"Omar, kamu udah telpon Martin?" tanya Kevan begitu ke luar dari pesawat pribadi miliknya. Hari berikutnya, Kevan baru saja tiba di bandar udara internasional kota Baubau sekitar 30 menit lalu. Kevan kembali ke kota Baubau karena Ciara sudah pulang dari rumah sakit Internasional Notherdam Fez. Dia berniat akan pergi ke rumah keluarga Darwin."Udah, Tuan," jawab Omar. "Terus? Apa kata dia?"Kevan dan Omar berjalan menuju ruang tunggu VVIP di mana Deyan telah menunggunya. "Martin bilang, dia udah dapat lokasi pabrik tembakau yang Tuan cari dan dia juga udah interaksi sama beberapa petani tembakau di sekitar pabrik."Kevan mengangguk puas. "Oke," sahutnya. "Van!" seru Deyan. Dia berdiri begitu melihat kedatangan Kevan dan Omar. "Kamu cuma berdua aja sama Pak Omar? Pak Ziyad mana?""Ziyad gantiin aku meeting. Gimana? Kamu dapet apa yang aku mau?" Kevan duduk di sofa single yang menghadap ke luar jendela."Aku udah bilang Martin untuk hubungi beberapa orang yang bisa kerja sama kamu, Va
"Aku udah nggak sabar mau kasih kotak ini ke Cia," ucap Kevan pelan. "Dia suka nggak, ya?" Kevan ke luar dari kamarnya yang berada di halaman belakang, tepat diantara kamar para pelayan. Selama bekerja di rumah keluarga Darwin, Kevan tinggal satu kamar bersama Bima. Kevan mengantongi kotak kecil berwarna putih dengan gambar beruang yang timbul di tengahnya. Usai memastikan pintu kamarnya terkunci, dia berjalan menuju ruangan billiar yang berada di dekat kolam renang."Pa, aku mau pernikahan dipercepat tahun depan."Kevan yang sedang melangkah pun berhenti. Dia mendengar sayup-sayup suara pria yang sangat dikenalnya. "Miguel? Dia pasti Miguel," ucap Kevan pelan. "Mau apa dia?"Kevan tidak pergi. Dia melihat Rudi dan Miguel berdiri di lorong membelakangi dirinya. Dia mencoba mendengarkan pembicaraan mereka."Kenapa harus cepat-cepat, Miguel? Kamu tahu, kan? Cia baru 19 tahun. Perjanjian kita, pernikahan akan digelar saat usia Cia 21 tahun."Rudi terkejut dengan keinginan Miguel. Waja
'Kayaknya aku harus susun ulang strategi, nih,' pikir Kevan. 'Jangan sampai Miguel kalahin aku!'Kevan pergi meninggalkan tempat itu. Dia berjalan dengan pelan menuju tangga tanpa menimbulkan suara bising.Begitu sampai di anak tangga paling atas, Kevan melihat Bima sedang duduk sendirian di sofa panjang depan kamar Ciara. Dia mempercepat langkah."Bim!" panggil Kevan dengan suara yang rendah."Eh, Van! Kamuー"Bima menutup mulutnya ketika melihat isyarat dari Kevan untuk diam. "Ayo ikut aku!"Kevan mengajak Bima untuk menjauhi kamar Ciara. Mereka pergi ke balkon lantai dua yang berada di sebelah kamar Ciara."Kenapa, Van?" tanya Bima saat mereka sampai di depan pintu balkon. "Bim, Nona di dalam sama siapa?" tanya Kevan. "Sama Dokter Eris, Van. Kenapa?"Kevan mendekati Bima. Dia berkata, "Bim, tadi aku denger Miguel mau cepet-cepet nikah sama Nona."Bima kaget. "Yang bener, Van?!" tanyanya sambil melotot. "Tuan dan Nyonya nggak mungkin setuju gitu aja.""Iya, aku denger sendiri Tuan
"Kenapa kamu diem aja, Ciul?" Kevan menyentil dahi Ciara. Gadis itu tersentak. "Kamu sakit lagi?" "Nggak," jawab Ciara. "Aku bingung aja sama kamu."Kevan mengusap lembut rambut panjang Ciara. Hatinya mulai menghangat."Bingung kenapa? Aku kan udah di sini sama kamu," balas Kevan. "Kamu beliin aku kado ulang tahun banyak banget dan harganya mahal-mahal ...." Ciara mencoba mengingat semua pemberian Kevan. "Kamu juga sering jajanin aku ....""Terus?"Kevan masih menunggu Ciara mengutarakan isi hatinya. Dia terus mengelus rambut panjang Ciara yang halus sambil sesekali menghirup aroma buah stroberi pada rambut gadis itu."Terus sekarang, kamu beliin aku gelang ini. Kalau nggak salah harganya Rp. 18 juta. Kok duit kamu banyak banget sih, Kak?"Ciara tidak menatap Kevan saat berbicara. Dia menatap langit-langit kamarnya yang memiliki desain galaksi. "Gaji dari Papi aja nggak sebanyak harga gelang ini. Kamu punya duit banyak dari mana, Kak?" "Aku tahu, kamu itu alergi pakai perhiasan,
"Eh, kamu mahasiswa penerima beasiswa kan? Kamu tahu apa tentang Samir?"Malik berteriak kepada Kevan dari tempatnya. Dia memandang rendah semua orang, termasuk kepada semua mahasiswa penerima beasiswa. "Setahu aku, dia itu pernah nolak Novira, Bos," bisik Pay. "Namanya Kevan Hanindra. Dia miskin. Asalnya dari kota Tango."Malik semakin antusias merendahkan Kevan. Namun, suara ricuh orang-orang di kantin membuatnya harus mengurungkan niat."Van, apa bener yang kamu bilang tadi? Samir udah nggak sekaya dulu lagi?""Iya, Van. Kamu jangan asal ngomong!""Bener tuh, Van. Jangan asal sebar gosip!"Beberapa orang terlihat tidak percaya dengan omongan Kevan. Lagipula, siapa yang mau percaya begitu saja dengan orang miskin?"Van, udahlah! Jangan ikut campur urusan mereka!" Fauzan mengingatkan Kevan. "Aku nggak mau kamu terlibat masalah.""Kamu tenang aja, Fauzan! Apa yang aku bilang itu sesuai data."Kevan menatap semua orang yang sedang memandangi dirinya. Dia tersenyum tipis. "Nih lihat!"
