Teriakan Anjani membuat Barata yang masih duduk di dekatnya tersentak, ia memandang Anjani lewat kerling matanya, dengan wajah yang kurang suka pada sikap Anjani.
"Disgusting." lirih Barata. Anjani tersentak kaget, dan sekilas memandang Barata, ia tak mengerti dengan bahasa yang barusan diucapkan Barata. Anjani mengalihkan pandangannya. Ia menatap sekeliling lewat kaca mobil. Dan bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa Barata membawa dirinya ke sini? Dan rumah siapa ini? Anjani yang buta akan perkotaan hanya membisu seribu basa, hendak menanyakan pada Barata, tak ada keberanian untuk bertanya. Yang ia pikirkan hanya bagaimana nanti kalau sampai Barata menganiaya dan membunuhnya. "Kenapa diam? Ayo keluar?" ucap Barata bernada tinggi sambil membuka pintu mobil, dan beranjak dari jog mobil untuk keluar. Anjani tetap diam tak menghiraukan ucapan Barata. Ia tak bergerak dari posisinya yang masih duduk di dalam jog mobil. Dan hanya melirik pada Barata lewat kaca mobil tanpa ingin keluar dari mobil. Cekrek ... Barata membuka pintu mobil, menatap tajam Anjani. Namun tanpa disadari Anjani, tiba-tiba terdengar Barata tertawa sambil berkata lembut. "Kenapa? Kau takut? Takut aku bunuh?" Barata mengubah posisinya lebih mendekat ke arah Anjani duduk. Hingga tangan Barata menyentuh lembut lengan Anjani dan mengusap-usapnya. Anjani tercekat, ia bingung dengan sikap Barata yang tiba-tiba lembut. Dan mengajak Anjani untuk keluar dari mobil. "Nggak usah takut, justru aku ingin bicara serius denganmu." "Tapi Tuan!" "Sstt ... Aku nggak butuh alasanmu," potong Barata sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir Anjani dan memandang lekat Anjani dengan tersenyum. Anjani hanya diam, menuruti apa yang dikatakan Barata. Ia berpikir kalau Barata tak sejahat yang ia pikirkan. Barata meraih tangan Anjani, serta menggandengnya untuk membawanya masuk ke dalam rumah. "Duduklah!" ujar Barata lirih. Barata melangkah masuk ke dalam meninggalkan Anjani yang masih dalam keadaan bingung dan takut. Anjani memandang sekeliling ruangan. Tampak di sana sini perabotan mahal terpampang di etalase kaca. Dan sebuah bingkai fto berukuran besar menempel di dinding. Tapi Anjani tak menghiraukan pemandangan itu, perasaannya terus berkecamuk, apa yang bakalan terjadi dengan dirinya nanti. Ia yakin Barata akan mengulangi perbuatan yang dilakukan semalam. Kalau tidak, ia akan membunuhnya agar ia tak menyebar berita pada Ayudya tentang kejadian semalam. "Minumlah tentunya kau haus," ucap Barata pelan menyodorkan minuman ke arah Anjani. Anjani kaget, ia tak menyangka kalau Barata sudah berdiri di depannya. Dengan cepat Anjani mendongakkan kepalanya, mengarahkan pandangannya pada sebuah gelas yang berisi minuman berwarna oranye di tangan Barata. Anjani ragu untuk meraih gelas itu. Namun ia tak berani untuk menolaknya. "Kenapa? Kau takut ku racuni? Dasar bodoh? Tak mungkin aku meracuni kamu? aku masih butuh tubuhmu?" Deg ... Jantung Anjani seperti berhenti berdetak. kata-kata terakhir Barata, seolah Barata mengatakan Anjani sebagai budak nafsunya. Anjani membenarkan pemikirannya sendiri, kalau Barata menginginkan tubuhnya lagi. Anjani menghela nafas dalam-dalam. serta menghempaskan dengan perlahan dan sebenarnya ia ingin berontak. tapi ia tak punya kemampuan untuk melakukan. Dengan terpaksa Anjani mengambil gelas dari tangan Barata. Namun ia tak segera meminumnya hanya meletakkan minuman itu ke atas meja. Ia