“Dia tidur.” Tirta mengantarkan Kaisar ke kediaman orang tua Lana sambil menggendong bocah itu. Sengaja tidak membangunkannya.“Kan, jadi ngrepotin kamu kalau gini.” Lana membimbing Tirta ke kamar Kaisar agar bisa membaringkannya di kasur. “Dia udah mandi?”Lana baru menyadari kalau pakaian Kaisar sudah berganti. Tadi hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang sudah pakai kaos biasa.Tirta tidak segera menjawab dan memilih untuk keluar kamar Kaisar lebih dulu. Mereka turun ke lantai satu, lalu duduk di ruang keluarga. “Kok sepi? Ibu sama Bapak ke mana?” tanya Tirta.“Mereka ada pengajian di komplek sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang.” Lana beranjak. “Aku ambilkan minum.”“Nggak usah.” Tirta menarik tangan Lana. “Di sini aja. Aku nggak haus.”“Tapi, aku tadi buat bakso lho. Serius nggak mau?” Tirta berkedip pelan sebelum tersenyum kecil.“Mau dong. Yang pedes, ya.” Lana terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tirta. Begitu menggelikan.Alih-alih menunggu di ruang kelu
“Aku menemukan cast receipt ini di saku kemeja kerjamu, Mas!” Lana meletakkan sebuah nota bertuliskan nama hotel beserta total nominal uang tercatat di nota tersebut di atas meja. Tepat di depan sang suami. Kamu bisa jelaskan untuk apa kamu menyewa kamar hotel sedangkan kamu pulang setiap hari?”Yoga yang baru saja menyuapkan nasi ke dalam mulutnya itu segera terbatuk karena terkejut. Susah payah menelan makanannya, tetapi justru terasa tersangkut di tenggorokan. Buru-buru, Yoga mengambil minumannya dan menenggaknya sampai tandas hanya untuk mendorong makanannya agar bisa masuk ke dalam lambung. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa diselubungi balok besar dan buntu seketika.Yoga menarik nota tersebut lalu membolak-balikkannya. Ekspresi wajahnya tampak suram dan salah tingkah. Lana menatap suaminya itu dengan tenang meskipun di dalam kepalanya dipenuhi dengan gelegak emosi. Dilihat dari gerak-gerik Yoga, lelaki itu sepertinya tengah mencari jawaban aman.“Itu ….” Lantas Yoga menjawab.
Lana menatap nota hotel itu berulang kali seperti dia baru saja melihat benda itu untuk pertama kalinya. Hari sudah malam, Kaisar sudah tertidur pulas di sampingnya, tetapi Yoga belum juga terlihat batang hidungnya. Lana mengira jika lelaki itu pasti tengah berada di kamar hotel bersama dengan perempuan yang dibawanya tadi.Gigi Lana bergemeletuk mengingat perselingkuhan yang dilakukan oleh sang suami di belakangnya. Tidak pernah menyangka dia akan diperlakukan tidak adil oleh lelaki yang sudah memberinya satu anak tersebut.Menatap jam di dinding kamar Kaisar, sudah pukul delapan malam. Perasaan Lana semakin tidak tenang dan emosi terasa menguap. Dia sudah menahan diri untuk tidak mengeluarkan amarahnya seharian ini karena tidak ingin membuat Kaisar bingung. Memutuskan untuk keluar dari kamar Kaisar setelah dia mengecup pipi putranya tersebut.Hampir pukul sepuluh malam ketika Yoga masuk ke dalam rumah dengan ekspresi terkejut luar biasa. Lelaki itu tersenyum canggung.“Sayang, maaf
“Mbak-nya yakin?”Lana selesai mengatakan rencananya kepada perempuan paruh baya tersebut dan disambut dengan sedikit keterkejutan.“Saya yakin, Bu. Ibu bisa bantu saya, ‘kan?” Lana berucap penuh harap. “Ibu yang ada di sini, saya nggak bisa kalau harus menunggu terus-menerus. Kasihan anak saya kalau saya tinggal terus, Bu.” Lana memohon. “Ibu pegang ini.” Lana mengeluarkan uang dari dalam tasnya kemudian memberikan kepada ibu tersebut. “Saya nggak minta banyak kok, Bu. Hanya yang saya bilang tadi saja.”Lana sudah tidak bisa lagi membiarkan perasaannya diobrak-abrik oleh Yoga. Semakin dia memikirkan obrolan karyawan tadi, semakin dia yakin jika Yoga yang mereka maksud adalah Yoga suaminya.“Baiklah kalau gitu, Mbak. Saya akan menyimpan nomor Mbak. Kita akan kerja sama mulai sekarang.” Sebut saja dia Ibu Titik, perempuan bertubuh tambun itu menyetujui. “Saya akan membantu Mbak Lana.”Lana tersenyum lebar mendengar persetujuan Bu Titik. Kemudian memastikan sekali lagi kepada perempuan
