'Mampus kamu Gibran!' seru Kevan kesenangan. Kevan melihat Gibran sedang mengunyah sandwich ikan tuna. Kevan sendiri mengambil tempe goreng tepung di hadapannya sambil menunggu Cinta membuka paketan. 'Cepat buka amplop coklatnya, Nek!' pinta Kevan dalam hati. Kevan berusaha untuk tetap tenang meskipun emosinya meluap-luap. "Apa mau saya bantu, Ma?" tanya Leon menawarkan bantuan. Cinta mengangkat tangan kanannya. "Oh, nggak usah," tolak Cinta. "Ini juga udah kebuka amplopnya."Kevan melihat Cinta membuka lebar-lebar amplop panjang tersebut. Dia memasukkan tangan kanannya ke amplop. "Apa ini?!"Cinta meraih sebuah dokumen yang cukup tebal. Dia membuka halaman depan dokumen tersebut."Ya, Tuhan! Prosedur operasi pergantian kelamin Rumah Sakit Elise Medical center, Cameroon Dome."Kevan berhenti mengunyah makanan. Dia melihat semua orang meletakkan alat makan mereka begitu mendengar suara Cinta. Gibran menatap lurus ke depan. Lalu, dia menatap Cinta yang masih membaca dokumen di ta
"Jawab saya, Gibran!" teriak Christian. "Kamu nggak tuli. Kamu juga nggak bisu. Tapi, kenapa diem aja?!"Gibran masih menundukkan kepala. Kedua kakinya gemetar hebat. Gibran memainkan jari-jari tangannya yang ternyata sama lentiknya seperti wanita. Brak!Christian kembali menggebrak meja. Gisele menutup kedua telinganya karena terkejut. Dia dan Magenta duduk di dua buah kursi kosong yang sejajar dengan kedua orang tuanya."Jawab, Gibran!""Iーitu benar, Kek," jawabnya membenarkan dugaan Christian. "Aーaku betah tinggal di Cameroon Dome."Semua orang kembali terkejut mendengar pengakuan Gibran. Kevan akhirnya menoleh ke Gibran yang duduk satu deret dengannya."Aku happy-happy dengan teman-teman waria dan transgender ku," ungkap Gibran berterus terang. "Mereka menerimaku apa adanya. Jadi, apa yang salah dengan semua itu?""Gibran!" teriak Ken. "Apa kamu sadar sama omonganmu barusan?!" tegur Ken. Dia merasa Gibran sudah sangat keterlaluan.Situasi di ruang makan menjadi sangat tegang. Ken
"Kamu mau ke mana?" tanya Christian.Cinta berdiri. Dia menatap tajam ke arah Gibran. Ada aura mencekam yang dirasakan semua orang.Cinta berjalan memutari meja panjang menuju Gibran. Langkahnya teratur meskipun emosi merasukinya. "NeーNenek?"Gibran mendorong kursinya. Dia berdiri. Dia tahu, Cinta sedang berjalan ke arahnya.Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Gibran. Pria itu mematung. Kevan tidak berani membayangkan dirinya mendapatkan perlakuan yang sama seperti Gibran. Dia juga tidak berani menghentikan Cinta. Plak!Satu lagi, tamparan keras mendarat di pipi kiri Gibran. Pria itu tetap mematung. Semua orang menundukkan kepala, termasuk Ken dan Jessy. Jessy menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sedangkan Ken menunduk menatap sepatunya. "Cucu pembawa sial! Bisa-bisanya kamu kayak gini."Gibran menunduk. Dia membiarkan Cinta berbicara sesuka hati."Mana semua kartu dan kunci mobil kamu?!"Cinta menengadahkan tangan meminta semua fasilitas keluarga Hanindra yang dibe
"Nek, Anda nggak salah usir aku dari sini?" tanya Gibran tidak percaya. "Kenapa Anda berubah, Nek? Dulu, Anda sayang banget sama aku."Bibir Gibran bergetar saat berbicara. Dia juga terlihat berantakan. Dia mengacak-acak rambut. Dia tidak beranjak juga dari ruang makan. "Jangan lupa, aku bisa naik ke posisi Manajer perencanaan karena beberapa proyek Dreamland berhasil goals."Christian menatap Gibran tajam. "Perlu saya beberkan catatan kriminal kamu di sini, Gibran? Perlu saya beberkan keuangan fiktif yang kamu dan orang-orang mu rancang?"Gibran tertegun. Ken sesak napas saat mendengar ucapan Christian. "Dulu, saya nggak tahu kalau kamu transgender. Sekarang, saya muak dan jijik sama kamu!"Kali ini, yang berbicara adalah Cinta. Dia melempar semua piala ke lantai. Ya, dia menghancurkan semua piala itu!Prang!"Jangan, Nek!" teriak Gibran.Tangan Gibran terulur. Gibran berlari ke tempat Cinta. Hatinya sedih. Kemudian, Gibran berjongkok. Dia menangis menatap serpihan piala sambil men
