Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”
Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.
“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.
“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.
“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”
Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berjalan sejauh ini.
“Mas!” panggil Ratri.
“Kalau kamu ingin hubungan kita berlanjut, kamu harus bisa mencegah hal itu terjadi. Lagi pula, aku juga sudah menggunakan pengaman. Aku rasa, akan aman.”
“Mas nggak mau punya anak dariku?”
Jawaban pun tak serta diberikan oleh Yoga atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Ratri. Sejak dia berhubungan dengan perempuan itu, tidak sekalipun terbersit di dalam pikiran untuk melangkah sampai sejauh itu. Di hatinya tetaplah Lana dan dia hanya akan memiliki anak dari istri sahnya, sedangkan Ratri hanyalah cadangan.
“Jangan bahas ini lagi.” Yoga menghindari pertanyaan Ratri. “Kita sudah sepakat untuk tidak melangkah sampai sejauh itu. Kita nikmati saja hubungan ini berdua dan tidak perlu melibatkan orang lain.”
Yoga beranjak dari kasur, memungut pakaiannya yang berserakan di atas lantai sebelum memakainya. Setelanya baru dia kembali menatap Ratri yang masih bungkam seribu bahasa.
“Rat, aku sayang sama kamu. Aku juga mencintai istri dan anakku. Aku nggak mau kehilangan kamu atau keluarga kecilku. Jadi, tolong jangan menuntutku lebih. Kamu juga sadar kalau kita akan sulit bersama.”
“Lalu akan sampai kapan, Mas?” tanya Ratri cepat, “apa kita akan terus menutup hubungan kita? Mas, aku benar-benar cinta sama Mas karena itulah aku bersedia berhubungan dengan Mas dengan cara seperti ini. Tapi, aku juga mau diakui!” Ratri tampaknya sudah menginginkan posisi yang menjanjikan di sisi Yoga.
Mungkin dia juga mulai tak nyaman dengan hubungan sembunyi-sembunyi yang dijalani dengan lelaki itu.
“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun kepadamu, Rat. Jujur, aku nggak bisa kehilangan kalian.”
Yoga mengelus surai hitam Ratri dengan penuh sayang sebelum dia memeluk perempuan itu dengan erat. “Kita jalani saja semua dengan santai tanpa terburu-buru, Rat. Aku janji aku akan memperlakukanmu dengan baik. Kamu tidak perlu takut atas apa pun, selama kita bisa bermain cantik, tidak akan ada orang yang tahu tentang kita. Kalau sudah saatnya nanti, aku akan menjadikan kamu milikku seutuhnya.”
“Mas nggak bohong, ‘kan?” Ratri menyandarkan kepalanya di dada Yoga dengan nyaman. “Aku akan bertahan di sisi, Mas. Aku juga nggak mau kehilangan Mas.”
Yoga mengangguk memastikan jika semua janji yang sudah dilontarkan kepada Ratri pasti akan dipenuhi. Lelaki itu terbuai dengan perasaannya kepada Ratri tanpa tahu jika istrinya tengah berjuang untuk menendangnya dari hidupnya.
***
“Sayang …!” ucapan Yoga terhenti ketika dia melihat ada lima teman kantornya datang ke rumahnya.
Mereka duduk melingkar di karpet bulu sambil memakan hidangan yang disuguhkan di tengah-tengah mereka. Tadinya, Yoga tidak mengerti kenapa ada dua mobil yang sangat dikenalnya terparkir di depan rumahnya. Suara obrolan pun terdengar dari dalam rumah. Setelah dia melihat ada tamu yang datang, tentu saja dia merasa terkejut luar biasa. Yang ada di dalam benaknya sekarang pastilah, bagaimana mereka bisa datang ke rumahnya?
Yoga bingung sampai dia tak bisa mengeluarkan kata-katanya. Beruntung, Lana mendekat sambil memasang senyum lebar.
“Mas kok baru pulang. Teman-teman Mas udah sampai dari tadi.”
