Anjani membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati ranjang tempat Aura berbaring, dengan detak jantung tak beraturan.
Ia menghela nafas panjang dan menghempaskan dengan kasar, perasaannya kembali lega melihat mata Aura yang masih terpejam sambil berpindah posisi membelakangi Anjani. "Ia mengigau," lirih Anjani dan beralih pandangan ke arah Barata yang masih berdiri menegang. "Tuan, maaf tinggalkan saya disini. Saya takut nona Aura terbangun." Barata menanggapi perkataan Anjani dengan manggut-manggut. "Ya, tapi aku ingin besok kau temani aku tidur di hotel." Anjani tersentak, matanya membulat sempurna menatap tajam Barata. "Bagaimana mungkin Tuan! Bibi Suti pasti curiga, trus apa alasan saya nanti pada bibi Suti? Dan siapa yang menjemput nona Aura nanti?" "Dasar bodoh." Barata tersenyum sinis, menghampiri Anjani yang masih berdiri dekat ranjang. "Bilang kalau kau ingin pulang ke kampung dan ibumu sakit?" ucap Barata dengan nada lirih. Anjani diam tatapan matanya masih mengarah Barata. Dan memberanikan diri untuk menolaknya. "Tuan, saya takut. Bagaimana kalau nyonya Ayudya mengetahuinya, Bukan Tuan yang bakal disalahkan, tapi saya! Nyonya Ayudya sangat mencintai Tuan," tegas Anjani mengalihkan pandangannya ke arah Aura lagi, ia berharap Barata mau mengerti. Barata malah tertawa lirih mendengar penolakan Anjani. Kakinya melangkah mendekati Anjani dan memeluk tubuh Anjani dari belakang dan menyibakkan rambut Anjani yang menutupi lehernya ke arah depan. Perlahan jemari tangan Barata mengusap-usap leher jenjang Anjani yang terlihat putih, hanya rambut-rambut halus tersisa sedikit. Sebuah kecupan bibir Barata mendarat ke permukaan ceruk leher Anjani. Setengah berbisik Barata mengucap dengan kata-kata lembut, dan menjelaskan Agar Anjani melayani Barata lagilagi, besok. Semula Anjani menolak, tapi lagi-lagi Barata mengancam hendak mengatakan pada Ayudya kalau Anjani menggoda dirinya serta akan memporak porandakan hidup Anjani, bila Anjani tak mau melayani Barata. Anjani tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya diam terpaku mendengar ancaman Barata.matanya nanar memandang tubuh Aura yang meringkuk memeluk guling. Perlahan Barata melepas tubuh Anjani. "Besok pagi aku tunggu kamu seperti biasa di taman Senopati, Aura biar Andi yang menjemput, paham!" Barata melangkah keluar kamar meninggalkan Anjani yang masih diam membisu tanpa ada rasa dosa Barata menutup kembali pintu kamar dengan pelan. Anjani bingung bercampur gundah. Apa yang harus ia lakukan. Ia tak bisa berbuat apa-apa mendengar ancaman Barata. Ia hanya pasrah pada nasibnya yang masuk dalam perangkap Barata. Hendak lari dari kehidupan Barata, tak mungkin ia masih butuh pekerjaan. Disamping itu dari Barata ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya di kampung. Anjani masih terpaku menatap Aura yang masih tertidur pulas dan sesekali berpindah posisi. Hanya punya waktu satu malam, bagaimana cara Anjani mengatakan pada Ayudya tentang kepulangannya ke kampung. Dengan berbekal keberanian, ia merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya untuk menghubungi Ayudya. Demi Barata Anjani harus bermain sandiwara lagi di depan Ayudya. "Ya Anjani, ada apa? Aura baik-baik saja kan?" tanya Ayudya dalam ponsel yang terdengar khawatir terjadi sesuatu dalam rumah. "Oh, nona Aura baik-baik saja Nyonya. Cuma saya mau mengatakan kalau saya barusan dapat telpon dari adik saya, kalau ibu saya sakitnya kambuh lagi Nyonya," ungkap Anjani tersendat. Dan Anjani kembali beracting dengan nada memelas dalam telpon, yang akhirnya Ayudya mengijinkan Anjani pulang kampung besok. Ayudya berjanji menyempatkan untuk pulang rumah pagi- pagi buta. Ayudya takut kalau Barata tak