“Sa, kamu baik-baik saja?” tanya seorang gadis yang duduk di sebalahku dengan suara yang hanya bisa didengar oleh kami berdua. Ava terlihat cemas.
Aku hanya mengangguk setelah menghapus air mata sambil berusaha menampilkan ekspresi sewajar mungkin, meski nyatanya wajahku sekarang malah terkesan sangat kaku dan pasti aneh sekali, tapi setidaknya itu lebih baik daripada harus menunjukkan wajah menangis di depan banyak orang.
Aah, apa yang sedang aku lakukan, sih? Aku datang ke tempat ini karena menemani Ava sebagai perwakilan kelas yang mengikuti rapat bersama OSIS karena Amanda, si Ketua Kelas kami sedang absen hari ini. Ava memintaku datang dengan jurus andalan mata kucingnya hingga aku tidak mampu menolak lagi, dia berjanji kami hanya akan mengisi presensi kehadiran, duduk mendengarkan, lalu pulang.
Kami bahkan memilih kursi paling depan agar tidak melewatkan sedikit pun informasi tentang perayaan hari ulang tahun sekolah yang akan diselenggarakan bulan depan. Namun sekarang, situasi macam apa ini? Aku memang sangat ceroboh. Ya ampun! Aku bahkan terlalu malu untuk membuat alasan agar bisa keluar dari auditorium ini.
“Ayo, aku antar ke ruang kesehatan,” ucap Ava lagi sambil menyentuh pundakku.
Aku menggeleng sembari menunduk dalam. Huuuh, memalukan, ini sangat memalukan, tapi aku masih tidak bisa menahan air mataku.
“Apa ada masalah?” tanya seorang laki-laki yang entah sejak kapan sudah berdiri di depanku.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala setelah membereskan jejak basah di pipiku. Selama beberapa detik aku hanya bisa ternganga. Mataku silau menghadapi pemandangan indah yang seolah menjadi pusat dari pendaran cahaya terang yang memancar dan memenuhi ruangan ini.
Orang ini, Jovan Cakradara? Kak Jo yang itu? Dia bicara kepadaku? Ketua Osis SMA Cendekia yang sangat populer dan dipuja oleh seluruh siswi di sekolah ini. Murid teladan sekolah kami yang selalu dielu-elukan oleh para guru. Manusia yang katanya gambaran hidup dari kata "sempurna" sedang bicara kepada butiran debu seperti aku.
Dia memang terkenal sangat baik kepada semua orang. Bersikap ramah kepada salah satu siswa yang satu almamater dengannya adalah hal yang sangat wajar. Tapi masalahnya sekarang, orang itu tepat berada di depanku sembari sedikit merendahkan tubuhnya tepat ketika wajahku mendongak, membuat jarak di antara wajah kami menjadi terlalu dekat. Astaga! Aku bisa merasakan tatapan menusuk dari gadis-gadis di ruangan ini. Hawanya menjadi sangat dingin dan mencekam. Menakutkan.
“Boleh lihat kartu pelajarmu?” tanya Kak Jo sambil menengadahkan tangan kanannya tanpa berpindah posisi.
Aku merogoh ransel di pangkuanku, meraba isinya dengan sembarangan, karena mataku belum mampu berpaling dari senyum Kak Jo yang sangat nyaman untuk dilihat. Ini bukan seperti aku mendadak jatuh cinta karena ada pangeran tampan dan baik hati yang tiba-tiba bersikap ramah kepadaku, hanya saja keterkejutan ini sepertinya membuat gerak saraf motorikku melambat. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain menyerahkan benda pipih yang diminta Kak Jo dengan sikap seperti robot yang sudah berkarat.
“Carlise Kirania Nareswari dari kelas I-D, dengan siapa namamu dipanggil?” tanya Kak Jo setelah membaca nama yang tertera dikartu pelajarku.
Heh? Dia menanyakan namaku? Tapi, bagaimana ini? Memangnya siapa nama panggilanku? Siapa saja, tolong! Otakku tiba-tiba kosong.
“Lisa,” sahut Ava karena aku tidak kunjung memberi jawaban.
“Baiklah, Lisa. Jadi apa yang membuatmu terlihat begitu murung? Apakah ada yang membuatmu merasa terganggu di sini?” tanya Kak Jo masih dengan posisinya
yang belum berubah.“Bukankah seharusnya kamu bergeser dahulu sebelum bertanya lebih lanjut? Atau aku mungkin akan terus mematung seperti ini. Masalah utamanya sekarang justru keberadaanmu.”
Kira-kira begitulah bunyi protes dari suara yang menggema dalam kepalaku yang tentu saja tidak mungkin bisa kuungkapkan.
“Katakan saja, siapa tau aku bisa membantumu sebelum rapat dimulai. Sepertinya masih ada waktu,” imbuh Kak Jo sambil memundurkan wajahnya yang tampan.
