“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”
Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.
“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.
“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.
“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.
Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”
Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.
“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki itu agar segera pergi.
Yoga tersenyum puas karena Lana sudah mau memberikan senyumnya kepadanya. Lelaki itu beranjak dari sofa ruang keluarga setelah mengecup puncak kepala Lana. Berjalan sambil bersiul senang karena merasa Lana sudah tidak marah kepadanya.
Tak lama setelah itu, deruan mesin mobil terdengar tanda Yoga sudah pergi meninggalkan rumah. Buru-buru, Lana menggendong Kaisar dan membawanya ke luar rumah. Memasangkan helm untuk putranya, memastikan pintu rumahnya terkunci, Lana langsung tancap gas mengikuti sang suami.
Malam ini, dia akan mengetahui di mana rumah perempuan itu. Dia akan mendapatkan bukti lebih banyak lagi dan saat waktunya nanti, dia akan melemparkan bukti itu di depan Yoga.
Sepuluh menit berkendara, mobil Yoga berbelok di sebuah perumahan tak jauh dari rumahnya. Jantung Lana berdebum tak karuan ketika mengikuti mobil Yoga dari belakang. Tubuhnya bahkan terasa bergetar membayangkan hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh sang suami di rumah tersebut.
Berhenti di depan rumah bercat putih, Yoga disambut seorang perempuan muda. Mereka bahkan saling berpelukan seolah saling melepas rindu. Mereka masuk ke dalam rumah setelah itu dengan saling memeluk.
“Bunda.” Fokus Lana buyar mendengar suara Kaisar. Bocah itu memeluk pinggang Lana dengan menempelkan kepalanya di punggungnya. “Kita mau ke mana, Bunda?”
Air mata Lana menetes begitu saja mendengar suara Kaisar. Ada banyak gejolak yang muncul di dalam hatinya. Rasa sakit yang dirasakan bertambah berkali-kali lipat. Dia merasa gagal menjadi perempuan. Suaminya berpaling di saat usia rumah tangganya sudah tujuh tahun. Padahal selama ini, dia lah yang mendampingi sang suami dari nol.
Dia yang dulu memiliki impian menjadi wanita karir itu harus disingkirkan jauh-jauh karena fokus dengan rumah tangganya. Dia ikhlas melakukannya, karena dia tahu Yoga begitu sayang kepadanya. Ketika sekarang dia melihat pengkhianatan lelaki itu, semua hal yang dilakukan selama ini terasa percuma.
“Bunda!” Kaisar kembali memanggilnya. “Kai ngantuk.”
“Kaisar mau jalan-jalan?” tanya Lana mencoba bernego dengan putranya.
“Mau, Bunda.”
“Kalau begitu, tunggu sebentar ya.”
Lana hanya ingin tahu akan berapa lama Yoga bersama selingkuhannya. Perempuan itu benar-benar menahan dirinya agar tidak mendobrak pintu rumah tersebut, atau bahkan mengatakan kepada satpam tentang perbuatan hina suaminya dengan menggrebeknya.
Satu jam, dua jam, tiga jam, Lana menunggu, tidak ada tanda-tanda Yoga keluar dari rumah tersebut. Kaisar bahkan sudah tertidur di gendongannya karena kelelahan. Lana melihat jam di ponselnya dan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan berat hati, Lana meninggalkan perumahan tersebut dengan Kaisar ada di gendongannya. Dia selalu membawa kain panjang yang diletakkan di dalam jok motor untuk berjaga-jaga jika putranya ketiduran saat diboncengnya.
Sepanjang jalan, air mata Lana berderai tak keruan. Perasaannya sakit luar biasa tak bisa dideskripsikan. Yoga memang tidak pernah menyakitinya selama ini, tetapi sekalinya lelaki itu melakukannya, dia menancapkan banyak belati tajam di dalam hatinya yang sulit untuk disembuhkan. Dan hal yang paling mengesankan malam ini adalah, Yoga tidak pulang ke rumah.