mengijinkan Anjani pulang kampung. Pagi yang menyegarkan, suasana begitu cerah tanpa adanya hujan selama tiga hari. Udara di luar tampak masih terasa agak dingin. Jam di ruang tengah lantai atas dekat kamar Anjani berdentang lima kali. Anjani terjaga dalam tidurnya. Ia yang semalam baru memejamkan matanya pukul dua dini hari membuat dirinya enggan untuk bangkit dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk dibuka. Namun itu menjadi suatu keharusan Anjani, yang harus menyiapkan keperluan untuk menyanggupi ajakan Barata menginap di hotel selama dua hari, dengan alasan pulang kampung. Perlahan Anjani turun dari tempat tidur dan melangkah membuka tirai jendela kamar. Ia melihat remang remang suasana di luar yang sebagian lampu kota sudah dimatikan. Anjani memandang nanar keindahan kota dari jendela lantai dua. Suasana sudah terasa beda yang dirasakan Anjani dulu dengan sekarang. Dulu terasa nyaman tanpa beban setiap Anjani membuka tirai jendela di pagi hari, keceriaan terpancar pada aura wajahnya yang masih polos. Ia merasakan tanpa beban dalam hidupnya. Sekarang perbedaannya jauh, ia merasakan beban berat dengan tubuhnya yang sudah kotor. Dua laki- laki sudah menodai dirinya. Ia tak mempunyai daya upaya untuk mempertahankannya. Dirinya yang belum bersuami tapi sudah bisa merasakan nikmatnya syurga dunia. Dan sudah terenggut kesuciannya. Tok tok tok ... terdengar suara ketukan pintu kamar Anjani yang mengagetkan Anjani. "Anjani ...! Apakah kau sudah siap?" Anjani tak asing kalau itu suara Ayudya. Bergegas Anjani berlari kecil dan membuka pintu kamar. "Oh Nyonya, maaf saya belum mandi tapi pakaian saya sudah saya siapkan semalam," jawab Anjani dengan sedikit membungkukkan badan tanda hormat. "Ya sudah, cepat siap-siap, keberangkatan kereta dari Jakarta ke Madiun pukul tujuh pagi. Sengaja aku memesan tiket kereta tadi malam agar tak kehabisan." Deegg ... Anjani terkesirap. Darahnya seperti berhenti mengalir. "Tiket kereta api?" batin Anjani bereaksi. Ia bengong menatap majikannya yang berdiri dengan senyum mengembang. "Nanti biar sopirku mengantarkan kamu sampai ke stasiun Pasar Senin, sampai kau naik kereta api. Aku takut kau bingung, bukankah kau belum pernah naik kereta!" Anjani semakin bingung. Matanya berkedip- kedip dengan manik mata mengarah ke kanan ke kiri. Kalau seorang psikolog ada ditempat itu. Pasti tau kalau Anjani menyimpan sesuatu yang bohong. "Oh, i iya nyonya," gagap Anjani. Ayudya tersenyum, melangkah meninggalkan Anjani dengan berpesan tentang Aura yang nantinya biar Andi sang sopir mengantar jemput Aura. Anjani menghela nafas panjang. Kebingungan semakin mendera pada pikirannya. Dan teka teki berputar- putar di otaknya. Ia berpikir jangan- jangan Ayudya sudah tau kalau dirinya hendak pergi sama Barata. Makanya Ayudya membelikan tiket terlebih dahulu sebelum berangkat. Anjani kembali menepis pikiran negatif. Ia yakin Barata lebih lihay dalam menyiasati semuanya. Anjani menuruni anak tangga dengan menenteng tas berisi pakaiannya. Dan tas kecil menggelantung di pundaknya. Sesekali melihat jam yang melingkar di tangannya. Hatinya semakin gundah. Bagaimana nanti sesampai di stasiun padahal tujuan Anjani tidak pulang kampung, dan ia sempat berpikir apakah Barata mengetahui rencana Ayudya. "Berapa hari kau akan balik kesini lagi, Anjani!" suara Ayudya dari arah ruang tamu yang mengagetkan Anjani. Anjani sadar ternyata mereka sudah berada di ruang tamu. Anjani bergegas masuk ke ruang tamu. Ia mendapati Barata yang tampak berpakaian rapi duduk santai diantara Ayudya dan Aura. Sedangkan bibi Suti berdiri di ambang pintu "Secepatnya Nyonya, saya akan balik ke sini. Minta do'anya saja agar ibu saya cepat sembuh." ungkap Anjani yang