"Ada, Nyai," sahut Gauche cepat. "Bule cantik pacarnya si Kevan."Semua orang kini menatap Kevan. Namun, Kevan justru mengalihkan pembicaraan."Jadi, acara kamu hari Minggu, Glen," kata Kevan. Dia membaca-baca surat undangan pernikahan Glen dan Inura. "Aku nggak bisa janji hadir ijab qobul kamu, Glen. Tapi, aku pasti dateng kok.""Van, bawa pacar kamu!" seru Gallon. "Aku penasaran secantik apa dia.""Datengnya malam aja pas ada dangdut, Van!" saran Gauche. "Glen undang biduan baru. Katanya sih cantik dan masih ting-ting."Plak!Gallon memukul lengan Gauche menggunakan kipas bulunya. Gallon geleng-geleng. "Kamu katanya mau ngajak Ersa kondangan ke tempat Glen. Kok malah ngajak Kevan godain biduan?" tanyanya. "Mau dikuliti Pak Rohmat kamu, Gauche? Berani banget ajak Istri ke-2 Pak Rohmat!" protes Mustika. Kevan dan Glen tertawa. "Ha! Ha! Ha!"Glen menepuk pundak Kevan. "Aku sih nggak masalah kamu mau dateng pagi, siang, sore atau malam. Yang penting, bawa pacar kamu, Van!""Pacar apa
"Cantik!" seru Martin begitu saja saat melihat sosok wanita berkulit putih dengan rambut hitam panjang yang diikat tinggi. Tentu saja Martin melihat kulit leher si wanita yang mulus."Pak Gunawan ada?" tanya Omar segera mengambil alih situasi. "Oh, kalian siapa?" tanya wanita itu lagi."Bilang aja Kevanーanak Pak Theo mau ketemu!" seru Kevan dengan wajah tanpa ekspresi."Hmm? Tunggu sebentar!"Si wanita menutup pintu kembali, lalu menghilang.Plak!Kevan meninju lengan Martin agar pria itu tersadar dari lamunannya."Aarrggghhh! Sakit, Van!" protes Martin. Dia memegangi lengannya yang sakit karena Kevan. "Kamu gimana sih, Martin? Kalau kerja profesional dong!" Kevan protes. Dia tidak pernah suka dengan seseorang yang tidak bisa profesional saat bekerja."Maaf, Van," kata Martin. "Aku baru kali ini lihat cewek cantik banget! Dia itu Mita, kan? Bini muda Pak Gunawan."Kevan mendengus kesal. "Kayaknya sih, iya," jawab Kevan. "Tapi, aku nggak mau fokus kamu pecah saat lagi kerja! Ngerti
"Apa, Van?! Saya bantu kamu produksi rokok?!"Kevan dan Gunawan kembali duduk. Setelah melalui situasi yang menegangkan, akhirnya Gunawan setuju bekerja sama dengan Kevan. Gunawan baru selesai membaca isi surat perjanjian kontrak kerja sama dengan Kevan. Dia terkejut dengan keinginan Kevan."Iya, Pak," jawab Kevan datar. "Aku udah punya desain rokoknya. Rokok premium. Karena pangsa pasar kali ini kelas menengah ke atas."Sejenak Gunawan menatap Kevan kagum. Dia menunggu Kevan melanjutkan bicaranya. Kevan menyadari bahwa Gunawan sama sekali tidak tertarik dengan rencananya. Namun, dia tidak akan berhenti begitu saja. "Pendistribusian rokok pastinya akan merata. Nggak cuma di kota Tango aja. Kemungkinan, aku juga akan jual ke luar pulau.""Kamu serius, Van?" tanya Gunawan dengan tatapan mata tajam. "Kenapa kamu nggak cari orang lain aja? Saya ini udah tua renta. Kalau hasilnya nanti nggak sesuai dengan ekspektasi kamu, gimana?""Aku serius, Pak. Aku lihat peluang besar di bisnis temb
"Pak Badru! Pak Tanto!"Kevan memanggil dua nama pria yang ternyata dikenalnya. Setelah menutup pintu mobil, Kevan mengajak keduanya bersalaman. "Sehat, Pak?" tanya Kevan. Kedua pria itu tersenyum sambil menjawab pertanyaan Kevan. "Begitulah, Van. Kita berdua sehat," jawab Badru. Omar dan Martin menunggu Kevan selesai menyapa kedua petani tembakau yang merangkap sebagai tengkulak. Keduanya hanya diam memperhatikan Kevan berinteraksi. "Wah! Kamu sekarang udah sukses ya, Van! Kamu udah lulus kuliah, ya?" tanya Badru sambil menepuk-nepuk pundak Kevan."Ini mobil kamu, Van?" tanya Tanto. Dia mengelus body mobil Kevan dengan sangat hati-hati."Awas, Tanto! Jangan kasar-kasar! Nanti mobil Kevan bisa lecet," kata Badru, dia menarik tangan Tanto agar kawannya menjauh dari mobil."Ha! Ha! Ha!" Kevan tertawa. "Nggak apa-apa, Pak. Santai aja!""Gimana kabar orang tua kamu, Van? Saya denger, kamu dan keluarga udah pindah ke rumah besar ya? Enak nggak jadi orang kaya, Van?" Badru begitu penasa