***
“Sayang, aku minta maaf. Semalam aku ketiduran. Setelah kami futsal, kami pergi ke rumah Ifan. Kami makan-makan di sana. Aku tadinya cuma mau istirahat sebentar, tapi Ifan malah nggak bangunin aku. Kami semuanya akhirnya tidur di rumah dia. Sayang, kamu nggak marah, kan? Aku benar-benar minta maaf karena aku nggak ngabari kamu.”
Yoga terlihat panik ketika dia memberikan penjelasan itu kepada sang istri. Ini adalah kali pertama dia tidak pulang ke rumah setelah meminta izin keluar dengan teman-temannya. Yoga beranggapan, Lana pasti akan memarahinya. Terlebih lagi, seharusnya hari ini mereka keluar jalan-jalan bersama.
Alih-alih murka, Lana terlihat santai. Perempuan itu justru mengangguk. “Nggak papa. Oh, ya, Mas, hari ini temanku akan datang. Dia orang showroom. Aku udah hubungi dia dan bilang kalau aku mau beli mobil. Kalau Mas mau keluar, tunda sebentar, ya. Dia mungkin nanti jam sembilan sampai.”
“Apa? Kamu beneran minta mobil, Lan?”
Yoga tidak siap dengan permintaan Lana yang buru-buru. Mereka bahkan baru membahas masalah mobil kemarin malam dan itu pun dia belum menyetujuinya. Namun, Lana sudah dengan cepat mengambil keputusan sendiri.
“Iya. Kenapa? Kamu nggak siap belikan aku mobil?”
Lana menatap Yoga dengan tatapan menilai. Lelaki itu tampak belum mandi. Rambutnya acak-acakan. Dan yang membuat Lana merasakan cubitan di hatinya adalah ketika dia melihat tanda merah yang cukup kecil di leher Yoga tepat di bawah telinga. Tiba-tiba saja, perut Lana merasa mual.
‘Berapa kali kalian bermain semalam?’ tanya Lana pada dirinya sendiri, yang jelas tidak akan mendapatkan jawaban yang diinginkan.
Lana menarik napasnya panjang, masih menekan semua sumpah serapah yang ingin keluar dari mulutnya.
“Lan, kita, kan sudah berunding kemarin. Aku belum bisa melepaskan kamu nyetir sendir. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu. Kamu ngerti nggak sih kalau aku ini sayang sama kamu?”
“Simpan saja pikiran buruk yang ada di hatimu itu, Mas. Aku tetap akan membeli mobil.”
“Aku menolak!” Yoga berucap tegas. “Aku nggak mau membelikanmu mobil. Titik. ”
Setelah mengatakan itu, Yoga berlalu begitu saja. Masuk ke dalam kamar sebelum menutup pintunya sedikit kasar. Lana menggeram marah, tapi lagi-lagi dia harus menahan dirinya. Permainan baru saja dimulai. Dia tak akan mundur dan membiarkan Yoga memperlakukannya seenaknya sendiri.
Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, teman yang dimaksud oleh Lana benar-benar datang. Lelaki itu memberikan banyak penawaran untuk beberapa model kendaraan beroda empat. Sejak tadi, Yoga tidak lagi keluar dari kamar dan tampaknya memang sengaja menghindari keinginan Lana untuk membeli mobil.
“Kamu mau yang seperti apa, Lan?” tanya lelaki itu sambil menunjukkan brosur.
“Aku sih yang penting nyaman aja, harga standart lah, ya.” Lana melihat-lihat gambar mobil di dalam brosur tersebut.
“Kalau sekitar harga dua ratusan gimana? Kalau untuk sekeluarga juga udah nyaman.” Lana sebenarnya tidak begitu tahu tentang mobil, tapi dia sudah sempat memilih-milih sebelumnya dengan melihat gambar di internet.
“Bagaimana kalau ini? Dapat potongan harga nggak, Ran?” Lelaki yang bernama Randi itu tersenyum lebar.
“Kalau kamu mau yang ini, nanti aku coba minta potongan ke bos deh.”
Baru saja Randi menutup mulutnya ketika Yoga muncul, lalu mendekat ke arah mereka. “Nggak perlu, Mas. Pembelian mobil batal.”