sudah berdiri dekat bibi Suti sambil melirik Barata yang asyik bermain ponsel pura- pura tak menghiraukan ucapan Anjani. Ayudya manggut- manggut serta meraih amplop coklat yang tergeletak di meja. "Ini uang untuk bantu ibumu berobat, semoga cepat sembuh." Ayudya mengulurkan tangannya memberikan amplop ke arah Anjani. Anjani ragu untuk menerimanya. Ia berpikir kalau uang pemberian Barata dan Abilawa waktu itu masih utuh dengan jumlah yang lebih dari cukup. Rencana hari ini ia akan mengirimnya lagi untuk biaya adiknya ujian. "Sudahlah, terima saja Anjani. Ini sebagai rasa terima kasihku sama kamu, kau sudah mengasuh Aura dengan baik. Tapi ingat kau harus segera balik lagi ke sini." Deegg ... Bagaikan sebuah belati menghujam dada Anjani. Anjani merasakan ucapan Ayudya sangat membuat hatinya terenyuh. Seandainya Barata tidak menekan dirinya dengan ancaman, Anjani tak akan mau menerima ajakan Barata lagi untuk berbuat dosa membohongi wanita sebaik Ayudya. Anjani merasakan dirinya adalah musang berbulu domba. "Maafkan saya Nyonya, engkau begitu baik, mungkin aku tak pantas kau perlakukan baik," ungkap batin Anjani yang tiba-tiba matanya berkaca- kaca. Ayudya mengira Anjani tak mau meninggalkan rumah ini barang sejenak hingga meneteskan airmata dan tak mau berpisah dengan Aura. "Ya sudah, cepatlah berangkat, sopir sudah menunggu, keburu telat nanti." Anjani mengangguk sambil mengusap air matanya yang sedikit menitik di pipi, ia pamit dengan memeluk Aura dan bibi Suti. Anjani berdiri sesaat dengan memandang Barata, ia hendak pamit dengan mengacungkan tangannya ke arah Barata. Namun Barata pura-pura cuek tanpa melihat Anjani ia lebih mengutamakan melihat layar ponsel. Serta tanpa membalas acungan tangan Anjani yang hendak menyalaminya, ia hanya mengatakan. "Sudah cepat sana berangkat." Ayudya melihat sikap suaminya, menanggapinya dengan tersenyum, Ayudya tau kalau Barata orang yang sangat tdk memperdulikan wanita lain selain dirinya, ia kelewat cuek apalagi sama pembantunya. "Cepat pulang Sus!" teriak Aura dari depan pintu sambil melambaikan tangannya ke arah Anjani yang sudah berada di dalam mobil. Sedan mewah berwarna hitam. keluaran terbaru yang pernah di tumpangi Anjani sewaktu hendak ke rumah singgah waktu itu, berjalan meninggalkan halaman rumah mewah bernuansa Eropa. Anjani yang duduk di jog belakang, diam terpaku. Ia memikirkan bagaimana nanti dia berada di stasiun. Apalagi Ayudya tak memberikan tiket kereta api. Ia hanya mengatakan sopirnya yang memesan lewat online. Kalau pun Barata membatalkan pertemuan itu suatu kebahagiaan buat Anjani. Dan Anjani hendak pulang kampung seterusnya, tak ingin kembali lagi ke rumah keluarga Barata. Ia akan mencari pekerjaan yang lain. Pagi tadi ia sudah memikirkan hal itu. Anjani sengaja membawa semua pakaiannya hanya meninggalkan sedikit barangnya yang tidak terpakai. Bersambung. Apakah Barata membatalkan pertemuannya dengan Anjani? Dan Anjani benar-benar pulang kampung dan tak akan kembali lagi ke rumah Barata? Baca lanjutannya ya kakak. Jangan lupa kasih comen serta bintang dan followers. Makasih sebelumnya.Anjani yang semula pandangannya mengarah ke samping dengan melihat suasana kota lewat jendela kaca mobil, beralih pandangan ke arah sopir. Ia hendak menanyakan tentang tiket kereta api yang kata Ayudya sudah di bawa sopir. "Bang maaf, apakah tiket kereta api, Abang yang bawa?" Sopir yang memakai topi hitam dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya hanya menjawab singkat. "Ya." Anjani lega tanpa mengatakan apa- apa. Ia diam lagi dengan pikiran tentang Barata yang menyuruh dirinya menunggu di taman Senopati. Dalam hati Anjani ia tak ingin menemui Barata. Ini kesempatan Anjani pergi dari rumah Barata dan pulang kampung dan tak menginginkan kembali lagi ke kota. Ia berencana akan mencari pekerjaan di kotanya. Entah menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci baju para tetangga, yang penting ia terlepas dari budak nafsu Barata. Tiba- tiba Anjani merasakan kepalanya pusing serta berputar- putar. Anjani mencoba memijat - mijat keningnya dengan jari-jarinya. Agar sedikit agak h