Ya Tuhan! Akhirnya oksigen di sekitarku kembali. Walau tidak menolak kenyataan atmosfir di sekitar kami masih terasa aneh dan dingin, setidaknya aku bisa bernapas dengan normal.
“Bukan sesuatu yang serius,” gumamku sambil berpaling agar tidak bertemu pandang dengan laki-laki itu.
Bukan maksud hati untuk bertindak tidak sopan karena menghindari kontak mata saat bicara dengan orang lain, hanya saja mengingat alasanku menangis beberapa saat yang lalu membuat rasa malu yang sempat aku lupakan kembali lagi. Aku tidak berpikir untuk bisa menyampaikan semua itu dengan jujur, apalagi ketika semua mata di ruangan ini sedang terfokus ke arahku. Ya ampun...yang benar saja! Jika ini adalah film kartun, aku yakin akan ada asap mengepul di sekeliling wajahku yang sudah memerah terbakar malu.
“Jika bukan masalah serius berarti tidak masalah untuk menceritakannya, kan.”
Kak Jo tampak sangat penasaran. Wajah tersenyumnya masih bertahan, namun aku bisa menangkap sedikit tekanan dalam nada bicaranya. Astaga, aku mulai terintimidasi hanya sikapnya itu. Haruskah aku menjawabnya? Kenapa dia harus memaksa, sih? Aku tidak bisa terus menerus begini seperti ini.
Aku melirik Ava berusaha mencari pertolongan, namun gadis itu hanya meringis bingung sembari mengangkat bahu. Sudah kuduga hadir di tengah keramaian selalu mendatangkan masalah.
“Lisa,” panggil Kak Jo tampak menunggu membuatku menelan ludah kasar. Tenggorokanku menjadi sangat kering.
“Mo-Moza, meninggal,” gumamku ragu-ragu.
Astaga! aku mengatakannya. Kenapa aku tidak bisa membuat alasan selain bicara jujur, sih? Rasanya aku ingin menangis lagi.
Ekspresi Kak Jo berubah setelah mendengar jawabanku, tatapan menodongnya melunak. Tangan kananan laki-laki itu menyentuh tengkuknya dengan salah tingkah. Suasana tegang dan sunyi di sekitar kami berubah menjadi sangat canggung seketika.
“Maaf, sudah memaksamu mengatakan hal yang menyakitkan,” timpal Kak Jo terdengar menyesal.
“Tidak apa-apa, sudah terlanjur kukatakan,” tukasku yang jadi tidak enak hati.
Jika meluruskan kronologi sebenarnya, seharusnya justru aku yang harus meminta maaf di sini karena telah membuat suasananya menjadi aneh. Terlebih tatapan semua orang ikut berubah mengikuti cara Kak Jo memandangku, aku yakin mereka tidak akan merasa baik-baik saja jika tahu kejadian yang sebenarnya.
“Kamu boleh menceritakannya jika itu membuatmu sedikit lebih baik,” ucap Kak Jo membuatku melongo.
Aku tahu dia bernat baik dengan menghiburku. Terlepas dari fakta yang terjadi, bukankah sebagai sosok yang memiliki kemampuan bersosialisasi dengan orang lain, seharusnya dia tidak menodongku dengan hal seperti itu di depan publik? Tidakkah seharusnya dia lebih peka tentang bagaimana cara memperlakukan orang yang sedang bersedih? Atau sebenarnya dia hanya suka ikut campur urusan orang lain? Entahlah. Apa pun itu, apa gunanya jika aku hanya bisa memprotes dalam hati namun. Kenyataannya aku malah mati kutu tidak tau bagaimana menanggapi ini dengan cara yang normal.
“Lisa, aku mengira kita sudah cukup akrab, tapi kamu hanya menangis sendirian tanpa mengatakan apa pun kepadaku. Rasanya mengecewakan, tahu. Jika sedang mengalami kesulitan, setidaknya Kamu bisa berbagi cerita denganku, loh.” Ava mendesah dengan mimik kecewa. Kenapa dia jadi terbawa suasana, sih? Ini akan semakin buruk.
“Jadi, apa Moza teman dekatmu?” tanya Ava menyambung kalimatnya sambil manautkan alis. Hei, apa-apaan ekspresi menyedihkan itu? Aku jadi semakin merasa bersalah.
“Dia...rekanku,” jawabku sedikit terbata sembari menatap Ava penuh isyarat berharap agar gadis itu memahaminya. Jika dilanjutkan siatuasinya bisa menjadi buruk. Kumohon mengertilah!
“Rekan? Rekan kerja? Atau, sesuatu yang lain?” tanya Kak Jo menyambar pembicaraan lagi. Ah, jadi ketua OSIS kita yang sempurna ternyata orang yang sedikit menyebalkan.
Ditambah dipandang dengan tatapan seperti itu lagi dan didukung oleh seluruh pasang mata yang turut menyimak pembicaraan kami. Rasanya aku ingin pulang saja. Aku tidak sanggup bertahan lebih lama lagi dengan suasana ini, kepalaku pusing, perutku mual, aku tidak melakukan apapun tapi sangat melelahkan dan membuat stress.