Yoga menatap teman-temannya penuh dengan kebingungan. Namun, karena mereka tidak tahu apa-apa, tentu mereka mulai bersuara satu per satu.
“Mas Yog, terima kasih lho udah diundang makan malam. Karena Mas Yoga tadi sepertinya ada urusan, makanya kami kesini lebih dulu.”
“Aku tadi juga sedikit kaget lho waktu dapat undangan untuk makan malam di rumah Mas Yoga. Akhirnya kita bisa tahu rumah dan kenal juga sama Mbak Lana dan Kaisar.”
“Tapi, Mbak Lan, ada satu lagi orang yang ada di divisi kita, lho.”
“Oh, ya?” Lana pura-pura tidak tahu. “Kok bisa ketinggalan gitu sih nggak diundang?”
“Iya, Mbak. Namanya Ratri. Dia karyawan baru juga sih. Kayaknya Bu Titik tadi kelupaan nggak bilang sama dia.”
Lana dalam hati tertawa melihat betapa kusutnya wajah Yoga melihat kejutan yang diberikan. Dia selama ini bisa menyembunyikan keluarganya semuanya dari orang-orang, bahkan tidak pernah membawa teman-teman kantornya untuk datang ke rumah. Namun, Lana bisa mendatangkan mereka dengan caranya sendiri.
“Mas Yoga udah makan malam?” tanya Lana setelah Yoga duduk dan bergabung bersama teman-temannya di atas karpet. “Ayo, makan dulu. Lauknya masih banyak itu.”
“Mbak Lana ini sepertinya tipe perempuan hebat ya. Sudahlah cantik, pinta masak pula.” Pujian yang dilontarkan oleh salah satu teman lelaki Yoga itu membuat Yoga merasa kesal.
Jadi, ada tiga laki-laki dan dua perempuan yang datang di rumah Lana malam ini. Mereka semua tentu saja satu divisi dengan Yoga. Lana dengan sengaja meminta kepada Bu Titik untuk mengundang mereka tentu dengan alasan yang sudah dibuat-buat. Kedatangan teman-teman kantor Yoga adalah bagian dari rencana Lana untuk menguak fakta yang disembunyikan oleh Yoga.
“Semua butuh proses, Mas. Udah nikah lama dan dulu nikah muda juga. Jadi, ya, belajar terus untuk jadi ibu rumah tangga yang baik.” Yoga sejak tadi hanya diam itu tampak terganggu sebenarnya, tetapi dia menahannya.
“Oh, ya, Mas Ifan. Kemarin maaf ya kalau udah nyusahin.”
“Nyusahin apa, Mbak?” tanya Ifan tidak mengerti.
“Waktu Mas Yoga nginap di rumah Mas Ifan sehabis acara futsal itu lho. Malam minggu kemarin ‘kan Mas-mas semua hangout bareng, kan? Hampir saja kemarin saya marah karena Mas Yoga nggak pulang ke rumah.”
Seketika, atmosfer di sekitar mereka terasa membeku. Ifan yang merasa tidak pernah menampung Yoga untuk tidur di rumahnya pun tampak bingung. Terlebih lagi Yoga, wajah lelaki itu pucat pasi.
“Ehm, Sayang.” Yoga buru-buru mengalihkan Lana pada hal lain. “Kamu nggak buatin mereka makanan penutup? Pudding gitu misalnya?”
Lana bisa melihat perubahan teman-teman Yoga setelah dia mengatakan tentang hangout. Mereka saling menatap seolah paham apa yang sedang terjadi di sini. Namun, karena Lana menghormati Yoga di depan teman-temannya, dia tak mengharapkan jawaban apa pun dari Ifan dan memilih menjawab Yoga.
“Ada dong, Mas. Sudah disiapkan. Habis ini aku ambil. Mas juga makan dulu, pasti capek banget, kan habis lembur.”
