"Nek, Anda nggak salah usir aku dari sini?" tanya Gibran tidak percaya. "Kenapa Anda berubah, Nek? Dulu, Anda sayang banget sama aku."Bibir Gibran bergetar saat berbicara. Dia juga terlihat berantakan. Dia mengacak-acak rambut. Dia tidak beranjak juga dari ruang makan. "Jangan lupa, aku bisa naik ke posisi Manajer perencanaan karena beberapa proyek Dreamland berhasil goals."Christian menatap Gibran tajam. "Perlu saya beberkan catatan kriminal kamu di sini, Gibran? Perlu saya beberkan keuangan fiktif yang kamu dan orang-orang mu rancang?"Gibran tertegun. Ken sesak napas saat mendengar ucapan Christian. "Dulu, saya nggak tahu kalau kamu transgender. Sekarang, saya muak dan jijik sama kamu!"Kali ini, yang berbicara adalah Cinta. Dia melempar semua piala ke lantai. Ya, dia menghancurkan semua piala itu!Prang!"Jangan, Nek!" teriak Gibran.Tangan Gibran terulur. Gibran berlari ke tempat Cinta. Hatinya sedih. Kemudian, Gibran berjongkok. Dia menangis menatap serpihan piala sambil men
"Bener ini alamatnya, Paman?!"Kevan berada di dalam mobil bersama Ken dan Jessy. Dia duduk di samping sopir. Dia menoleh ke belakang di mana Ken dan Jessy duduk berdampingan. Atas keinginan Cinta, Kevan ikut Ken dan Jessy pergi ke tempat di mana Gibran berada. Sekarang, mereka sudah tiba di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. "Kamu sekarang puas, kan?!" Bukannya menjawab, Ken justru bertanya balik pada Kevan. Jessy yang duduk di samping Ken pun menatap Kevan dengan sinis. "Apa maksudnya, Paman?" tanya Kevan tidak mengerti. "Puas kenapa?""Heh, bocah tengil!" seru Jessy kesal. "Kamu udah puas menyingkirkan Gibran dari keluarga Hanindra dan dari HHC, kan? Tujuanmu udah tercapai. Jadi, sekarang ngapain kamu masih ngikutin kita ke sini?""Lah, Bibi!" Kevan berseru. "Aku kan ke sini karena perintah Nenek buat jadi mata kalian berdua."Kevan dengan santai menjawab pertanyaan Jessy. "Ya, kalau Bibi nggak suka, aku bisa pulang kok. Tuh, di belakang ada
"Oh, itu dokumen pemutusan hubungan darah dari Nenek." Kevan menjawab pertanyaan Ken. Ken, Jessy dan Gibran kaget. Ken mengulurkan tangan dengan cepat. "Ken, kita bahkan belum ngomong sama Gibran. Kenapa Mama cepet banget keluarkan dokumen itu?" tanya Jessy masih dengan perasaan terkejut..Ada kesedihan terpancar dari kedua mata Gibran. Namun, dia menerima semua konsekuensi atas keputusannya."Biar aku lihat, Pa!" pinta Gibran. Kedua mata Ken mengarah pada kalimat tebal yang tertulis di dokumen tersebut. Ken membacanya perlahan, "Dengan ini, kami atas nama Christian Hanindra dan Cinta Hanindra dengan sadar menyatakan bahwa keluarga Hanindra telah memutuskan hubungan kekeluargaan dengan Gibran Hanindra."Ken melotot. Dia memberikan dokumen tersebut kepada Gibran dan Jessy. "Bacalah!" serunya. Jessy menatap Ken tanpa ekspresi. Dia dan anaknya membaca dokumen bersama. Mulut Jessy menganga ketika membaca kalimat menohok yang tadi dibaca oleh Ken. "Ya Tuhan! Mama nggak main-main de
"Christian!"Kevan berdiri mematung. Dia menatap Christian yang sedang menahan sakit pada jantungnya. "Tuan Christian!" Ziyad dan Omar berteriak kompak memanggil nama Christian. Mereka menghampiri Christian. "Bantu saya memapah Tuan Christian ke kamar!" seru Ziyad pada Omar. Sedangkan Kevan masih terdiam. Namun, Kevan mengikuti langkah mereka."Ya, Tuan," sahut Omar. Untung saja jarak antara ruang kerja dan kamar utama tidak jauh. Ziyad memapah Christian dengan bantuan Omar. Sesampainya di kamar, Ziyad dan Omar merebahkan tubuh Christian dengan sangat hati-hati. "Tumpuk bantalnya, Ziyad!" seru Cinta. Christian menatap wajah istrinya. "Aku nggak apa-apa," katanya berusaha menenangkan hati Cinta. "Jangan ngomong apa-apa dulu, Christian! Dabin lagi panggil Dokter. Tahan sebentar!"Cinta duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam tangan Christian dan berharap suaminya akan baik-baik saja. "Nyonya, Dokter Harland datang," ujar Dabin memberitahu. Dia datang bersama seorang dokter
