"Kurang ajar kau!" Laki-laki itu melepas tubuh Anjani, dan mengangkat tubuh Anjani, serta melemparnya ke atas ranjang.
Anjani menjerit, ia merasakan kesakitan, Dan mencoba berdiri serta turun dari ranjang hendak lari keluar. Namun belum sampai Anjani turun, laki-laki itu dengan sigap meraih kaki Anjani dan menyeret Anjani ke arah pinggir serta menindih tubuh Anjani. Anjani masih berusaha melepas tubuh laki-laki itu. Tapi sia-sia tangan laki-laki itu lebih kuat mencengkeram tubuh Anjani. Anjani tak kehabisan akal, ia dengan cepat menggigit lagi lengan laki-laki itu hingga laki-laki itu merasakan kesakitan ke dua kalinya gigitan Anjani. Plaaak ... Plaaak ... Dua tamparan mendarat pada kedua pipi Anjani, tubuh Anjani limbung dan Anjani tak sadarkan diri. Laki-laki itu tak menyia-nyiakan kesempatan. ia dengan leluasa menikmati tubuh Anjani. Anjani merasakan antara sadar dan tidak. Anjani juga masih bisa merasakan apa yang di lakukan laki-laki itu pada dirinya. Namun matanya berat untuk dibuka, tubuhnya begitu lemas, kepalanya pusing. Anjani hanya diam seperti tak bernyawa. Ia merasakan begitu brutalnya laki-laki itu menggauli dirinya. Hampir tiga puluh menit, Anjani merasakan dirinya seperti mimpi berada di dalam perahu kecil dan di tengah samudra luas dengan perahu terombang ambing ditiup angin laut, serta ombak yang begitu dasyat. Tubuhnya bergoyang-goyang, sepertinya ombak itu ingin menggulingkan tubuh Anjani ke dalam laut yang sangat dalam. Namun lambat laun goyangan itu terhenti. Anjani merasakan tubuhnya begitu dingin. Anjani mencoba menggerak-gerakan kepalanya perlahan, terasa begitu amat berat seperti batu berada di atas kepalanya. Ia berusaha terus dan terus menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri , akhirnya kepala Anjani terasa ringan. Anjani lega, ia membuka matanya perlahan. Dan menatap samar bayangan laki-laki berdiri di sampingnya dibawah remang lampu lima watt Anjani mengira, laki-laki yang berdiri itu adalah Barata. Setelah jiwa dan pikiran Anjani menyatu serta penglihatannya normal kembali. Anjani tersentak, ia dengan cepat duduk serta meraih selimut yang ada di sampingnya. "Kamu!" teriak Anjani dengan mata membelalak memandang laki-laki yang membenahi resleting celananya. Serta meraih bajunya yang tergeletak di lantai dan mengenakannya. Anjani baru ingat, kalau laki-laki itu telah menggauli dirinya. Dan menampar dirinya berkali-kali hingga membuat dirinya tak sadarkan diri. "Apa yang kau lakukan padaku? Dimana tuan Barata?" teriak Anjani dengan mata berkaca-kaca. Namun laki-laki itu tersenyum sinis, tanpa menjawab pertanyaan Anjani. Serta melempar amplop berwarna coklat ke arah Anjani. Seperti tanpa bersalah ia melangkah keluar kamar. Anjani bingung bercampur kesal, dengan cepat Anjani meraih bantal yang ada di sisinya dan melemparkannya ke arah laki- laki itu. Laki-laki itu menepis bantal itu hingga bantal itu jatuh ke lantai. "Biadab ... Kenapa kau lakukan ini padaku. Siapa kau?!" Laki-laki itu tanpa melawan sedikitpun. Ia terus keluar kamar tak menghiraukan umpatan Anjani. Ia tetap diam hanya menoleh sekilas ke arah Anjani serta meraih gagang pintu dan melangkah keluar. Anjani menjerit dan menangis tersedu-sedu. Hampir lima menit ia merenungi nasibnya dengan isakan tangis tiada henti. Dan ia baru tersadar dan teringat siapa yang membawanya ke rumah ini. "Tuan Barata, kemana dia? Kenapa meninggalkan