***
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-
Lana berdiri di depan pintu sambil menatap suaminya dalam diam. Seulas senyum terbit di bibirnya melihat kegugupan yang lelaki itu tunjukkan. Ponselnya yang ada di genggaman Yoga masih tersambung panggilan dengan orang di seberang sana. Lana tidak terburu-buru ketika mendekat ke arah Yoga yang wajahnya sudah pucat pasi.Tangan Lana menengadah. “Bisa aku lihat hp-nya, Mas?” tanya Lana dengan lembut. Tidak ada sedikitpun amarah yang ditunjukkan. Inilah cara Lana bertahan dalam kurungan rasa sakit yang membelenggunya. Ketika dia berteriak dan memaki sang suami dengan kata kasar, dia justru akan terperosok dalam kubangan kesedihan yang terdalam.Bukan tidak mungkin kalau Yoga justru akan menertawakannya karena sakit yang dirasakan. Tentu saja Lana tidak akan bersedia menjadi bahan lelucon suaminya.“Mas!” Lana mengulangi. “Bisa aku lihat hp-nya?”Lana kini memfokuskan matanya pada ponsel sang suami yang sudah gelap. Yoga menggeleng keras. “Nggak ada apa-apa di sini, Sayang. Aku tadi ….”“
“Sepertinya, istriku sudah tahu tentang hubungan kita.” Tidak tahan dengan kebingungan yang dirasakan di dalam hatinya, Yoga pada akhirnya berbicara kepada Ratri ketika jam makan siang.Mereka memilih pergi makan siang di tempat yang lumayan jauh dari kantor agar tidak ada orang yang mencurigainya. Bahkan saat di restoran pun, mereka mengambil tempat di sudut ruangan untuk menghindari pengunjung lain yang mungkin mengenali mereka.“Mas takut?” tanya Ratri tampak tidak terpengaruh, “aku rasa, selama dia nggak menyebutkan dengan gamblang, maka nggak perlu khawatir.” Perempuan itu menarik tangan Yoga untuk digenggamnya. “Kalau memang pada akhirnya kita ketahuan, aku berjanji aku bersedia menghadapi hal buruk yang terjadi.”Ratri sudah dibutakan oleh cinta yang diobral oleh Yoga kepadanya. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dari seorang lelaki yang berselingkuh dengannya. Baginya, mungkin itu bukan hal besar. Dia pasti sudah yakin bisa mendampingi Yoga jika seandainya is
“Apa kamu bilang? Rumah tangga kita tidak baik-baik saja? Kalau kamu seperti ini terus, jelas rumah tangga kita akan berantakan!” Yoga mendesis sinis mendengar ucapan Lana yang baginya sudah kelewat batas.Alih-alih menanggapi, Lana justru melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Sorry, Mas. Aku harus pergi. Masih ada klien yang harus aku temui hari ini. Kalau mau bahas rumah tangga, nanti aja kalau udah di rumah. Lagian, udah waktunya Mas balik ke kantor, ‘kan? Udah kelewat jam makan siang, lho, ini.”Barang-barang lana sudah dimasukkan ke dalam tas sepenuhnya dan dia siap untuk pergi. Namun, Yoga menahan tangan perempuan itu. “Berhentilah, Lana. Aku mohon!”Lana melepaskan cekalan tangan Yoga sedikit kasar, sembari memberikan tatapan penuh peringatan. “Aku baru mengawali, Mas. Terlalu cepat kalau aku harus mengakhiri.”Setelah mengatakan itu, Lana memilih pergi dari restoran tersebut meninggalkan Yoga yang sedikit mematung di tempatnya. Ketika kesadarannya kembali, lelaki itu