Aku mulai mengambil napas panjang untuk menenangkan diri dan membasahi bibirku yang terasa begitu kering. Aku ingin adegan ini segera berakhir sebelum aku tiba-tiba pingsan karena terlalu banyak tekanan.
“Mozarella, rekanku bertempur, dia harimau betina dengan bulu perak yang berasal dari Celestial Kingdom.”
Aku menutup mata sambil menjawab pertanyaan Kak Jo dalam satu tarikan napas, dengan detail agar tidak ada pertanyaan lain lagi yang bisa membuatku benar-benar muntah sebelum berhasil menjawabnya.
Kira-kira, seperti apa reaksi mereka? Aku tidak sanggup membayangkannya, apalagi melihatnya langsung. Selesai sudah hari-hari SMA yang kumiliki, tidak ada masa depan untuk sisa dua setengah tahun yang harus kuhabiskan sebelum kelulusan. setelah ini aku bukan hanya murid penyendiri yang selalu terlihat murung, tetapi juga gadis aneh yang berbicara ngelantur di depan banyak orang.
“Mozarella?”
“Mkasudnya keju?”
“Harimau?”
"Aku tidak mengerti."
“Bertempur?”
“Bulu perak?”
Gumam kebingungan silih berganti terdengar simpang siur di telingaku. Sudah jelas akan seperti ini, kan. Ayolah...aku hanya ingin menemani Ava dan mengikuti acara ini dengan tenang, namun sekarang aku malah menjadi pusat perhatian dengan mengadakan sebuah pertunjukan konyol. Hiks, apakah tidak boleh pulang sekarang saja? Seluruh tubuhku rasanya dicabik-cabik rasa malu.
“Aaah, mohon maaf semuanya. Aku sebenarnya sudah tahu jika Lisa suka bermain game online, tapi aku tidak menyangka jika sampai seperti ini,” ujar Ava dengan senyum aneh, suaranya juga semakin memudar di akhir kalimat. Ekspresi canggungnya menunjukkan bahwa dia sudah menyadari sesuatu yang sangat sia-sia.
“Jadi yang mati adalah rekan harimaumu dalam game yang bernama Mozarella?” tanya Kak Jo menegaskan dengan mimik wajah yang sulit dideskripsikan
Lagi? Kenapa harus dilanjutkan, sih? Aku ralat, Kak Jo bukan sedikit menjengkelkan, namun ternyata sangat menjengkelkan. Sayangnya aku tidak punya pilihan selain mengangguk karena reflek mengiyakan pertanyaannya. Aku tidak bohong mengatakan bahwa kepalaku bergerak sendiri.
“Ya Ampun, artinya sejak tadi kita berbelasungkawa atas kematian makhluk yang tidak nyata.”
Sebuah suara menyela dari kerumunan orang-orang di ruangan ini. Aku tidak tahu suara itu milik siapa, yang pasti kalimat itu telah memancing yang lain untuk tertawa. Dia memang tidak nyata? Memangnya kenapa? Meski Mozarella memang hanya makhluk 2D, namun saat kehilangan ini ditertawakan rasanya kematian Mozarella menjadi semakin menyakitkan.
Tapi apa gunanya tersinggung atas reaksi mereka? Lagi pula di mata orang normal, menangisi makhluk 2D memang sudah aneh sejak awal, jadi menerima reaksi seperti ini seharusnya tidak lagi mengejutkan. aku juga tidak berharap mereka bisa mengerti maupun memaklumiku. Kini aku hanya bisa menunduk semakin dalam, menyesali kedatanganku kemari dan menekan kesedihan yang kumiliki.
“Jika Mozarellamu berasal dari Celestial Kingdom, maka game yang kamu mainkan pasti Black Mirror. Bagaimana jika dimulai dengan mengumpulkan soul fragment dari Harimau putih lalu coba gunakan sihir kamuflase agar mereka telihat mirip. Harimau berbulu perak adalah piaraan langka, tapi mungkin untuk sementara Kamu bisa menggunakan trik itu agar tidak kesepian selama berpetualang. Siapa tahu kapan-kapan Kamu bisa mendapatkan jenis yang sama lagi,” tutur Kak Jo membuat kepalaku terangkat secara otomatis. Barusan itu, aku tidak salah dengar, kan?
Orang ini tampak sedang berpikir serius. Pemandangan itu sukses membuat semua orang terdiam, tidak terkecuali aku. Apakah dia juga seorang pemain? Black Mirror memang cukup terkenal tiga tahun terakhir ini, namun fakta jika seorang seperti Kak Jo bermain MMORPG adalah sesuatu yang bahkan tidak bisa muncul dalam bayangan ngawurku sekalipun. Maksudku, dia pasti sangat sibuk dengan tugasnya sebagai Ketua OSIS selagi menjaga nilainya agar tetap stabil dan tidak sempat untuk mengurusi kehidupan virtual di dunia maya yang menurut kebanyakan orang hanya akan membuang-buang waktu, kan.