Apa ...?!" mata Anjani melotot memandang Barata yang masih juga tak beranjak dari pembaringannya.Anjani menarik nafas dalam- dalam dengan memejamkan mata menahan kekesalan mendengar ucapan Barata. Ia berpikir kalau Barata benar-benar memperlakukan dirinya sebagai budak nafsu. Bukan nafsu Barata saja, tapi nafsu temannya juga. "Tuan, maafkan saya. Kali ini saya mohon jangan lakukan itu. saya melakukan semua ini karena dulu saya butuh uang untuk biaya sakit ibuku. Kalau tidak saya tak akan melakukannya. Semua ini sebuah keterpaksaan."Barata tersenyum sinis dengan cepat menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, serta turun dari ranjang. Anjani hanya menatap diam, menunggu jawaban dari Barata dengan jantung berdebar-debar. Dan melihat Barata meraih handuk yang ada di sandaran kursi, serta melilitkan ke bagian pinggangnya. "Dia membayarmu, aku tau kau butuh uang untuk menghidupi keluargamu di kampung. Jangan tolak itu sebuah rejeki." Barata melirik ekspresi wajah Anjani.
Anjani menguap terus menerus, telapak tangannya sebagai nampan mulutnya yang terbuka lebar. Semakin lama mata Anjani semakin berat, ia tak bisa mengedalikannya, tubuhnya lemas dan terkulai di atas sofa tak berdaya. Matanya mulai susah untuk dibuka. Dan Anjani tertidur pulas meringkuk diatas sofa. Namun tidurnya Anjani masih bisa merasakan apa yang dilakukan Bima. Ia merasakan tubuhnya diangkat oleh Bima dan dibaringkan di sebuah ranjang yang semalam sebagai saksi bisu pergulatan antara Barata dan Anjani. Namun kali ini ganti Bima yang merajai tubuh Anjani. Dalam tidurnya Anjani berpikir. Kenapa matanya begitu berat untuk dibuka, padahal secapek apapun tubuhnya jika ia tidur, dan ada sosok yang ada didekatnya Anjani terasa dan terjaga dari tidurnya, Namun kali ini Anjani tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya begitu lemah. Anjani juga bisa merasakan, apa yang dilakukan Bima pada dirinya, dengan melucuti pakaiannya satu per satu, serta mempermainkan sesuatu bagian tubuh Anjani yang s
Barata segera berlari menghampiri Anjani dan menarik tubuh Anjani hingga Anjani jatuh ke lantai. "Tolol, apa kau ingin mati konyol?" Barata berkacak pinggang memandang Anjani yang jatuh terduduk di lantai. Anjani diam sejenak dengan nafas memburu memandang Barata, ia berdiri sempoyongan dan melangkah menjauhi Barata. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, melirik Barata yang tampak ketakutan diam kaku tak bergeming. perlahan Barata menghampiri duduk Anjani. Ia berusaha menenangkan Anjani dengan menepuk-nepuk pundak Anjani. "Ya sudah besok pagi biar taksi menjemputmu, kembalilah pulang. Ingat, jangan lagi kau minta bantuan aku, dan perlu kau ingat lagi jangan sampai kau membocorkan rahasia ini."Barata melangkah meninggalkan Anjani yang duduk dengan mata menerawang jauh ke depan, matanya berkaca-kaca. Kesal, capek, kecewa, itu yang dirasakan Anjani. Ia membenarkan kata-kata Barata, ia tak ingin mati konyol dengan terjun dari lantai sebelas. Bagaimana nanti nasib ibunya dan kedua adi