Yoga melemparkan kunci mobilnya ketika dia baru saja sampai di kontrakan Ratri. Ekspresinya menggelap dengan tumpukan amarah di wajahnya. Ratri yang sejak tadi memasang senyum lebar karena kedatangan sang kekasih itu seketika menjerit.“Mas kenapa sih?” tanyanya bingung, “kenapa harus lempar-lempar barang!”Alih-alih menjawab, Yoga malah menendang sofa yang ada di depannya. Tangannya meremas rambutnya sebelum mengacaknya menjadi berantakan. Ratri diam menatap Yoga dengan sedikit rasa khawatir. Ini adalah untuk pertama kalinya dia melihat Yoga kehilangan kendali dirinya. Amarah itu terlihat jelas dalam bola matanya.Ratri berdiri, dia mendekati Yoga, mengelus punggung lelaki itu dengan lembut. “Mas, ada apa?” tanyanya lagi, “kalau ada masalah, Mas bisa bilang sama aku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi.”“Lana sudah keterlaluan.” Yoga menjawab cepat. “Dia benar-benar sudah berubah. Keputusan yang ada di rumah, dia bahkan tidak melibatkanku.” Yoga menatap Ratri masih dengan kobaran
“Kamu selalu menuduhku yang tidak-tidak, Lana. Atau sebenarnya kamu sendiri yang selingkuh, tapi kamu justru yang memutar balikkan fakta.”Yoga tidak terima Lana menuduhnya berselingkuh meskipun memang kenyataannya itu bukan hanya tuduhan melainkan kebenaran yang hakiki.“Oh, atau jangan-jangan lelaki yang waktu itu adalah orangnya karena itu kamu sekarang berubah?” Yoga semakin marah. “Lana, apa yang sebenarnya kurang dariku?” tanyanya tak tahu diri, “aku pikir selama ini aku menjadi suami yang bisa kamu andalkan. Kamu mencari lelaki yang seperti apa lagi, Lana?”Lana memilih tidak menanggapi dan berlalu begitu saja. Lagi-lagi dia akan tidur dengan putranya, berhadapan dengan Yoga terlalu lama hanya akan membuat darahnya naik dan menjadi emosi. Kalaupun dia akan mengatakan kalau dia tahu tentang perselingkuhan Yoga dengan Ratri, itu tidak sekarang. Namun, ketika mereka bersama-sama supaya lebih seru.Pagi ini Lana sudah tidak lagi memasak. Urusan rumah tangga sudah diambil alih oleh
“Jadi, sekarang Mbak Lana benar-benar udah nggak ngurus kebutuhan Mas lagi?”Yoga baru saja mengadukan perlakukan Lana kepada Ratri. Mereka kini berada di rumah kontrakan Ratri dan tengah menikmati makan malam berdua.“Mas apa nggak curiga dengan Mbak Lana? Bisa saja dia punya laki-laki lain di luar sana. Kalau nggak, dia nggak akan berubah secepat itu.” Ratri mulai mencuci otak Yoga dengan kata-katanya.“Aku juga berpikiran hal yang sama. Lana sebelumnya nggak seperti ini. Aku memberinya jatah kecil bukan karena apa-apa, tetapi karena aku ingin membuat dia jera. Sayangnya hal itu nggak ngaruh sama sekali buat dia.”Geraman itu terlihat di wajah Yoga. Ekspresi lelaki itu sangat keruh dan penuh amarah. Membicarakan masalahnya dengan Lana hanya akan membuat pikirannya kesal luar biasa. Yoga masih tidak menyadari jika Lana melakukan semua itu karena dirinya. Lana pasti akan tetap menjadi istri penurut dan tidak banyak tingkah jika Yoga juga melakukan hal yang sama.“Sudahlah, Mas. Mulai
“Lan, aku nggak pernah berpikir sampai sejauh itu!” Yoga menjawab cepat dengan menggelengkan kepalanya. Menegaskan jika dia mengatakan yang sesungguhnya. “Sayang, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku dosa sama kamu, tapi aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku.”Yoga tidak bisa lagi membendung penyesalannya sampai dia meneteskan air matanya. Namun, dia pasti bisa melihat bagaimana dinginnya Lana ketika menanggapi itu.“Sudah dapat apa aja dari Mas Yoga, Rat?” Tanpa memedulikan ucapan Yoga, Lana memilih mengintrogasi Ratri. “Aku pikir kamu nggak mungkin hanya diberikan cinta darinya saja, ‘kan?”Lana ingin mereka mengatakan dengan mulutnya sendiri. Itulah kenapa sejak tadi dia masih terlihat begitu sabar dan tidak meledakkan amarahnya. Meskipun dia hampir benar-benar gila.“Lana, please, jangan dilanjutkan ….”“Aku juga mendapatkan uang dari Mas Yoga.” Ratri bertindak cepat dan lebih berani ternyata. Membuat Yoga segera menoleh pada Ratri.“Ratri, hentikan!” Begitu katanya mempering