***
Dua orang yang duduk berhadapan itu seketika menatap Yoga yang berdiri di sisi sofa. Randi menatap Yoga dan Lana bergantian, sedangkan Lana tampak tidak terpengaruh. Lana sungguh tidak peduli dengan suaminya yang melarangnya. Masa bodoh dengan lelaki itu.“Kami belum membutuhkan mobil lagi. Lain kali kalau memang kami ingin membeli mobil, saya yang akan memanggil Mas langsung.”“Aku yang akan beli, Ran.” Lana menjawab santai. “Aku mau yang ini. Kira-kira perlu waktu berapa lama untuk inden dulu?”“Lana!” Yoga tidak tahan dengan perubahan sikap istrinya.Lana yang dulunya penurut itu berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang suami. Larangan yang diberikan itu justru seolah menjadi perintah untuknya.“Kalau memang kamu masih ngotot membeli mobil itu, maka bayarlah sendiri. Karena aku tidak akan membelikan mobil buat kamu.”Lana bergeming tak peduli, bahkan ketika Yoga pergi meninggalkan ruang tamu, dia sama sekali tidak menahannya. Dipiki
Yoga tersenyum kecil sebelum bersuara, “Aku tahu. Sudah, nggak perlu lagi dibahas. Aku nggak mau masalah kecil seperti ini mempengaruhi hubungan kita.”Tampaknya, Ratri mudah sekali dibujuk. Hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu saja, perempuan itu luluh dan mengulas senyum tipis. Yoga menarik Ratri kembali ke dalam pelukannya. Mengelus kepala perempuan itu dengan lembut sembari sesekali mengecupnya.“Mas, aku mau merundingkan sesuatu sama kamu.” Ratri kembali membuka obrolan setelah beberapa saat diam.“Hem. Tentang apa?” tanya Yoga dengan lembut.“Bagaimana kalau seandainya aku hamil?”Yoga bergeming menatap perempuan muda itu dengan tatapan datar miliknya. Jakunnya naik turun tanda jika perasaan tak nyaman menyelimuti hatinya. Yoga akui, perempuan yang ada di depannya itu memang cantik dan tentu masih muda. Dulu ketika pertama kali dia bertemu dan bertukar obrolan dengan Ratri, ada desiran yang dirasakan di dalam hatinya. Tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan berj
Lana beranjak untuk mengambilkan makanan penutup untuk para tamunya. Dia sudah menyiapkan banyak potongan buah dan juga pudding. Kaisar juga ikut membantu ibunya menyuguhkan untuk para tamu. Kaisar tampak bahagia melihat rumahnya dikunjungi oleh banyak orang.“Mari, silakan buah-buahnya, Mbak, Mas.” Lana kembali duduk dan bergabung dengan Yoga dan tamu-tamunya.Menatap Yoga yang masih mencoba menelan makanannya meskipun tampak sekali tidak berselera. Jika dikulik lagi, Yoga sebenarnya sangat menyukai masakan sang istri. Apa pun yang dimasak oleh Lana, dia tak pernah protes sekali pun.“Mbak Lana sehari-hari di rumah bosen nggak sih?” tanya salah satu teman perempuan Yoga. “Benar-benar mengurus rumah sendiri tanpa pembantu.”“Karena udah terbiasa kali, ya, Mbak. Kalau bosen nggak, kok, sebenarnya juga ada kegiatan lain untuk mengisi waktu luang.”Lana benar-benar mudah berbaur dengan teman-teman Yoga. Mereka pun tampaknya juga senang bisa mengenal istri Yoga tersebut. Meskipun di awal-
Lana berdiri di depan pintu sambil menatap suaminya dalam diam. Seulas senyum terbit di bibirnya melihat kegugupan yang lelaki itu tunjukkan. Ponselnya yang ada di genggaman Yoga masih tersambung panggilan dengan orang di seberang sana. Lana tidak terburu-buru ketika mendekat ke arah Yoga yang wajahnya sudah pucat pasi.Tangan Lana menengadah. “Bisa aku lihat hp-nya, Mas?” tanya Lana dengan lembut. Tidak ada sedikitpun amarah yang ditunjukkan. Inilah cara Lana bertahan dalam kurungan rasa sakit yang membelenggunya. Ketika dia berteriak dan memaki sang suami dengan kata kasar, dia justru akan terperosok dalam kubangan kesedihan yang terdalam.Bukan tidak mungkin kalau Yoga justru akan menertawakannya karena sakit yang dirasakan. Tentu saja Lana tidak akan bersedia menjadi bahan lelucon suaminya.“Mas!” Lana mengulangi. “Bisa aku lihat hp-nya?”Lana kini memfokuskan matanya pada ponsel sang suami yang sudah gelap. Yoga menggeleng keras. “Nggak ada apa-apa di sini, Sayang. Aku tadi ….”“