sangat takut kalau minuman itu terdapat sesuatu. Melihat hal itu Barata tertawa. Ia tau kalau Anjani curiga. Barata dengan cepat mendekati Anjani dan memeluk Anjani dari belakang. "Jangan khawatir aku bukan orang jahat, justru aku sangat mencintai kamu," bisik Barata. Barata menyibakkan rambut Anjani ke belakang telinga dengan lembut. "Jangan di minum kalau kau ragu," lirihnya. Anjani tersentak mendengar ucapan Barata, ia tak percaya seorang pria kaya dan sangat terhormat mencintai seorang babu seperti dirinya. "Mencintai, Tuan Barata mencintaiku?" tanya batin Anjani. Anjani menggelengkan kepalanya tanda tak percaya ucapan Barata, itu hanya sebuah rayuan agar Anjani mau menyerahkan lagi tubuhnya. Anjani berusaha mengalihkan pembicaraan Barata. "Tuan, bukankah saya harus secepatnya pergi dari sini, dan menjemput nona Aura?" Barata tersenyum, "waktu kita masih panjang. Kau jangan seperti anak kecil." ucap Barata menghujam kan ciuman bertubi tubi ke wajah Anjani dan salah satu tangannya meremas-remas bagian sensitif Anjani. Anjani kembali pasrah, apa yang dilakukan Barata seperti apa yang dilakukan semalam. Tampak Barata sangat rakus mencium leher serta wajah Anjani tanpa jijik. Dan mendekap tubuh Anjani, hingga Anjani merasakan sesak pada pernapasan ketika bibir Barata melahap bibir Anjani. Anjani tak bisa menghindar, apa yang dilakukan Barata terhadapnya, ia hanya pasrah ketika Barata menggendong tubuh Anjani menaiki anak tangga menuju kamar. Mereka kembali melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan semalam . Hampir satu jam mereka bergumul dalam kemesraan, Barata lupa pada janjinya kalau dirinya tak akan melakukan hal seperti yang dilakukan semalam, ia malah melakukan hubungan bak suami istri lagi. Anjani pun semakin tak canggung lagi menghadapi Barata. Dan yakin apa yang di ucapkan Barata bukan isapan jempol belaka, kalau Barata mencintai dirinya. Anjani sudah mulai berani membalas kemesraan Barata dengan sentuhan-sentuhan lembut yang membuat Barata terlena dalam dekapan Anjani. Anjani merasakan kalau Barata sungguh mencintai dirinya, apalagi Barata terus memuji Anjani dengan kata-kata mesra. "Kau membuatku gila, Anjani! Semua yang kau lakukan padaku tak ada pada diri Ayudya," ucap Barata yang masih mendekap tubuh Anjani yang masih belum memakai sehelai benangpun. permainan semakin memanas, Barata bagaikan joki penunggang kuda yang memacu kudanya dengan liar. sedangkan Anjani bak kuda binal yang berlari kencang menginginkan si joki mencapai tujuannya. Nafas mereka saling memburu, dan akhirnya satu per satu mencapai puncak klimaks kenikmatan dan terkulai lemas tak berdaya dalam pelukan diatas ranjang sebagai saksi bisu hubungan tanpa ikatan. Anjani tersenyum dan merenggangkan tubuhnya dari dekapan Barata. Setengah berbisik dan mengatakan. "Kita harus menyudahi semua ini, Tuan. Saya takut jika nyonya Ayudya mengetahuinya. dan saya takut pula jika saya hamil tuan." Barata hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Anjani. seolah perkataan Anjani hanya sebuah angin yang lewat tanpa ada jawaban. "Kita istirahat dulu, aku lelah. kita bisa bicarakan nanti," ucap Barata dengan mata terpejam. Anjani terdiam. ia ikut berbaring di samping Barata, dengan pikiran yang masih bergejolak. Lama-kelamaan Anjani merasa lelah, matanya terasa berat. Hingga ia terlena dan tertidur dalam kelelahan. Hampir satu jam Anjani merasakan dirinya tertidur pulas, tanpa ada yang