“Bagaimana? Apa ide itu bisa menghiburmu?” tanya Kak Jo sambil tersenyum menatapku.
Ekspresinya sungguh berbanding terbalik dengan wajah melongo semua orang dan belum bangun dari keterkejutannya.
“M-mungkin,” gumamku sambil meringis aneh. Orang ini membuatku sangat kewalahan.
“Baguslah kalau begitu, karena masalahmu sudah terpecahkan dan kebetulan juga sangat tepat waktu untuk kita memulai rapatnya. Jadi cerialah,” ujar Kak Jo ramah sambil mengacak poniku sebelum berlalu kekursinya.
Heeeh? Tunggu! Apa yang barusan itu? Aku hanya bisa terpaku sambil menahan napas, bahkan untuk berkedip saja aku tak bisa. Bulu kuduku berdiri tegak. Tampaknya ada seseorang yang baru saja menurunkan suhu pendingin ruangannya, karena udara di sini terasa jauh lebih dingin dan menusuk dari pada sebelumnya. Terlalu mencekam untuk kulewati hingga dua jam berikutnya.
******
Aku menebaskan pedang dengan membabi buta ke arah Cyclops yang tiba-tiba saja muncul di depanku. Siapa peduli jika dia adalah monster langka yang muncul secara random dalam kurun waktu beberapa bulan sekali, lagipula aku sudah memiliki dua Healer Chrysoprase yang lebih dari cukup untuk meningkatkan sihir restorasiku.
Ngomog-ngomong, Healer Chrysoprase adalah batu yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan sihir penyembuh sebanyak 30% dan tergolong item yang cukup langka, apalagi tidak ada batasan dalam pemakaiannya. Batu itu bisa selalu diaktifkan ketika status kehidupan pemiliknya kurang dari 5%. Para pemain akan rela begadang berhari-hari untuk mengintai dan memburu Cyclops demi drop item kelas S itu.
Tapi lupakan tentang hal keren yang baru saja kuceritakan. Saat ini aku hanya ingin bermain-main makhluk besar ini demi melampiaskan rasa kesalku kepada si kecil Lisa sore tadi. Aku juga sengaja menggunakan senjata kelas standart dan membiarkan dia beberapa kali menjatuhkanku untuk sekedar membuang-buang waktu.
Cyclops yang malang, dia harus menjadi objek pelampiasanku hanya karena muncul di waktu yang tidak tepat.
Sebenarnya aku sudah dua kali mengalahkan monster ini sendiri dan beberapa kali membantu petualang asing yang mengirim signal bantuan untuk menghadapinya. Intinya tidak sulit jika aku memang berniat untuk membuatnya tumbang, cukup dengan sekali tebas oleh Lightning Sword milikku pasti akan membuatnya hancur tak bersisa. Pedang pusaka dari Celesetial itu benar-benar mampu membelah dan membakar apapun yang disentuhnya, namun aku akan menyimpannya saja untuk hari ini.
Aahh, terserah saja bagaimana keadaan di sekolah besok, sekarang aku ingin berhenti memikirkan Lisa yang ceroboh, dan hanya akan mengamuk. Aku adalah Serenina, seorang petualang yang gigih, dan selalu bisa diandalkan dari wilayah Zephyr di Barat.
“Masih belum cukup.”
Aku berdiri untuk melakukan penyembuhan diri setelah monster itu melemparku dari ketinggian seratus kaki, dia benar-benar tanpa ampun ketika menghempaskanku di atas tanah yang keras dan tandus ini.
Ngomong-ngomong, jika melihat pada peta maka aku sedang berada di tanah kosong daratan Barat Daya, wilayah merdeka bernama Sydvest yang dihuni oleh ras setengah manusia. Daerah ini merupakan batas teritorial antara kerajaan selatan Solum Empire dan Zephyr, kerajaan di barat yang sekaligus merupakan kampung halamanku. Sedikit perkenalan saja, kekuatan utamaku adalah tipe elemen angin.
“GHRRROOAARR.”
Cyclops di depanku semakin menggila, hentakan kakinya sudah meretakkan area di sekitar kami. Ketika aku bersiap untuk melompat dan menyerang matanya, tiba-tiba saja monster itu melebur menjadi debu dan menjatuhkan sebongkah batu berwarna hijau yang kusebutkan sebelumnya.
Ayolah ... aku masih belum puas bermain-main dengan monster manis ini, sungguh menyebalkan. Aku sedang berusaha keras mengembalikan suasana hatiku yang buruk agar kembali stabil, tapi di seberang sana ada seorang pemain sedang berdiri menggenggam pedangnya yang masih terhunus setelah mengakhiri kesenanganku dengan semena-mena dan membuat usahaku sia-sia. Mau bagaimana lagi jika sudah terlanjur menghilang.
