Share

Part 6. Pulang Pagi

“Lan, aku berangkat dulu. Kamu pesan apa? Nanti aku bawakan pas pulang.”

Penampilan Yoga sudah benar-benar seperti seseorang yang akan bermain futsal. Seragam bola, sepatu, dan tas punggung pun tak lupa dibawanya. Dia bahkan membawa sebotol air minum. Benar-benar totalitas sekali Yoga dalam berbohong.

“Aku nggak pesan apa-apa.” Lana menjawab singkat.

“Kaisar, pesan apa, Sayang?” Yoga bertanya kepada putranya.

“Kaisar juga nggak pesan apa-apa. Kalau dia butuh apa-apa, aku yang akan belikan nanti. Nikmati saja malam minggu Mas.” Begitu kata Lana tampak santai.

Yoga terlihat tidak nyaman dengan sikap yang Lana tunjukkan kepadanya. Lelaki itu mendekat pada istrinya tersebut kemudian menggenggam tangannya. “Jangan ngambek dong, Sayang. Besok kita kan jalan-jalan.”

Meskipun gemuruh di dalam hati Lana terasa begitu besar, dia mencoba untuk memberikan senyum kepada Yoga.

“Iya … iya. Udah sana, Mas berangkat. Nanti telat.” Lana melepaskan genggaman tangan sang suami sebelum mendorong lelaki itu agar segera pergi.

Yoga tersenyum puas karena Lana sudah mau memberikan senyumnya kepadanya. Lelaki itu beranjak dari sofa ruang keluarga setelah mengecup puncak kepala Lana. Berjalan sambil bersiul senang karena merasa Lana sudah tidak marah kepadanya.

Tak lama setelah itu, deruan mesin mobil terdengar tanda Yoga sudah pergi meninggalkan rumah. Buru-buru, Lana menggendong Kaisar dan membawanya ke luar rumah. Memasangkan helm untuk putranya, memastikan pintu rumahnya terkunci, Lana langsung tancap gas mengikuti sang suami.

Malam ini, dia akan mengetahui di mana rumah perempuan itu. Dia akan mendapatkan bukti lebih banyak lagi dan saat waktunya nanti, dia akan melemparkan bukti itu di depan Yoga.

Sepuluh menit berkendara, mobil Yoga berbelok di sebuah perumahan tak jauh dari rumahnya. Jantung Lana berdebum tak karuan ketika mengikuti mobil Yoga dari belakang. Tubuhnya bahkan terasa bergetar membayangkan hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh sang suami di rumah tersebut.

Berhenti di depan rumah bercat putih, Yoga disambut seorang perempuan muda. Mereka bahkan saling berpelukan seolah saling melepas rindu. Mereka masuk ke dalam rumah setelah itu dengan saling memeluk.

“Bunda.” Fokus Lana buyar mendengar suara Kaisar. Bocah itu memeluk pinggang Lana dengan menempelkan kepalanya di punggungnya. “Kita mau ke mana, Bunda?”

Air mata Lana menetes begitu saja mendengar suara Kaisar. Ada banyak gejolak yang muncul di dalam hatinya. Rasa sakit yang dirasakan bertambah berkali-kali lipat. Dia merasa gagal menjadi perempuan. Suaminya berpaling di saat usia rumah tangganya sudah tujuh tahun. Padahal selama ini, dia lah yang mendampingi sang suami dari nol.

Dia yang dulu memiliki impian menjadi wanita karir itu harus disingkirkan jauh-jauh karena fokus dengan rumah tangganya. Dia ikhlas melakukannya, karena dia tahu Yoga begitu sayang kepadanya. Ketika sekarang dia melihat pengkhianatan lelaki itu, semua hal yang dilakukan selama ini terasa percuma.

“Bunda!” Kaisar kembali memanggilnya. “Kai ngantuk.”

“Kaisar mau jalan-jalan?” tanya Lana mencoba bernego dengan putranya.

“Mau, Bunda.”

“Kalau begitu, tunggu sebentar ya.”

Lana hanya ingin tahu akan berapa lama Yoga bersama selingkuhannya. Perempuan itu benar-benar menahan dirinya agar tidak mendobrak pintu rumah tersebut, atau bahkan mengatakan kepada satpam tentang perbuatan hina suaminya dengan menggrebeknya.

Satu jam, dua jam, tiga jam, Lana menunggu, tidak ada tanda-tanda Yoga keluar dari rumah tersebut. Kaisar bahkan sudah tertidur di gendongannya karena kelelahan. Lana melihat jam di ponselnya dan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan berat hati, Lana meninggalkan perumahan tersebut dengan Kaisar ada di gendongannya. Dia selalu membawa kain panjang yang diletakkan di dalam jok motor untuk berjaga-jaga jika putranya ketiduran saat diboncengnya.