mengganggunya. Ia baru sadar ketika membuka matanya perlahan. Dan menguap lebar-lebar. "Uaahemm ...!" Anjani menutupi mulutnya dengan salah satu tangannya, dan menggeliatkan tubuhnya. Ia diam sejenak, serta mengerjapkan matanya yang masih terasa berat. Anjani tersentak, dan membuka matanya dengan memandang sekeliling. Ia merasakan sesuatu yang aneh melihat ruangan yang ia tempati. Ia mencoba membuka matanya lebar-lebar, hingga manik mata membulat sempurna. Anjani bingung, kenapa dirinya berada di sini. Anjani meraba tubuhnya yang masih tertutup selimut, ia meraba sebagian dari tubuhnya dan merasakan tubuhnya belum memakai sehelai benang. Sesaat ia berpikir dan baru menyadari kalau dirinya baru melakukan percintaan dengan Barata. Anjani duduk dengan menatap kembali sekeliling ruangan, mencari sosok Barata. Ia berpikir kalau Barata berada di kamar mandi. Sebab dengan jelas suara gemericik air dari kamar mandi. Teng, teng ... Terdengar suara jam besar yang berada di sudut ruangan kamar berdentang dua kali. "Jam dua? Nona Aura, aku harus menjemput nona Aura," gumam Anjani menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, ia berdiri hendak memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai untuk dikenakan kembali. Belum tuntas Anjani mengenakan pakaian, terdengar suara laki-laki menyapanya dengan lembut. "Anjani ...." Secepat kilat Anjani mengarahkan pandangannya ke arah suara itu. Anjani tersentak menatap laki-laki asing yang berdiri di depannya. "Siapa anda?!" tanya Anjani dengan mata membelalak menatap tajam laki-laki berkulit putih, berambut cepak bermata sipit. dengan postur tinggi gagah. Sepertinya ia laki-laki berdarah Tionghoa. Anjani cepat-cepat meraih selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya. Laki-laki itu tersenyum, menghampiri Anjani yang berdiri dengan tubuh gemetar. "Jangan dekati aku, siapa kamu?!" teriak Anjani, kaki nya mundur dua langkah menghindari laki-laki itu. Laki-laki itu tak menjawab sepatah katapun, ia semakin mendekati Anjani dengan tatapan mencurigakan. Anjani kembali melangkah mundur menghindari laki-laki itu. Namun secepat kilat laki-laki itu meraih tubuh Anjani serta mendorongnya hingga tubuh Anjani jatuh ke ranjang. Tangan laki-laki itu menarik selimut yang menutupi tubuh Anjani. Dengan rakus laki- laki itu menindih tubuh Anjani. Anjani berusaha mendorong tubuh laki- laki itu. Namun kekuatan Anjani kalah dibanding kekuatan tubuh laki-laki yang dengan brutal menciumi wajah serta meremas tubuh Anjani yang sebagian tertutup pakaian. Anjani berusaha menjerit, memanggil Barata. "Tuan, tolong, tolong!" teriak Anjani dengan tangan mencengkeram lengan laki-laki itu. semakin Anjani berontak semakin kuat kuku-kuku Anjani mencengkeram lengan laki-laki itu, hingga laki-laki itu merasa kesakitan dan sedikit luka. Plaaak ... Plaaak ... Dua tamparan mengenai ke dua pipi Anjani. "Diam ...!" seru laki- laki itu sambil menarik rambut Anjani ke atas, Anjani merasakan sakit yang luar biasa. "Lepaskan!" teriak Anjani berusaha melepaskan diri dari himpitan tubuh laki-laki itu. "Akan aku laporkan pada tuan Barata," Namun laki-laki itu tak menghiraukan ancaman Anjani. Ia semakin brutal serta meremas kuat-kuat organ intim Anjani. Anjani tak tinggal diam. Ia membalas remasan tangan laki-laki itu dengan menggigit tangan laki-laki itu dengan kasar, hingga laki-laki itu merasa kesakitan dan marah. "Kurang ajar kau!" Laki-laki itu melepas tubuh Anjani dan