"Omar, kamu udah telpon Martin?" tanya Kevan begitu ke luar dari pesawat pribadi miliknya. Hari berikutnya, Kevan baru saja tiba di bandar udara internasional kota Baubau sekitar 30 menit lalu. Kevan kembali ke kota Baubau karena Ciara sudah pulang dari rumah sakit Internasional Notherdam Fez. Dia berniat akan pergi ke rumah keluarga Darwin."Udah, Tuan," jawab Omar. "Terus? Apa kata dia?"Kevan dan Omar berjalan menuju ruang tunggu VVIP di mana Deyan telah menunggunya. "Martin bilang, dia udah dapat lokasi pabrik tembakau yang Tuan cari dan dia juga udah interaksi sama beberapa petani tembakau di sekitar pabrik."Kevan mengangguk puas. "Oke," sahutnya. "Van!" seru Deyan. Dia berdiri begitu melihat kedatangan Kevan dan Omar. "Kamu cuma berdua aja sama Pak Omar? Pak Ziyad mana?""Ziyad gantiin aku meeting. Gimana? Kamu dapet apa yang aku mau?" Kevan duduk di sofa single yang menghadap ke luar jendela."Aku udah bilang Martin untuk hubungi beberapa orang yang bisa kerja sama kamu, Va
"Aku udah nggak sabar mau kasih kotak ini ke Cia," ucap Kevan pelan. "Dia suka nggak, ya?" Kevan ke luar dari kamarnya yang berada di halaman belakang, tepat diantara kamar para pelayan. Selama bekerja di rumah keluarga Darwin, Kevan tinggal satu kamar bersama Bima. Kevan mengantongi kotak kecil berwarna putih dengan gambar beruang yang timbul di tengahnya. Usai memastikan pintu kamarnya terkunci, dia berjalan menuju ruangan billiar yang berada di dekat kolam renang."Pa, aku mau pernikahan dipercepat tahun depan."Kevan yang sedang melangkah pun berhenti. Dia mendengar sayup-sayup suara pria yang sangat dikenalnya. "Miguel? Dia pasti Miguel," ucap Kevan pelan. "Mau apa dia?"Kevan tidak pergi. Dia melihat Rudi dan Miguel berdiri di lorong membelakangi dirinya. Dia mencoba mendengarkan pembicaraan mereka."Kenapa harus cepat-cepat, Miguel? Kamu tahu, kan? Cia baru 19 tahun. Perjanjian kita, pernikahan akan digelar saat usia Cia 21 tahun."Rudi terkejut dengan keinginan Miguel. Waja
'Kayaknya aku harus susun ulang strategi, nih,' pikir Kevan. 'Jangan sampai Miguel kalahin aku!'Kevan pergi meninggalkan tempat itu. Dia berjalan dengan pelan menuju tangga tanpa menimbulkan suara bising.Begitu sampai di anak tangga paling atas, Kevan melihat Bima sedang duduk sendirian di sofa panjang depan kamar Ciara. Dia mempercepat langkah."Bim!" panggil Kevan dengan suara yang rendah."Eh, Van! Kamuー"Bima menutup mulutnya ketika melihat isyarat dari Kevan untuk diam. "Ayo ikut aku!"Kevan mengajak Bima untuk menjauhi kamar Ciara. Mereka pergi ke balkon lantai dua yang berada di sebelah kamar Ciara."Kenapa, Van?" tanya Bima saat mereka sampai di depan pintu balkon. "Bim, Nona di dalam sama siapa?" tanya Kevan. "Sama Dokter Eris, Van. Kenapa?"Kevan mendekati Bima. Dia berkata, "Bim, tadi aku denger Miguel mau cepet-cepet nikah sama Nona."Bima kaget. "Yang bener, Van?!" tanyanya sambil melotot. "Tuan dan Nyonya nggak mungkin setuju gitu aja.""Iya, aku denger sendiri Tuan
"Kenapa kamu diem aja, Ciul?" Kevan menyentil dahi Ciara. Gadis itu tersentak. "Kamu sakit lagi?" "Nggak," jawab Ciara. "Aku bingung aja sama kamu."Kevan mengusap lembut rambut panjang Ciara. Hatinya mulai menghangat."Bingung kenapa? Aku kan udah di sini sama kamu," balas Kevan. "Kamu beliin aku kado ulang tahun banyak banget dan harganya mahal-mahal ...." Ciara mencoba mengingat semua pemberian Kevan. "Kamu juga sering jajanin aku ....""Terus?"Kevan masih menunggu Ciara mengutarakan isi hatinya. Dia terus mengelus rambut panjang Ciara yang halus sambil sesekali menghirup aroma buah stroberi pada rambut gadis itu."Terus sekarang, kamu beliin aku gelang ini. Kalau nggak salah harganya Rp. 18 juta. Kok duit kamu banyak banget sih, Kak?"Ciara tidak menatap Kevan saat berbicara. Dia menatap langit-langit kamarnya yang memiliki desain galaksi. "Gaji dari Papi aja nggak sebanyak harga gelang ini. Kamu punya duit banyak dari mana, Kak?" "Aku tahu, kamu itu alergi pakai perhiasan,