Dalam lingkup sekolahan siapa yang tak kenal Aura, putri seorang konglomerat ternama, dan nama orang tuanya sangat populer, di samping mamanya Aura juga berprofesi sebagai artis ternama.
"Saya kurang tau, kalau nggak salah mobilnya berwarna hitam, sebab mobilnya terparkir di sana." Satpam menunjuk seberang jalan yang berjarak lima puluh meter. "Tapi yang jelas bukan bang Andi yang biasa menjemput nona Aura, laki-laki tadi mengatakan kalau dia anak buah tuan Barata," ungkap satpam. "Apa ...?!" teriak Anjani dengan mata membulat sempurna. Anjani semakin panik tubuhnya gemetar. Ia takut, kalau sampai yang menjemput Aura bukan perintah Barata. Apalagi Barata tak mengatakan apa-apa semenjak berada di rumah tadi. Tanpa pikir Panjang dan tanpa pamit satpam, Anjani bergegas menghampiri tukang ojeg yang masih menunggu dirinya. "Bang ke perumahan Permata Indah." Tanpa menjawab kata-kata Anjani, tukang ojeg dengan cepat menjalankan sepeda motornya. Pikiran Anjani semakin tak karuan, ia bingung bagaimana kalau nanti sampai di rumah, Ayudya mengetahui Aura pulang tidak bersama dirinya. Dan alasan apa yang akan ia katakan pada Ayudya. Padahal sejak pagi tadi Anjani merasakan kalau Ayudya mencurigai dirinya. Anjani hendak memberitahu Barata lewat telpon, tapi Anjani tak mempunyai nomor ponsel Barata. Hendak menghubungi Ayudya, tak ada keberanian. "Mbak, sudah masuk perumahan Permata Indah," kata tukang ojeg, memperlambat laju sepeda motornya. Anjani tersentak, jantungnya semakin berdetak kencang. Ia bingung apa yang akan terjadi nantinya menghadapi Ayudya. "Lurus saja Bang." Dalam hati Anjani berdoa, semoga Ayudya nggak ada di rumah. Anjani berjalan pelan dengan langkah ragu mendekati pintu gerbang pagar setelah membayar tukang ojeg. "Lho, kok baru pulang Ning?" tanya Parman satpam rumah dengan menyeret pintu gerbang membukakan pintu pagar Anjani. "Nona Aura sudah pulang Bang?" tanya Anjani tanpa menjawab pertanyaan Arman. Arman mengernyitkan keningnya, dan menggelengkan kepalanya, "saya tak melihat Nona Aura pulang." Deggg ... Jantung Anjani serasa berhenti berdetak. Ia mengambil langkah seribu, dan hendak langsung pergi kedapur lewat pintu samping, Agar Ayudya tak melihatnya. Anjani yakin kalau Ayudya pasti ada di ruang tengah menunggu dirinya, ia ingin menghindari Ayudya dan langsung menyelinap ke dapur. Secepat kilat Anjani berjalan setengah berlari menuju dapur. Langkah Anjani terhenti tepat di depan pintu ruang dapur. Ia terpana saat melihat Ayudya duduk di ruang dapur dengan memainkan ponsel. Ia tak mengetahui Anjani ada di depannya. Anjani tau kalau Ayudya hendak memasak dan menyontek resep yang ada di ponsel. Itu kebiasaan Ayudya yang tak bisa memasak, ia ingin dipuji suaminya dengan cara itu. Biasanya Ayudya menyuruh Anjani untuk memasaknya dengan mengaku dihadapan Barata kalau itu masakan Ayudya. Anjani terdiam, memburu nafasnya yang tersengal- sengal dengan dada berdebar-debar. Ia menatap Ayudya yang belum juga mendongakkan kepalanya. "Duh, kenapa aku harus lewat sini, padahal inginku menghindari Nyonya Ayudya, tapi malah Nyonya Ayudya ada di sini," pikir Anjani hendak membalikkan tubuhnya. "Suster" suara Aura yang tiba-tiba dari arah tangga atas. membuat Ayudya tersentak dengan cepat mengarah ke arah pintu dan memamdang lekat Anjani. "Nona Aura sudah pulang? Jadi benar yang menjemput Nona Aura anak buah tuan Barata," batin Anjani. Anjani merasa lega, melihat Aura sudah berada di rumah. Tapi Ia bingung bagaimana ia menghadapi