“Andai sejak dahulu kita sudah begini,” ucap Bimantara.
“Kita pasti tidak akan menjadi murid di perguruan matahari,” sahut Dahayu.
“Iya, kita pasti sudah menikah,” ucap Bimantara.
“Terlalu muda untuk menikah,” sahut Dahayu.
“Bukan kah orang-orang di kampung kita seumuran kita sudah menikah semua?” tanya Bimantara heran. “Seperti dua temanmu yang dulu mengejekku di pinggir tebing, sampai aku di dorong ke lautan, bukan kah mereka sudah menikah?”
“Aku tidak ingin menikah di usia semuda ini,” jawab Dahayu.
“Kalau kita sudah keluar dari perguruan matahari, apakah kau mau menikah denganku?” tanya Bimantara.
Dahayu mengangkat kepalanya dari bahu Bimantara. Dia menoleh pada Bimantara sambil memandangi wajahnya.
“Menikah atau tidak, aku sudah menyerahkan kehormatanku padamu Bimantara,” ucap Dahayu.
“Kau mau kita selal
Bimantara kini dikelilingi oleh dua puluh lima mayat hidup para pendekar leluhur perguruan Tengkorak. Sepuluh diantaranya pendekar perempuan. Mereka semua mulai menggerak-gerakkan senjata masing-masing. Mata Bimantara menyapu mereka, bersiap menghadapi serangan jika salah satu dari mereka maju duluan. Bimantara heran melihat mayat-mayat hidup itu tak seperti mayat-mayat hidup lainnya yang seperti tidak memiliki akal. Mereka berbeda. Mereka tampak seperti manusia hidup pada umumnya. Hanya rupa mereka saja yang berbeda dengan manusia hidup pada umumnya. Wajah-wajah mereka telah rusak. Sebagian mata dari mereka telah hilang satu hingga terlihat jelas rongga berdarah di sana.Bimantara teringat pesan Ki Walang jika menghadapi banyak musuh dalam waktu bersamaan.“Gunakan mata dan telingamu! Kau harus dalam kesadaran penuh!”Satu mayat hdup dari pendekar itu melompat ke arah Bimantara sambil mengarahkan pedangnya. Bimantara mendongak ke atas memandanginya
Dengan segala upaya, Bimantara melawan satu persatu serangan dari mayat-mayat hidup itu. Dia menggunakan segala jurusnya untuk menumbangkan serangan demi serangan. Satu persatu dari mayat hidup itu berhasil dilawannya. Namun kini tenaganya kian melemah. Saat satu serangan hendak mengarah ke arahnya dengan pedang, tiba-tiba sebuah anak panah meluncur ke arah mayat hidup itu, tepat mengenai dadanya hingga dia rubuh ke atas tanah.Bimantara heran, siapa yang melakukannya. Semua mayat-mayat hidup yang tersisa tampak terdiam lalu menoleh ke satu arah. Bimantara ikut menoleh ke arah yang dilihat para mayat hidup yang tersisa itu.Bimantara tercengang ketika melihat Pangeran Dawuh duduk di atas kudanya dengan memakai pakaian perangnya. Di belakangnya ratusan prajurit mengikutinya di atas kuda masing-masing.“Kau telah menyelematkan istanaku dari serangan mayat-mayat hidup itu, Bimantara! Kini giliranku membantumu!” ucap Pangeran Dawuh padanya.Bimant
Pendekar Pedang Emas datang ke kediaman Kepala Perguruan dengan heran.“Ada apa kau datang malam-malam begini?” tanya Pendekar Tangan Besi dengan heran.“Aku mendapat laporan dari ketua asrama kalau murid-murid baru telah menghilang dari kamar masing-masing,” jawab Pendekar Pedang Emas.Kepala Perguruan tampak terkejut mendengarnya.“Kemana mereka?” tanya Kepala Perguruan dengan heran.“Aku tidak tahu, Tuan Guru Besar. Sepertinya mereka pergi ke pulau seberang karena menyurul Bimantara,” jawab Pendekar Pedang Emas.“Menyusul Bimantara?”“Iya! Aku telah memeriksa gua tempat mendiang Pendekar Tendangan Seribu. Di sana aku tidak melihat Bimantara. Setelah aku bertanya pada murid senior lainnya, mereka melihat Bimantara pergi ke pulau seberang dengan menggunakan naga,” jawab Pendekar Pedang Emas.Kepala Perguruan terbelalak mendengarnya.“Menggunka
Mayat hidup Naga Wali turun dari kudanya dengan melompat lalu mendarat di hadapan Bimantara dan yang lainnya.“Ayah!?” Teriak Bimantara padanya.Naga Wali tidak menyahut. Dia malah melotot geram ke arah Bimantara.“Raganya memang raga ayahmu, Bimantara!” teriak Pangeran Dawuh. “Tapi jiwanya sudah bukan jiwa ayahmu!”Bimantara terkejut mendengarnya.“Kita harus membunuhnya, Bimantara,” pinta Kancil.“Tidak!” teriak Bimantara. “Tidak ada yang boleh membunuhnya!”Pangeran Sakai heran. “Jika tidak dibunuh, kita yang akan dibunuhnya!” teriak Pangeran Sakai.Bimantara geram mendengarnya. “Pergilah kalian semuanya dari sini! Biar aku saja yang menghadapinya!” pinta Bimantara.“Aku tak akan pergi dari sini!” teriak Dahayu.Pangeran Sakai menoleh pada Dahayu dengan terkejut.“Aku juga tak akan pergi dari