aku disini sendiri?" Anjani menyibakkan selimutnya yang menutupi sebagian tubuhnya, ia segera melompat turun dari ranjang serta memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai untuk dikenakannya kembali. Anjani ingin cepat-cepat keluar mencari Barata, ia juga berpikir tentang putri majikannya. Yang tentu menunggu dirinya di sekolahan, apalagi ini sudah jam tiga sore. Tiba-tiba mata Anjani tertuju pada Amplop yang tergeletak di ranjang yang tadi di lempar oleh laki-laki itu. Perlahan Anjani meraihnya serta membukanya. "Uang?" gumamnya lirih. Anjani yakin uang itu untuk dirinya, ia telah membayar tubuhnya. Anjani terdiam, menatap uang yang ada dalam amplop yang jumlahnya lumayan banyak, dengan berbagai teka teki hinggap di otaknya. Siapa laki-laki itu? Kenapa ada di sini? Dan kenapa ia berbuat jahat pada dirinya dan memberikan uang pada dirinya. Anjani diam sesaat, namun tiba-tiba mata Anjani tertuju pada benda yang berkilau tergeletak di ranjang. Anjani menyipitkan matanya dengan menatap tajam benda itu. "Kalung?" gumam Anjani, segera meraih kalung berwarna silver mengkilat dengan menggantung sebuah bendel berbentuk lingkaran bertahtakan satu permata di tengahnya. Anjani mengamati bendel kalung itu, serta membolak balikkan benda berbentuk bulat pipih. Anjani tercekat, Ia mengamati tulisan yang tertera pada benda mengkilat berwarna gold. "Abilawa! Laki-laki itu ...?" Anjani manggut-manggut. Tanpa pikir panjang Anjani segera meraih tas kecil yang tergeletak di meja dan memasukkan Amplop serta kalung ke dalam tas, siapa tau suatu saat ketemu orang itu ia akan memberikan kalung itu. Anjani tak bisa berfikir lagi. Entah kalung itu di sengaja di tinggal atau tidak, ia tak mau tau. Anjani melangkah keluar kamar. Ia hendak mencari Barata dan akan mengatakan kalau dirinya hendak menjemput putrinya di sekolah. Dan akan mengatakan kalau ada laki- laki misterius menyelinap masuk ke kamarnya. Ia yakin kalau laki-laki itu kenal Barata, kalau tak kenal nggak mungkin ia berani masuk ke dalam kamar. Dan kenapa laki-laki itu menggauli dirinya secara paksa. Ia dengan cepat berlari menuruni anak tangga dan ingin segera keluar rumah. Pintu rumah tampak terbuka lebar, dan mobil Barata tanpa berubah posisi masih bertengger di depan pintu, seperti waktu pertama datang. Anjani berlari kecil menghampiri mobil Barata. dengan mata terus tertuju pada kaca mobil yang berwarna gelap. Namun di dalam mobil tak nampak Barata, mobil dalam keadaan kosong. Anjani terdiam dengan menatap sekeliling. ia tak menemukan Barata ada di sekitar rumah. Rumah masih dalam keadaan sepi. "Suster!" Tiba- tiba terdengar suara laki- laki dari belakang yang mengagetkan Anjani. Spontan Anjani menoleh kebelakang. Tampak seorang laki-laki berdiri dengan tersenyum mengarah pada Anjani. Rasa takut hinggap lagi dibenak Anjani. Ia takut laki-laki itu komplotan orang yang barusan menggauli dirinya tadi. Kaki Anjani mundur dia langkah, ia hendak berlari menghindari laki-laki itu. "Tunggu Suster, saya diperintah tuan Barata menjemput Suster," ucap laki- laki itu. Anjani mengernyitkan dahinya menatap laki- laki itu. Semula ia tak yakin kalau laki-laki itu suruhan Barata. Namun ketika Anjani menatap mobil yang terparkir di depannya itu mobil Barata, ia baru percaya kalau laki- laki itu suruhan Barata. Laki- laki itu dengan sopan mempersilahkan Anjani masuk mobil. "Cepat masuk Nona." "Kemana