'Kayaknya aku harus susun ulang strategi, nih,' pikir Kevan. 'Jangan sampai Miguel kalahin aku!'Kevan pergi meninggalkan tempat itu. Dia berjalan dengan pelan menuju tangga tanpa menimbulkan suara bising.Begitu sampai di anak tangga paling atas, Kevan melihat Bima sedang duduk sendirian di sofa panjang depan kamar Ciara. Dia mempercepat langkah."Bim!" panggil Kevan dengan suara yang rendah."Eh, Van! Kamuー"Bima menutup mulutnya ketika melihat isyarat dari Kevan untuk diam. "Ayo ikut aku!"Kevan mengajak Bima untuk menjauhi kamar Ciara. Mereka pergi ke balkon lantai dua yang berada di sebelah kamar Ciara."Kenapa, Van?" tanya Bima saat mereka sampai di depan pintu balkon. "Bim, Nona di dalam sama siapa?" tanya Kevan. "Sama Dokter Eris, Van. Kenapa?"Kevan mendekati Bima. Dia berkata, "Bim, tadi aku denger Miguel mau cepet-cepet nikah sama Nona."Bima kaget. "Yang bener, Van?!" tanyanya sambil melotot. "Tuan dan Nyonya nggak mungkin setuju gitu aja.""Iya, aku denger sendiri Tuan
"Kenapa kamu diem aja, Ciul?" Kevan menyentil dahi Ciara. Gadis itu tersentak. "Kamu sakit lagi?" "Nggak," jawab Ciara. "Aku bingung aja sama kamu."Kevan mengusap lembut rambut panjang Ciara. Hatinya mulai menghangat."Bingung kenapa? Aku kan udah di sini sama kamu," balas Kevan. "Kamu beliin aku kado ulang tahun banyak banget dan harganya mahal-mahal ...." Ciara mencoba mengingat semua pemberian Kevan. "Kamu juga sering jajanin aku ....""Terus?"Kevan masih menunggu Ciara mengutarakan isi hatinya. Dia terus mengelus rambut panjang Ciara yang halus sambil sesekali menghirup aroma buah stroberi pada rambut gadis itu."Terus sekarang, kamu beliin aku gelang ini. Kalau nggak salah harganya Rp. 18 juta. Kok duit kamu banyak banget sih, Kak?"Ciara tidak menatap Kevan saat berbicara. Dia menatap langit-langit kamarnya yang memiliki desain galaksi. "Gaji dari Papi aja nggak sebanyak harga gelang ini. Kamu punya duit banyak dari mana, Kak?" "Aku tahu, kamu itu alergi pakai perhiasan,
"Eh, kamu mahasiswa penerima beasiswa kan? Kamu tahu apa tentang Samir?"Malik berteriak kepada Kevan dari tempatnya. Dia memandang rendah semua orang, termasuk kepada semua mahasiswa penerima beasiswa. "Setahu aku, dia itu pernah nolak Novira, Bos," bisik Pay. "Namanya Kevan Hanindra. Dia miskin. Asalnya dari kota Tango."Malik semakin antusias merendahkan Kevan. Namun, suara ricuh orang-orang di kantin membuatnya harus mengurungkan niat."Van, apa bener yang kamu bilang tadi? Samir udah nggak sekaya dulu lagi?""Iya, Van. Kamu jangan asal ngomong!""Bener tuh, Van. Jangan asal sebar gosip!"Beberapa orang terlihat tidak percaya dengan omongan Kevan. Lagipula, siapa yang mau percaya begitu saja dengan orang miskin?"Van, udahlah! Jangan ikut campur urusan mereka!" Fauzan mengingatkan Kevan. "Aku nggak mau kamu terlibat masalah.""Kamu tenang aja, Fauzan! Apa yang aku bilang itu sesuai data."Kevan menatap semua orang yang sedang memandangi dirinya. Dia tersenyum tipis. "Nih lihat!"
