Share

Part 7. Sikap Istri yang Berubah

Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.

“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”

“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”

“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.

Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.

“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”

Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipikir Yoga, Lana akan mundur hanya dengan gertakannya. Tentu saja tidak. Lana sudah menyiapkan semuanya sebelum dia mengambil keputusan.

“Lan, gimana? Suami kamu nggak kasih izin, lho.” Randi bersuara lebih dulu untuk memastikan.

“Nggak papa. Terusin aja. Aku yang mau beli, bukan dia. Jadi gimana? Indennya berapa bulan?”

Lana berusaha untuk tidak terpengaruh atas apa pun yang terjadi. Niatnya sekarang hanya satu, mempersiapkan hal buruk terjadi pada rumah tangganya.

“Kalau yang itu, di showroom udah ada. Jadi kalau selesai pembayarannya, kami bisa langsung antar mobilnya.”

Mendengar itu, tentu saja membuat senyum Lana merekah lebar. Akhirnya, dia sebentar lagi akan memiliki mobilnya sendiri. Setelah memastikan hal-hal lain, Randi pulang meninggalkan rumah Lana.

Masuk ke dalam ruang keluarga, Lana mendapati Yoga tengah bersama dengan Kaisar. Putranya itu tengah fokus dengan buku mewarnai, sedangkan Yoga segera menatap Lana dengan tatapan tajam. Lana bahkan tidak merasa gentar dengan tatapan suaminya dan justru dengan santai duduk di samping Kaisar.

“Kai, nanti sore jalan-jalan sama Bunda ya. Bunda mau belikan Kaisar sepatu baru.” Begitu katanya sambil mencium pipi putranya.

“Soalnya semalam kita nggak jadi jalan-jalan, ya, Bun?” Bocah itu ternyata ingat tentang kejadian semalam.

“Benar. Gantinya nanti sore aja. Kita ke mal berdua.”

Kaisar mengangguk dan meneruskan menekuni bukunya. Untuk beberapa saat, ruangan itu terasa mencekam. Hanya terdengar detik jam dan suara beradunya pensil warna dengan buku Kaisar. Lana tahu jika suaminya tengah menatapnya, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya.

Yoga tak tahan, dia menarik Lana untuk diajak bicara. Lana tidak menolak dan mereka masuk ke dalam kamar. Yoga melepaskan tangan Lana setelah menutup pintu kamarnya. Alih-alih segera berbicara, Yoga justru menatap Lana dengan kesal. Aura hitam seolah tengah menguar dari dalam tubuhnya.

“Kamu tahu kalau kamu sekarang berubah, Lana?” tanya Yoga mengawali, “aku tidak menemukan Lana yang biasanya. Kamu sekarang menjadi susah dibilangin dan keras kepala. Seolah kamu memiliki kebenaranmu sendiri! Kenapa? Kenapa kamu menjadi seperti ini Lana?”

Lana diam. Dia memilih menatap Yoga dengan intens seolah dia baru saja mengenal lelaki itu. Ingatan kejadian semalam pun muncul di dalam kepalanya, mematik percikan amarah. Lana menarik napas panjang berusaha mengenyahkan segala keinginan untuk memaki sang suami.

“Mas juga berubah sekarang,” ucap Lana dengan tenang, “aku juga nggak menemukan Mas Yoga yang biasanya. Mas sekarang lebih suka berada di luar rumah dibandingkan menemani istri dan anak. Kenapa? Kenapa Mas menjadi seperti ini?”

Lana mengikuti ucapan Yoga. Tidak bisa disembunyikan ekspresi terkejut lelaki itu. Yoga bahkan menelan ludahnya, terlihat jakunnya naik turun.

“Aku lebih banyak di luar karena aku kerja, Lan. Aku lembur. Aku juga sudah menjelaskan kalau tanggung jawabku sekarang lebih besar.” Lelaki berambut cepak itu berkilah.