tuan Barata?" tanya Anjani melangkah masuk ke dalam mobil. "Tuan Barata berada di kantor, saya sopir tuan Barata," ucap Sopir itu sambil membuka pintu mobil. Anjani menganggukkan kepala dan masuk ke dalam mobil. tanpa bicara sepatah kata, hanya pikirannya yang bergejolak dan timbul teka-teki tentang Barata yang pergi tanpa memberi tau dirinya, serta laki-laki yang masuk ke dalam kamar tadi. Ia hendak menanyakan sopir yang duduk disebelahnya, namun tak ada keberanian. Mereka saling diam. hanya terdengar suara alunan musik slow dengan pelan. dan sesekali Anjani melirik sopir yang ada di sampingnya. Hingga tak terasa Tiga puluh menit Anjani terbawa dengan suasana hampa. Dengan pandangan ke arah samping. "Stop pak!" tiba tiba Anjani meminta pak sopir untuk menghentikan mobilnya. Anjani tak mau berhenti di depan sekolahan Aura, ia takut Andi sopir pribadi Aura bakal curiga mengetahui dirinya diantar mobil pribadi milik Barata. "Saya turun disini saja, saya ada janji sama teman saya dulu, mohon tinggalkan saya disini. Saya secepatnya akan jemput nona Aura di sekolahan." Tanpa protes sopir itu mengangguk. Segera menghentikan mobilnya. Anjani membuka pintu dan keluar dari mobil. Ia melihat jam yang melekat di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan angka tiga lebih. Kurang tiga puluh menit lagi Anjani harus sampai di sekolahan Aura. "Gojek Mbak!" Tiba-tiba seorang laki-laki dengan sepeda motornya berhenti tepat di depan Anjani berdiri. Tanpa pikir panjang Anjani mengangguk. Dan langsung naik ke boncengan gojek, serta memberi alamat sekolahan Aura. Dalam perjalanan menuju sekolahan Aura, hati Anjani sudah tak karuan. Ia takut bakal terlambat menjemputnya. Tapi Anjani yakin dirinya belum terlambat, sebab Aura masih ada pelajaran tambahan. Anjani terus memperingatkan tukang gojek agar lebih kencang mengendarainya. Sesampai di depan sekolahan, Anjani kaget. Pintu pagar gedung sekolahan sudah tertutup, halaman tampak sepi. Hanya satpam sekolah yang masih berada di halaman hendak mengunci pintu pagar. Anjani panik. Dengan cepat ia berteriak memanggil satpam dan memberi kode gojek agar jangan pergi dulu. "Tunggu pak!" Anjani berlari mendekati satpam yang berdiri memandang Anjani berlari kecil menghampiri dirinya. "Pak, apakah semua murid sudah pulang?" tanya Anjani dengan jantung berdebar kencang. "Oh, Nona hendak menjemput putri tuan Barata? Hampir berjam- jam nona Aura menunggu disini. Dan ia sudah pulang di jemput dua orang laki-laki." "Dua orang laki-laki?" Mata Anjani mendelik memandang lekat satpam. "Siapa pak? Apakah dia bang Andi yang biasa menjemput nona Aura? Mobilnya berwarna apa pak?" cerocos Anjani dengan kepanikan yang luar biasa. Nah pembaca siapa dua orang yang menjemput Aura? Apakah mereka penculik? Yuk baca lanjutannya. Bersambung.Dalam lingkup sekolahan siapa yang tak kenal Aura, putri seorang konglomerat ternama, dan nama orang tuanya sangat populer, di samping mamanya Aura juga berprofesi sebagai artis ternama. "Saya kurang tau, kalau nggak salah mobilnya berwarna hitam, sebab mobilnya terparkir di sana." Satpam menunjuk seberang jalan yang berjarak lima puluh meter. "Tapi yang jelas bukan bang Andi yang biasa menjemput nona Aura, laki-laki tadi mengatakan kalau dia anak buah tuan Barata," ungkap satpam. "Apa ...?!" teriak Anjani dengan mata membulat sempurna. Anjani semakin panik tubuhnya gemetar. Ia takut, kalau sampai yang menjemput Aura bukan perintah Barata. Apalagi Barata tak mengatakan apa-apa semenjak berada di rumah tadi. Tanpa pikir Panjang dan tanpa pamit satpam, Anjani bergegas menghampiri tukang ojeg yang masih menunggu dirinya. "Bang ke perumahan Permata Indah." Tanpa menjawab kata-kata Anjani, tukang ojeg dengan cepat menjalankan sepeda motornya. Pikiran Anjani semakin t
