“Tuan Guru Pendekar Tendangan Seribu pernah bilang padaku, kehebatan bukan untuk dicarikan siapa pemenangnya, tapi untuk seberapa banyak bisa menolong sesama!” tegas Bimantara.
“Aku yakin kau tidak mau bertarung denganku karena kau takut kalah!” tantang Pangeran Sakai.
“Tidak pantas untuk sesama murid perguruan matahari saling mengalahkan!”
Pangeran Sakai geram. Dia langsung mengarahkan pedangnya ke arah Bimantara. Bimantara meraih tongkatnya. Tongkat pemberian dari kakek tua di dalam gua lembah gunung Munara. Bimantara melawan pedang Pangeran Sakai dengan tongkatnya itu.
Wira dan Rajo heran bagaimana mungkin tongkat dari kayu itu mampu menangkis pedang milik Pangeran Sakai yang terkenal tajam dan kuat, hingga pedang itu tak berhasil mematahkan tongkat Bimantara. Pangeran Sakai akhirnya menggunakan kakinya untuk menendang kaki satu Bimantara. Namun Bimantara berhasil melompat dan menghindarinya.
“Berhentiiii!!!!”
Semua berhenti. Panger
Terima kasih untuk pembaca setia Bimantara yang sudah membaca sampai bab ini. Jangan lupa sumbangkan vote sebanyak-banyaknya agar Bimantara bisa terus eksis di beranda. Tunggu kelanjutannya! Penulis akan berusaha update setiap hari.
“Kakek?!” teriak Pangeran Dawuh tak percaya.Mayat hidup Raja Prawara tampak diam melotot ke semuanya. Pejabat istana langsung menarik Pangeran Dawuh untuk menjauh darinya.“Jangan dekati, Yang Mulia, Pangeran. Beliau telah dibangkitkan oleh ajian Pembangkit kematian! Aku rasa beliau lah yang membunuh Yang Mulia Raja,” pinta pejabat istana penuh hormat.Tak lama kemudian mayat hidup Raja Prawara menyerang prajurit yang menjaga di sana. Prajurit itu langsung terkapar dan wajahnya dipenuhi borok bernanah, sama seperti yang Mulia Raja di atas ranjang sana.Pangeran Dawuh langsung menyingkirkan pejabat istana darinya. Dia langsung menarik selimut di ranjang yang mulia raja lalu mengarahkannya ke mayat hidup raja Prawara. Selimut itu berhasil menggulung tubuh mayat Raja Prawara hingga tubuhnya terjatuh ke atas lantai. Semua yang ada di kamar itu tercengang melihat kehebatan Pangeran Dawuh. Mereka tidak tahu kalau Pangeran Dawuh sudah me
Pangeran Dawuh masih berdiri kaku menatap mayat hidup raja Prawara yang kini kaki dan tangannya terikat oleh rantai. Pejabat istana di sebelahnya tampak berdiri bingung melihatnya.“Jika mendiang kakekku bangkit dari ajian pembangkit kematian dalam kondisi begini, berarti mendiang kakekku dahulunya orang jahat,” ucap Pangeran Dawuh.Pejabat istana tampak terkejut mendengarnya. “Ampun, Pangeran. Tak pantas bicara begitu di hadapan Yang Mulia raja,” nasehat pejabat istana padanya.“Dia sudah bukan kakekku! Raganya telah dirasuki iblis! Jika kakekku orang baik, dia akan mewujud arwah yang tenang saat ajian pembangkit kematian itu dibacakan!” ucap Pangeran Dawuh.“Lalu kenapa Pangeran mengurungnya di sini dan tidak membunuhnya?” tanya pejabat istana heran.“Aku hanya ingin tahu bagaimana ajian pembangkit kematian itu bekerja dan bagaimana kelemahannya,” jawab Pangeran Dawuh.Tak lama ke
Pangeran Dawuh pun bergabung dengan Bimantara dan para prajurit cahayanya. Satu persatu mayat-mayat hidup itu tumbang. Pangeran Dawuh mulai menyerang satu persatu mayat hidup itu. Bimantara masih bertarung dengan mayat hidup Panglima Cakara. Bimantara pun menggunakan tendangannya untuk menyerang Panglima Cakara, namun dia mampu mengelaknya hingga berhasil menarik tangan Bimantara.Bimantara terjatuh ke atas tanah. Panglima Cakara hendak menggigitnya. Dua mayat hidup lain mendekat ke Bimantara. Namun dengan kekuatan kaki cahayanya Bimantara menendang Panglima Cakara dan dua mayat hidup itu bersamaan hingga mereka bertiga terpental jauh. Bimantara mencabut pedangnya lalu melompat jauh menuju mayat Panglima Cakara dan langsung menebas leher Panglima Cakara hingga kepalanya terpelanting jauh dan tubuh Panglima Cakara tak lagi bergera.Bimantara menoleh ke Pangeran Dawuh yang sedang menghadapi kelima mayat hidup di hadapannya. Bimantara melompat ke sana lalu membantu Panger