“Sepertinya, istriku sudah tahu tentang hubungan kita.” Tidak tahan dengan kebingungan yang dirasakan di dalam hatinya, Yoga pada akhirnya berbicara kepada Ratri ketika jam makan siang.Mereka memilih pergi makan siang di tempat yang lumayan jauh dari kantor agar tidak ada orang yang mencurigainya. Bahkan saat di restoran pun, mereka mengambil tempat di sudut ruangan untuk menghindari pengunjung lain yang mungkin mengenali mereka.“Mas takut?” tanya Ratri tampak tidak terpengaruh, “aku rasa, selama dia nggak menyebutkan dengan gamblang, maka nggak perlu khawatir.” Perempuan itu menarik tangan Yoga untuk digenggamnya. “Kalau memang pada akhirnya kita ketahuan, aku berjanji aku bersedia menghadapi hal buruk yang terjadi.”Ratri sudah dibutakan oleh cinta yang diobral oleh Yoga kepadanya. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dari seorang lelaki yang berselingkuh dengannya. Baginya, mungkin itu bukan hal besar. Dia pasti sudah yakin bisa mendampingi Yoga jika seandainya is
“Apa kamu bilang? Rumah tangga kita tidak baik-baik saja? Kalau kamu seperti ini terus, jelas rumah tangga kita akan berantakan!” Yoga mendesis sinis mendengar ucapan Lana yang baginya sudah kelewat batas.Alih-alih menanggapi, Lana justru melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Sorry, Mas. Aku harus pergi. Masih ada klien yang harus aku temui hari ini. Kalau mau bahas rumah tangga, nanti aja kalau udah di rumah. Lagian, udah waktunya Mas balik ke kantor, ‘kan? Udah kelewat jam makan siang, lho, ini.”Barang-barang lana sudah dimasukkan ke dalam tas sepenuhnya dan dia siap untuk pergi. Namun, Yoga menahan tangan perempuan itu. “Berhentilah, Lana. Aku mohon!”Lana melepaskan cekalan tangan Yoga sedikit kasar, sembari memberikan tatapan penuh peringatan. “Aku baru mengawali, Mas. Terlalu cepat kalau aku harus mengakhiri.”Setelah mengatakan itu, Lana memilih pergi dari restoran tersebut meninggalkan Yoga yang sedikit mematung di tempatnya. Ketika kesadarannya kembali, lelaki itu
Yoga melemparkan kunci mobilnya ketika dia baru saja sampai di kontrakan Ratri. Ekspresinya menggelap dengan tumpukan amarah di wajahnya. Ratri yang sejak tadi memasang senyum lebar karena kedatangan sang kekasih itu seketika menjerit.“Mas kenapa sih?” tanyanya bingung, “kenapa harus lempar-lempar barang!”Alih-alih menjawab, Yoga malah menendang sofa yang ada di depannya. Tangannya meremas rambutnya sebelum mengacaknya menjadi berantakan. Ratri diam menatap Yoga dengan sedikit rasa khawatir. Ini adalah untuk pertama kalinya dia melihat Yoga kehilangan kendali dirinya. Amarah itu terlihat jelas dalam bola matanya.Ratri berdiri, dia mendekati Yoga, mengelus punggung lelaki itu dengan lembut. “Mas, ada apa?” tanyanya lagi, “kalau ada masalah, Mas bisa bilang sama aku. Siapa tahu aku bisa memberikan solusi.”“Lana sudah keterlaluan.” Yoga menjawab cepat. “Dia benar-benar sudah berubah. Keputusan yang ada di rumah, dia bahkan tidak melibatkanku.” Yoga menatap Ratri masih dengan kobaran