"Bener ini alamatnya, Paman?!"Kevan berada di dalam mobil bersama Ken dan Jessy. Dia duduk di samping sopir. Dia menoleh ke belakang di mana Ken dan Jessy duduk berdampingan. Atas keinginan Cinta, Kevan ikut Ken dan Jessy pergi ke tempat di mana Gibran berada. Sekarang, mereka sudah tiba di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. "Kamu sekarang puas, kan?!" Bukannya menjawab, Ken justru bertanya balik pada Kevan. Jessy yang duduk di samping Ken pun menatap Kevan dengan sinis. "Apa maksudnya, Paman?" tanya Kevan tidak mengerti. "Puas kenapa?""Heh, bocah tengil!" seru Jessy kesal. "Kamu udah puas menyingkirkan Gibran dari keluarga Hanindra dan dari HHC, kan? Tujuanmu udah tercapai. Jadi, sekarang ngapain kamu masih ngikutin kita ke sini?""Lah, Bibi!" Kevan berseru. "Aku kan ke sini karena perintah Nenek buat jadi mata kalian berdua."Kevan dengan santai menjawab pertanyaan Jessy. "Ya, kalau Bibi nggak suka, aku bisa pulang kok. Tuh, di belakang ada
"Oh, itu dokumen pemutusan hubungan darah dari Nenek." Kevan menjawab pertanyaan Ken. Ken, Jessy dan Gibran kaget. Ken mengulurkan tangan dengan cepat. "Ken, kita bahkan belum ngomong sama Gibran. Kenapa Mama cepet banget keluarkan dokumen itu?" tanya Jessy masih dengan perasaan terkejut..Ada kesedihan terpancar dari kedua mata Gibran. Namun, dia menerima semua konsekuensi atas keputusannya."Biar aku lihat, Pa!" pinta Gibran. Kedua mata Ken mengarah pada kalimat tebal yang tertulis di dokumen tersebut. Ken membacanya perlahan, "Dengan ini, kami atas nama Christian Hanindra dan Cinta Hanindra dengan sadar menyatakan bahwa keluarga Hanindra telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengan Gibran Hanindra."Ken melotot. Dia memberikan dokumen tersebut kepada Gibran dan Jessy. "Bacalah!" serunya. Jessy menatap Ken tanpa ekspresi. Dia dan anaknya membaca dokumen bersama. Mulut Jessy menganga ketika membaca kalimat menohok yang tadi dibaca oleh Ken. "Ya Tuhan! Mama nggak main-main de
"Christian!"Kevan berdiri mematung. Dia menatap Christian yang sedang menahan sakit pada jantungnya. "Tuan Christian!" Ziyad dan Omar berteriak kompak memanggil nama Christian. Mereka menghampiri Christian. "Bantu saya memapah Tuan Christian ke kamar!" seru Ziyad pada Omar. Sedangkan Kevan masih terdiam. Namun, Kevan mengikuti langkah mereka."Ya, Tuan," sahut Omar. Untung saja jarak antara ruang kerja dan kamar utama tidak jauh. Ziyad memapah Christian dengan bantuan Omar. Sesampainya di kamar, Ziyad dan Omar merebahkan tubuh Christian dengan sangat hati-hati. "Tumpuk bantalnya, Ziyad!" seru Cinta. Christian menatap wajah istrinya. "Aku nggak apa-apa," katanya berusaha menenangkan hati Cinta. "Jangan ngomong apa-apa dulu, Christian! Dabin lagi panggil Dokter. Tahan sebentar!"Cinta duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam tangan Christian dan berharap suaminya akan baik-baik saja. "Nyonya, Dokter Harland datang," ujar Dabin memberitahu. Dia datang bersama seorang dokter
"Omar, kamu udah telpon Martin?" tanya Kevan begitu ke luar dari pesawat pribadi miliknya. Hari berikutnya, Kevan baru saja tiba di bandar udara internasional kota Baubau sekitar 30 menit lalu. Kevan kembali ke kota Baubau karena Ciara sudah pulang dari rumah sakit Internasional Notherdam Fez. Dia berniat akan pergi ke rumah keluarga Darwin."Udah, Tuan," jawab Omar. "Terus? Apa kata dia?"Kevan dan Omar berjalan menuju ruang tunggu VVIP di mana Deyan telah menunggunya. "Martin bilang, dia udah dapat lokasi pabrik tembakau yang Tuan cari dan dia juga udah interaksi sama beberapa petani tembakau di sekitar pabrik."Kevan mengangguk puas. "Oke," sahutnya. "Van!" seru Deyan. Dia berdiri begitu melihat kedatangan Kevan dan Omar. "Kamu cuma berdua aja sama Pak Omar? Pak Ziyad mana?""Ziyad gantiin aku meeting. Gimana? Kamu dapet apa yang aku mau?" Kevan duduk di sofa single yang menghadap ke luar jendela."Aku udah bilang Martin untuk hubungi beberapa orang yang bisa kerja sama kamu, Va
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te