mengangkat tubuh Anjani serta melempar tubuh Anjani ke atas ranjang. Bersambung. Siapakah laki-laki itu? Kenapa ia bisa menyusup ke kamar Barata? Dan bagaimana nasib Anjani selanjutnya? baca lanjutannya guys."Kurang ajar kau!" Laki-laki itu melepas tubuh Anjani, dan mengangkat tubuh Anjani, serta melemparnya ke atas ranjang. Anjani menjerit, ia merasakan kesakitan, Dan mencoba berdiri serta turun dari ranjang hendak lari keluar. Namun belum sampai Anjani turun, laki-laki itu dengan sigap meraih kaki Anjani dan menyeret Anjani ke arah pinggir serta menindih tubuh Anjani. Anjani masih berusaha melepas tubuh laki-laki itu. Tapi sia-sia tangan laki-laki itu lebih kuat mencengkeram tubuh Anjani. Anjani tak kehabisan akal, ia dengan cepat menggigit lagi lengan laki-laki itu hingga laki-laki itu merasakan kesakitan ke dua kalinya gigitan Anjani. Plaaak ... Plaaak ... Dua tamparan mendarat pada kedua pipi Anjani, tubuh Anjani limbung dan Anjani tak sadarkan diri. Laki-laki itu tak menyia-nyiakan kesempatan. ia dengan leluasa menikmati tubuh Anjani. Anjani merasakan antara sadar dan tidak. Anjani juga masih bisa merasakan apa yang di lakukan laki-laki itu pada dirinya. Namun matanya ber
Dalam lingkup sekolahan siapa yang tak kenal Aura, putri seorang konglomerat ternama, dan nama orang tuanya sangat populer, di samping mamanya Aura juga berprofesi sebagai artis ternama. "Saya kurang tau, kalau nggak salah mobilnya berwarna hitam, sebab mobilnya terparkir di sana." Satpam menunjuk seberang jalan yang berjarak lima puluh meter. "Tapi yang jelas bukan bang Andi yang biasa menjemput nona Aura, laki-laki tadi mengatakan kalau dia anak buah tuan Barata," ungkap satpam. "Apa ...?!" teriak Anjani dengan mata membulat sempurna. Anjani semakin panik tubuhnya gemetar. Ia takut, kalau sampai yang menjemput Aura bukan perintah Barata. Apalagi Barata tak mengatakan apa-apa semenjak berada di rumah tadi. Tanpa pikir Panjang dan tanpa pamit satpam, Anjani bergegas menghampiri tukang ojeg yang masih menunggu dirinya. "Bang ke perumahan Permata Indah." Tanpa menjawab kata-kata Anjani, tukang ojeg dengan cepat menjalankan sepeda motornya. Pikiran Anjani semakin t
Anjani membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati ranjang tempat Aura berbaring, dengan detak jantung tak beraturan. Ia menghela nafas panjang dan menghempaskan dengan kasar, perasaannya kembali lega melihat mata Aura yang masih terpejam sambil berpindah posisi membelakangi Anjani. "Ia mengigau," lirih Anjani dan beralih pandangan ke arah Barata yang masih berdiri menegang. "Tuan, maaf tinggalkan saya disini. Saya takut nona Aura terbangun." Barata menanggapi perkataan Anjani dengan manggut-manggut. "Ya, tapi aku ingin besok kau temani aku tidur di hotel." Anjani tersentak, matanya membulat sempurna menatap tajam Barata. "Bagaimana mungkin Tuan! Bibi Suti pasti curiga, trus apa alasan saya nanti pada bibi Suti? Dan siapa yang menjemput nona Aura nanti?" "Dasar bodoh." Barata tersenyum sinis, menghampiri Anjani yang masih berdiri dekat ranjang. "Bilang kalau kau ingin pulang ke kampung dan ibumu sakit?" ucap Barata dengan nada lirih. Anjani diam tatapan matanya masih