"Van, kamu udah dateng?" Kevan menoleh ke belakang. Dia melihat Gallon datang bersama Glen dan Mustika. "Eh, Bu Bos Gallon juragan kontrakan," sahut Kevan sambil senyum-senyum."Kamu ngapain, Van? Kok senyum-senyum sendirian gitu?" tanya Mustika. Ketiganya curiga. Mereka lantas mengikuti pandangan Kevan yang mengarah pada Gauche. Gallon geleng-geleng. Begitu juga dengan Mustika. Hanya Glen yang senyum-senyum melihat tingkah Gauche. "Gauche ini memang meresahkan. Dia paling nggak bisa lihat cewek montok!" keluh Mustika. Mustika hendak beranjak pergi mendekati Gauche. Namun, Kevan dengan cepat melarangnya."Biarin dulu, Nyai! Aku mau lihat Gauche ngapain lagi," ujar Kevan menahan Mustika agar tidak menegur Gauche. Mustika diam. Cuaca kota Tango yang panas membuat Mustika kipas-kipas dengan menggunakan uang ratusan ribu. Begitu juga dengan Gallon yang kipas-kipas menggunakan kipas bulu berwarna merah kesayangannya. "Ah Abang! Bukannya Abang itu hobi nyawer biduan bohay, ya? Kayak
"Ada, Nyai," sahut Gauche cepat. "Bule cantik pacarnya si Kevan."Semua orang kini menatap Kevan. Namun, Kevan justru mengalihkan pembicaraan."Jadi, acara kamu hari Minggu, Glen," kata Kevan. Dia membaca-baca surat undangan pernikahan Glen dan Inura. "Aku nggak bisa janji hadir ijab qobul kamu, Glen. Tapi, aku pasti dateng kok.""Van, bawa pacar kamu!" seru Gallon. "Aku penasaran secantik apa dia.""Datengnya malam aja pas ada dangdut, Van!" saran Gauche. "Glen undang biduan baru. Katanya sih cantik dan masih ting-ting."Plak!Gallon memukul lengan Gauche menggunakan kipas bulunya. Gallon geleng-geleng. "Kamu katanya mau ngajak Ersa kondangan ke tempat Glen. Kok malah ngajak Kevan godain biduan?" tanyanya. "Mau dikuliti Pak Rohmat kamu, Gauche? Berani banget ajak Istri ke-2 Pak Rohmat!" protes Mustika. Kevan dan Glen tertawa. "Ha! Ha! Ha!"Glen menepuk pundak Kevan. "Aku sih nggak masalah kamu mau dateng pagi, siang, sore atau malam. Yang penting, bawa pacar kamu, Van!""Pacar apa
"Cantik!" seru Martin begitu saja saat melihat sosok wanita berkulit putih dengan rambut hitam panjang yang diikat tinggi. Tentu saja Martin melihat kulit leher si wanita yang mulus."Pak Gunawan ada?" tanya Omar segera mengambil alih situasi. "Oh, kalian siapa?" tanya wanita itu lagi."Bilang aja Kevanーanak Pak Theo mau ketemu!" seru Kevan dengan wajah tanpa ekspresi."Hmm? Tunggu sebentar!"Si wanita menutup pintu kembali, lalu menghilang.Plak!Kevan meninju lengan Martin agar pria itu tersadar dari lamunannya."Aarrggghhh! Sakit, Van!" protes Martin. Dia memegangi lengannya yang sakit karena Kevan. "Kamu gimana sih, Martin? Kalau kerja profesional dong!" Kevan protes. Dia tidak pernah suka dengan seseorang yang tidak bisa profesional saat bekerja."Maaf, Van," kata Martin. "Aku baru kali ini lihat cewek cantik banget! Dia itu Mita, kan? Bini muda Pak Gunawan."Kevan mendengus kesal. "Kayaknya sih, iya," jawab Kevan. "Tapi, aku nggak mau fokus kamu pecah saat lagi kerja! Ngerti
"Apa, Van?! Saya bantu kamu produksi rokok?!"Kevan dan Gunawan kembali duduk. Setelah melalui situasi yang menegangkan, akhirnya Gunawan setuju bekerja sama dengan Kevan. Gunawan baru selesai membaca isi surat perjanjian kontrak kerja sama dengan Kevan. Dia terkejut dengan keinginan Kevan."Iya, Pak," jawab Kevan datar. "Aku udah punya desain rokoknya. Rokok premium. Karena pangsa pasar kali ini kelas menengah ke atas."Sejenak Gunawan menatap Kevan kagum. Dia menunggu Kevan melanjutkan bicaranya. Kevan menyadari bahwa Gunawan sama sekali tidak tertarik dengan rencananya. Namun, dia tidak akan berhenti begitu saja. "Pendistribusian rokok pastinya akan merata. Nggak cuma di kota Tango aja. Kemungkinan, aku juga akan jual ke luar pulau.""Kamu serius, Van?" tanya Gunawan dengan tatapan mata tajam. "Kenapa kamu nggak cari orang lain aja? Saya ini udah tua renta. Kalau hasilnya nanti nggak sesuai dengan ekspektasi kamu, gimana?""Aku serius, Pak. Aku lihat peluang besar di bisnis temb
"Pak Badru! Pak Tanto!"Kevan memanggil dua nama pria yang ternyata dikenalnya. Setelah menutup pintu mobil, Kevan mengajak keduanya bersalaman. "Sehat, Pak?" tanya Kevan. Kedua pria itu tersenyum sambil menjawab pertanyaan Kevan. "Begitulah, Van. Kita berdua sehat," jawab Badru. Omar dan Martin menunggu Kevan selesai menyapa kedua petani tembakau yang merangkap sebagai tengkulak. Keduanya hanya diam memperhatikan Kevan berinteraksi. "Wah! Kamu sekarang udah sukses ya, Van! Kamu udah lulus kuliah, ya?" tanya Badru sambil menepuk-nepuk pundak Kevan."Ini mobil kamu, Van?" tanya Tanto. Dia mengelus body mobil Kevan dengan sangat hati-hati."Awas, Tanto! Jangan kasar-kasar! Nanti mobil Kevan bisa lecet," kata Badru, dia menarik tangan Tanto agar kawannya menjauh dari mobil."Ha! Ha! Ha!" Kevan tertawa. "Nggak apa-apa, Pak. Santai aja!""Gimana kabar orang tua kamu, Van? Saya denger, kamu dan keluarga udah pindah ke rumah besar ya? Enak nggak jadi orang kaya, Van?" Badru begitu penasa
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te