“Aku tidak tau atas alasan apa sehingga memilih untuk berlama-lama tidak menghabisinya meski kamu bisa memusnahkan monster itu dengan sekali tebas. Tapi yang aku tau pasti, memubadzirkan item langka yang diinginkan banyak pemain hanya demi kepuasan diri sendiri adalah perbuatan yang tidak etis.”
Aku hanya berdecak membaca pesan panjang yang berisi ceramahnya di ruang obrolan umum dan membuat pemain lain ikut menyumbang berbagai komentar. Aku tidak kenal siapa orang ini, melihat respon pemain lain dan nick name yang digunakannya cukup familiar mungkin dia termasuk penghuni lama, aku juga tidak terlalu peduli, namun yang pasti juga kuyakini adalah bahwa dia tidak hanya bersikap seenaknya, tapi juga menjengkelkan. Hei! Siapa yang bicara sekarang? Seenaknya saja membahas etika. Bukankah sikapnya barusan juga tidak etis? Orang sepertinya pasti tidak menyadari itu.
“Banyak dungeon yang masih tersembunyi di wilayah Helios, sebagian masih tersegel, ada juga beberapa yang sudah terbuka namun belum dipetakan karena yang membukanya kemungkinan besar adalah solo player. Menanganinya sendiri pasti cukup merepotkan.”Damian, sang leader dari serikat kami sedang memberikan instruksi terkait ekspedisi yang akan kami lakukan bulan depan. Black Mirror mengumumkan akan mengadakan event untuk merayakan pembukaan server barunya dengan hadiah berbagai macam item dan senjata langka, dan tema event kali ini adalah petualangan bawah tanah di wilayah kekaisaran Helios.Jika mengikuti peta dari dunia Black Mirror, maka wilayah itu berada di daratan sebelah timur. Game Master memberi waktu dua minggu kepada para pemain untuk menyelesaikan questnya dengan metode siapa cepat dia dapat. Persiapan yang matang sangat dibutuhkan untuk menghadapi ini, karena memasuki dungeon yang telah di ditaklukan oleh party lain hanya akan meninggalkan h
Hari ini adalah Rabu, aku sengaja datang lebih pagi karena jam pertama adalah olahraga. Bukan karena aku sangat berantusias, tapi labih karena harus menyempatkan diri untuk sarapan di kantin sekolah. Aku tidak ingin pingsan di depan semua orang seperti minggu lalu dan menambah kejadian memalukan dalam daftar kehidupan SMA yang masih berada di ujung ini. Yah, walau cukup memalukan, setidaknya karena kejadian itu aku jadi bisa memaksa diriku untuk duduk di sini dengan sepiring nasi goreng. Sepertinya makan di pagi hari bagus juga.Tidak ada yang mengurus makananku sebagai anak kos. Biasanya aku selalu menggabungkan sarapan dan makan siangku karena terlalu malas untuk mencari makan pagi-pagi. Lagipula dengan begitu rasanya jadi lebih praktis.“Seharusnya bilang padaku jika kamu akan berangkat lebih dulu, hampir saja aku mendobrak pintu kamarmu karena tidak ada yang merespon ketukanku.” Ava mengomel sambil menghampiri mejaku lalu mengambil kursi dengan posisi k
Buram. Perlahan aku mulai bisa melihat cahaya terang menyapa pengelihatanku, menyilaukan. Aku tidak bisa mencerna keadaan hingga mataku akhirnya terbuka sempurna. Entah sudah berapa lama aku telah berhasil mempertahankan diri dalam kondisi setengah sadar. Selain hanya bisa mendengar hirukpikuk percakapan orang-orang, aku tidak melihat apapun yang terjadi di sekitarku. Mataku terlalu berat untuk dibuka. Pemandangan terakhir yang kulihat adalah sebuah telapak tangan yang menyentuh lenganku sebelum kegelapan kembali menyergap.Rasanya, tubuhku sedang tidak baik-baik saja. Lalu ini? Selang infus? Ruangan serba putih dengan aroma obat yang menyengat. Rumah sakit lagi. Aku sudah bosan lagi-lagi harus mampir ke tempat seperti ini.“Kamu sudah bangun?” tanya seorang gadis dengan rambut sebahu yang sedang duduk di samping tempatku berbaring.Dengan pandangan yang masih agak buram, aku memperhatikan gadis itu. Rok berwarna coklat kopi susu, kemaja putih dan bl
“Anak baru itu terlihat aneh.”“Kudengar dia tidak memiliki orang tua.”Sudah cukup! Hentikan!“Ibu melarangku berteman dengannya.”“Dia tinggal dekat rumahku, para tetangga sering membicarakannya.”“Tapi dia terlihat baik.”“Jangan bercanda! Bibinya saja menyebut gadis itu sebagai anak pembawa sial.”Aku mohon, berhentilah...“Menyeramkan.”“Jangan terlalu dekat dengannya.”Apa pun itu, apa pun salahku, aku minta maaf. Jadi kumohon berhenti.“Apa dia dikutuk? Nasibnya sangat tidak bagus.”“Anak itu menakutkan.”“Kejiwaannya mungkin terganggu.”“Tingkahnya juga sering tidak wajar.”"Yang pasti dia sangat aneh."BERHENTII!!!Aku membuka mata dengan pandangan berkunang-kunang, gelap. Jadi aku hanya bermimpi? Tanganku meraba se