Anjani yang semula pandangannya mengarah ke samping dengan melihat suasana kota lewat jendela kaca mobil, beralih pandangan ke arah sopir. Ia hendak menanyakan tentang tiket kereta api yang kata Ayudya sudah di bawa sopir. "Bang maaf, apakah tiket kereta api, Abang yang bawa?" Sopir yang memakai topi hitam dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya hanya menjawab singkat. "Ya." Anjani lega tanpa mengatakan apa- apa. Ia diam lagi dengan pikiran tentang Barata yang menyuruh dirinya menunggu di taman Senopati. Dalam hati Anjani ia tak ingin menemui Barata. Ini kesempatan Anjani pergi dari rumah Barata dan pulang kampung dan tak menginginkan kembali lagi ke kota. Ia berencana akan mencari pekerjaan di kotanya. Entah menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci baju para tetangga, yang penting ia terlepas dari budak nafsu Barata. Tiba- tiba Anjani merasakan kepalanya pusing serta berputar- putar. Anjani mencoba memijat - mijat keningnya dengan jari-jarinya. Agar sedikit agak h
Apa ...?!" mata Anjani melotot memandang Barata yang masih juga tak beranjak dari pembaringannya.Anjani menarik nafas dalam- dalam dengan memejamkan mata menahan kekesalan mendengar ucapan Barata. Ia berpikir kalau Barata benar-benar memperlakukan dirinya sebagai budak nafsu. Bukan nafsu Barata saja, tapi nafsu temannya juga. "Tuan, maafkan saya. Kali ini saya mohon jangan lakukan itu. saya melakukan semua ini karena dulu saya butuh uang untuk biaya sakit ibuku. Kalau tidak saya tak akan melakukannya. Semua ini sebuah keterpaksaan."Barata tersenyum sinis dengan cepat menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, serta turun dari ranjang. Anjani hanya menatap diam, menunggu jawaban dari Barata dengan jantung berdebar-debar. Dan melihat Barata meraih handuk yang ada di sandaran kursi, serta melilitkan ke bagian pinggangnya. "Dia membayarmu, aku tau kau butuh uang untuk menghidupi keluargamu di kampung. Jangan tolak itu sebuah rejeki." Barata melirik ekspresi wajah Anjani.
Anjani menguap terus menerus, telapak tangannya sebagai nampan mulutnya yang terbuka lebar. Semakin lama mata Anjani semakin berat, ia tak bisa mengedalikannya, tubuhnya lemas dan terkulai di atas sofa tak berdaya. Matanya mulai susah untuk dibuka. Dan Anjani tertidur pulas meringkuk diatas sofa. Namun tidurnya Anjani masih bisa merasakan apa yang dilakukan Bima. Ia merasakan tubuhnya diangkat oleh Bima dan dibaringkan di sebuah ranjang yang semalam sebagai saksi bisu pergulatan antara Barata dan Anjani. Namun kali ini ganti Bima yang merajai tubuh Anjani. Dalam tidurnya Anjani berpikir. Kenapa matanya begitu berat untuk dibuka, padahal secapek apapun tubuhnya jika ia tidur, dan ada sosok yang ada didekatnya Anjani terasa dan terjaga dari tidurnya, Namun kali ini Anjani tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya begitu lemah. Anjani juga bisa merasakan, apa yang dilakukan Bima pada dirinya, dengan melucuti pakaiannya satu per satu, serta mempermainkan sesuatu bagian tubuh Anjani yang s
Barata segera berlari menghampiri Anjani dan menarik tubuh Anjani hingga Anjani jatuh ke lantai. "Tolol, apa kau ingin mati konyol?" Barata berkacak pinggang memandang Anjani yang jatuh terduduk di lantai. Anjani diam sejenak dengan nafas memburu memandang Barata, ia berdiri sempoyongan dan melangkah menjauhi Barata. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, melirik Barata yang tampak ketakutan diam kaku tak bergeming. perlahan Barata menghampiri duduk Anjani. Ia berusaha menenangkan Anjani dengan menepuk-nepuk pundak Anjani. "Ya sudah besok pagi biar taksi menjemputmu, kembalilah pulang. Ingat, jangan lagi kau minta bantuan aku, dan perlu kau ingat lagi jangan sampai kau membocorkan rahasia ini."Barata melangkah meninggalkan Anjani yang duduk dengan mata menerawang jauh ke depan, matanya berkaca-kaca. Kesal, capek, kecewa, itu yang dirasakan Anjani. Ia membenarkan kata-kata Barata, ia tak ingin mati konyol dengan terjun dari lantai sebelas. Bagaimana nanti nasib ibunya dan kedua adi
