melihat Barata yang sudah membuka matanya.

"Mau beli sarapan, Tuan?"

"Nggak usah beli, sebentar lagi pihak hotel mengirim sarapan pagi."

Tanpa berkata apa-apa Anjani mengurungksn niatnya untuk keluar.

"Mendekatlah kesini, aku mau bicara."

"Ya Tuan."

Anjani melangkah mendekati Barata. Barata yang masih berbaring, memandang Anjani lewat sudut matanya ketika Anjani duduk di sisi ranjang.

"Anjani! Hari ini aku memberikan bonus untukmu."

Anjani menjawab dengan mengangguk pelan dan mengucapan terima kasih.

"Nanti ada temanku yang datang ke sini," lanjut Barata meraih tangan Anjani, serta meremas lembut jari jemari Anjani.

Anjani mengernyitkan keningnya. "Maksud Tuan?" tanya Anjani yang benar-benar tak mengerti.

"Kau harus layani temanku, seperti kau melayani aku."

Anjani tersentak dengan cepat menarik tangannya dari tangan Barata. Ia berdiri sambil berteriak.

"Apaa?!"

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status