“Damian sangat pemilih, aku kagum karena Selene mampu menjadi partnernya selama bertahun-tahun. Jika mereka benar-benar bersama di dunia nyata juga, aku yakin Selene adalah gadis yang luar biasa sabar.”Rivera masih menggerutu setelah mendapat omelan Damian gara-gara dirinya salah mengambil serbuk bunga. Akibatnya dia harus mengulang pekerjaannya dan memaksaku untuk membantu menyelesaikan tugasnya itu."Selama ini dunia selalu menghakimi betapa rewelnya perempuan, kalau saja mereka semua bertemu dengan Damian, aku yakin stigma itu akan terpatahkan," ucap Rivera yang masih enggan menutup mulut."Dia hanya sedikit perfeksionis, bukan rewel," sahut sebuah suara yang menggema di antara kami."Selene juga menakutkan. Bagaimana dia tau bahwa kita sedang membicarakan suaminya?" ujar Rivera antara terkejut dan bingung."Sebenarnya bukan hanya Selene, tapi seluruh anggota serikat mendengarmu. Tadinya mau kuingatkan bahwa kamu lupa berpindah ruan
“Lisa! Di mana yang sakit?! Apa lukamu parah?!"Teriakan seseorang dan guncangan di tubuhku membuat kesadaranku tersedot kemudian terlempar ke sebuah tempat yang gelap. Perlahan mataku terbuka, meski tampak kabur, namun masih aku masih bisa menemukan wajah panik Ava yang hampir menumpahkan air mata.Kedua tangan gadis itu mencengkerap erat bahuku seolah takut aku akan menghilang ketika dia melepasnya. Aku hanya berkedip beberapa kali untuk menetralkan pandanganku sembari mengumpulkan nyawa. Ah, Mozarella, mimpi indahku sudah berakhir. Sekarang aku telah kembali ke sini, kembali ke dunia tanpa Kak Abel di dalamnya. Rasanya aku ingin kembali tidur dan tidak bangun lagi.“Lisa,” panggil Ava sekali lagi.“Kamu, di sini?” tanyaku lirih.“Sepulang sekolah kemarin aku kemari karena percakapan terakhir kita membuatku terganggu, tidak peduli berapa kali aku mengetuk pintu, namun tetap tidak ada jawaban. Semala
Serenina baru mengirim koordinat lokasinya setelah aku membombardirnya dengan serentetan undangan party yang pasti cukup mengganggu jika muncul sampai puluhan kali. Orang itu sedang berada di central, katanya untuk membuat kalung yang baru setelah kehilangan Merkaba Diamond yang digunakannya sebagai persembahan demi menyatukan jiwa binatang piaraannya kemarin.“Jadi, kalung macam apa yang sedang dia buat kali ini,” ucapku setelah menembus portal yang langsung menuju koordinat tempat Serenina berada.“Aku ingin memanfaatkan Magical Amethyst yang kudapatkan dari monster ular yang menghancurkan jiwa Mozarella. Sebelumnya aku tidak ingin menggunakan benda itu karena merasa bersalah. Tapi karena sekarang Mozarella sudah kembali, jadi au sudah merasa baik-baik saja untuk memanfaatkannya,” ujar Serenina yang terdengar lebih santai dari biasanya. Ternyata dia mendengar gumamanku. Tampaknya mood gadis ini sedang baik.“Baguslah, aku juga pen
“Waaah, pertemuan kalian seperti dalam novel. Aku penasaran dengan kisah romantis macam apa yangterjadi selanjutnya,” sorak Ava menggodaku.Aku menatap kedua matanya yang terlihat berkilau seolah dipenuhi bintang. Senyumnya merekah begitu lebar seolah bisa bisa menyentuh kedua telinganya. Kenapa dia sebahagia itu hanya dengan mendengar cerita pertemuanku dengan Nara?“Kisah Romantis? Dari pada romatis, mungkin cerita kami lebih kepada genre komedi, misteri, dan fantasi. Jika kami tidak berhati-hati, mungkin genrenya bisa juga merambah ke arah thriller,” ujar Nara sambil menyangga dagu.“Meski tidak menemukan hantu, tapi aku memang bisa merasakan sensasi horornya juga,” timpalku sambil mengembuskan napas berat.Ava mengerutkan alis karena reaksi kami berdua. Kedua bola mata yang tadinya berbina-binar berubah menjadi tidak fokus anata ingin menatapku atau Nara. Bahkan sekilas aku bisa mendengar gumaman bingung yang lolos