pov Ayudya dan Barata. Bergegas Barata mendekati meja, dan meraih gelas yang berisi minuman berwarna oranye serta menciumnya. "Tak ada bau aneh? Tapi kenapa Anjani terkapar?" Barata meletakkan lagi gelas itu, melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ruang tengah tanpa ingin ke kamar Anjani. Ia merasa gengsi di depan Ayudya jika dirinya memperhatikan Anjani seorang babu. Sedangkan di kamar Anjani. Ayudya sibuk menghubungi dokter pribadinya yang sebentar lagi akan datang memeriksa Anjani. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah sadar dari pingsannya. Ia kaget melihat Ayudya dan bibi Suti ada di kamarnya. Mata Anjani berputar -putar memandang orang- orang yang berdiri di depannya secara bergantian. "Bik, kenapa semua ada di sini?" tanya Anjani sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Kamu pingsan Anjani," sela Ayudya. "Istirahatlah dulu, dokter akan segera datang." "Terima kasih Nyonya," ucap Anjani pelan. Ayudya hanya memgangguk, dan mengatakan sama bibi Suti agar bibi Suti t
"Nyonya?" ucap tante Rita lirih dengan memandang pak Sastro dan Anjani secara bergantian. "udah Mbak, ajak Ain kesini," sela Arini. "Ya Anjani, suruh suster Mery sama Ain ke sini?" ungkap bu Ayu. "Tapi Nyonya, Ain tak mau diajak suster ke sini, maunya sama Nyonya," sela Romi. Anjani mengangguk, dengan cepat Anjani melangkah keluar kantin. "Dia bangun tidur, jadi rewel," ungkap Arini yang dibarengi berdirinya Irfan hendak menyusul Anjani. "Sudah Ma, ayok silahkan makan dulu, biasa anak kecil rewel. Jangan di buat ribut." Bu Ayu berdiri menghampiri tante Rita dan pak Sastro untuk mengajak mengambil makanan terlebih dahulu.Tante Rita berdiri di ikuti pak Sastro untuk mengambil hidangan prasmanan yang sudah disajikan. Ia mendekati bu Ayu sambil berbisik. "Memang kerja suami Mbak Anjani itu apa sih Bu?" Bu Ayu tersenyum, "pengusaha jeng, kemarin bilang kalau suaminya punya perusahaan, tapi saya juga nggak tau persisnya bekerja apa, nikah saja saya nggak di kabari. Itu yang membuat
Hari yang indah untuk keluarga bu Ayu, dengan berakhirnya kelulusan Arini, Sarjana Ekonomi di sandang Arini. Ucapan selamat untuk Arini berdatangan, di loby gedung kampus tempat acara wisuda Arini. Anjani yang diam berdiri di dekat kerumunan teman-teman Arini, menatap adiknya yang tersirat aura kebahagiaan. Ia hanya bisa memandang kebahagiaan adiknya. Tanpa harus ikut dalam jepretan fto- fto yang akan di abadikan. Arini juga tampak cuek dengan Anjani, ia sibuk berfto-fto ria dengan teman- temannya. Bahkan dengan keluarga Galang calon suami Arini yang hari ini juga ikut moment wisuda Arini. Bu Ayu tampak tersenyum bangga, sesekali berbicara pada orang tua teman Arini dan orang tua Galang, yang kebetulan berdiri di dekat bu Ayu."Ayo ganti fto keluarga tante Rita," ucap Arini memanggil nama orang tua Galang dengan sebutan tante Rita. Entah pemandangan itu membuat Anjani bukannya bahagia, ia malah sedih. Sedikitpun tak tersentuh panggilan Arini pada dirinya, apa memang lupa atau mal