"Hemm," Kevan berdeham. Dia menginjak rokoknya hingga padam. "Jangan bilang, Anda nggak punya rencana, Tuan!" Omar tidak puas dengan reaksi Kevan. Baru saja Kevan hendak menjawab pertanyaan Omar, tiba-tiba ponsel canggihnya berdering. "Kita lihat aja nanti, Omar! Aku akan pukul mundur semua Grader culas!" seru Kevan. "Eh, aku angkat telepon dulu."Kevan sedikit menjauh dari Omar dan Martin. Dia buru-buru menekan ikon telepon berwarna hijau pada layar ponsel."Gimana, Ziyad? Semua kerjaan di HHC lancar?" tanya Kevan begitu terdengar nada sambung di telinganya."Ya, Tuan. Rapat pemegang saham berjalan lancar. Tuan Gibran udah resmi dipecat secara nggak hormat." Kevan senyum-senyum mendengar laporan Ziyad. "Terus, siapa yang gantiin posisi Gibran?" tanyanya tidak sabar. "Sejauh ini masih kosong, Tuan," jawab Ziyad. "Saya dan Maudy udah atur semua kerjaan Anda. Jadi, Anda bisa tenang urus pabrik rokok."Kevan memasukkan tangan kirinya ke saku hoodie. Dia memikirkan sesuatu."Pantau s
"Pak Tarno! Pak Ceceng!"Kevan memanggil nama kedua pria yang baru datang. Mereka adalah teman baik Theo. Kemudian, dia berdiri menyambut keduanya."Kevan Hanindra? Bener kamu teh Kevan? Anaknya Theo sama Jasmine?"Pria bertubuh gempal tanpa sehelai rambut bertanya. Dia adalah Ceceng Sukandar. Dia kaget melihat Kevan berdiri di depannya."Iya, Pak. Aku Kevan," jawab Kevan, dia tersenyum. "Gusti! Kamu udah gede, Van! Udah lama banget nggak ketemu," kata pria berkulit sawo matang dengan janggut lumayan panjang. Dia adalah Tarno Parwanto.Kevan bersalaman dengan mereka. Perdi menatapnya sambil senyum-senyum. "Aku baru mau ajak Kevan ke rumah kalian," kata Perdi. "Duduk, Pak!" seru Kevan. Tarno dan Ceceng duduk di dipan kayu bersama Perdi. Sedangkan Kevan berdiri bersama Omar dan Martin. "Kamu ke sini nengokin Perdi?" tanya Ceceng. Dia membenarkan letak pecinya yang miring. "Iya, Pak," jawab Kevan cepat. "Aku juga ada perlu sama Abah, Pak Tarno dan Pak Ceceng."Ceceng membatu. Tarno
"Kita udah sampai, Nona," kata Kevan. Kevan dan Ciara sudah tiba di acara pernikahan Glen dan Inura. Dia menghentikan mobil di area parkir yang cukup luas. Dia melihat beberapa juru parkir sedang mengatur kendaraan roda dua."Kok Nona diem aja? Kamu capek, ya?""Nggak," jawab Ciara sambil menggeleng. "Terus?"Kevan mendekati Ciara. Gadis itu menahan napasnya ketika jarak mereka terlalu dekat. "Kamu mau ngapain, Kak?" tanya Ciara, dia sedikit kikuk mendapatkan perlakuan seperti itu.Kevan tersenyum. Dia menjawab, "Aku mau bantu lepasin sabuk pengaman. Kamu jangan overthinking dong, Cia!"Ciara lega karena nyatanya Kevan tidak macam-macam padanya. Dia tertawa. "Ha! Ha! Ha!"Kevan belum mematikan mesin mobil. Dia menunggu Ciara mengatakan sesuatu. "Sekarang kamu nggak mabuk perjalanan lagi ya, Kak?" Ciara bertanya sambil senyum-senyum jahil. Pertanyaan Ciara mengejutkan Kevan. Pria itu tersenyum. "Memangnya kenapa?" tanya Kevan."Waktu Ranger Malam, kamu nggak keberatan nyalain AC.
"Duhhh, kiw-kiw cikurukuk! Auranya beda banget yang abis pelukan di dalam mobil."Gauche menggoda Kevan dan Ciara yang baru saja ke luar dari mobil.Kevan menggenggam erat tangan Ciara sambil cengengesan. Sedangkan Ciara senyum malu-malu. "Ini Neng Cia?" tanya Gauche, dia meniup kedua telapak tangan, lalu menggeseknya. "Kenalin, nama Abang Gauche Diablo. Panggil aja Abang ganteng Gauche."Ciara menatap Kevan ketika Gauche mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Kevan tertawa. "Dia nggak biasa salaman gitu, Bang," kata Kevan menyahuti ucapan Gauche. "Dia kalau kenalan yaa ... biasanya aja tanpa salaman."Gauche tidak melepaskan pandangannya dari Ciara. Dia akhirnya bisa bertemu dengan gadis impian Kevan. "Alamak! Gitu toh? Berasa aku itu virus."Ekspresi wajah Gauche yang lucu membuat Ciara tertawa. "Ha! Ha! Ha!""Pengantin di mana, Bang?" tanya Kevan. "Di dalam rumah Inura," jawab Gauche. "Dangdut udah mulai, Van. Aku udah lihat biduan baru yang Glen bilang bohay."Kevan geleng
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te