Anjani membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati ranjang tempat Aura berbaring, dengan detak jantung tak beraturan. Ia menghela nafas panjang dan menghempaskan dengan kasar, perasaannya kembali lega melihat mata Aura yang masih terpejam sambil berpindah posisi membelakangi Anjani. "Ia mengigau," lirih Anjani dan beralih pandangan ke arah Barata yang masih berdiri menegang. "Tuan, maaf tinggalkan saya disini. Saya takut nona Aura terbangun." Barata menanggapi perkataan Anjani dengan manggut-manggut. "Ya, tapi aku ingin besok kau temani aku tidur di hotel." Anjani tersentak, matanya membulat sempurna menatap tajam Barata. "Bagaimana mungkin Tuan! Bibi Suti pasti curiga, trus apa alasan saya nanti pada bibi Suti? Dan siapa yang menjemput nona Aura nanti?" "Dasar bodoh." Barata tersenyum sinis, menghampiri Anjani yang masih berdiri dekat ranjang. "Bilang kalau kau ingin pulang ke kampung dan ibumu sakit?" ucap Barata dengan nada lirih. Anjani diam tatapan matanya masih
Anjani yang semula pandangannya mengarah ke samping dengan melihat suasana kota lewat jendela kaca mobil, beralih pandangan ke arah sopir. Ia hendak menanyakan tentang tiket kereta api yang kata Ayudya sudah di bawa sopir. "Bang maaf, apakah tiket kereta api, Abang yang bawa?" Sopir yang memakai topi hitam dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya hanya menjawab singkat. "Ya." Anjani lega tanpa mengatakan apa- apa. Ia diam lagi dengan pikiran tentang Barata yang menyuruh dirinya menunggu di taman Senopati. Dalam hati Anjani ia tak ingin menemui Barata. Ini kesempatan Anjani pergi dari rumah Barata dan pulang kampung dan tak menginginkan kembali lagi ke kota. Ia berencana akan mencari pekerjaan di kotanya. Entah menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci baju para tetangga, yang penting ia terlepas dari budak nafsu Barata. Tiba- tiba Anjani merasakan kepalanya pusing serta berputar- putar. Anjani mencoba memijat - mijat keningnya dengan jari-jarinya. Agar sedikit agak h
Apa ...?!" mata Anjani melotot memandang Barata yang masih juga tak beranjak dari pembaringannya.Anjani menarik nafas dalam- dalam dengan memejamkan mata menahan kekesalan mendengar ucapan Barata. Ia berpikir kalau Barata benar-benar memperlakukan dirinya sebagai budak nafsu. Bukan nafsu Barata saja, tapi nafsu temannya juga. "Tuan, maafkan saya. Kali ini saya mohon jangan lakukan itu. saya melakukan semua ini karena dulu saya butuh uang untuk biaya sakit ibuku. Kalau tidak saya tak akan melakukannya. Semua ini sebuah keterpaksaan."Barata tersenyum sinis dengan cepat menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, serta turun dari ranjang. Anjani hanya menatap diam, menunggu jawaban dari Barata dengan jantung berdebar-debar. Dan melihat Barata meraih handuk yang ada di sandaran kursi, serta melilitkan ke bagian pinggangnya. "Dia membayarmu, aku tau kau butuh uang untuk menghidupi keluargamu di kampung. Jangan tolak itu sebuah rejeki." Barata melirik ekspresi wajah Anjani.