Anjani ragu, ketika menginjakkan kakinya ke kampung halaman. Dan tentu keluarganya akan menanyakan siapa Airin. Sebegitu cepat Anjani mempunyai anak, dan kenapa menikah tanpa kabar- kabar keluarga di kampung. Namun Suster Mery yang sudah di gembleng lebih dahulu oleh Anjani tentang nama Anjani yang berganti Lolita, Anjani mengatakan kalau itu nama panggilan kesayangan Abilawa pada dirinya. Suster Mery menuruti apa yang dikatakan Anjani. Ia tak mau tau dengan hal itu. Yang di utamakan suster Mery bekerja dan bekerja. Seandainya bos nya meminta suster Mery harus melakukan ini itu, kalau demi kebaikan ya tentu menuruti. "Duh anak Mbak, cantik," ungkap Arini yang gemas dengan mentowel pipi Ain. "Ikut tante yok? Ajak Arini dengan menjulurkan tangannya ke arah Ain, yang tengah duduk di pangkuan bu Ayu dengan memainkan layar ponsel. Biasa anak jaman sekarang anteng bila di beri mainan ponsel. Tapi Anjani maupun suster Mery selalu membatasi, hanya jam tertentu Ain diperbolehkan main Pons
Anjani punya masukan lagi dari bibi Narti sebagai bahan bukti kalau Grace benar- benar memasukkan Faizal ke dalam kamar. Anjani harus mempertahankan kebenaran. Urusan Abilawa membeliksn mobil Grace itu urusan lain. Bagaimanapun Grace adalah anak sambung. Tapi Anjani juga tak mau Abilawa di peras hartanya oleh manusia manusia picik seperti Istri-istri Abilawa. Ia hanya butuh harta Abilawa tapi tak mencintainya. Bahkan Anjani juga mendengar cerita dari bibi Narti, kalau Lidya atau Dewi sering memasukkan laki laki lain di rumahnya jika Abilawa sedang luar kota. Cerita itu didapat bibi Narti dari teman kampungnya yang bekerja sebagai pembantu di rumah Lidya. Tapi untuk masalah itu, Anjani tak mau mengurusinya, itu pribadi mereka.***Tiga hari Anjani belajar di kantor Abilawa, ia begitu bersemangat. Niat untuk belajar ada dan tak sedikitpun mempunyai keinginan menguasai perusahaan apabila Anjani sudah pinter. Ilmu buat Anjani segala-galanya, dan tiba waktunya Anjani harus libur sementar
Anjani panik, berjalan kesana kemari, mencari keberadaan Denis. Namun ia tak menemukan Denis ada di ruangan. Perlahan Anjani melangkah mendekati kamar Grace. Ia ingin tau apakah laki- laki bernama Faizal ada di dalam kamar Grace. Kalau memang ada di kamar Grace, bagaimana jika terjadi sesuatu. Mereka bukan suami istri, Grace masih status pelajar dan sudah dewasa, dikamar berdua lain jenis apa yang bakal dilakukan kalau bukan hal semacam itu. Anjani berdiri diam di depan pintu kamar Grace, ia mengangkat tangannya, dan menempelkan ke pintu kamar Grace, hendak mengetuk, namun tiba- tiba niatnya terhenti, ia takut jika Grace benar-benar ada di kamar berduaan dengan Faizal. "Ma ...!" suara dari belakang mengagetkan Anjani. Anjani menoleh ke belakang dengan gugup ia menyapa. "Ohh ... Papa ... Anu eh, aku ingin menemui Grace tapi takut mengganggu sebab baru saja dia pulang sekolah. Tanpa basa-basi Abilawa langsung mendekati pintu kamar Grace. Melihat hal itu Anjani bingung ia hendak me
Anjani diam menatap Grace yang bertingkah tak sopan. Tanpa bicara sedikitpun Anjani nemunguti dua lembar uang di lantai. Ia tak ambil pusing dengan ejekan Grace. "Uhh, ternyata di ambil juga tuh uang, dasar kere, kampungan." Grace meninggal kan Anjani yang menyayangkan uang dua ratus ribu fi buang begitu saja, ingat jaman masih di kampung uang segitu begitu banyak. Jangankan uang dua ratus ribu. Uang seribu saja susah untuk mendapatkannya. Anjani membiarkan Grace meninggalkan dirinya, namun dalam hati Anjani tak tega juga, ia berpikir bagaimana nanti kalau Grace di luar tak punya uang. Ia diam sejenak sembari berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk Grace, ia harus keluar dulu ke ATM. Anjani kembali masuk kamar, mengambil dompet yang berisi ATM. Ia melangkah keluar hendak menyuruh Romi mengantar ke depan. Bari saja kaki. Anjani menginginjakkan ruang tamu. Ia melihat Grace duduk di ruang tamu dengan seorang laki-laki. Yang usianya lebih tua dari Grace. Anjani menghentikan langk