“Nggak usah tegang gitu lah, Mas. Aku juga cuma bercanda.”Lana melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan lurus mengarah Yoga, hanya untuk melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh lelaki itu secara langsung. Raut wajah Yoga yang tadinya tegang pun berangsur hilang digantikan dengan ekspresi datar. Yoga berdehem sebelum kembali menjawab.“Aku hanya nggak mau karena pikiran-pikiran buruk kamu, rumah tangga kita menjadi korban, Lan. Ada banyak kejadian di luar sana, hanya karena dugaan-dugaan tidak berdasar yang dituduhkan oleh pasangan, akhirnya masalah yang sebenarnya tidak ada itu menjadi timbul. Terjadilah pertengkaran. Aku nggak mau itu terjadi. Rumah tangga kita itu udah adem ayem. Jadi, kita harus bisa mempertahankan.”Lana tidak pernah menduga kalau Yoga bisa sepicik itu. Dia menjadi laki-laki yang sempurna bagi Lana. Menyayangi keluarga kecilnya dengan sepenuh hati. Sayangnya, kehadiran perempuan lain membuat lelaki itu berubah. Tujuh tahun mengenal Yoga dan m
“Aku akan transfer kamu aja. Untuk kamu belanja.” Yoga lalu mengotak-atik ponselnya dan tak lama laporan sms muncul di ponsel Lana dengan menunjukkan nominal sejumlah uang.“Dua juta?” tanya Lana cepat, “aku mau lebih, Mas.” Tidak peduli kalau Yoga akan mengamuk, Lana tetap bersuara. “Aku mau setengah dari uang di kartu itu.”Benar, ketika Lana mengutarakan keinginannya, Yoga segera bereaksi cepat. Matanya bahkan melotot penuh dengan keterkejutan. Lelaki itu pasti berpikir kenapa Lana menjadi seperti itu sekarang. Sebelumnya, perempuan itu bahkan selalu meminta Yoga agar berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Tidak boleh terlalu boros, dan tidak perlu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.“Lana, cukup, ya. Cukup!” kata Yoga berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya, “sepertinya kamu memang sedang kelelahan jadinya seperti ini. Sekarang kamu istirahat aja. Aku akan keluar sebentar.”Yoga tampaknya tidak ingin ada pertengkaran yang berlebihan antara dirinya dengan Lana. Dia tak
“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki it
Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipiki
“Dia tidur.” Tirta mengantarkan Kaisar ke kediaman orang tua Lana sambil menggendong bocah itu. Sengaja tidak membangunkannya.“Kan, jadi ngrepotin kamu kalau gini.” Lana membimbing Tirta ke kamar Kaisar agar bisa membaringkannya di kasur. “Dia udah mandi?”Lana baru menyadari kalau pakaian Kaisar sudah berganti. Tadi hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang sudah pakai kaos biasa.Tirta tidak segera menjawab dan memilih untuk keluar kamar Kaisar lebih dulu. Mereka turun ke lantai satu, lalu duduk di ruang keluarga. “Kok sepi? Ibu sama Bapak ke mana?” tanya Tirta.“Mereka ada pengajian di komplek sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang.” Lana beranjak. “Aku ambilkan minum.”“Nggak usah.” Tirta menarik tangan Lana. “Di sini aja. Aku nggak haus.”“Tapi, aku tadi buat bakso lho. Serius nggak mau?” Tirta berkedip pelan sebelum tersenyum kecil.“Mau dong. Yang pedes, ya.” Lana terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tirta. Begitu menggelikan.Alih-alih menunggu di ruang kelu