Anjani menguap terus menerus, telapak tangannya sebagai nampan mulutnya yang terbuka lebar. Semakin lama mata Anjani semakin berat, ia tak bisa mengedalikannya, tubuhnya lemas dan terkulai di atas sofa tak berdaya. Matanya mulai susah untuk dibuka. Dan Anjani tertidur pulas meringkuk diatas sofa. Namun tidurnya Anjani masih bisa merasakan apa yang dilakukan Bima. Ia merasakan tubuhnya diangkat oleh Bima dan dibaringkan di sebuah ranjang yang semalam sebagai saksi bisu pergulatan antara Barata dan Anjani. Namun kali ini ganti Bima yang merajai tubuh Anjani. Dalam tidurnya Anjani berpikir. Kenapa matanya begitu berat untuk dibuka, padahal secapek apapun tubuhnya jika ia tidur, dan ada sosok yang ada didekatnya Anjani terasa dan terjaga dari tidurnya, Namun kali ini Anjani tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya begitu lemah. Anjani juga bisa merasakan, apa yang dilakukan Bima pada dirinya, dengan melucuti pakaiannya satu per satu, serta mempermainkan sesuatu bagian tubuh Anjani yang s
Barata segera berlari menghampiri Anjani dan menarik tubuh Anjani hingga Anjani jatuh ke lantai. "Tolol, apa kau ingin mati konyol?" Barata berkacak pinggang memandang Anjani yang jatuh terduduk di lantai. Anjani diam sejenak dengan nafas memburu memandang Barata, ia berdiri sempoyongan dan melangkah menjauhi Barata. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, melirik Barata yang tampak ketakutan diam kaku tak bergeming. perlahan Barata menghampiri duduk Anjani. Ia berusaha menenangkan Anjani dengan menepuk-nepuk pundak Anjani. "Ya sudah besok pagi biar taksi menjemputmu, kembalilah pulang. Ingat, jangan lagi kau minta bantuan aku, dan perlu kau ingat lagi jangan sampai kau membocorkan rahasia ini."Barata melangkah meninggalkan Anjani yang duduk dengan mata menerawang jauh ke depan, matanya berkaca-kaca. Kesal, capek, kecewa, itu yang dirasakan Anjani. Ia membenarkan kata-kata Barata, ia tak ingin mati konyol dengan terjun dari lantai sebelas. Bagaimana nanti nasib ibunya dan kedua adi
pov Ayudya dan Barata. Bergegas Barata mendekati meja, dan meraih gelas yang berisi minuman berwarna oranye serta menciumnya. "Tak ada bau aneh? Tapi kenapa Anjani terkapar?" Barata meletakkan lagi gelas itu, melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ruang tengah tanpa ingin ke kamar Anjani. Ia merasa gengsi di depan Ayudya jika dirinya memperhatikan Anjani seorang babu. Sedangkan di kamar Anjani. Ayudya sibuk menghubungi dokter pribadinya yang sebentar lagi akan datang memeriksa Anjani. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah sadar dari pingsannya. Ia kaget melihat Ayudya dan bibi Suti ada di kamarnya. Mata Anjani berputar -putar memandang orang- orang yang berdiri di depannya secara bergantian. "Bik, kenapa semua ada di sini?" tanya Anjani sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Kamu pingsan Anjani," sela Ayudya. "Istirahatlah dulu, dokter akan segera datang." "Terima kasih Nyonya," ucap Anjani pelan. Ayudya hanya memgangguk, dan mengatakan sama bibi Suti agar bibi Suti t