Kepala perguruan berdiri di hadapan para guru utama di ruangannya. Di tangannya terdapat sebuah surat dari Kerajaan Nusantara Barat.“Yang Mulia Raja dari kerajaan Nusantara Barat telah mengirim surat padaku untuk menunda tugas terakhir murid-murid baru untuk mencari kitab pusaka peninggalan para leluhur,” ucap Pendekar Tangan Besi di hadapan semuanya.“Jika ditunda, maka akan lebih lama lagi kita bisa meluluskan mereka, Tuan Guru Besar,” protes Pendekar Rambut Emas.“Tapi mungkin perkataan Yang Mulia Raja Banggala benar. Ini demi keselamatan para pangeran yang berada di perguruan,” ucap Pendekar Pedang Emas.“Apa sebaiknya kita tanyakan juga kepada Yang Mulia Raja dari Kerajaan Nusantara Tengah dan Timur?” tanya guru utama lainnya.“Jika satu tidak setuju, akan tidak adil jika kita hanya memberangkatkan para murid yang berasal dari dua kerjaan saja,” ucap Pendekar Tangan Besi. “Mung
Bimantara datang kepada Pangeran Sakai yang masih terikat lemas di batang pohon. Bimantara mendongak padanya ke atas sana.“Kau mau aku bantu melepaskan ikatan tali itu?” tanya Bimantara.Pangeran Sakai menatap Bimantara ke bawah dengan kesal.“Jika kau mau membantu aku, kenapa tidak kemarin malam saja?” tanya Pangeran Sakai kesal.Bimantara tersenyum lalu melompat ke atas, dengan cepat dia menarik tali yang mengikat tubuh Pangeran Sakai lalu membawanya turun ke bawah dengan mendarat sempurna. Pangeran Sakai tampak sempoyongan. Bimantara menahan tubuhnya agar tidak rubuh. Pangeran Sakai malah menepis tangan Bimantara dengan kesal.“Jangan sentuh aku,” ucap Pangeran Sakai ketus.Bimantara menghela napas menahan sabarnya. Tak lama kemudian Pendekar Tangan Besi datang dengan heran.“Rupanya kalian berhasil meloloskan diri dari hukuman?” tanya Pendekar Tangan Besi.Bimantara dan Pange
“Andai sejak dahulu kita sudah begini,” ucap Bimantara.“Kita pasti tidak akan menjadi murid di perguruan matahari,” sahut Dahayu.“Iya, kita pasti sudah menikah,” ucap Bimantara.“Terlalu muda untuk menikah,” sahut Dahayu.“Bukan kah orang-orang di kampung kita seumuran kita sudah menikah semua?” tanya Bimantara heran. “Seperti dua temanmu yang dulu mengejekku di pinggir tebing, sampai aku di dorong ke lautan, bukan kah mereka sudah menikah?”“Aku tidak ingin menikah di usia semuda ini,” jawab Dahayu.“Kalau kita sudah keluar dari perguruan matahari, apakah kau mau menikah denganku?” tanya Bimantara.Dahayu mengangkat kepalanya dari bahu Bimantara. Dia menoleh pada Bimantara sambil memandangi wajahnya.“Menikah atau tidak, aku sudah menyerahkan kehormatanku padamu Bimantara,” ucap Dahayu.“Kau mau kita selal
Bimantara kini dikelilingi oleh dua puluh lima mayat hidup para pendekar leluhur perguruan Tengkorak. Sepuluh diantaranya pendekar perempuan. Mereka semua mulai menggerak-gerakkan senjata masing-masing. Mata Bimantara menyapu mereka, bersiap menghadapi serangan jika salah satu dari mereka maju duluan. Bimantara heran melihat mayat-mayat hidup itu tak seperti mayat-mayat hidup lainnya yang seperti tidak memiliki akal. Mereka berbeda. Mereka tampak seperti manusia hidup pada umumnya. Hanya rupa mereka saja yang berbeda dengan manusia hidup pada umumnya. Wajah-wajah mereka telah rusak. Sebagian mata dari mereka telah hilang satu hingga terlihat jelas rongga berdarah di sana.Bimantara teringat pesan Ki Walang jika menghadapi banyak musuh dalam waktu bersamaan.“Gunakan mata dan telingamu! Kau harus dalam kesadaran penuh!”Satu mayat hdup dari pendekar itu melompat ke arah Bimantara sambil mengarahkan pedangnya. Bimantara mendongak ke atas memandanginya
Dengan segala upaya, Bimantara melawan satu persatu serangan dari mayat-mayat hidup itu. Dia menggunakan segala jurusnya untuk menumbangkan serangan demi serangan. Satu persatu dari mayat hidup itu berhasil dilawannya. Namun kini tenaganya kian melemah. Saat satu serangan hendak mengarah ke arahnya dengan pedang, tiba-tiba sebuah anak panah meluncur ke arah mayat hidup itu, tepat mengenai dadanya hingga dia rubuh ke atas tanah.Bimantara heran, siapa yang melakukannya. Semua mayat-mayat hidup yang tersisa tampak terdiam lalu menoleh ke satu arah. Bimantara ikut menoleh ke arah yang dilihat para mayat hidup yang tersisa itu.Bimantara tercengang ketika melihat Pangeran Dawuh duduk di atas kudanya dengan memakai pakaian perangnya. Di belakangnya ratusan prajurit mengikutinya di atas kuda masing-masing.“Kau telah menyelematkan istanaku dari serangan mayat-mayat hidup itu, Bimantara! Kini giliranku membantumu!” ucap Pangeran Dawuh padanya.Bimant