“Apa kabar, Lan.”Setelah ibunya yang datang, kini Tirta pun muncul setelah tidak pernah lagi menemui Lana. Lelaki itu terlihat masih sama dan tidak ada yang berubah dari penampilannya. Hanya sedikit lebih dewasa dibandingkan terakhir kali Lana melihat Tirta.“Tirta.” Lana sedikit terkejut melihat lelaki itu yang kini berdiri di depannya. Dia baru saja datang ke sebuah kafe ketika Tirta muncul. “Lama nggak ketemu. Kabarku baik, kamu gimana?”“Aku juga baik.” Lelaki itu mengulas senyum kecil. Tatapan mereka beradu dan getaran di dada itu tak bisa dipungkiri, jika rasa cinta yang dimiliki oleh Tirta memang begitu besar.Lana mengajak Tirta untuk masuk ke dalam kafe agar mereka bisa mengobrol di sana. Lana memesan dua cangkir kopi dan dua cake coklat untuk dirinya dan Tirta. Untuk beberapa saat, tidak ada yang mereka bicarakan. Tirta bahkan sama sekali tidak mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ada di depannya seolah dia tengah menumpahkan segala rasa rindunya yang sudah lama dipen
“Maaf kalau membuat kamu terkejut, Lana. Saya datang tiba-tiba,” lanjut perempuan paruh baya dengan senyum lembutnya tersebut.Lana dan perempuan paruh baya tersebut sudah duduk berhadapan di salah satu meja meninggalkan Yoga di meja yang berbeda. Lana sebenarnya juga penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh perempuan paruh baya tersebut. Ini adalah untuk pertama kalinya Lana bertemu denganya, tetapi seperti ada hal yang sangat serius yang ingin disampaikan.“Tidak masalah, Tante. Kalau boleh tahu, apa yang ingin Tante bicarakan?”Perempuan paruh baya itu menyodorkan tangannya dan diterima oleh Lana. “Saya Tari. Ibu Tirta,” katanya.Sedikit terkejut, Lana mengangguk kecil. “Saya Lana.”Ibu Tirta itu tersenyum menatap sosok cantik yang ada di depannya. Perempuan paruh baya itu menatap Lana seolah tengah memuji ibu Kaisar itu dengan tatapannya.“Pantas saja kalau Tirta sangat mencintai kamu. Kamu ternyata sangat cantik, Lana.”Lana semakin terkejut dengan ucapan terus terang Tari.
Ruko dua tingkat dihadiahkan sang ayah untuk Lana. Mereka bilang agar Lana punya tempat untuk bekerja. Jika ada klien, mereka hanya perlu datang ke kantornya dan tidak perlu ke sana-kemari.“Ibu dan Ayah itu lihat kamu capek banget. Jadi, meskipun kecil, kamu harus memiliki kantor sendiri.”Begitu ibu Lana mengatakan kepada putrinya ketika mengajak mengurus sertifikat bangunan tersebut atas namanya. Lana sudah ditawari oleh kedua orang tuanya untuk membuat kantor sendiri, tetapi Lana terus saja menolak. Maka tanpa sepengetahuan Lana, ayahnya bertindak.Membelikan ruko di tengah kota yang ramai, mereka berharap Lana bisa mudah mendapatkan klien. Bagaimanapun, Lana adalah perempuan berbakat dengan hasil kerja yang selalu memuaskan.“Sebenarnya Ayah dan Ibu nggak perlu melakukan semua ini. Aku lagi ngumpulin uang untuk buat kantor sendiri.”“Kenapa harus kumpulin uang kalau ayahmu ini punya banyak duit?” Itu sebenarnya keseriuasan yang dibalut dengan candaan. Mau tak mau, itu membuat Lan
“Hai.”Lana menoleh dan mendapati Tirta ada di belakangnya. Lana tersenyum kecil membalas senyuman Tirta.“Dari mana?” tanya Lana sambil menerima minuman yang disodorkan oleh penjual.Lana sekarang benar-benar menikmati waktunya seperti dia adalah perempuan lajang yang tidak memiliki tanggungan anak. Dia hanya ingin mencoba untuk menggantikan waktu masa mudanya yang telah hilang.“Dari kantor. Nggak sengaja lihat kamu.”Tirta duduk di samping Lana. Mencomot satu risoles lalu memasukkan ke dalam mulutnya sebelum mengunyahnya.“Mau aku pesankan minum?” tanya Lana.“Boleh. Tapi nggak usah pakai boba. Geli lihat hitam-hitam bulat begitu.”Lana hanya terkekeh mendengar ucapan Tirta sebelum kembali berdiri dan memesankan minum untuk lelaki itu. “Rasa moca ya?” Lana menoleh menatap Tirta.“Iya.”Akhir-akhir ini, Tirta intens mendekati Lana. Tidak henti-hentinya dia mengambil kesempatan agar Lana benar-benar merasakan ketulusan hatinya. Tentu dia tak mendesak karena tahu Lana belum siap mener