“Tentu saja aku percaya. Bahkan sampai menginap di hotel saking lelahnya.” Lana kembali mengangkat topik tentang nota hotel yang mana itu adalah bukti akurat. “Mas, kamu percaya kalau insting seorang istri itu sangat kuat?” tanya Lana lembut, “kamu bisa berkilah dan menyembunyikan apa pun di belakangku. Tapi di sini ….” Lana menunjuk dadanya. “Tidak bisa dibohongi.”

Yoga semakin salah tingkah. Dia tentu tak ingin perbuatan bejatnya itu diketahui oleh sang istri. Dia tak bisa kehilangan istrinya, tetapi dia juga masih ingin bersama dengan selingkuhannya.

“Tentang mobil itu. Tenang saja, aku hanya akan mengambil sedikit uangmu. Hanya sedikit.” Begitu kata Lana menegaskan.

“Jadi, semua ini karena nota hotel itu?” Yoga terkekeh kecil. “Kamu udah nggak percaya lagi sama aku, Lana?”

“Pertanyaan yang sama aku berikan kepada, Mas. Kalau Mas mendapatkan nota hotel atas namaku di dalam tasku, apa Mas masih bisa percaya sama aku?” Tantang Lana dengan berani. Perempuan berambut sebahu itu balik bertanya. “Ditambah lagi, semalam Mas juga nggak pulang. Apa sebagai seorang istri aku nggak boleh curiga?”

Yoga benar-benar menelan semua kata-katanya. Ada kebimbangan besar yang tampak di matanya. Dia seperti ingin mencari celah untuk berkilah, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

“Sebelum Mas melakukan sesuatu di belakangku, coba pikirkan kalau Mas ada di posisiku. Dengan begitu, Mas tidak akan pernah berani melakukannya.”

Lana menyudahi ucapannya dengan senyuman penuh arti. Pergi meninggalkan kamar untuk kembali menemani putranya yang ada di ruang keluarga. Jika Lana ditanya apakah dia akan memaafkan suaminya karena perselingkuhan ini, maka jawabannya tidak. Terlebih lagi, lelaki itu bukan hanya berkenca biasa, tetapi sudah sampai pada zina.

Lana tidak ingin mengambil resiko tetap mempertahankan lelaki itu di sisinya. Siapa yang akan menduga kalau suaminya akan tetap ‘bersih’ dan tidak terjangkit penyakit. Bahkan hanya dengan membayangkan saja, Lana merasa jijik luar biasa.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Namun, tentu semua sudah berubah. Hubungan Lana dan Yoga tidak lagi sama. Bahkan ketika mobil yang Lana beli sudah datang pun, Yoga memilih tidak berkomentar. Lana pun juga tampak sibuk dengan aktivitasnya setiap hari. Ketika Yoga pulang, Lana selalu terlihat fokus di depan laptopnya.

“Mas sepertinya akhir-akhir nggak semangat, ada apa?” Suatu hari, Yoga mendapatkan pertanyaan itu dari Ratri. Mereka tengah berada di rumah kontrakan Ratri dan saling memeluk di atas ranjang.

“Lana sepertinya tengah curiga tentang hubungan kita, Rat.” Yoga menjawab dengan suara lemah. “Akhir-akhir ini, sikapnya berbeda jauh denganku.”

Napas Ratri tertarik panjang. Terdengar tidak senang dengan pembahasan yang diangkat. “Kita lagi berdua sekarang, Mas. Jangan bahas orang lain.” Ketus sekali suaranya. “Istri Mas itu kan bukan perempuan pengalaman. Jadi santai aja lah, Mas. Nggak perlu takut.”

“Aku sangat mencintai dia, Rat. Aku nggak mau kehilangan dia.”

Reaksi Ratri cepat ketika mendengar jawaban yang diberikan oleh Yoga. Perempuan itu bangun dari baringnya sambil menggennggam selimut yang menutupi tubuhnya.

“Mas, ada aku di sini. Kalau Mas kehilangan dia, aku yang akan menggantikannya!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status