Pov Ayudya dan Barata. Andi menyipitkan matanya, ia terlihat bingung dengan pertanyaan bos wanitanya ini. "Memang kenapa dengan suster Anjani, Nyonya?" Ayudya manggut- manggut dan tersenyum, "Bukankah kalian sudah dewasa, tak usah menutup- nutupi. Aku tau kalau kalian pacaran." Andi tersentak. Sambil geleng-geleng kepala. "Mmm, saya ... Saya tidak pacaran Nyonya, sama suster Anjani." Ayudya tak percaya begitu saja, mendengar ucapan Andi, ia yakin ada kedekatan khusus antara Andi dan Anjani yang mereka rahasiakan. Sebab Andi punya istri. Ayudya menghela nafas, seperti menahan beban yang menghimpit. Ia diam sejenak. "Tapi apakah ucapanmu dapat dipercaya? Coba bicara jujur padaku Andi. Yakinlah aku tak akan membocorkan semua ini. Sebab kau tau Anjani Hamil!" "Hah, Hamil ...?!" Mata Andi membulat sempurna. "Ya Andi, maka aku ingin penjelasan kamu, kasian Anjani, dia belum bisa diajak bicara danasih syok. "Demi Allah Nyonya, saya nggak ada apa apa sama suster Anja
"Nyonya?" ucap tante Rita lirih dengan memandang pak Sastro dan Anjani secara bergantian. "udah Mbak, ajak Ain kesini," sela Arini. "Ya Anjani, suruh suster Mery sama Ain ke sini?" ungkap bu Ayu. "Tapi Nyonya, Ain tak mau diajak suster ke sini, maunya sama Nyonya," sela Romi. Anjani mengangguk, dengan cepat Anjani melangkah keluar kantin. "Dia bangun tidur, jadi rewel," ungkap Arini yang dibarengi berdirinya Irfan hendak menyusul Anjani. "Sudah Ma, ayok silahkan makan dulu, biasa anak kecil rewel. Jangan di buat ribut." Bu Ayu berdiri menghampiri tante Rita dan pak Sastro untuk mengajak mengambil makanan terlebih dahulu.Tante Rita berdiri di ikuti pak Sastro untuk mengambil hidangan prasmanan yang sudah disajikan. Ia mendekati bu Ayu sambil berbisik. "Memang kerja suami Mbak Anjani itu apa sih Bu?" Bu Ayu tersenyum, "pengusaha jeng, kemarin bilang kalau suaminya punya perusahaan, tapi saya juga nggak tau persisnya bekerja apa, nikah saja saya nggak di kabari. Itu yang membuat
Hari yang indah untuk keluarga bu Ayu, dengan berakhirnya kelulusan Arini, Sarjana Ekonomi di sandang Arini. Ucapan selamat untuk Arini berdatangan, di loby gedung kampus tempat acara wisuda Arini. Anjani yang diam berdiri di dekat kerumunan teman-teman Arini, menatap adiknya yang tersirat aura kebahagiaan. Ia hanya bisa memandang kebahagiaan adiknya. Tanpa harus ikut dalam jepretan fto- fto yang akan di abadikan. Arini juga tampak cuek dengan Anjani, ia sibuk berfto-fto ria dengan teman- temannya. Bahkan dengan keluarga Galang calon suami Arini yang hari ini juga ikut moment wisuda Arini. Bu Ayu tampak tersenyum bangga, sesekali berbicara pada orang tua teman Arini dan orang tua Galang, yang kebetulan berdiri di dekat bu Ayu."Ayo ganti fto keluarga tante Rita," ucap Arini memanggil nama orang tua Galang dengan sebutan tante Rita. Entah pemandangan itu membuat Anjani bukannya bahagia, ia malah sedih. Sedikitpun tak tersentuh panggilan Arini pada dirinya, apa memang lupa atau mal