Ayudya. "Masuk! Dan duduklah, aku ingin bicara sama kamu," ucap tegas Ayudya, serta beralih pandangan ke Aura yang berdiri dengan mendekap boneka Tedy kesukaannya. Ayudya tersenyum dan mengatakan pada Aura. "Aura sayang, Aura masuk dulu ke kamar ya?" ucap pelan Ayudya. Aura mengangguk dan berlari kembali menaiki anak tangga sambil berteriak. "Suster, habis ini temani Aura mengerjakan PR ya Sus!" Anjani menjawabnya dengan memaksakan tersenyum sambil mengangguk. Perlahan Anjani berjalan menghampiri Ayudya yang menatap tajam dirinya. "Darimana kamu?" suara Ayudya membuat jantung Anjani berdetak kencang. Anjani menyeret kursi yang tak jauh dari tempat duduk Ayudya. Ia hanya pasrah seandainya Ayudya harus memecat dirinya. "Maafkan saya Nyonya, Saya habis ke bank untuk transfer uang ibu di kampung. Sedangkan kantor bank begitu antri, " suara parau Anjani sambil menunduk. Ayudya diam sejenak semula ia tak begitu percaya ucapan Anjani. Tapi setelah ia berpikir Anjani gadis lugu tak mungkin ia berbohong pada dirinya. Sudah hampir setengah tahun Anjani mengasuh Aura tak ada masalah apa-apa. Bahkan Anjani sangat menyayangi Aura. "Benarkah apa yang kau katakan? Kenapa kau tak menghubungiku. Dan kau tau, dengan ulahmu nona Aura menangis di sekolahan berjam- jam, dan beruntung gurunya segera menghubungiku. Kalau sampai terjadi sesuatu pada putriku trus gimana? Apa kamu bertanggung jawab?" cerocos Ayudya dengan nada kesal. "Beruntung tuan Barata tidak marah," sambungnya lagi. Anjani yang belum juga duduk dengan cepat membungkukkan tubuhnya berkali- kali di hadapan Ayudya. "Maafkan saya Nyonya, maafkan Saya. Saya tak akan mengulangi lagi. Saya tadi kerumah teman meminjam uang. Untuk biaya operasi ibu saya Nyonya, sekali lagi maafkan saya." Ayudya mengernyitkan keningnya, dan mengusap wajahnya yang tak berkeringat. Serta memandang tajam Anjani. "Operasi? Ibumu sakit?" tanya Ayudya melunak. Anjani mengangguk pelan. Dan menundukkan kepalanya lagi, memperlihatkan wajah sedihnya di hadapan Ayudya. "Kenapa kamu tak bilang sama aku? Tentunya aku bisa membantumu. Aku bisa meminjamkan uang padamu. Tapi apakah kamu sudah mendapatkannya?" Anjani kembali mengangguk. "Alhamdulilah Nyonya, saya bisa mengangsurnya sehabis gajian," ucap Anjani sedikit agak lega. Mendengar ucapan Ayudya yang tak seperti sewaktu pertama kali Anjani datang. "Ya sudah. Cepat mandi ganti pakaianmu dan lanjutkan dengan memasak kesukaan Tuan Barata. Ia ingin masakan udang asam pedas." Ayudya menyodorkan tas kresek berisi bahan mentah, dan pergi meninggalkan Anjani. Dalam hati ia bersyukur Ayudya tidak tau apa yang terjadi sebenarnya. Dan Anjani merasa Barata bisa menyiasati semuanya dengan mengirim anak buahnya untuk menjemput Aura. Tapi Anjani merasakan ia sangat berdosa pada Ayudya yang sudah bermain api dengan suaminya di belakangnya. Tapi bagi Anjani sendiri ia sebetulnya ingin menghindar dan menyudahi permainan ini. Namun ia tak punya daya dan upaya untuk mengakhirinya. Apalagi setiap adiknya Arini menghubungi lewat telpon dengan mengatakan kalau uang kiriman dari Anjani sudah habis dan meminta agar Anjani mengirim uang lagi. Itu yang membuat Anjani harus menuruti permintaan Barata untuk tidur bersama lagi. Satu minggu sudah berlalu. Sejak kejadian di rumah singgah, Barata tidak pernah merespon Anjani, ia cuek terhadap Anjani. Anjani sedikit lega, ia tak merasa terganggu. Namun teka teki tentang kalung dan laki-laki yang menggauli dirinya waktu itu masih bersarang dalam pikirannya. Ia