"Van, kamu udah dateng?" Kevan menoleh ke belakang. Dia melihat Gallon datang bersama Glen dan Mustika. "Eh, Bu Bos Gallon juragan kontrakan," sahut Kevan sambil senyum-senyum."Kamu ngapain, Van? Kok senyum-senyum sendirian gitu?" tanya Mustika. Ketiganya curiga. Mereka lantas mengikuti pandangan Kevan yang mengarah pada Gauche. Gallon geleng-geleng. Begitu juga dengan Mustika. Hanya Glen yang senyum-senyum melihat tingkah Gauche. "Gauche ini memang meresahkan. Dia paling nggak bisa lihat cewek montok!" keluh Mustika. Mustika hendak beranjak pergi mendekati Gauche. Namun, Kevan dengan cepat melarangnya."Biarin dulu, Nyai! Aku mau lihat Gauche ngapain lagi," ujar Kevan menahan Mustika agar tidak menegur Gauche. Mustika diam. Cuaca kota Tango yang panas membuat Mustika kipas-kipas dengan menggunakan uang ratusan ribu. Begitu juga dengan Gallon yang kipas-kipas menggunakan kipas bulu berwarna merah kesayangannya. "Ah Abang! Bukannya Abang itu hobi nyawer biduan bohay, ya? Kayak
"Ada, Nyai," sahut Gauche cepat. "Bule cantik pacarnya si Kevan."Semua orang kini menatap Kevan. Namun, Kevan justru mengalihkan pembicaraan."Jadi, acara kamu hari Minggu, Glen," kata Kevan. Dia membaca-baca surat undangan pernikahan Glen dan Inura. "Aku nggak bisa janji hadir ijab qobul kamu, Glen. Tapi, aku pasti dateng kok.""Van, bawa pacar kamu!" seru Gallon. "Aku penasaran secantik apa dia.""Datengnya malam aja pas ada dangdut, Van!" saran Gauche. "Glen undang biduan baru. Katanya sih cantik dan masih ting-ting."Plak!Gallon memukul lengan Gauche menggunakan kipas bulunya. Gallon geleng-geleng. "Kamu katanya mau ngajak Ersa kondangan ke tempat Glen. Kok malah ngajak Kevan godain biduan?" tanyanya. "Mau dikuliti Pak Rohmat kamu, Gauche? Berani banget ajak Istri ke-2 Pak Rohmat!" protes Mustika. Kevan dan Glen tertawa. "Ha! Ha! Ha!"Glen menepuk pundak Kevan. "Aku sih nggak masalah kamu mau dateng pagi, siang, sore atau malam. Yang penting, bawa pacar kamu, Van!""Pacar apa
"Cantik!" seru Martin begitu saja saat melihat sosok wanita berkulit putih dengan rambut hitam panjang yang diikat tinggi. Tentu saja Martin melihat kulit leher si wanita yang mulus."Pak Gunawan ada?" tanya Omar segera mengambil alih situasi. "Oh, kalian siapa?" tanya wanita itu lagi."Bilang aja Kevanーanak Pak Theo mau ketemu!" seru Kevan dengan wajah tanpa ekspresi."Hmm? Tunggu sebentar!"Si wanita menutup pintu kembali, lalu menghilang.Plak!Kevan meninju lengan Martin agar pria itu tersadar dari lamunannya."Aarrggghhh! Sakit, Van!" protes Martin. Dia memegangi lengannya yang sakit karena Kevan. "Kamu gimana sih, Martin? Kalau kerja profesional dong!" Kevan protes. Dia tidak pernah suka dengan seseorang yang tidak bisa profesional saat bekerja."Maaf, Van," kata Martin. "Aku baru kali ini lihat cewek cantik banget! Dia itu Mita, kan? Bini muda Pak Gunawan."Kevan mendengus kesal. "Kayaknya sih, iya," jawab Kevan. "Tapi, aku nggak mau fokus kamu pecah saat lagi kerja! Ngerti