“Kamu selalu menuduhku yang tidak-tidak, Lana. Atau sebenarnya kamu sendiri yang selingkuh, tapi kamu justru yang memutar balikkan fakta.”Yoga tidak terima Lana menuduhnya berselingkuh meskipun memang kenyataannya itu bukan hanya tuduhan melainkan kebenaran yang hakiki.“Oh, atau jangan-jangan lelaki yang waktu itu adalah orangnya karena itu kamu sekarang berubah?” Yoga semakin marah. “Lana, apa yang sebenarnya kurang dariku?” tanyanya tak tahu diri, “aku pikir selama ini aku menjadi suami yang bisa kamu andalkan. Kamu mencari lelaki yang seperti apa lagi, Lana?”Lana memilih tidak menanggapi dan berlalu begitu saja. Lagi-lagi dia akan tidur dengan putranya, berhadapan dengan Yoga terlalu lama hanya akan membuat darahnya naik dan menjadi emosi. Kalaupun dia akan mengatakan kalau dia tahu tentang perselingkuhan Yoga dengan Ratri, itu tidak sekarang. Namun, ketika mereka bersama-sama supaya lebih seru.Pagi ini Lana sudah tidak lagi memasak. Urusan rumah tangga sudah diambil alih oleh
“Dia tidur.” Tirta mengantarkan Kaisar ke kediaman orang tua Lana sambil menggendong bocah itu. Sengaja tidak membangunkannya.“Kan, jadi ngrepotin kamu kalau gini.” Lana membimbing Tirta ke kamar Kaisar agar bisa membaringkannya di kasur. “Dia udah mandi?”Lana baru menyadari kalau pakaian Kaisar sudah berganti. Tadi hanya mengenakan seragam sekolah, tetapi sekarang sudah pakai kaos biasa.Tirta tidak segera menjawab dan memilih untuk keluar kamar Kaisar lebih dulu. Mereka turun ke lantai satu, lalu duduk di ruang keluarga. “Kok sepi? Ibu sama Bapak ke mana?” tanya Tirta.“Mereka ada pengajian di komplek sebelah. Sebentar lagi mungkin pulang.” Lana beranjak. “Aku ambilkan minum.”“Nggak usah.” Tirta menarik tangan Lana. “Di sini aja. Aku nggak haus.”“Tapi, aku tadi buat bakso lho. Serius nggak mau?” Tirta berkedip pelan sebelum tersenyum kecil.“Mau dong. Yang pedes, ya.” Lana terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tirta. Begitu menggelikan.Alih-alih menunggu di ruang kelu
“Apa kabar, Lan.”Setelah ibunya yang datang, kini Tirta pun muncul setelah tidak pernah lagi menemui Lana. Lelaki itu terlihat masih sama dan tidak ada yang berubah dari penampilannya. Hanya sedikit lebih dewasa dibandingkan terakhir kali Lana melihat Tirta.“Tirta.” Lana sedikit terkejut melihat lelaki itu yang kini berdiri di depannya. Dia baru saja datang ke sebuah kafe ketika Tirta muncul. “Lama nggak ketemu. Kabarku baik, kamu gimana?”“Aku juga baik.” Lelaki itu mengulas senyum kecil. Tatapan mereka beradu dan getaran di dada itu tak bisa dipungkiri, jika rasa cinta yang dimiliki oleh Tirta memang begitu besar.Lana mengajak Tirta untuk masuk ke dalam kafe agar mereka bisa mengobrol di sana. Lana memesan dua cangkir kopi dan dua cake coklat untuk dirinya dan Tirta. Untuk beberapa saat, tidak ada yang mereka bicarakan. Tirta bahkan sama sekali tidak mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ada di depannya seolah dia tengah menumpahkan segala rasa rindunya yang sudah lama dipen
“Maaf kalau membuat kamu terkejut, Lana. Saya datang tiba-tiba,” lanjut perempuan paruh baya dengan senyum lembutnya tersebut.Lana dan perempuan paruh baya tersebut sudah duduk berhadapan di salah satu meja meninggalkan Yoga di meja yang berbeda. Lana sebenarnya juga penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh perempuan paruh baya tersebut. Ini adalah untuk pertama kalinya Lana bertemu denganya, tetapi seperti ada hal yang sangat serius yang ingin disampaikan.“Tidak masalah, Tante. Kalau boleh tahu, apa yang ingin Tante bicarakan?”Perempuan paruh baya itu menyodorkan tangannya dan diterima oleh Lana. “Saya Tari. Ibu Tirta,” katanya.Sedikit terkejut, Lana mengangguk kecil. “Saya Lana.”Ibu Tirta itu tersenyum menatap sosok cantik yang ada di depannya. Perempuan paruh baya itu menatap Lana seolah tengah memuji ibu Kaisar itu dengan tatapannya.“Pantas saja kalau Tirta sangat mencintai kamu. Kamu ternyata sangat cantik, Lana.”Lana semakin terkejut dengan ucapan terus terang Tari.