Kepada Tante Lili Di Surga Halo, Tante Lili. Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Feren Vanessa, Tapi Nara dan Davin biasanya hanya memanggil saya "Fe" agar berbeda dengan orang lain katanya. Tante Lili masih ingat Davin, kan? Anak laki-laki yang lebih muda satu tahun dari Nara, yang tinggal di sebelah rumahnya. Tante Lili juga boleh memanggil saya demikian bial berkenan. Mungkin surat ini tidak akan pernah dibaca oleh Tante Lili atau siapa pun selain saya sendiri sebagai penulisnya, pun apabila ternyata kalimat-kalimat dalam surat ini tersampiakan menembus langit sehingga Tante Lili mengetahuinya, mungkin Tante Lili akan merasa aneh karena seorang gadis asing tiba-tiba saja dengan sok akrab mengirim surat dan menceritakan banyak hal tentang dirinya. Sebenarnya saya hanya ingin berterima kasih kepada Tante karena telah
Rumah Nara 4 tahun yang lalu“Pada akhirnya nanti, semua yang pernah hilang atau diambil dari kita akan kembali lagi kepada kita. Walaupun dengan cara yang tidak pernah kita duga.” Aku mengangkat kepala yang tertunduk untuk menatap Feren yang sedang tersenyum samar sambil menyangga dagu.Aku menghabiskan waktu untuk duduk diam di ruang makan sejak pagi tadi selepas pulang dari pemakaman ibuku di kota sebelah. Papa pergi ke kantornya seperti biasa, pembantu terakhir yang bekerja di rumah ini sudah dipecat sekitar tiga hari yang lalu karena salah menaruh takaran gula pada kopi ayahku. Sekarang hanya ada kami berdua yang belum saling bicara sejak Davin dipanggil kakaknya untuk makan siang sekitar setengah jam yang lalu. Hanya ada Feren yang mau repot-repot menemaniku, namun aku malah mendiamkannya.Melihat wajahnya yang sedang berusaha keras membuatku tidak tega. “Rasanya aku cukup familiar dengan kutipan itu,” ucapku menang
Aku membulatkan mata sembari berusaha meraih apa pun yang dapat digapai oleh tangaku yang sayang sekali hasilnya nihil. Aku dikejutkan dengan air yang tiba-tiba saja membuatku tidak bisa bernapas bernapas, begitu sesak dan menyakitkan. Aku menggeleng berusaha menjernihkan isi kepala yang masih beku karena efek kejut dari sensasi dingin yang menyelimutiku secara mendadak, yang benar saja situasi ini! Aku tenggelam. Pengelihatanku mengabur karena mataku terendam, namun aku bisa merasakan jika yang kukenakan bukan lagi seragam olahraga sekolahku. Tubuhku terasa berat dan semakin jatuh e dalam. Aku pasti berada di Black Mirror. Dengan cepat aku berusaha menggerakkan tanganku untuk mengaktifkan layar kontrol, mengeluaran Shared Of Hope, permata berwarna biru ini dapat mengurai semua elemen di sekitarnya meski efeknya hanya bertahan kurang dari tiga menit. Walau tidak lama, setidaknya aku bisa memanfaatkannya untuk menyibak air di sekitarku sehingga aku bisa benapas dengan
Pagi ini aku dan Davin mampir ke rumah sakit sebelum berangkat sekolah untukmengucapkan selamat ulang tahun kepada Feren. Ini adalah ulang tahun kedua yangharus dilewatinya dalam keadaan seperti ini. Tahun lalu pada tanggal yang sama dengan hari ini adalah hari di mana aku terbangun setelah hampir dua pekan tidak sadarkan diri karena kecelakaan, hari di mana aku harus menerima fakta bahwa mungkin aku tidak bisa melihat Feren tersenyum lagi untuk waktu yang cukup lama. “Semoga di tahun berikutnya aku bisa melihatmu tersenyum lagi,” gumamku yang mungkin tidak didengar oleh gadis pucat ini. kulihat tidak ada banyak yang berubah dari tubuh mungilnya selain terus bertambah kurus dari waktu ke waktu. Tapi rambut hitamnya kini agak terlihat lebih pendek dari terakhir kali aku menemuinya. Rambut indah yang dulu tampak selalu bercahaya dan berkibar dengan merdeka ketika ditiup angin, kini sudah terlihat agak kusam. Mungkin perawat belum mencuci rambutnya setelah dipot
“Akhir-akhir ini kamu tampak sangat kurang tidur, Sa. Semakin lama mata panda itu membuatmu terlihat seperti zombi. Aku bukan bermaksud menyuruhmu berhenti bermain game, sih. Aku juga tidak bermaksud mengomelimu. Tapi terlalu banyak begadang tidak baikuntuk kesehatan, loh. Apalagi setiap pagi kamu selalu terlihat panik dan gelisah ketika aku membangunkanmu. Sepertinya kualitas tidurmu sangat buruk,” tutur Ava dengan tatapan cemas. Aku hanya bisa tersenyum menerima kecemasan Ava. Sejujurnya, aku juga ingin tidur nyenyak, sayangnya setiap aku tertidur aku dipaksa untuk beraktifitas di Black Mirror agar bertahan hidup. Seperti semalam misalnya, bagaimana mungkin aku tidak lelah setelah bertarung seperti itu. Jelas tidak mungkin aku menjawab Ava dengan kalimat barusan, dia bisa diserang panik dan buru-buru membawaku ke rumah sakit untuk dipariksakan kepada psikiater.Jadi aku hanya meringis sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku merasa tidak enak merahasiakan sesuatu k