“Dia tidur.” Tirta mengantarkan Kaisar ke kediaman orang tua Lana sambil menggendong bocah itu. Sengaja tidak membangunkannya.“Kan, jadi ngrepotin kamu kalau gini.” Lana membimbing Tirta ke kamar Kaisar agar bisa membaringkannya di kasur. “Dia udah mandi?”Lana baru menyadari kalau pakaian Kaisar sudah berganti. Tadi hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang sudah pakai kaos biasa.Tirta tidak segera menjawab dan memilih untuk keluar kamar Kaisar lebih dulu. Mereka turun ke lantai satu, lalu duduk di ruang keluarga. “Kok sepi? Ibu sama Bapak ke mana?” tanya Tirta.“Mereka ada pengajian di komplek sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang.” Lana beranjak. “Aku ambilkan minum.”“Nggak usah.” Tirta menarik tangan Lana. “Di sini aja. Aku nggak haus.”“Tapi, aku tadi buat bakso lho. Serius nggak mau?” Tirta berkedip pelan sebelum tersenyum kecil.“Mau dong. Yang pedes, ya.” Lana terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tirta. Begitu menggelikan.Alih-alih menunggu di ruang kelu
“Apa kabar, Lan.”Setelah ibunya yang datang, kini Tirta pun muncul setelah tidak pernah lagi menemui Lana. Lelaki itu terlihat masih sama dan tidak ada yang berubah dari penampilannya. Hanya sedikit lebih dewasa dibandingkan terakhir kali Lana melihat Tirta.“Tirta.” Lana sedikit terkejut melihat lelaki itu yang kini berdiri di depannya. Dia baru saja datang ke sebuah kafe ketika Tirta muncul. “Lama nggak ketemu. Kabarku baik, kamu gimana?”“Aku juga baik.” Lelaki itu mengulas senyum kecil. Tatapan mereka beradu dan getaran di dada itu tak bisa dipungkiri, jika rasa cinta yang dimiliki oleh Tirta memang begitu besar.Lana mengajak Tirta untuk masuk ke dalam kafe agar mereka bisa mengobrol di sana. Lana memesan dua cangkir kopi dan dua cake coklat untuk dirinya dan Tirta. Untuk beberapa saat, tidak ada yang mereka bicarakan. Tirta bahkan sama sekali tidak mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ada di depannya seolah dia tengah menumpahkan segala rasa rindunya yang sudah lama dipen
“Maaf kalau membuat kamu terkejut, Lana. Saya datang tiba-tiba,” lanjut perempuan paruh baya dengan senyum lembutnya tersebut.Lana dan perempuan paruh baya tersebut sudah duduk berhadapan di salah satu meja meninggalkan Yoga di meja yang berbeda. Lana sebenarnya juga penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh perempuan paruh baya tersebut. Ini adalah untuk pertama kalinya Lana bertemu denganya, tetapi seperti ada hal yang sangat serius yang ingin disampaikan.“Tidak masalah, Tante. Kalau boleh tahu, apa yang ingin Tante bicarakan?”Perempuan paruh baya itu menyodorkan tangannya dan diterima oleh Lana. “Saya Tari. Ibu Tirta,” katanya.Sedikit terkejut, Lana mengangguk kecil. “Saya Lana.”Ibu Tirta itu tersenyum menatap sosok cantik yang ada di depannya. Perempuan paruh baya itu menatap Lana seolah tengah memuji ibu Kaisar itu dengan tatapannya.“Pantas saja kalau Tirta sangat mencintai kamu. Kamu ternyata sangat cantik, Lana.”Lana semakin terkejut dengan ucapan terus terang Tari.