Ruko dua tingkat dihadiahkan sang ayah untuk Lana. Mereka bilang agar Lana punya tempat untuk bekerja. Jika ada klien, mereka hanya perlu datang ke kantornya dan tidak perlu ke sana-kemari.“Ibu dan Ayah itu lihat kamu capek banget. Jadi, meskipun kecil, kamu harus memiliki kantor sendiri.”Begitu ibu Lana mengatakan kepada putrinya ketika mengajak mengurus sertifikat bangunan tersebut atas namanya. Lana sudah ditawari oleh kedua orang tuanya untuk membuat kantor sendiri, tetapi Lana terus saja menolak. Maka tanpa sepengetahuan Lana, ayahnya bertindak.Membelikan ruko di tengah kota yang ramai, mereka berharap Lana bisa mudah mendapatkan klien. Bagaimanapun, Lana adalah perempuan berbakat dengan hasil kerja yang selalu memuaskan.“Sebenarnya Ayah dan Ibu nggak perlu melakukan semua ini. Aku lagi ngumpulin uang untuk buat kantor sendiri.”“Kenapa harus kumpulin uang kalau ayahmu ini punya banyak duit?” Itu sebenarnya keseriuasan yang dibalut dengan candaan. Mau tak mau, itu membuat Lan
“Hai.”Lana menoleh dan mendapati Tirta ada di belakangnya. Lana tersenyum kecil membalas senyuman Tirta.“Dari mana?” tanya Lana sambil menerima minuman yang disodorkan oleh penjual.Lana sekarang benar-benar menikmati waktunya seperti dia adalah perempuan lajang yang tidak memiliki tanggungan anak. Dia hanya ingin mencoba untuk menggantikan waktu masa mudanya yang telah hilang.“Dari kantor. Nggak sengaja lihat kamu.”Tirta duduk di samping Lana. Mencomot satu risoles lalu memasukkan ke dalam mulutnya sebelum mengunyahnya.“Mau aku pesankan minum?” tanya Lana.“Boleh. Tapi nggak usah pakai boba. Geli lihat hitam-hitam bulat begitu.”Lana hanya terkekeh mendengar ucapan Tirta sebelum kembali berdiri dan memesankan minum untuk lelaki itu. “Rasa moca ya?” Lana menoleh menatap Tirta.“Iya.”Akhir-akhir ini, Tirta intens mendekati Lana. Tidak henti-hentinya dia mengambil kesempatan agar Lana benar-benar merasakan ketulusan hatinya. Tentu dia tak mendesak karena tahu Lana belum siap mener
“Kamu nggak perlu menghindariku, Lan.”Langkah Lana terhenti ketika mendengar suara Tirta dari arah belakang. Perempuan itu menyadari keberadaan Tirta ketika dia mengambil langkah cepat. Berusaha agar tidak perlu beramah tamah dengan lelaki itu. Sayangnya, dia tetap ketahuan.“Aku sudah pernah bilang sama kamu kalau kamu nggak perlu memikirkan tentang ucapanku tempo hari.”Tirta kini berdiri di depan Lana untuk melihat perempuan cantik itu dengan jelas. Mereka sama-sama baru saja meeting bersama dengan klien mereka masing-masing yang kebetulan berada di restoran yang sama.Lana menatap Tirta dalam sebelum dia menjawab, “Tir, kenapa kamu kemarin ke rumah nggak bilang-bilang dulu sama aku?”Tirta tersenyum kecil. “Mau mengobrol sebentar? Kebetulan aku sudah selesai meeting. Jangan bicara sambil berdiri begini, takutnya kamu capek.”Jika Lana tidak mengenal Tirta sebelumnya, dia pasti akan menganggap lelaki itu hanya mencari perhatian saja kepadanya. Nyatanya, Lana masih ingat betul baga