Anjani ragu, ketika menginjakkan kakinya ke kampung halaman. Dan tentu keluarganya akan menanyakan siapa Airin. Sebegitu cepat Anjani mempunyai anak, dan kenapa menikah tanpa kabar- kabar keluarga di kampung. Namun Suster Mery yang sudah di gembleng lebih dahulu oleh Anjani tentang nama Anjani yang berganti Lolita, Anjani mengatakan kalau itu nama panggilan kesayangan Abilawa pada dirinya. Suster Mery menuruti apa yang dikatakan Anjani. Ia tak mau tau dengan hal itu. Yang di utamakan suster Mery bekerja dan bekerja. Seandainya bos nya meminta suster Mery harus melakukan ini itu, kalau demi kebaikan ya tentu menuruti. "Duh anak Mbak, cantik," ungkap Arini yang gemas dengan mentowel pipi Ain. "Ikut tante yok? Ajak Arini dengan menjulurkan tangannya ke arah Ain, yang tengah duduk di pangkuan bu Ayu dengan memainkan layar ponsel. Biasa anak jaman sekarang anteng bila di beri mainan ponsel. Tapi Anjani maupun suster Mery selalu membatasi, hanya jam tertentu Ain diperbolehkan main Pons
Anjani punya masukan lagi dari bibi Narti sebagai bahan bukti kalau Grace benar- benar memasukkan Faizal ke dalam kamar. Anjani harus mempertahankan kebenaran. Urusan Abilawa membeliksn mobil Grace itu urusan lain. Bagaimanapun Grace adalah anak sambung. Tapi Anjani juga tak mau Abilawa di peras hartanya oleh manusia manusia picik seperti Istri-istri Abilawa. Ia hanya butuh harta Abilawa tapi tak mencintainya. Bahkan Anjani juga mendengar cerita dari bibi Narti, kalau Lidya atau Dewi sering memasukkan laki laki lain di rumahnya jika Abilawa sedang luar kota. Cerita itu didapat bibi Narti dari teman kampungnya yang bekerja sebagai pembantu di rumah Lidya. Tapi untuk masalah itu, Anjani tak mau mengurusinya, itu pribadi mereka.***Tiga hari Anjani belajar di kantor Abilawa, ia begitu bersemangat. Niat untuk belajar ada dan tak sedikitpun mempunyai keinginan menguasai perusahaan apabila Anjani sudah pinter. Ilmu buat Anjani segala-galanya, dan tiba waktunya Anjani harus libur sementar
Anjani panik, berjalan kesana kemari, mencari keberadaan Denis. Namun ia tak menemukan Denis ada di ruangan. Perlahan Anjani melangkah mendekati kamar Grace. Ia ingin tau apakah laki- laki bernama Faizal ada di dalam kamar Grace. Kalau memang ada di kamar Grace, bagaimana jika terjadi sesuatu. Mereka bukan suami istri, Grace masih status pelajar dan sudah dewasa, dikamar berdua lain jenis apa yang bakal dilakukan kalau bukan hal semacam itu. Anjani berdiri diam di depan pintu kamar Grace, ia mengangkat tangannya, dan menempelkan ke pintu kamar Grace, hendak mengetuk, namun tiba- tiba niatnya terhenti, ia takut jika Grace benar-benar ada di kamar berduaan dengan Faizal. "Ma ...!" suara dari belakang mengagetkan Anjani. Anjani menoleh ke belakang dengan gugup ia menyapa. "Ohh ... Papa ... Anu eh, aku ingin menemui Grace tapi takut mengganggu sebab baru saja dia pulang sekolah. Tanpa basa-basi Abilawa langsung mendekati pintu kamar Grace. Melihat hal itu Anjani bingung ia hendak me
Anjani diam menatap Grace yang bertingkah tak sopan. Tanpa bicara sedikitpun Anjani nemunguti dua lembar uang di lantai. Ia tak ambil pusing dengan ejekan Grace. "Uhh, ternyata di ambil juga tuh uang, dasar kere, kampungan." Grace meninggal kan Anjani yang menyayangkan uang dua ratus ribu fi buang begitu saja, ingat jaman masih di kampung uang segitu begitu banyak. Jangankan uang dua ratus ribu. Uang seribu saja susah untuk mendapatkannya. Anjani membiarkan Grace meninggalkan dirinya, namun dalam hati Anjani tak tega juga, ia berpikir bagaimana nanti kalau Grace di luar tak punya uang. Ia diam sejenak sembari berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk Grace, ia harus keluar dulu ke ATM. Anjani kembali masuk kamar, mengambil dompet yang berisi ATM. Ia melangkah keluar hendak menyuruh Romi mengantar ke depan. Bari saja kaki. Anjani menginginjakkan ruang tamu. Ia melihat Grace duduk di ruang tamu dengan seorang laki-laki. Yang usianya lebih tua dari Grace. Anjani menghentikan langk
