Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.
“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”
“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”
“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.
Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.
“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”
Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipikir Yoga, Lana akan mundur hanya dengan gertakannya. Tentu saja tidak. Lana sudah menyiapkan semuanya sebelum dia mengambil keputusan.
“Lan, gimana? Suami kamu nggak kasih izin, lho.” Randi bersuara lebih dulu untuk memastikan.
“Nggak papa. Terusin aja. Aku yang mau beli, bukan dia. Jadi gimana? Indennya berapa bulan?”
Lana berusaha untuk tidak terpengaruh atas apa pun yang terjadi. Niatnya sekarang hanya satu, mempersiapkan hal buruk terjadi pada rumah tangganya.
“Kalau yang itu, di showroom udah ada. Jadi kalau selesai pembayarannya, kami bisa langsung antar mobilnya.”
Mendengar itu, tentu saja membuat senyum Lana merekah lebar. Akhirnya, dia sebentar lagi akan memiliki mobilnya sendiri. Setelah memastikan hal-hal lain, Randi pulang meninggalkan rumah Lana.
Masuk ke dalam ruang keluarga, Lana mendapati Yoga tengah bersama dengan Kaisar. Putranya itu tengah fokus dengan buku mewarnai, sedangkan Yoga segera menatap Lana dengan tatapan tajam. Lana bahkan tidak merasa gentar dengan tatapan suaminya dan justru dengan santai duduk di samping Kaisar.
“Kai, nanti sore jalan-jalan sama Bunda ya. Bunda mau belikan Kaisar sepatu baru.” Begitu katanya sambil mencium pipi putranya.
“Soalnya semalam kita nggak jadi jalan-jalan, ya, Bun?” Bocah itu ternyata ingat tentang kejadian semalam.
“Benar. Gantinya nanti sore aja. Kita ke mal berdua.”
Kaisar mengangguk dan meneruskan menekuni bukunya. Untuk beberapa saat, ruangan itu terasa mencekam. Hanya terdengar detik jam dan suara beradunya pensil warna dengan buku Kaisar. Lana tahu jika suaminya tengah menatapnya, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya.
Yoga tak tahan, dia menarik Lana untuk diajak bicara. Lana tidak menolak dan mereka masuk ke dalam kamar. Yoga melepaskan tangan Lana setelah menutup pintu kamarnya. Alih-alih segera berbicara, Yoga justru menatap Lana dengan kesal. Aura hitam seolah tengah menguar dari dalam tubuhnya.
“Kamu tahu kalau kamu sekarang berubah, Lana?” tanya Yoga mengawali, “aku tidak menemukan Lana yang biasanya. Kamu sekarang menjadi susah dibilangin dan keras kepala. Seolah kamu memiliki kebenaranmu sendiri! Kenapa? Kenapa kamu menjadi seperti ini Lana?”
Lana diam. Dia memilih menatap Yoga dengan intens seolah dia baru saja mengenal lelaki itu. Ingatan kejadian semalam pun muncul di dalam kepalanya, mematik percikan amarah. Lana menarik napas panjang berusaha mengenyahkan segala keinginan untuk memaki sang suami.
“Mas juga berubah sekarang,” ucap Lana dengan tenang, “aku juga nggak menemukan Mas Yoga yang biasanya. Mas sekarang lebih suka berada di luar rumah dibandingkan menemani istri dan anak. Kenapa? Kenapa Mas menjadi seperti ini?”
Lana mengikuti ucapan Yoga. Tidak bisa disembunyikan ekspresi terkejut lelaki itu. Yoga bahkan menelan ludahnya, terlihat jakunnya naik turun.
“Aku lebih banyak di luar karena aku kerja, Lan. Aku lembur. Aku juga sudah menjelaskan kalau tanggung jawabku sekarang lebih besar.” Lelaki berambut cepak itu berkilah.
“Tentu saja aku percaya. Bahkan sampai menginap di hotel saking lelahnya.” Lana kembali mengangkat topik tentang nota hotel yang mana itu adalah bukti akurat. “Mas, kamu percaya kalau insting seorang istri itu sangat kuat?” tanya Lana lembut, “kamu bisa berkilah dan menyembunyikan apa pun di belakangku. Tapi di sini ….” Lana menunjuk dadanya. “Tidak bisa dibohongi.”
Yoga semakin salah tingkah. Dia tentu tak ingin perbuatan bejatnya itu diketahui oleh sang istri. Dia tak bisa kehilangan istrinya, tetapi dia juga masih ingin bersama dengan selingkuhannya.
“Tentang mobil itu. Tenang saja, aku hanya akan mengambil sedikit uangmu. Hanya sedikit.” Begitu kata Lana menegaskan.
“Jadi, semua ini karena nota hotel itu?” Yoga terkekeh kecil. “Kamu udah nggak percaya lagi sama aku, Lana?”
“Pertanyaan yang sama aku berikan kepada, Mas. Kalau Mas mendapatkan nota hotel atas namaku di dalam tasku, apa Mas masih bisa percaya sama aku?” Tantang Lana dengan berani. Perempuan berambut sebahu itu balik bertanya. “Ditambah lagi, semalam Mas juga nggak pulang. Apa sebagai seorang istri aku nggak boleh curiga?”