Satu tendangan dari Naga Wali berhasil membuat Bimantara terpelanting. Naga Wali maju hendak menyerangnya kembali. Bimantara bangkit sekuat tenaga. Dia kembali bertahan dari serangan demi serangan Naga Wali.Tak lama kemudian Naga Wali menggerak-gerakkan tangannya. Muncullah cahaya di tangannya. Bimantara terbelalak. Cahaya itu adalah energi tenaga dalam ayahnya. Jika dia terkena cahaya itu maka luka dalam akan dialaminya. Isi perutnya bisa hancur seketika. Bimantara pun akhirnya berusaha mengeluarkan cahaya dalamnya. Kaki cahayanya menyala.Saat Naga Wali mengarahkan cahaya itu ke arah Bimantara. Bimantara pun mengeluarkan cahaya tenaga dalamnya hingga kedua cahaya itu beradu di tengah-tengah mereka.Dahayu tampak khawatir melihatnya. Sementara Pangeran Dawuh sudah berhasil mengikat pakaian-pakain mayat prajurit dan menjadikannya satu hingga terbentuk tali panjang.“Serahkan itu ke aku,” pinta Dahayu.Pangeran Dawuh pun menyerahkannya
Bulan di atas Perguruan Matahari tampak bersinar terang. Di dalam ruangan Tabib Perguruan, Bimantara tampak terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang jerami. Tak lama kemudian arwah Ki Walang datang. Dia memandangi tubuh Bimantara dengan sedih.“Kau sudah melakukan yang terbaik yang kau bisa,” ucap Ki Walang padanya.Ki Walang pun duduk di dekat ranjang lalu menatap wajah Bimantara dengan lekat.“Andai aku bisa menyalurkan tenaga dalamku kepadamu, kau sudah sadar kembali saat ini,” ucap Ki Walang. “Aku percaya Tabib Perguruan. Dia pasti bisa menyembuhkanmu hingga kau kembali sadar seperti sedia kala.”Ki Walang pun menghilang dari sana.***Para prajurit penjaga gerbang pertama istana kerjaan Nusantara Timur tampak terkejut melihat banyak penduduk berlarian ke arah gerbang dan mengetuk-ngetuk pintu gerbang hendak masuk. Mereka melihatnya di atas pagar istana yang sangat tinggi. Tak lama kemudian Panglima
“Tolong adakan upacara untuk meminta permohonan leluhur agar kita semua yang berada di sini bisa diizinkan pergi ke pulau seberang untuk memerangi perguruan tengkorak! Karena dengan memerangi mereka lah kita dapat menghentikan aksi Gajendra untuk membangkitkan mayat-mayat hidup,” pinta Pendekar Pedang Emas.Kepala perguruan tampak berpikir. Tak lama kemudian dia menatap wajah Pendekar Pedang Emas. “Kalau seandainya kita sudah tahu di mana tempat persembunyian perguruan tengkorak. Ini mungkin akan lebih mudah.”“Saya tahu di mana mereka bersembunyi, Tuan Guru Besar,” ucap Pendekar Pedang Emas kemudian.Kepala Perguruan terbelalak mendengarnya.“Di mana mereka bersembunyi?”“Di sebuah bukit arah utara di pulau seberang,” jawab Pendekar Pedang Emas.“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Pendekar Tangan Besi dengan heran.“Gajendra adalah kakak kandungku,” jawa
Semua penduduk perguruan tampak berkumpul di sebuah ruangan ritual yang luas itu. Lentera-lentera menyala tergantung di langit-langit ruangan itu. Obor-obor menyala terang di setiap sudut ruangan. Di tengah-tengah ruangan ritual itu terdapat sebuah peti perak yang berkilau. Kepala Perguruan duduk bersila menghadap peti tembaga itu. Di belakangnya para guru utama sudah duduk rapih bersama para guru pembantu. Jauh di belakangnya lagi semua murid perguruan sudah duduk bersila dengan barisan yang rapih.Dahayu berbisik pada Kancil yang duduk di sebelahnya.“Apa yang akan Tuan Guru Besar lakukan?” tanya Dahayu heran.“Ini ritual untuk berbicara dengan para leluhur,” jawab Kancil.“Para leluhur akan datang mewujud arwah ke ruangan ini?” tanya Dahayu tak percaya. “Seperti para arwah yang berdatangan ketika dibangktikan dengan ajian pembangkit kematian?”“Tidak. Para arwah akan menjawab pertanyaan Kepal