Dalam hati Anjani tertawa melihat kelakuan Lidya dan Grace. Ia membiarkan kecurigaan itu berlanjut, justru Anjani hendak membuat Lidya dan Grace semakin curiga, dan mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Denis. Hari-hari pun di gunakan Anjani semakin dekat dengan Denis. Siang itu sengaja kepulangan Grace dari sekolah yang di jemput oleh Romi sang sopir. Grace keluar dari mobil tampak marah. Grace masuk rumah dengan wajah tak bersahabat ketika melintasi duduk Anjani dan Denis di ruang tamu. Ia berlalu begitu saja tanpa menyapa Anjani. Anjani memandang Denis, menarik ujung matanya ke atas. Sepertinya menanyakan kelakuan Grace dalam bahasa isyarat. Denis hanya menggelengkan kepala, dan mengatakan agar Anjani tidak ikut campur urusan pribadi Grace. "Masuk lah ke dalam Nyonya Loli, biarkan nona Grace." Anjani berdiri, tapi dirinya tak merasa enak jika membiarkan keadaan Grace. Nanti bakal di salahkan, tanpa persetujuan Denis Anjani melangkah menuju kamar Grace. Tok, tok, tok ..
Klik Tangan Denis menekan tombol listrik, ruangan yang gelap berubah terang. "Maaf Nyonya, saya tinggal dulu," pamit Danis dengan membungkukkan tubuhnya tanda hormat. Anjani menganggukkan kepala. Dan beralih pandangan ke ekspresi Grace yang sepertinya jijik dan tak suka. Grace menggeleng-gelengkan kepala. "Tak seindah kamarku di rumah, ini mah gudang!""Graceee ...!" suara keras Lidya memperingatkan agar Grace tak banyak bicara. "Ini kamar sudah di bersihkan, dan semua ini kehendak tuan Abilawa, tuan Abilawa memberikan yang terbaik untuk Nona Grace," ungkap Anjani. "Maaf saya harus pergi, melihat Ain anak saya." Anjani membalikkan tubuhnya serta keluar dari kamar. Namun Anjani tidaklah meninggalkan ruangan. Ia sembunyi di dekat dinding, ingin mendengarkan apa rencana Lidya dan Grace.Dugaan Anjani tak meleset, Lidya merencanakan sesuatu, Anjani mendengar jelas percakapan Lidya dan Grace. Dengan cepat Anjani mengeluarkan ponselnya dan merekam semua percakapan Mereka. "Diamlah
Pikiran Anjani terus terbayang Grace yang akan tinggal satu atap dengannya, dan kata-kata bibi Narti tadi siang yang membeberkan tentang kelakuan Grace. Hingga menjelang pagi mata Anjani tak bisa terpejam. Dentangan jam di sudut ruang kamar Anjani sudah menunjukkan angka empat pagi, Anjani beranjak dari tempat tidurnya. Tampak Airin yang tidur disebalahnya tampak pulas, entah sudah dia malam Anjani menginginkan tidur sama Airin yang biasanya Airin tidur di kamarnya sendiri, kadang Anjani yang pindah tempat ke kamar Airin. Anjani tau semua itu ia lakukan karena Abilawa tentu berada di kamarnya sendiri, jika tidak tentu berada di rumah salah satu istrinya. Anjani melangkah ke kamar mandi, hendak menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Apalagi sudah terdengar azan shubuh dari kejauhan. Anjani masih duduk tepekur di atas sajadah dengan tangan menengadah ke atas, ia merasa bersyukur dalam keadaan bagaimanapun masih ingat akan Tuhannya. Walau Allah memberikan pekerjaan sebagai wani