pov Ayudya dan Barata. Bergegas Barata mendekati meja, dan meraih gelas yang berisi minuman berwarna oranye serta menciumnya. "Tak ada bau aneh? Tapi kenapa Anjani terkapar?" Barata meletakkan lagi gelas itu, melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ruang tengah tanpa ingin ke kamar Anjani. Ia merasa gengsi di depan Ayudya jika dirinya memperhatikan Anjani seorang babu. Sedangkan di kamar Anjani. Ayudya sibuk menghubungi dokter pribadinya yang sebentar lagi akan datang memeriksa Anjani. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah sadar dari pingsannya. Ia kaget melihat Ayudya dan bibi Suti ada di kamarnya. Mata Anjani berputar -putar memandang orang- orang yang berdiri di depannya secara bergantian. "Bik, kenapa semua ada di sini?" tanya Anjani sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Kamu pingsan Anjani," sela Ayudya. "Istirahatlah dulu, dokter akan segera datang." "Terima kasih Nyonya," ucap Anjani pelan. Ayudya hanya memgangguk, dan mengatakan sama bibi Suti agar bibi Suti t
Pov Ayudya dan Barata. Andi menyipitkan matanya, ia terlihat bingung dengan pertanyaan bos wanitanya ini. "Memang kenapa dengan suster Anjani, Nyonya?" Ayudya manggut- manggut dan tersenyum, "Bukankah kalian sudah dewasa, tak usah menutup- nutupi. Aku tau kalau kalian pacaran." Andi tersentak. Sambil geleng-geleng kepala. "Mmm, saya ... Saya tidak pacaran Nyonya, sama suster Anjani." Ayudya tak percaya begitu saja, mendengar ucapan Andi, ia yakin ada kedekatan khusus antara Andi dan Anjani yang mereka rahasiakan. Sebab Andi punya istri. Ayudya menghela nafas, seperti menahan beban yang menghimpit. Ia diam sejenak. "Tapi apakah ucapanmu dapat dipercaya? Coba bicara jujur padaku Andi. Yakinlah aku tak akan membocorkan semua ini. Sebab kau tau Anjani Hamil!" "Hah, Hamil ...?!" Mata Andi membulat sempurna. "Ya Andi, maka aku ingin penjelasan kamu, kasian Anjani, dia belum bisa diajak bicara danasih syok. "Demi Allah Nyonya, saya nggak ada apa apa sama suster Anja
"Dasar wanita jalang, kenapa sampai hamil? Bodoh kenapa tak memakai alat kontrasepsi?" umpat Barata yang ingin rasanya Anjani menampar mulut bosnya itu. Perlahan Anjani bangkit dan duduk, memandang tajam Barata, seolah merasa dialah yang benar. Anjani tetap mengambil sikap diam, ia tak mau amarah Barata semakin memuncak. "Kamu tau resiko apa yang bakal menimpaku? kalau sampai orang tau, dan menyebar luaskan ke awak media, aku menghamili seorang babu sepertimu, bakal jatuh reputasiku!" Pikir pakai otak, Anjani." Barata tak bisa menahan emosinya, bergegas melangkah keluar serta kembali dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat. "Ini, biaya untuk menggugurkan kandunganmu, aku tak mau bayi itu lahir." Barata melempar amplop itu tepat mengenai wajah Anjani. Anjani tetap tak menyurakan suara sepatah kata pun. Hanya nafasnya yang memburu dan matanya berkedip kedip menahan amarah yang tersimpan dan bakalan meledak. "Mulai besok kamu harus meninggalkan kota ini." Barata m
Anjani terdiam sesaat sewaktu berada di pertigaan jalan, ia bingung harus pergi kemana. Hari merayap semakin gelap. Ia berjalan ke arah kiri mengikuti arah ketika Anjani mengantar Aura ke sekolah. Ia berjalan lurus dengan tas pakaiannya berada di pundak kanan sedang tas kecilnya berada di pundak kiri. Mata Anjani terus menatap kiri dan kanan. Siapa tau ada rumah yang di kontrakan. Tapi Anjani tak yakin kontrakan itu bisa Anjani bayar. Sebab kota besar apalagi di pinggiran jalan pastilah mahal. Dan uang yang di kumpulkan Anjani dari Barata sudah terkumpul tiga puluh juta, tambahan kemarin lima belas juta. Semua terkumpul empat puluh lima juta. Tapi hidup di Jakarta segalanya serba mahal, ia kalau di kampung Anjani. Anjani berhenti tepat di perempatan jalan. Ia berdiri termangu di bawah rambu- rambu lalu lintas, ia memandang sekeliling gedung- gedung bertingkat dengan gemerlapnya lampu warna warni. Ia semakin bingung harus kemana lagi. Kalau lurus pastinya menuju kota besar, ke