Sepanjang jalan, air mata Lana berderai tak keruan. Perasaannya sakit luar biasa tak bisa dideskripsikan. Yoga memang tidak pernah menyakitinya selama ini, tetapi sekalinya lelaki itu melakukannya, dia menancapkan banyak belati tajam di dalam hatinya yang sulit untuk disembuhkan. Dan hal yang paling mengesankan malam ini adalah, Yoga tidak pulang ke rumah.

***

“Sayang, aku minta maaf. Semalam aku ketiduran. Setelah kami futsal, kami pergi ke rumah Ifan. Kami makan-makan di sana. Aku tadinya cuma mau istirahat sebentar, tapi Ifan malah nggak bangunin aku. Kami semuanya akhirnya tidur di rumah dia. Sayang, kamu nggak marah, kan? Aku benar-benar minta maaf karena aku nggak ngabari kamu.”

Yoga terlihat panik ketika dia memberikan penjelasan itu kepada sang istri. Ini adalah kali pertama dia tidak pulang ke rumah setelah meminta izin keluar dengan teman-temannya. Yoga beranggapan, Lana pasti akan memarahinya. Terlebih lagi, seharusnya hari ini mereka keluar jalan-jalan bersama.

Alih-alih murka, Lana terlihat santai. Perempuan itu justru mengangguk. “Nggak papa. Oh, ya, Mas, hari ini temanku akan datang. Dia orang showroom. Aku udah hubungi dia dan bilang kalau aku mau beli mobil. Kalau Mas mau keluar, tunda sebentar, ya. Dia mungkin nanti jam sembilan sampai.”

“Apa? Kamu beneran minta mobil, Lan?”

Yoga tidak siap dengan permintaan Lana yang buru-buru. Mereka bahkan baru membahas masalah mobil kemarin malam dan itu pun dia belum menyetujuinya. Namun, Lana sudah dengan cepat mengambil keputusan sendiri.

“Iya. Kenapa? Kamu nggak siap belikan aku mobil?”

Lana menatap Yoga dengan tatapan menilai. Lelaki itu tampak belum mandi. Rambutnya acak-acakan. Dan yang membuat Lana merasakan cubitan di hatinya adalah ketika dia melihat tanda merah yang cukup kecil di leher Yoga tepat di bawah telinga. Tiba-tiba saja, perut Lana merasa mual.

‘Berapa kali kalian bermain semalam?’ tanya Lana pada dirinya sendiri, yang jelas tidak akan mendapatkan jawaban yang diinginkan.

Lana menarik napasnya panjang, masih menekan semua sumpah serapah yang ingin keluar dari mulutnya.

“Lan, kita, kan sudah berunding kemarin. Aku belum bisa melepaskan kamu nyetir sendir. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu. Kamu ngerti nggak sih kalau aku ini sayang sama kamu?”

“Simpan saja pikiran buruk yang ada di hatimu itu, Mas. Aku tetap akan membeli mobil.”

“Aku menolak!” Yoga berucap tegas. “Aku nggak mau membelikanmu mobil. Titik. ”

Setelah mengatakan itu, Yoga berlalu begitu saja. Masuk ke dalam kamar sebelum menutup pintunya sedikit kasar. Lana menggeram marah, tapi lagi-lagi dia harus menahan dirinya. Permainan baru saja dimulai. Dia tak akan mundur dan membiarkan Yoga memperlakukannya seenaknya sendiri.

Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, teman yang dimaksud oleh Lana benar-benar datang. Lelaki itu memberikan banyak penawaran untuk beberapa model kendaraan beroda empat. Sejak tadi, Yoga tidak lagi keluar dari kamar dan tampaknya memang sengaja menghindari keinginan Lana untuk membeli mobil.

“Kamu mau yang seperti apa, Lan?” tanya lelaki itu sambil menunjukkan brosur.

“Aku sih yang penting nyaman aja, harga standart lah, ya.” Lana melihat-lihat gambar mobil di dalam brosur tersebut.

“Kalau sekitar harga dua ratusan gimana? Kalau untuk sekeluarga juga udah nyaman.” Lana sebenarnya tidak begitu tahu tentang mobil, tapi dia sudah sempat memilih-milih sebelumnya dengan melihat gambar di internet.

“Bagaimana kalau ini? Dapat potongan harga nggak, Ran?” Lelaki yang bernama Randi itu tersenyum lebar.

“Kalau kamu mau yang ini, nanti aku coba minta potongan ke bos deh.”

Baru saja Randi menutup mulutnya ketika Yoga muncul, lalu mendekat ke arah mereka. “Nggak perlu, Mas. Pembelian mobil batal.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status