Yoga benar-benar menelan semua kata-katanya. Ada kebimbangan besar yang tampak di matanya. Dia seperti ingin mencari celah untuk berkilah, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Sebelum Mas melakukan sesuatu di belakangku, coba pikirkan kalau Mas ada di posisiku. Dengan begitu, Mas tidak akan pernah berani melakukannya.”
Lana menyudahi ucapannya dengan senyuman penuh arti. Pergi meninggalkan kamar untuk kembali menemani putranya yang ada di ruang keluarga. Jika Lana ditanya apakah dia akan memaafkan suaminya karena perselingkuhan ini, maka jawabannya tidak. Terlebih lagi, lelaki itu bukan hanya berkenca biasa, tetapi sudah sampai pada zina.
Lana tidak ingin mengambil resiko tetap mempertahankan lelaki itu di sisinya. Siapa yang akan menduga kalau suaminya akan tetap ‘bersih’ dan tidak terjangkit penyakit. Bahkan hanya dengan membayangkan saja, Lana merasa jijik luar biasa.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Namun, tentu semua sudah berubah. Hubungan Lana dan Yoga tidak lagi sama. Bahkan ketika mobil yang Lana beli sudah datang pun, Yoga memilih tidak berkomentar. Lana pun juga tampak sibuk dengan aktivitasnya setiap hari. Ketika Yoga pulang, Lana selalu terlihat fokus di depan laptopnya.
“Mas sepertinya akhir-akhir nggak semangat, ada apa?” Suatu hari, Yoga mendapatkan pertanyaan itu dari Ratri. Mereka tengah berada di rumah kontrakan Ratri dan saling memeluk di atas ranjang.
“Lana sepertinya tengah curiga tentang hubungan kita, Rat.” Yoga menjawab dengan suara lemah. “Akhir-akhir ini, sikapnya berbeda jauh denganku.”
Napas Ratri tertarik panjang. Terdengar tidak senang dengan pembahasan yang diangkat. “Kita lagi berdua sekarang, Mas. Jangan bahas orang lain.” Ketus sekali suaranya. “Istri Mas itu kan bukan perempuan pengalaman. Jadi santai aja lah, Mas. Nggak perlu takut.”
“Aku sangat mencintai dia, Rat. Aku nggak mau kehilangan dia.”
Reaksi Ratri cepat ketika mendengar jawaban yang diberikan oleh Yoga. Perempuan itu bangun dari baringnya sambil menggennggam selimut yang menutupi tubuhnya.
“Mas, ada aku di sini. Kalau Mas kehilangan dia, aku yang akan menggantikannya!”
***
Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berj
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-
Lana berdiri di depan pintu sambil menatap suaminya dalam diam. Seulas senyum terbit di bibirnya melihat kegugupan yang lelaki itu tunjukkan. Ponselnya yang ada di genggaman Yoga masih tersambung panggilan dengan orang di seberang sana. Lana tidak terburu-buru ketika mendekat ke arah Yoga yang wajahnya sudah pucat pasi.Tangan Lana menengadah. “Bisa aku lihat hp-nya, Mas?” tanya Lana dengan lembut. Tidak ada sedikitpun amarah yang ditunjukkan. Inilah cara Lana bertahan dalam kurungan rasa sakit yang membelenggunya. Ketika dia berteriak dan memaki sang suami dengan kata kasar, dia justru akan terperosok dalam kubangan kesedihan yang terdalam.Bukan tidak mungkin kalau Yoga justru akan menertawakannya karena sakit yang dirasakan. Tentu saja Lana tidak akan bersedia menjadi bahan lelucon suaminya.“Mas!” Lana mengulangi. “Bisa aku lihat hp-nya?”Lana kini memfokuskan matanya pada ponsel sang suami yang sudah gelap. Yoga menggeleng keras. “Nggak ada apa-apa di sini, Sayang. Aku tadi ….”“
“Sepertinya, istriku sudah tahu tentang hubungan kita.” Tidak tahan dengan kebingungan yang dirasakan di dalam hatinya, Yoga pada akhirnya berbicara kepada Ratri ketika jam makan siang.Mereka memilih pergi makan siang di tempat yang lumayan jauh dari kantor agar tidak ada orang yang mencurigainya. Bahkan saat di restoran pun, mereka mengambil tempat di sudut ruangan untuk menghindari pengunjung lain yang mungkin mengenali mereka.“Mas takut?” tanya Ratri tampak tidak terpengaruh, “aku rasa, selama dia nggak menyebutkan dengan gamblang, maka nggak perlu khawatir.” Perempuan itu menarik tangan Yoga untuk digenggamnya. “Kalau memang pada akhirnya kita ketahuan, aku berjanji aku bersedia menghadapi hal buruk yang terjadi.”Ratri sudah dibutakan oleh cinta yang diobral oleh Yoga kepadanya. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dari seorang lelaki yang berselingkuh dengannya. Baginya, mungkin itu bukan hal besar. Dia pasti sudah yakin bisa mendampingi Yoga jika seandainya is