Ruko dua tingkat dihadiahkan sang ayah untuk Lana. Mereka bilang agar Lana punya tempat untuk bekerja. Jika ada klien, mereka hanya perlu datang ke kantornya dan tidak perlu ke sana-kemari.“Ibu dan Ayah itu lihat kamu capek banget. Jadi, meskipun kecil, kamu harus memiliki kantor sendiri.”Begitu ibu Lana mengatakan kepada putrinya ketika mengajak mengurus sertifikat bangunan tersebut atas namanya. Lana sudah ditawari oleh kedua orang tuanya untuk membuat kantor sendiri, tetapi Lana terus saja menolak. Maka tanpa sepengetahuan Lana, ayahnya bertindak.Membelikan ruko di tengah kota yang ramai, mereka berharap Lana bisa mudah mendapatkan klien. Bagaimanapun, Lana adalah perempuan berbakat dengan hasil kerja yang selalu memuaskan.“Sebenarnya Ayah dan Ibu nggak perlu melakukan semua ini. Aku lagi ngumpulin uang untuk buat kantor sendiri.”“Kenapa harus kumpulin uang kalau ayahmu ini punya banyak duit?” Itu sebenarnya keseriuasan yang dibalut dengan candaan. Mau tak mau, itu membuat Lan
“Hai.”Lana menoleh dan mendapati Tirta ada di belakangnya. Lana tersenyum kecil membalas senyuman Tirta.“Dari mana?” tanya Lana sambil menerima minuman yang disodorkan oleh penjual.Lana sekarang benar-benar menikmati waktunya seperti dia adalah perempuan lajang yang tidak memiliki tanggungan anak. Dia hanya ingin mencoba untuk menggantikan waktu masa mudanya yang telah hilang.“Dari kantor. Nggak sengaja lihat kamu.”Tirta duduk di samping Lana. Mencomot satu risoles lalu memasukkan ke dalam mulutnya sebelum mengunyahnya.“Mau aku pesankan minum?” tanya Lana.“Boleh. Tapi nggak usah pakai boba. Geli lihat hitam-hitam bulat begitu.”Lana hanya terkekeh mendengar ucapan Tirta sebelum kembali berdiri dan memesankan minum untuk lelaki itu. “Rasa moca ya?” Lana menoleh menatap Tirta.“Iya.”Akhir-akhir ini, Tirta intens mendekati Lana. Tidak henti-hentinya dia mengambil kesempatan agar Lana benar-benar merasakan ketulusan hatinya. Tentu dia tak mendesak karena tahu Lana belum siap mener
“Kamu nggak perlu menghindariku, Lan.”Langkah Lana terhenti ketika mendengar suara Tirta dari arah belakang. Perempuan itu menyadari keberadaan Tirta ketika dia mengambil langkah cepat. Berusaha agar tidak perlu beramah tamah dengan lelaki itu. Sayangnya, dia tetap ketahuan.“Aku sudah pernah bilang sama kamu kalau kamu nggak perlu memikirkan tentang ucapanku tempo hari.”Tirta kini berdiri di depan Lana untuk melihat perempuan cantik itu dengan jelas. Mereka sama-sama baru saja meeting bersama dengan klien mereka masing-masing yang kebetulan berada di restoran yang sama.Lana menatap Tirta dalam sebelum dia menjawab, “Tir, kenapa kamu kemarin ke rumah nggak bilang-bilang dulu sama aku?”Tirta tersenyum kecil. “Mau mengobrol sebentar? Kebetulan aku sudah selesai meeting. Jangan bicara sambil berdiri begini, takutnya kamu capek.”Jika Lana tidak mengenal Tirta sebelumnya, dia pasti akan menganggap lelaki itu hanya mencari perhatian saja kepadanya. Nyatanya, Lana masih ingat betul baga