tak berani bertanya pada Barata di samping itu Anjani tak ada kesempatan untuk menanyakan hal itu. Malam itu, seperti biasa Ayudya tugas luar kota, sebagai yuri di sebuah stasiun televisi selama dua hari. Anjani merasa lega bibi Suti sudah kembali pulang beraktifitas lagi. Ia tak was- was dan tak khawatir dirumah tanpa ada Ayudya. Yang pasti Barata tak akan berbuat macam-macam dengan Anjani sebab ada bibi Suti. Disamping itu Anjani merasakan mungkin Barata sadar akan perbuatannya serta takut ketahuan Ayudya. Barata berusaha cuek terhadap Anjani. Tapi pikiran yang ada dalam otak Anjani salah. Barata bukan orang bodoh yang tak bisa menggunakan kesempatan. Anjani turun dari ranjang dengan pelan. Ia takut Aura yang baru saja memejamkan matanya terbangun. Perlahan Anjani berjalan menghampiri pintu, dengan mata melirik tubuh Aura yang tertidur pulas memeluk guling. Ia hendak pergi ke kamarnya sendiri untuk istirahat. Cekrek ... tanpa disadari Anjani pintu kamar terbuka, Barata yang sudah berdiri di ambang pintu menatap tajam Anjani. "Tuan?!" pekik Anjani. "Settt ...," potong Barata sambil meraih tubuh Anjani dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya sendiri. Memberi isyarat agar Anjani diam. Barata segera meraih gagang pintu kamar, menutupnya perlahan sambil tangan kiri memeluk erat tubuh Anjani. "Aku ingin bercinta denganmu Anjani," lirih Barata. Barata tanpa memberi kesempatan Anjani berbicara. Ia segera menyergap bibir Anjani dengan bibirnya serta melumatnya. Anjani berusaha menghindari dengan merenggangkan tubuhnya dari tubuh Barata. Namun Barata menekan kepala Anjani dengan tangan kirinya hingga membuat Anjani tak bisa mengelak perlakuan Barata. Anjani kembali pasrah. Ketika lidah Barata menari-nari di rongga mulut Anjani serta jari jemari Barata menelusuri setiap lekuk tubuh Anjani dan meremas sesuatu yang sensitif milik Anjani. Anjani hanya bisa melenguh dengan nafas memburu dan terengah-engah. Namun ia tak berani membalas perlakuan Barata. Ia hanya diam menikmati apa yang dilakukan Barata ketika tangan Barata menyusup ke dalam pakaian Anjani. "Suster ...!" Teriak Aura tiba-tiba. Anjani tersentak dengan cepat ia melepas bibirnya dari bibir Barata. Serta mendorong tubuh Barata agak menjauh dari tubuhnya. Serta membenahi pakaiannya yang terkoyak. serta melangkah mendekati ranjang Aura. Bersambung. Apakah Aura mengetahui kemesraan Susternya dan papanya di dalam kamarnya? Lanjut guys semakin seru.Anjani membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati ranjang tempat Aura berbaring, dengan detak jantung tak beraturan. Ia menghela nafas panjang dan menghempaskan dengan kasar, perasaannya kembali lega melihat mata Aura yang masih terpejam sambil berpindah posisi membelakangi Anjani. "Ia mengigau," lirih Anjani dan beralih pandangan ke arah Barata yang masih berdiri menegang. "Tuan, maaf tinggalkan saya disini. Saya takut nona Aura terbangun." Barata menanggapi perkataan Anjani dengan manggut-manggut. "Ya, tapi aku ingin besok kau temani aku tidur di hotel." Anjani tersentak, matanya membulat sempurna menatap tajam Barata. "Bagaimana mungkin Tuan! Bibi Suti pasti curiga, trus apa alasan saya nanti pada bibi Suti? Dan siapa yang menjemput nona Aura nanti?" "Dasar bodoh." Barata tersenyum sinis, menghampiri Anjani yang masih berdiri dekat ranjang. "Bilang kalau kau ingin pulang ke kampung dan ibumu sakit?" ucap Barata dengan nada lirih. Anjani diam tatapan matanya masih