“Apa kamu bilang? Rumah tangga kita tidak baik-baik saja? Kalau kamu seperti ini terus, jelas rumah tangga kita akan berantakan!” Yoga mendesis sinis mendengar ucapan Lana yang baginya sudah kelewat batas.Alih-alih menanggapi, Lana justru melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Sorry, Mas. Aku harus pergi. Masih ada klien yang harus aku temui hari ini. Kalau mau bahas rumah tangga, nanti aja kalau udah di rumah. Lagian, udah waktunya Mas balik ke kantor, ‘kan? Udah kelewat jam makan siang, lho, ini.”Barang-barang lana sudah dimasukkan ke dalam tas sepenuhnya dan dia siap untuk pergi. Namun, Yoga menahan tangan perempuan itu. “Berhentilah, Lana. Aku mohon!”Lana melepaskan cekalan tangan Yoga sedikit kasar, sembari memberikan tatapan penuh peringatan. “Aku baru mengawali, Mas. Terlalu cepat kalau aku harus mengakhiri.”Setelah mengatakan itu, Lana memilih pergi dari restoran tersebut meninggalkan Yoga yang sedikit mematung di tempatnya. Ketika kesadarannya kembali, lelaki itu
Yoga melemparkan kunci mobilnya ketika dia baru saja sampai di kontrakan Ratri. Ekspresinya menggelap dengan tumpukan amarah di wajahnya. Ratri yang sejak tadi memasang senyum lebar karena kedatangan sang kekasih itu seketika menjerit.“Mas kenapa sih?” tanyanya bingung, “kenapa harus lempar-lempar barang!”Alih-alih menjawab, Yoga malah menendang sofa yang ada di depannya. Tangannya meremas rambutnya sebelum mengacaknya menjadi berantakan. Ratri diam menatap Yoga dengan sedikit rasa khawatir. Ini adalah untuk pertama kalinya dia melihat Yoga kehilangan kendali dirinya. Amarah itu terlihat jelas dalam bola matanya.Ratri berdiri, dia mendekati Yoga, mengelus punggung lelaki itu dengan lembut. “Mas, ada apa?” tanyanya lagi, “kalau ada masalah, Mas bisa bilang sama aku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi.”“Lana sudah keterlaluan.” Yoga menjawab cepat. “Dia benar-benar sudah berubah. Keputusan yang ada di rumah, dia bahkan tidak melibatkanku.” Yoga menatap Ratri masih dengan kobaran
“Kamu selalu menuduhku yang tidak-tidak, Lana. Atau sebenarnya kamu sendiri yang selingkuh, tapi kamu justru yang memutar balikkan fakta.”Yoga tidak terima Lana menuduhnya berselingkuh meskipun memang kenyataannya itu bukan hanya tuduhan melainkan kebenaran yang hakiki.“Oh, atau jangan-jangan lelaki yang waktu itu adalah orangnya karena itu kamu sekarang berubah?” Yoga semakin marah. “Lana, apa yang sebenarnya kurang dariku?” tanyanya tak tahu diri, “aku pikir selama ini aku menjadi suami yang bisa kamu andalkan. Kamu mencari lelaki yang seperti apa lagi, Lana?”Lana memilih tidak menanggapi dan berlalu begitu saja. Lagi-lagi dia akan tidur dengan putranya, berhadapan dengan Yoga terlalu lama hanya akan membuat darahnya naik dan menjadi emosi. Kalaupun dia akan mengatakan kalau dia tahu tentang perselingkuhan Yoga dengan Ratri, itu tidak sekarang. Namun, ketika mereka bersama-sama supaya lebih seru.Pagi ini Lana sudah tidak lagi memasak. Urusan rumah tangga sudah diambil alih oleh
“Jadi, sekarang Mbak Lana benar-benar udah nggak ngurus kebutuhan Mas lagi?”Yoga baru saja mengadukan perlakukan Lana kepada Ratri. Mereka kini berada di rumah kontrakan Ratri dan tengah menikmati makan malam berdua.“Mas apa nggak curiga dengan Mbak Lana? Bisa saja dia punya laki-laki lain di luar sana. Kalau nggak, dia nggak akan berubah secepat itu.” Ratri mulai mencuci otak Yoga dengan kata-katanya.“Aku juga berpikiran hal yang sama. Lana sebelumnya nggak seperti ini. Aku memberinya jatah kecil bukan karena apa-apa, tetapi karena aku ingin membuat dia jera. Sayangnya hal itu nggak ngaruh sama sekali buat dia.”Geraman itu terlihat di wajah Yoga. Ekspresi lelaki itu sangat keruh dan penuh amarah. Membicarakan masalahnya dengan Lana hanya akan membuat pikirannya kesal luar biasa. Yoga masih tidak menyadari jika Lana melakukan semua itu karena dirinya. Lana pasti akan tetap menjadi istri penurut dan tidak banyak tingkah jika Yoga juga melakukan hal yang sama.“Sudahlah, Mas. Mulai