Malam ini aku dan Serenina melakukan penyusuran terakhir di wilayah Helios, lima member yang bertugas bersamaku sudah dipindahkan untuk membantu kelompok yang mengurus persenjataan. Peta yang kami buat juga sudah rampung. Untunglah jika semua dapat diselesaikan tepat waktu.“Sekarang mari coba aktifkan petanya,” ucapku yang langsung dituruti oleh Serenina.Gadis itu mengeluarkan layar kontrolnya lalu mengambil peta yang baru saja kami selesaikan. Setelah peta itu terbuka, muncul hologram yang menampilkan rute perjalanan kami dalam model 3D. Syukurlah karena hasilnya seperti yang diharapkan.“Langsung saja kita uji,” ujar Serenina sambil membuka portal yang telah dia sesuaikan dengan koordinat salah satu titik yang dipilihnya secara random dari peta baru kami.Kami berdua berpindah lokasi dalam sekejap ke dalam labirin Helios yang tampaknya tidak banyak dilewati oleh para pemain. Hal ini terlihat karena tidak adanya jejak sihir atau
“Dia tidak mengatakan apapun. Kami hanya melakukan penyusuran seperti bisa, membasmi beberapa monster level rendah yang menggnggu, dan menyempurnakan peta yang kubuat,” ucapku yang disimak Kak Davin dengan tampang serius.“Apa dia terlihat kesal? Atau seperti memikirkan sesuatu?” tanya Kak Davin sambil memajukan wajahnya menjadi lebih dekat. Hei, Telingaku cukup sehat untuk mendengar pertanyaanmu.Aku berusaha bergeser untuk menyesuaikan jarak di antara kami, namun sayangnya aku sudah duduk di pinggir sofa jadi tidak bisa berpindah lebih jauh lagi kecuali melompat turun. “Tidak juga, dia tetap terlihat menjengkelkan seperti biasa. Hehehe,” jawabku canggung.“Hanya karena orang tuaku tidak di rumah, bukan berarti kamu bisa bebas melakukan apa pun, loh. Lebih baik minum saja tehnya sebelum aku memanggil polisi,” tegur Ava yang baru kembali dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan ringan.Gad
Hari ini aku sangat mengantuk. Bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga sudah terlalu lelah. Memang tidak sulit jika harus menghabiskan waktu berjam-jam bermain game di depan komputer, tapi akan berbeda cerita jika yang kutatap adalah deretan kalimat dari artikel-artikel bebas yang bahkan belum tentu bisa dipertanggungjawabkan validitasnya. Aku bukan Feren yang cinta membaca.“Sudah kukatakan padamu bahwa tidak banyak informasi yang dapat kita peroleh. Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk melakukan ini sebelumnya. Karena Black Mirror, aku jadi meyakini bahwa anggapan orang-orang mengenai internet yang serba tau adalah salah besar,” ucapku sambil merebahkan kepala di atas meja. “Pada akhirnya kita hanya remaja yang tidak tau apa-apa,” timpal Lisa dengan wajah lelah sembari meregangkan tubuhnya.“Informasi yang ada saat ini tidak banyak berubah dari yang kudapatkan tahun lalu. Ralat, informasinya masih sama. Black Mirror
*Minggu pagi di rumah sakit kota*“Sebenarnya Kenapa Kak Davin membawaku kemari? tanyaku bingung sambil memandangi seorang gadis yang sedang tidak sadarkan diri di depan kami berdua.“Aku pikir mungkin kamu penasaran dengan sikap Nara yang mendadak terlihat aneh. Sekadar inisiatifku saja untuk sedikit menjelaskan situasinya,” ujar Kak Davin yang membuatku menerka-nerka.“Aku memang sedikit penasaran, sih, tapi sebenarnya kamu juga tidak harus repot-repot. Toh bukan urusanku juga,” ucapku sambil tersenyum canggung.“Bagaimanapun juga keterlibatanmu dengan Nara akan menjadi cukup rumit jika tidak tau situasinya, dan melihat sifatmu yang begini, nantinya kamu pasti akan sangat ragu-ragu untuk bertanya sendiri kepadanya,” ucap Kak Davin yakin sembari menatapku dari atas ke bawah. Entah mengapa tatapan matanya mengingatkanku kepada adegan dalam film di mana ibu mertua ketus sedang menilai calom menantu