“Setelah kamu memperburuk suasana, kamu masih berani mengatakan itu kepadaku? Kamu benar-benar tidak punya malu.” Yoga membentak Ratri dengan mata melotot. “Aku dulu mengatakan untuk menjelaskan kepada Lana agar aku bisa kembali sama dia. Lalu apa yang kamu lakukan!”Yoga tidak bisa menahan amarahnya yang sudah melambung begitu tinggi. Seharusnya dia bisa menggagalkan keputusan Lana seandainya Ratri tidak mengatakan dusta kepada perempuan itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Yoga. Kini semua benar-benar hancur. Sebelum ini, Yoga merasa semua ini memang pure kesalahannya, tetapi Ratri juga ikut andil memperkeruh keadaan.“Kenapa Mas menyalahkan aku?” Ratri balas membentak Yoga. “Kalau ada yang patut disalahkan dalam hubungan kita, itu adalah Mas sendiri. Kenapa Mas menjadi laki-laki mata keranjang, lalu melakukan sesuatu denganku.”“Karena kamu menggodaku! Kalau kamu tidak bersikap seperti gadis murahan, semua ini tidak akan terjadi.”“Apa kamu bilang, Mas? Aku seperti gadis mura
“Tadi Tirta datang ke sini.”Ibu Lana memberitahukan kepada putrinya tentang kedatangan Tirta ke rumah mereka karena sampai waktu yang ditunggu, Lana tidak kunjung pulang. Kaisar benar-benar mengajak pergi ke tempat-tempat yang dia mau seolah tidak ingin dibantah. Lana tentu saja menuruti dan merasa kalau harus mengganti waktunya yang terkadang habis untuk bekerja. Meskipun dia bekerja di rumah, dia juga harus bertemu dengan klien. Meninjau lokasi, serta membicarakan banyak hal tentang sebuah pembangunan yang akan dilakukan.“Lho. Kenapa, Bu?” tanya Lana tampak penasaran. “Dia nggak ada hubungi aku kalau memang ada pekerjaan yang harus aku kerjakan.”“Dia datang bukan untuk pekerjaan.” Sang ayah menimpali. “Dia, melamar kamu langsung kepada Ayah dan Ibu.”Sontak saja hal itu membuat Lana terkejut luar biasa. Matanya berkedip pelan, tetapi semua kata yang dimiliki seolah hilang tanpa bekas. Tirta sungguh serius ingin bersamanya. Setelah menembak langsung kepadanya, kini dia menunjukkan
“Ternyata benar, kamu punya hubungan dengan lelaki yang pernah aku temui waktu itu.”Tidak ada angin tidak ada hujan, Yoga tiba-tiba memberikan tuduhan kepada Lana. Lelaki itu bahkan baru saja datang ke kediaman orang tua Lana dengan alasan untuk bertemu dengan Kaisar.Lana yang akan masuk ke dalam mobilnya itu urung hanya untuk memberikan sedikit perhatian kepada Yoga. Lelaki itu sudah menatap sang mantan istri itu dengan tatapan menyelidik.“Siapa yang Mas maksud?” tanya Lana santai.“Yang di restoran saat itu.” Yoga segera menjawab dengan cepat.Lana bisa segera menangkap siapa yang dimaksud oleh Yoga. Namun, Lana harus menahan Yoga agar lelaki itu tidak ikut campur lagi dengan urusannya. Mereka sekarang tidak memiliki ikatan apa pun yang membuat Lana harus menjelaskan tentang semua itu.“Dia temanku.”“Dia bilang dia mencintaimu.” Yoga keceplosan. Sudah kepalang tanggung, Yoga tidak akan menarik lagi ucapannya.“Lalu kenapa kalau dia mencintaiku?” Lana bertanya datar. “Semua orang