Anjani yang semula pandangannya mengarah ke samping dengan melihat suasana kota lewat jendela kaca mobil, beralih pandangan ke arah sopir. Ia hendak menanyakan tentang tiket kereta api yang kata Ayudya sudah di bawa sopir. "Bang maaf, apakah tiket kereta api, Abang yang bawa?" Sopir yang memakai topi hitam dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya hanya menjawab singkat. "Ya." Anjani lega tanpa mengatakan apa- apa. Ia diam lagi dengan pikiran tentang Barata yang menyuruh dirinya menunggu di taman Senopati. Dalam hati Anjani ia tak ingin menemui Barata. Ini kesempatan Anjani pergi dari rumah Barata dan pulang kampung dan tak menginginkan kembali lagi ke kota. Ia berencana akan mencari pekerjaan di kotanya. Entah menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci baju para tetangga, yang penting ia terlepas dari budak nafsu Barata. Tiba- tiba Anjani merasakan kepalanya pusing serta berputar- putar. Anjani mencoba memijat - mijat keningnya dengan jari-jarinya. Agar sedikit agak h
Apa ...?!" mata Anjani melotot memandang Barata yang masih juga tak beranjak dari pembaringannya.Anjani menarik nafas dalam- dalam dengan memejamkan mata menahan kekesalan mendengar ucapan Barata. Ia berpikir kalau Barata benar-benar memperlakukan dirinya sebagai budak nafsu. Bukan nafsu Barata saja, tapi nafsu temannya juga. "Tuan, maafkan saya. Kali ini saya mohon jangan lakukan itu. saya melakukan semua ini karena dulu saya butuh uang untuk biaya sakit ibuku. Kalau tidak saya tak akan melakukannya. Semua ini sebuah keterpaksaan."Barata tersenyum sinis dengan cepat menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, serta turun dari ranjang. Anjani hanya menatap diam, menunggu jawaban dari Barata dengan jantung berdebar-debar. Dan melihat Barata meraih handuk yang ada di sandaran kursi, serta melilitkan ke bagian pinggangnya. "Dia membayarmu, aku tau kau butuh uang untuk menghidupi keluargamu di kampung. Jangan tolak itu sebuah rejeki." Barata melirik ekspresi wajah Anjani.
Anjani menguap terus menerus, telapak tangannya sebagai nampan mulutnya yang terbuka lebar. Semakin lama mata Anjani semakin berat, ia tak bisa mengedalikannya, tubuhnya lemas dan terkulai di atas sofa tak berdaya. Matanya mulai susah untuk dibuka. Dan Anjani tertidur pulas meringkuk diatas sofa. Namun tidurnya Anjani masih bisa merasakan apa yang dilakukan Bima. Ia merasakan tubuhnya diangkat oleh Bima dan dibaringkan di sebuah ranjang yang semalam sebagai saksi bisu pergulatan antara Barata dan Anjani. Namun kali ini ganti Bima yang merajai tubuh Anjani. Dalam tidurnya Anjani berpikir. Kenapa matanya begitu berat untuk dibuka, padahal secapek apapun tubuhnya jika ia tidur, dan ada sosok yang ada didekatnya Anjani terasa dan terjaga dari tidurnya, Namun kali ini Anjani tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya begitu lemah. Anjani juga bisa merasakan, apa yang dilakukan Bima pada dirinya, dengan melucuti pakaiannya satu per satu, serta mempermainkan sesuatu bagian tubuh Anjani yang s