“Kamu nggak perlu menghindariku, Lan.”Langkah Lana terhenti ketika mendengar suara Tirta dari arah belakang. Perempuan itu menyadari keberadaan Tirta ketika dia mengambil langkah cepat. Berusaha agar tidak perlu beramah tamah dengan lelaki itu. Sayangnya, dia tetap ketahuan.“Aku sudah pernah bilang sama kamu kalau kamu nggak perlu memikirkan tentang ucapanku tempo hari.”Tirta kini berdiri di depan Lana untuk melihat perempuan cantik itu dengan jelas. Mereka sama-sama baru saja meeting bersama dengan klien mereka masing-masing yang kebetulan berada di restoran yang sama.Lana menatap Tirta dalam sebelum dia menjawab, “Tir, kenapa kamu kemarin ke rumah nggak bilang-bilang dulu sama aku?”Tirta tersenyum kecil. “Mau mengobrol sebentar? Kebetulan aku sudah selesai meeting. Jangan bicara sambil berdiri begini, takutnya kamu capek.”Jika Lana tidak mengenal Tirta sebelumnya, dia pasti akan menganggap lelaki itu hanya mencari perhatian saja kepadanya. Nyatanya, Lana masih ingat betul baga
“Setelah kamu memperburuk suasana, kamu masih berani mengatakan itu kepadaku? Kamu benar-benar tidak punya malu.” Yoga membentak Ratri dengan mata melotot. “Aku dulu mengatakan untuk menjelaskan kepada Lana agar aku bisa kembali sama dia. Lalu apa yang kamu lakukan!”Yoga tidak bisa menahan amarahnya yang sudah melambung begitu tinggi. Seharusnya dia bisa menggagalkan keputusan Lana seandainya Ratri tidak mengatakan dusta kepada perempuan itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Yoga. Kini semua benar-benar hancur. Sebelum ini, Yoga merasa semua ini memang pure kesalahannya, tetapi Ratri juga ikut andil memperkeruh keadaan.“Kenapa Mas menyalahkan aku?” Ratri balas membentak Yoga. “Kalau ada yang patut disalahkan dalam hubungan kita, itu adalah Mas sendiri. Kenapa Mas menjadi laki-laki mata keranjang, lalu melakukan sesuatu denganku.”“Karena kamu menggodaku! Kalau kamu tidak bersikap seperti gadis murahan, semua ini tidak akan terjadi.”“Apa kamu bilang, Mas? Aku seperti gadis mura
“Tadi Tirta datang ke sini.”Ibu Lana memberitahukan kepada putrinya tentang kedatangan Tirta ke rumah mereka karena sampai waktu yang ditunggu, Lana tidak kunjung pulang. Kaisar benar-benar mengajak pergi ke tempat-tempat yang dia mau seolah tidak ingin dibantah. Lana tentu saja menuruti dan merasa kalau harus mengganti waktunya yang terkadang habis untuk bekerja. Meskipun dia bekerja di rumah, dia juga harus bertemu dengan klien. Meninjau lokasi, serta membicarakan banyak hal tentang sebuah pembangunan yang akan dilakukan.“Lho. Kenapa, Bu?” tanya Lana tampak penasaran. “Dia nggak ada hubungi aku kalau memang ada pekerjaan yang harus aku kerjakan.”“Dia datang bukan untuk pekerjaan.” Sang ayah menimpali. “Dia, melamar kamu langsung kepada Ayah dan Ibu.”Sontak saja hal itu membuat Lana terkejut luar biasa. Matanya berkedip pelan, tetapi semua kata yang dimiliki seolah hilang tanpa bekas. Tirta sungguh serius ingin bersamanya. Setelah menembak langsung kepadanya, kini dia menunjukkan
“Ternyata benar, kamu punya hubungan dengan lelaki yang pernah aku temui waktu itu.”Tidak ada angin tidak ada hujan, Yoga tiba-tiba memberikan tuduhan kepada Lana. Lelaki itu bahkan baru saja datang ke kediaman orang tua Lana dengan alasan untuk bertemu dengan Kaisar.Lana yang akan masuk ke dalam mobilnya itu urung hanya untuk memberikan sedikit perhatian kepada Yoga. Lelaki itu sudah menatap sang mantan istri itu dengan tatapan menyelidik.“Siapa yang Mas maksud?” tanya Lana santai.“Yang di restoran saat itu.” Yoga segera menjawab dengan cepat.Lana bisa segera menangkap siapa yang dimaksud oleh Yoga. Namun, Lana harus menahan Yoga agar lelaki itu tidak ikut campur lagi dengan urusannya. Mereka sekarang tidak memiliki ikatan apa pun yang membuat Lana harus menjelaskan tentang semua itu.“Dia temanku.”“Dia bilang dia mencintaimu.” Yoga keceplosan. Sudah kepalang tanggung, Yoga tidak akan menarik lagi ucapannya.“Lalu kenapa kalau dia mencintaiku?” Lana bertanya datar. “Semua orang