Dalam hati Anjani tertawa melihat kelakuan Lidya dan Grace. Ia membiarkan kecurigaan itu berlanjut, justru Anjani hendak membuat Lidya dan Grace semakin curiga, dan mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Denis. Hari-hari pun di gunakan Anjani semakin dekat dengan Denis. Siang itu sengaja kepulangan Grace dari sekolah yang di jemput oleh Romi sang sopir. Grace keluar dari mobil tampak marah. Grace masuk rumah dengan wajah tak bersahabat ketika melintasi duduk Anjani dan Denis di ruang tamu. Ia berlalu begitu saja tanpa menyapa Anjani. Anjani memandang Denis, menarik ujung matanya ke atas. Sepertinya menanyakan kelakuan Grace dalam bahasa isyarat. Denis hanya menggelengkan kepala, dan mengatakan agar Anjani tidak ikut campur urusan pribadi Grace. "Masuk lah ke dalam Nyonya Loli, biarkan nona Grace." Anjani berdiri, tapi dirinya tak merasa enak jika membiarkan keadaan Grace. Nanti bakal di salahkan, tanpa persetujuan Denis Anjani melangkah menuju kamar Grace. Tok, tok, tok ..
Klik Tangan Denis menekan tombol listrik, ruangan yang gelap berubah terang. "Maaf Nyonya, saya tinggal dulu," pamit Danis dengan membungkukkan tubuhnya tanda hormat. Anjani menganggukkan kepala. Dan beralih pandangan ke ekspresi Grace yang sepertinya jijik dan tak suka. Grace menggeleng-gelengkan kepala. "Tak seindah kamarku di rumah, ini mah gudang!""Graceee ...!" suara keras Lidya memperingatkan agar Grace tak banyak bicara. "Ini kamar sudah di bersihkan, dan semua ini kehendak tuan Abilawa, tuan Abilawa memberikan yang terbaik untuk Nona Grace," ungkap Anjani. "Maaf saya harus pergi, melihat Ain anak saya." Anjani membalikkan tubuhnya serta keluar dari kamar. Namun Anjani tidaklah meninggalkan ruangan. Ia sembunyi di dekat dinding, ingin mendengarkan apa rencana Lidya dan Grace.Dugaan Anjani tak meleset, Lidya merencanakan sesuatu, Anjani mendengar jelas percakapan Lidya dan Grace. Dengan cepat Anjani mengeluarkan ponselnya dan merekam semua percakapan Mereka. "Diamlah
Pikiran Anjani terus terbayang Grace yang akan tinggal satu atap dengannya, dan kata-kata bibi Narti tadi siang yang membeberkan tentang kelakuan Grace. Hingga menjelang pagi mata Anjani tak bisa terpejam. Dentangan jam di sudut ruang kamar Anjani sudah menunjukkan angka empat pagi, Anjani beranjak dari tempat tidurnya. Tampak Airin yang tidur disebalahnya tampak pulas, entah sudah dia malam Anjani menginginkan tidur sama Airin yang biasanya Airin tidur di kamarnya sendiri, kadang Anjani yang pindah tempat ke kamar Airin. Anjani tau semua itu ia lakukan karena Abilawa tentu berada di kamarnya sendiri, jika tidak tentu berada di rumah salah satu istrinya. Anjani melangkah ke kamar mandi, hendak menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Apalagi sudah terdengar azan shubuh dari kejauhan. Anjani masih duduk tepekur di atas sajadah dengan tangan menengadah ke atas, ia merasa bersyukur dalam keadaan bagaimanapun masih ingat akan Tuhannya. Walau Allah memberikan pekerjaan sebagai wani