“Setelah kamu memperburuk suasana, kamu masih berani mengatakan itu kepadaku? Kamu benar-benar tidak punya malu.” Yoga membentak Ratri dengan mata melotot. “Aku dulu mengatakan untuk menjelaskan kepada Lana agar aku bisa kembali sama dia. Lalu apa yang kamu lakukan!”Yoga tidak bisa menahan amarahnya yang sudah melambung begitu tinggi. Seharusnya dia bisa menggagalkan keputusan Lana seandainya Ratri tidak mengatakan dusta kepada perempuan itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Yoga. Kini semua benar-benar hancur. Sebelum ini, Yoga merasa semua ini memang pure kesalahannya, tetapi Ratri juga ikut andil memperkeruh keadaan.“Kenapa Mas menyalahkan aku?” Ratri balas membentak Yoga. “Kalau ada yang patut disalahkan dalam hubungan kita, itu adalah Mas sendiri. Kenapa Mas menjadi laki-laki mata keranjang, lalu melakukan sesuatu denganku.”“Karena kamu menggodaku! Kalau kamu tidak bersikap seperti gadis murahan, semua ini tidak akan terjadi.”“Apa kamu bilang, Mas? Aku seperti gadis mura
“Tadi Tirta datang ke sini.”Ibu Lana memberitahukan kepada putrinya tentang kedatangan Tirta ke rumah mereka karena sampai waktu yang ditunggu, Lana tidak kunjung pulang. Kaisar benar-benar mengajak pergi ke tempat-tempat yang dia mau seolah tidak ingin dibantah. Lana tentu saja menuruti dan merasa kalau harus mengganti waktunya yang terkadang habis untuk bekerja. Meskipun dia bekerja di rumah, dia juga harus bertemu dengan klien. Meninjau lokasi, serta membicarakan banyak hal tentang sebuah pembangunan yang akan dilakukan.“Lho. Kenapa, Bu?” tanya Lana tampak penasaran. “Dia nggak ada hubungi aku kalau memang ada pekerjaan yang harus aku kerjakan.”“Dia datang bukan untuk pekerjaan.” Sang ayah menimpali. “Dia, melamar kamu langsung kepada Ayah dan Ibu.”Sontak saja hal itu membuat Lana terkejut luar biasa. Matanya berkedip pelan, tetapi semua kata yang dimiliki seolah hilang tanpa bekas. Tirta sungguh serius ingin bersamanya. Setelah menembak langsung kepadanya, kini dia menunjukkan
“Ternyata benar, kamu punya hubungan dengan lelaki yang pernah aku temui waktu itu.”Tidak ada angin tidak ada hujan, Yoga tiba-tiba memberikan tuduhan kepada Lana. Lelaki itu bahkan baru saja datang ke kediaman orang tua Lana dengan alasan untuk bertemu dengan Kaisar.Lana yang akan masuk ke dalam mobilnya itu urung hanya untuk memberikan sedikit perhatian kepada Yoga. Lelaki itu sudah menatap sang mantan istri itu dengan tatapan menyelidik.“Siapa yang Mas maksud?” tanya Lana santai.“Yang di restoran saat itu.” Yoga segera menjawab dengan cepat.Lana bisa segera menangkap siapa yang dimaksud oleh Yoga. Namun, Lana harus menahan Yoga agar lelaki itu tidak ikut campur lagi dengan urusannya. Mereka sekarang tidak memiliki ikatan apa pun yang membuat Lana harus menjelaskan tentang semua itu.“Dia temanku.”“Dia bilang dia mencintaimu.” Yoga keceplosan. Sudah kepalang tanggung, Yoga tidak akan menarik lagi ucapannya.“Lalu kenapa kalau dia mencintaiku?” Lana bertanya datar. “Semua orang