Barata segera berlari menghampiri Anjani dan menarik tubuh Anjani hingga Anjani jatuh ke lantai. "Tolol, apa kau ingin mati konyol?" Barata berkacak pinggang memandang Anjani yang jatuh terduduk di lantai. Anjani diam sejenak dengan nafas memburu memandang Barata, ia berdiri sempoyongan dan melangkah menjauhi Barata. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, melirik Barata yang tampak ketakutan diam kaku tak bergeming. perlahan Barata menghampiri duduk Anjani. Ia berusaha menenangkan Anjani dengan menepuk-nepuk pundak Anjani. "Ya sudah besok pagi biar taksi menjemputmu, kembalilah pulang. Ingat, jangan lagi kau minta bantuan aku, dan perlu kau ingat lagi jangan sampai kau membocorkan rahasia ini."Barata melangkah meninggalkan Anjani yang duduk dengan mata menerawang jauh ke depan, matanya berkaca-kaca. Kesal, capek, kecewa, itu yang dirasakan Anjani. Ia membenarkan kata-kata Barata, ia tak ingin mati konyol dengan terjun dari lantai sebelas. Bagaimana nanti nasib ibunya dan kedua adi
pov Ayudya dan Barata. Bergegas Barata mendekati meja, dan meraih gelas yang berisi minuman berwarna oranye serta menciumnya. "Tak ada bau aneh? Tapi kenapa Anjani terkapar?" Barata meletakkan lagi gelas itu, melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ruang tengah tanpa ingin ke kamar Anjani. Ia merasa gengsi di depan Ayudya jika dirinya memperhatikan Anjani seorang babu. Sedangkan di kamar Anjani. Ayudya sibuk menghubungi dokter pribadinya yang sebentar lagi akan datang memeriksa Anjani. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah sadar dari pingsannya. Ia kaget melihat Ayudya dan bibi Suti ada di kamarnya. Mata Anjani berputar -putar memandang orang- orang yang berdiri di depannya secara bergantian. "Bik, kenapa semua ada di sini?" tanya Anjani sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Kamu pingsan Anjani," sela Ayudya. "Istirahatlah dulu, dokter akan segera datang." "Terima kasih Nyonya," ucap Anjani pelan. Ayudya hanya memgangguk, dan mengatakan sama bibi Suti agar bibi Suti t
Pov Ayudya dan Barata. Andi menyipitkan matanya, ia terlihat bingung dengan pertanyaan bos wanitanya ini. "Memang kenapa dengan suster Anjani, Nyonya?" Ayudya manggut- manggut dan tersenyum, "Bukankah kalian sudah dewasa, tak usah menutup- nutupi. Aku tau kalau kalian pacaran." Andi tersentak. Sambil geleng-geleng kepala. "Mmm, saya ... Saya tidak pacaran Nyonya, sama suster Anjani." Ayudya tak percaya begitu saja, mendengar ucapan Andi, ia yakin ada kedekatan khusus antara Andi dan Anjani yang mereka rahasiakan. Sebab Andi punya istri. Ayudya menghela nafas, seperti menahan beban yang menghimpit. Ia diam sejenak. "Tapi apakah ucapanmu dapat dipercaya? Coba bicara jujur padaku Andi. Yakinlah aku tak akan membocorkan semua ini. Sebab kau tau Anjani Hamil!" "Hah, Hamil ...?!" Mata Andi membulat sempurna. "Ya Andi, maka aku ingin penjelasan kamu, kasian Anjani, dia belum bisa diajak bicara danasih syok. "Demi Allah Nyonya, saya nggak ada apa apa sama suster Anja
"Dasar wanita jalang, kenapa sampai hamil? Bodoh kenapa tak memakai alat kontrasepsi?" umpat Barata yang ingin rasanya Anjani menampar mulut bosnya itu. Perlahan Anjani bangkit dan duduk, memandang tajam Barata, seolah merasa dialah yang benar. Anjani tetap mengambil sikap diam, ia tak mau amarah Barata semakin memuncak. "Kamu tau resiko apa yang bakal menimpaku? kalau sampai orang tau, dan menyebar luaskan ke awak media, aku menghamili seorang babu sepertimu, bakal jatuh reputasiku!" Pikir pakai otak, Anjani." Barata tak bisa menahan emosinya, bergegas melangkah keluar serta kembali dengan membawa sebuah amplop berwarna coklat. "Ini, biaya untuk menggugurkan kandunganmu, aku tak mau bayi itu lahir." Barata melempar amplop itu tepat mengenai wajah Anjani. Anjani tetap tak menyurakan suara sepatah kata pun. Hanya nafasnya yang memburu dan matanya berkedip kedip menahan amarah yang tersimpan dan bakalan meledak. "Mulai besok kamu harus meninggalkan kota ini." Barata m